Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar ikatan janji antara dua insan, melainkan sebuah ibadah panjang yang memiliki dimensi spiritual, sosial, dan hukum yang sangat mendalam. Di antara seluruh rangkaian prosesi pernikahan, ada satu momen yang menjadi puncaknya, inti dari seluruh ritual, yaitu saat "berijab" atau yang lebih dikenal sebagai prosesi ijab qabul. Momen ini adalah titik krusial di mana janji suci diucapkan, status hukum berubah, dan dua jiwa secara resmi bersatu di bawah ridha Allah SWT.
Lebih dari sekadar formalitas, berijab adalah penegasan komitmen, sebuah sumpah yang bukan hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh para malaikat dan di hadapan Sang Pencipta alam semesta. Ini adalah gerbang menuju kehidupan baru yang penuh berkah, tanggung jawab, dan harapan untuk membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah – penuh ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Artikel ini akan menyelami lebih jauh apa itu berijab, mengapa ia begitu penting, bagaimana prosesinya berlangsung, serta makna filosofis yang terkandung di dalamnya, menguraikan setiap aspek dengan harapan memberikan pemahaman yang komprehensif bagi siapa saja yang ingin memahami atau sedang mempersiapkan diri untuk melangkah ke jenjang suci ini.
1. Memahami Hakikat Berijab: Lebih dari Sekadar Kata
Kata "ijab" secara harfiah berarti penawaran atau pengucapan. Dalam konteks pernikahan Islam, ijab merujuk pada pernyataan penyerahan dari pihak wali pengantin wanita kepada pengantin pria. Ini adalah kalimat sakral yang mengindikasikan bahwa wali menyerahkan perwalian atas anak perempuannya untuk dinikahi oleh calon suami. Sementara itu, "qabul" adalah jawaban penerimaan dari calon suami. Kedua hal ini, ijab dan qabul, harus diucapkan secara jelas, tegas, dan berurutan dalam satu majelis (pertemuan) yang sama, tanpa jeda yang berarti.
1.1. Ijab sebagai Pondasi Hukum dan Spiritual
Mengapa ijab begitu fundamental? Pertama, ijab qabul adalah rukun (tiang) terpenting dari akad nikah. Tanpa ijab qabul yang sah, pernikahan tidak akan pernah terjadi secara syar'i (sesuai syariat Islam) maupun hukum. Ia adalah kunci yang membuka gerbang keabsahan hubungan suami istri. Sebelum ijab qabul, dua insan adalah orang asing satu sama lain dalam konteks mahram dan hubungan badan. Setelah ijab qabul, mereka menjadi pasangan yang halal, di mana segala bentuk interaksi yang sebelumnya terlarang kini menjadi ibadah.
Kedua, ijab qabul memiliki dimensi spiritual yang dalam. Ia bukan hanya kontrak sosial, melainkan sebuah mithaqan ghalizhan (perjanjian yang sangat berat atau kokoh) di hadapan Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an. Ini adalah komitmen seumur hidup untuk saling melengkapi, menjaga, melindungi, dan membangun keluarga berdasarkan ajaran Islam. Setiap kata yang terucap mengandung janji dan sumpah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Ketiga, ijab qabul menegaskan kedudukan dan peran masing-masing pihak. Wali menunjukkan perannya sebagai pelindung dan penanggung jawab syariat bagi mempelai wanita. Mempelai pria menerima tanggung jawab besar untuk menjadi pemimpin rumah tangga, pelindung, dan pencari nafkah. Ini adalah transisi dari satu perwalian ke perwalian lainnya, dari ayah kepada suami, yang menandakan babak baru dalam kehidupan seorang wanita.
1.2. Sejarah dan Landasan Syariat Ijab Qabul
Konsep ijab qabul dalam pernikahan Islam berakar kuat pada tradisi Nabi Muhammad SAW dan ajaran Al-Qur'an. Sepanjang sejarah Islam, praktik ini telah menjadi standar baku untuk melegitimasi pernikahan. Para ulama dari berbagai mazhab (aliran hukum Islam) sepakat tentang pentingnya ijab qabul sebagai rukun nikah.
Landasan syariatnya dapat ditemukan dalam hadis-hadis Nabi SAW yang menjelaskan tentang rukun dan syarat pernikahan, di antaranya adalah keharusan adanya wali dan dua saksi, serta kejelasan lafaz ijab qabul. Bahkan, Al-Qur'an secara implisit merujuk pada perjanjian ini sebagai sesuatu yang sakral dan berat, menunjukkan betapa Allah menempatkan pernikahan pada derajat yang tinggi.
Oleh karena itu, momen berijab bukan sekadar ritual lisan, melainkan sebuah deklarasi keimanan, ketaatan, dan kesiapan untuk menjalani sunah Rasulullah SAW dalam membangun generasi penerus yang saleh dan salihah. Pemahaman mendalam tentang hakikat ijab qabul akan membekali pasangan dengan kesadaran akan beratnya amanah yang mereka pikul dan keindahan pahala yang menanti jika amanah itu dijalankan dengan baik.
2. Rukun dan Syarat Akad Nikah: Pilar-Pilar Pernikahan yang Sah
Untuk memastikan bahwa ijab qabul dan akad nikah secara keseluruhan adalah sah menurut syariat Islam, ada beberapa rukun (pilar) dan syarat yang harus dipenuhi. Jika salah satu rukun tidak ada atau salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah.
2.1. Rukun Nikah
Ada lima rukun nikah yang disepakati oleh mayoritas ulama:
2.1.1. Adanya Calon Suami (Mempelai Pria)
Calon suami haruslah seorang laki-laki Muslim yang jelas identitasnya, tidak sedang dalam ikatan pernikahan dengan empat wanita lain (bagi yang berpoligami), dan bukan mahram bagi calon istri. Ia juga harus baligh (dewasa), berakal sehat, dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan). Kejelasan identitas ini penting untuk menghindari kekaburan dalam akad. Selain itu, calon suami tidak boleh dalam keadaan ihram haji atau umrah, karena ini termasuk larangan dalam syariat.
Kesediaan calon suami untuk menerima ijab adalah kunci. Ini menunjukkan kesiapan dan kesadarannya akan tanggung jawab yang akan diemban. Ia juga harus bebas dari segala halangan pernikahan, seperti penyakit menular yang parah atau cacat permanen yang disembunyikan, yang dapat menimbulkan dampak buruk di kemudian hari.
2.1.2. Adanya Calon Istri (Mempelai Wanita)
Calon istri haruslah seorang wanita Muslimah, jelas identitasnya, bukan mahram bagi calon suami, dan tidak sedang dalam masa iddah (masa tunggu setelah perceraian atau kematian suami). Ia juga harus dalam keadaan suci dari haid atau nifas saat akad berlangsung. Sama seperti calon suami, ia harus baligh, berakal sehat, dan memberikan persetujuannya (meskipun persetujuan wanita perawan bisa diwakili oleh walinya melalui diamnya). Tidak boleh ada paksaan terhadap calon istri.
Masa iddah adalah masa penting untuk memastikan rahim kosong dan tidak terjadi kerancuan nasab. Keabsahan pernikahan sangat bergantung pada terpenuhinya syarat-syarat ini. Jika calon istri adalah seorang janda, persetujuannya harus eksplisit dan jelas.
2.1.3. Adanya Wali Nikah
Wali adalah orang yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan mempelai wanita. Wali adalah rukun mutlak dalam pernikahan wanita. Tanpa wali, pernikahan seorang wanita dianggap tidak sah, kecuali dalam kasus tertentu yang sangat jarang dan dibolehkan oleh sebagian ulama (seperti tidak adanya wali nasab dan wali hakim). Urutan wali adalah ayah kandung, kakek (dari pihak ayah), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan seterusnya sesuai urutan nasab. Jika tidak ada wali nasab, maka wali hakim (pejabat yang ditunjuk oleh negara atau ulama) dapat bertindak sebagai wali.
Wali harus seorang Muslim, baligh, berakal sehat, dan adil (tidak fasik). Tugas wali bukan hanya menikahkan, tetapi juga memastikan kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi wanita yang diwalikannya. Dalam praktiknya di Indonesia, wali nikah biasanya adalah ayah kandung. Jika ayah kandung berhalangan atau telah meninggal, maka perwalian beralih kepada wali yang lebih dekat secara nasab.
Peran wali sangat krusial karena ia adalah representasi keluarga wanita, memastikan bahwa pernikahan ini dilakukan dengan persetujuan dan perlindungan yang seharusnya. Ini juga melindungi wanita dari kemungkinan penipuan atau paksaan. Wali tidak boleh menolak menikahkan jika ada calon suami yang sekufu (setara) dan baik agamanya, kecuali ada alasan syar'i yang kuat.
2.1.4. Adanya Dua Orang Saksi
Akad nikah harus disaksikan oleh setidaknya dua orang saksi laki-laki yang adil, baligh, berakal sehat, dan dapat mendengar serta memahami lafaz ijab qabul. Saksi-saksi ini berfungsi untuk memastikan bahwa ijab qabul telah diucapkan secara sah dan jelas, serta menjadi bukti jika suatu saat terjadi perselisihan. Kehadiran saksi memberikan legitimasi publik dan hukum pada pernikahan tersebut.
Kualitas saksi sangat penting. Mereka harus jujur dan tidak memiliki kepentingan yang dapat mempengaruhi kesaksian mereka. Dalam banyak tradisi, saksi biasanya dipilih dari kalangan keluarga atau orang-orang terhormat di masyarakat. Saksi juga tidak boleh memiliki hubungan yang terlalu dekat sehingga dapat menimbulkan kecurigaan bias, seperti anak kandung dari kedua mempelai.
2.1.5. Lafaz Ijab dan Qabul (Shighat)
Ini adalah inti dari berijab. Ijab adalah pernyataan penyerahan dari wali kepada calon suami, dan qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon suami. Lafaz ini harus diucapkan dengan jelas, tegas, dan saling bersambung (tidak ada jeda yang lama) dalam satu majelis. Contoh lafaz ijab: "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya (nama mempelai wanita) dengan mahar (jumlah mahar) tunai." Kemudian diikuti dengan lafaz qabul: "Saya terima nikahnya dan kawinnya (nama mempelai wanita) dengan mahar tersebut tunai."
Syarat lafaz ijab qabul adalah sebagai berikut:
- Jelas dan Tegas: Tidak boleh ambigu atau mengandung keraguan. Kata-kata seperti "saya nikahkan" atau "saya kawinkan" harus digunakan.
- Saling Bersambung: Ijab dan qabul harus diucapkan secara berurutan tanpa jeda yang terlalu panjang yang dapat memutuskan maksud dari akad.
- Dipahami oleh Semua Pihak: Wali, calon suami, dan saksi-saksi harus memahami makna dari lafaz yang diucapkan.
- Tidak Terikat Syarat Waktu: Pernikahan tidak boleh dibatasi oleh waktu (misalnya "saya nikahkan kamu selama satu tahun"), karena itu akan menjadikannya nikah mut'ah (kawin kontrak) yang diharamkan.
- Dilakukan dalam Satu Majelis: Ijab dan qabul harus terjadi dalam satu tempat dan waktu yang sama.
Lafaz ini adalah representasi verbal dari komitmen spiritual dan hukum. Keakuratan dan kejelasan lafaz sangat menentukan keabsahan akad nikah. Oleh karena itu, seringkali ada latihan atau pengarahan sebelumnya agar calon suami dapat mengucapkan lafaz qabul dengan baik dan benar.
2.2. Syarat-Syarat Tambahan
Selain rukun-rukun di atas, ada beberapa syarat umum yang juga harus dipenuhi untuk pernikahan yang sah:
- Persetujuan Calon Mempelai: Meskipun wali menikahkan, calon mempelai wanita harus memberikan persetujuannya. Bagi perawan, diamnya bisa dianggap setuju. Bagi janda, persetujuan harus eksplisit.
- Tidak Ada Halangan Syar'i: Tidak ada halangan yang mencegah pernikahan, seperti perbedaan agama (Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim), masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, atau adanya hubungan mahram yang mengharamkan pernikahan.
- Adanya Mahar (Maskawin): Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri. Meskipun mahar bukan rukun nikah (pernikahan tetap sah tanpa disebutkan mahar di awal, namun mahar tetap wajib dibayarkan), ia adalah salah satu syarat keabsahan dalam pernikahan dan harus disebutkan serta diserahkan pada saat akad atau disepakati cara pembayarannya.
- Seorang Muslim: Kedua mempelai, wali, dan saksi harus beragama Islam (kecuali untuk pria Muslim yang menikahi wanita Ahlul Kitab, meskipun ini memiliki perdebatan dan pandangan ulama yang beragam).
Memenuhi semua rukun dan syarat ini adalah langkah pertama dan terpenting dalam membangun rumah tangga yang diridai Allah SWT. Hal ini menunjukkan keseriusan dan ketaatan terhadap syariat Islam dalam memulai sebuah hubungan yang suci.
3. Prosesi Ijab Qabul: Detik-Detik Sakral Penyatuan Dua Jiwa
Prosesi ijab qabul adalah momen yang penuh haru dan sakral, di mana seluruh rangkaian persiapan menuju pernikahan mencapai puncaknya. Biasanya, prosesi ini berlangsung di tempat yang tenang, seperti masjid atau rumah, dengan dihadiri oleh keluarga dekat, kerabat, wali, saksi, dan penghulu atau pejabat pencatat nikah.
3.1. Persiapan Menjelang Akad
Sebelum ijab qabul dilaksanakan, ada beberapa persiapan penting:
- Waktu dan Tempat: Dipilih waktu dan tempat yang tepat dan nyaman. Banyak yang memilih hari Jumat atau hari baik lainnya.
- Kehadiran Pihak-pihak: Calon suami, wali nikah (biasanya ayah mempelai wanita), dua saksi, penghulu, dan tentu saja calon istri harus hadir. Calon istri biasanya tidak langsung duduk di samping calon suami pada saat ijab qabul, tetapi berada di ruangan terpisah dan akan bergabung setelah ijab qabul sah.
- Mahar: Mahar disiapkan dan biasanya diletakkan di dekat tempat akad sebagai simbol kesiapan untuk diserahkan.
- Doa dan Pembukaan: Acara dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan khutbah nikah yang berisi nasihat-nasihat tentang pernikahan dalam Islam.
3.2. Urutan Pelaksanaan Ijab Qabul
Prosesi inti ijab qabul secara umum mengikuti urutan berikut:
3.2.1. Khutbah Nikah dan Nasihat
Penghulu atau seorang ulama biasanya akan menyampaikan khutbah nikah. Khutbah ini berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dan nasihat-nasihat tentang tujuan pernikahan dalam Islam, tanggung jawab suami istri, serta pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga. Nasihat ini bertujuan untuk mengingatkan kedua calon mempelai dan hadirin akan makna mendalam dari pernikahan.
3.2.2. Pembacaan Ayat Al-Qur'an dan Doa
Seringkali diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan pernikahan, seperti Surat Ar-Rum ayat 21, yang berbicara tentang ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam rumah tangga. Dilanjutkan dengan doa agar akad nikah berjalan lancar dan pasangan diberikan keberkahan.
3.2.3. Wali Menyerahkan Perwalian (Ijab)
Setelah khutbah dan doa, penghulu akan memfasilitasi proses ijab qabul. Wali nikah (biasanya ayah kandung) akan menjabat tangan calon suami. Dengan suara yang jelas dan mantap, wali mengucapkan lafaz ijab. Contoh lafaz yang umum digunakan:
"Ananda [Nama Calon Suami], saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama [Nama Calon Istri] dengan mas kawinnya [jenis dan jumlah mahar] tunai."
Pengucapan ini harus jelas dan terdengar oleh kedua saksi dan hadirin. Beberapa wali mungkin menambahkan frasa "dengan mahar tersebut" atau "dengan mahar yang telah disebutkan" untuk lebih menekankan.
3.2.4. Calon Suami Menerima Perwalian (Qabul)
Segera setelah wali mengucapkan ijab, tanpa jeda yang terlalu lama, calon suami harus langsung menjawab dengan lafaz qabul. Lafaz qabul juga harus diucapkan dengan jelas, tegas, dan penuh keyakinan. Contoh lafaz qabul:
"Saya terima nikahnya dan kawinnya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Calon Istri] dengan mas kawin tersebut tunai."
Penting bagi calon suami untuk mengucapkan qabul dengan benar, tanpa ragu atau kesalahan yang dapat membatalkan akad. Jika terjadi kesalahan, maka harus diulang hingga sempurna.
3.2.5. Pengesahan oleh Saksi dan Penghulu
Setelah calon suami mengucapkan qabul, para saksi akan diminta untuk menyatakan sah atau tidaknya ijab qabul tersebut. Jika kedua saksi menyatakan "SAH!", maka pernikahan dinyatakan sah secara syariat. Kemudian penghulu akan mengumumkan sahnya pernikahan dan biasanya diikuti dengan doa.
Momen ini seringkali diiringi dengan ucapan takbir dan hamdalah dari para hadirin, menandakan kegembiraan atas berlangsungnya akad nikah yang sah.
3.2.6. Penandatanganan Dokumen Nikah
Setelah ijab qabul dinyatakan sah, dokumen-dokumen pernikahan (seperti buku nikah) akan ditandatangani oleh kedua mempelai, wali, saksi, dan penghulu. Ini adalah legalisasi pernikahan secara hukum negara.
3.2.7. Doa Penutup dan Penyerahan Mahar
Acara ditutup dengan doa kebaikan untuk kedua mempelai, agar rumah tangga mereka selalu diberkahi, diberikan keturunan yang saleh, dan langgeng hingga jannah. Setelah itu, mahar biasanya diserahkan secara simbolis dari suami kepada istri, atau sudah diserahkan sebelumnya.
3.3. Etika dan Adab dalam Prosesi Ijab Qabul
Meskipun ijab qabul adalah proses formal, ada etika dan adab yang dianjurkan:
- Ketenangan dan Kekhusyukan: Semua pihak hendaknya menjaga ketenangan dan kekhusyukan, mengingat ini adalah momen ibadah yang sakral.
- Kesopanan dalam Berpakaian: Kedua mempelai dan hadirin dianjurkan mengenakan pakaian yang sopan dan sesuai syariat.
- Saling Menghormati: Menghormati peran wali, penghulu, dan saksi.
- Niat Ikhlas: Melakukan seluruh prosesi dengan niat ikhlas mencari ridha Allah SWT.
Dengan memahami dan menjalani prosesi ijab qabul dengan baik, pasangan tidak hanya memenuhi syarat formal pernikahan, tetapi juga menanamkan fondasi spiritual yang kuat untuk kehidupan rumah tangga mereka. Ini adalah langkah awal yang penuh berkah menuju kebahagiaan abadi.
4. Peran Penting Wali dan Saksi: Penjaga Keabsahan Akad
Kehadiran wali dan saksi dalam akad nikah bukan sekadar formalitas, melainkan dua pilar penting yang menjamin keabsahan dan keabsahan syar'i sebuah pernikahan. Tanpa keduanya, sebuah pernikahan dalam Islam tidak akan dianggap sah.
4.1. Wali Nikah: Pelindung dan Penentu
Wali nikah adalah sosok yang memiliki peran paling krusial bagi mempelai wanita. Dalam Islam, wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Wali adalah representasi sah dari pihak wanita dalam akad. Peran wali sangat komprehensif:
- Penjamin Syariat: Wali bertindak sebagai penjamin bahwa pernikahan tersebut dilakukan sesuai syariat Islam, melindungi hak-hak wanita, dan memastikan kemaslahatannya. Ia adalah benteng terakhir yang menjaga martabat dan kehormatan wanita dari pernikahan yang tidak sah atau tidak pantas.
- Pemberi Izin: Secara tradisional, wali memberikan izin pernikahan atas nama wanita, terutama jika ia masih perawan. Meskipun persetujuan wanita tetap mutlak, wali adalah pihak yang secara formal "menyerahkan" perwaliannya.
- Pemimpin Ijab: Wali adalah pihak yang mengucapkan lafaz ijab, secara resmi menyerahkan perwaliannya atas wanita kepada calon suami. Ini adalah tanggung jawab besar yang diemban oleh wali.
- Pewaris Hak Wali: Jika ayah kandung (wali nasab yang paling utama) tidak ada atau berhalangan, hak perwalian akan beralih kepada kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan nasab (kakek, saudara laki-laki, paman, dll.).
- Wali Hakim: Apabila tidak ada wali nasab yang memenuhi syarat, atau wali nasab menolak tanpa alasan syar'i yang sah (wali 'adhul), maka perwalian dapat beralih kepada wali hakim, yaitu pejabat pemerintah atau ulama yang ditunjuk untuk mengurus masalah pernikahan. Keberadaan wali hakim ini untuk memastikan bahwa setiap wanita Muslimah memiliki hak untuk menikah sesuai syariat, sekalipun wali nasabnya tidak ada atau bermasalah.
Syarat menjadi wali juga tidak sembarangan: harus Muslim, baligh, berakal sehat, dan merdeka (bukan budak). Keadilan (tidak fasik) juga sering menjadi syarat penting dalam pandangan ulama.
Peran wali ini menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi perlindungan terhadap wanita. Pernikahan bukanlah transaksi semata, melainkan sebuah ikatan suci yang membutuhkan kehadiran dan persetujuan dari pihak yang bertanggung jawab atas wanita tersebut.
4.2. Saksi Nikah: Penjaga Keabsahan dan Bukti
Dua orang saksi laki-laki yang adil adalah rukun mutlak lainnya dalam akad nikah. Tanpa kehadiran saksi, pernikahan tidak sah. Fungsi saksi adalah:
- Verifikasi Ijab Qabul: Saksi memastikan bahwa lafaz ijab dan qabul diucapkan dengan jelas dan benar, serta dipahami oleh semua pihak. Mereka menjadi telinga yang mendengar dan mata yang melihat berlangsungnya akad.
- Pembuktian Hukum: Kehadiran saksi adalah bukti otentik bahwa pernikahan telah terjadi. Ini sangat penting jika di kemudian hari timbul perselisihan atau keraguan mengenai keabsahan pernikahan. Kesaksian mereka dapat menjadi dasar hukum di pengadilan agama.
- Pemberi Legitimasi: Saksi memberikan legitimasi sosial dan spiritual pada pernikahan. Mereka adalah perwakilan masyarakat yang menyaksikan ikatan suci ini.
- Peringatan Akan Tanggung Jawab: Kehadiran saksi juga menjadi pengingat bagi kedua mempelai bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang disaksikan banyak pihak, bukan hanya mereka berdua.
Syarat-syarat saksi juga ketat:
- Minimal Dua Orang: Jumlah minimal adalah dua orang laki-laki.
- Muslim: Harus beragama Islam.
- Baligh dan Berakal: Harus sudah dewasa dan tidak gila.
- Adil: Ini adalah syarat yang paling sering diperdebatkan. Adil di sini berarti tidak melakukan dosa-dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil, dan memiliki moralitas yang baik. Saksi harus orang yang dapat dipercaya dan jujur.
- Dapat Mendengar dan Memahami: Mereka harus mampu mendengar dan memahami apa yang diucapkan dalam ijab qabul.
- Tidak Buta: Sebagian ulama mensyaratkan tidak buta, agar dapat melihat langsung prosesi.
- Bukan Pihak yang Berkepentingan Langsung: Meskipun tidak secara eksplisit dilarang, lebih baik jika saksi bukan orang tua kandung atau anak kandung dari kedua mempelai untuk menghindari potensi bias.
Dalam konteks modern, selain saksi syar'i, terdapat juga pencatatan nikah oleh pejabat negara (penghulu dari KUA di Indonesia) yang berfungsi sebagai pencatat administrasi dan legalitas hukum negara, melengkapi validasi syar'i yang telah dilakukan oleh wali dan saksi. Dengan demikian, peran wali dan saksi adalah vital, menjaga agar setiap pernikahan Islam tetap teguh pada syariatnya dan memiliki legitimasi yang kuat di mata agama maupun masyarakat.
5. Mahar: Simbol Penghargaan dan Tanggung Jawab dalam Berijab
Mahar, atau maskawin, adalah salah satu elemen penting dalam pernikahan Islam yang disebutkan pada saat ijab qabul. Meskipun ia bukan rukun nikah yang tanpanya pernikahan menjadi tidak sah (pernikahan tetap sah meskipun mahar tidak disebutkan saat akad, namun kewajiban mahar tetap ada), mahar memiliki kedudukan yang sangat istimewa dan filosofi yang mendalam.
5.1. Definisi dan Kedudukan Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda kesungguhan hati, penghargaan, dan kesanggupan suami untuk bertanggung jawab menafkahi istrinya. Mahar adalah hak sepenuhnya bagi istri, bukan untuk wali atau keluarganya. Ia tidak boleh diminta kembali oleh suami, kecuali dengan kerelaan istri.
Dalil kewajiban mahar terdapat dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 4:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa mahar adalah hak wanita dan harus diberikan dengan penuh kerelaan.
5.2. Jenis dan Bentuk Mahar
Mahar dapat berupa apa saja yang memiliki nilai dan halal menurut syariat. Tidak ada batasan minimal atau maksimal untuk mahar, meskipun Rasulullah SAW menganjurkan mahar yang ringan dan tidak memberatkan. Beberapa contoh bentuk mahar:
- Uang Tunai: Jumlah tertentu dalam mata uang yang berlaku.
- Perhiasan Emas/Permata: Sesuai kemampuan calon suami.
- Seperangkat Alat Salat: Sering menjadi pilihan yang populer karena nilai spiritualnya.
- Hafalan Al-Qur'an: Ini adalah mahar yang sangat istimewa, di mana calon suami mengajarkan hafalan Al-Qur'an kepada istrinya. Ini menunjukkan bahwa mahar tidak melulu bersifat materi.
- Tanah, Rumah, atau Barang Berharga Lainnya: Asalkan memiliki nilai dan disepakati kedua belah pihak.
Yang terpenting adalah mahar tersebut jelas, disepakati oleh kedua belah pihak, dan mampu dipenuhi oleh calon suami. Mahar tidak boleh berupa sesuatu yang haram atau tidak memiliki nilai.
5.3. Filosofi dan Makna Mahar
Lebih dari sekadar pemberian materi, mahar memiliki filosofi yang dalam:
- Simbol Penghargaan: Mahar adalah bentuk penghargaan dan penghormatan suami kepada istri. Ia menunjukkan bahwa istri adalah sosok yang berharga dan memiliki kedudukan mulia.
- Kesungguhan dan Tanggung Jawab: Dengan memberikan mahar, suami menunjukkan kesungguhan hatinya untuk menikahi dan bertanggung jawab penuh atas nafkah istrinya. Ini adalah pembuktian nyata dari komitmennya.
- Bekal Awal Istri: Mahar dapat menjadi bekal awal bagi istri untuk memulai kehidupan baru, baik untuk kebutuhan pribadinya, investasi, atau tabungan.
- Perlindungan Hak Wanita: Mahar adalah salah satu bentuk perlindungan Islam terhadap hak-hak wanita, memastikan ia memiliki jaminan finansial sejak awal pernikahan.
- Pembeda dari Pernikahan Tidak Sah: Keberadaan mahar membedakan pernikahan yang sah dari hubungan terlarang atau perdagangan manusia.
5.4. Mahar yang Dirahmati
Rasulullah SAW bersabda, "Pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling mudah maharnya." (HR. Ahmad). Hadis ini menekankan pentingnya tidak memberatkan calon suami dengan mahar yang tinggi. Mahar yang memberatkan justru dapat menjadi penghalang bagi pernikahan yang berkah.
Penting untuk diingat bahwa nilai mahar tidak mengukur nilai seorang wanita atau cinta yang tulus. Cinta sejati dan kebahagiaan rumah tangga dibangun di atas dasar takwa, saling pengertian, dan komitmen, bukan pada besarnya mahar. Oleh karena itu, diskusi mengenai mahar sebaiknya dilakukan dengan bijak, mengedepankan kemudahan dan keberkahan, bukan gengsi atau tuntutan yang tidak realistis.
Pada akhirnya, mahar yang disebutkan saat berijab adalah pengingat akan janji suci dan tanggung jawab besar yang dipikul oleh seorang suami, serta kehormatan dan hak yang diterima oleh seorang istri dalam memulai bahtera rumah tangga yang diridai Allah SWT.
6. Doa dan Harapan Setelah Ijab: Memohon Berkah untuk Keluarga Baru
Setelah ijab qabul dinyatakan sah, dan sepasang insan telah resmi menjadi suami istri, momen tersebut tidak berhenti pada penandatanganan buku nikah saja. Ada rangkaian doa dan harapan yang dipanjatkan, baik oleh pasangan maupun oleh para hadirin, sebagai bentuk permohonan keberkahan dan perlindungan dari Allah SWT untuk rumah tangga yang baru dibangun.
6.1. Doa-Doa Pilihan Setelah Akad
Beberapa doa yang sangat dianjurkan setelah akad nikah, yang diucapkan oleh penghulu, ulama, atau salah satu pihak keluarga:
- Doa untuk Pengantin Baru: Doa yang paling terkenal adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
"Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khair."
Artinya: "Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Doa ini adalah esensi dari harapan setiap pernikahan: keberkahan dari Allah dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga.
- Doa Memohon Keturunan yang Saleh/Salihah: Pasangan baru sering mendoakan agar diberikan keturunan yang baik, saleh dan salihah, sebagai penerus generasi yang bertakwa.
- Doa Memohon Kekuatan dalam Menjalankan Tanggung Jawab: Suami mendoakan agar Allah memberinya kekuatan untuk menjadi pemimpin yang adil, penyayang, dan mampu menafkahi keluarganya. Istri mendoakan agar Allah memberinya kekuatan untuk menjadi istri yang patuh, mendukung, dan penyayang.
- Doa agar Diberikan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah: Inilah tujuan utama pernikahan Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. Ar-Rum: 21). Doa ini memohon agar Allah menjadikan rumah tangga mereka tempat ketenangan, menumbuhkan cinta yang tulus, dan melimpahkan kasih sayang di antara mereka.
6.2. Nasihat dan Pesan untuk Mempelai
Setelah doa, seringkali ada nasihat singkat dari tokoh agama atau orang tua kepada kedua mempelai. Nasihat ini biasanya meliputi:
- Pentingnya Saling Memahami dan Memaafkan: Setiap rumah tangga pasti akan menghadapi tantangan. Saling memahami, bersabar, dan mudah memaafkan adalah kunci keharmonisan.
- Tanggung Jawab Suami: Mengingatkan suami akan kewajibannya menafkahi lahir dan batin, melindungi, membimbing, dan memperlakukan istri dengan baik.
- Tanggung Jawab Istri: Mengingatkan istri akan kewajibannya mematuhi suami dalam kebaikan, menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, serta mengurus anak-anak.
- Komunikasi yang Efektif: Pentingnya dialog terbuka dan jujur dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
- Menjadikan Agama sebagai Fondasi: Menekankan bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam rumah tangga harus berlandaskan syariat Islam.
- Sabar dan Syukur: Mendorong pasangan untuk selalu sabar dalam menghadapi cobaan dan bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan Allah.
6.3. Memulai Kehidupan Baru dengan Semangat Ibadah
Momen setelah ijab qabul adalah awal dari perjalanan ibadah yang panjang. Pasangan baru diharapkan memulai kehidupan mereka dengan semangat ketakwaan dan niat yang lurus. Ini bukan hanya tentang kebahagiaan pribadi, tetapi juga tentang berkontribusi pada umat melalui pembentukan keluarga Muslim yang kuat.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada separuh yang lainnya." (HR. Baihaqi). Hadis ini menekankan bahwa pernikahan adalah penyempurna agama dan memotivasi pasangan untuk lebih meningkatkan ketakwaan mereka setelah menikah.
Oleh karena itu, doa dan harapan yang dipanjatkan setelah ijab qabul bukanlah sekadar tradisi, melainkan manifestasi dari pemahaman mendalam tentang tujuan pernikahan dalam Islam dan komitmen untuk menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Ini adalah fondasi spiritual yang akan menopang bahtera rumah tangga dalam menghadapi berbagai gelombang kehidupan.
7. Makna Pernikahan Islami Beyond Ijab: Perjalanan Menuju Sakinah Mawaddah Warahmah
Ijab qabul adalah gerbang, sebuah awal yang sakral. Namun, makna sesungguhnya dari pernikahan Islam terbentang jauh melampaui momen akad nikah itu sendiri. Ia adalah perjalanan seumur hidup yang didasari oleh prinsip-prinsip Ilahi, dengan tujuan utama mencapai sakinah, mawaddah, warahmah (ketenangan, cinta, dan kasih sayang) di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.
7.1. Sakinah: Ketenangan Jiwa dan Raga
Sakinah berarti ketenangan, kedamaian, dan ketentraman. Pernikahan dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana suami dan istri menemukan perlindungan, kenyamanan, dan rasa aman dari hiruk pikuk dunia. Ini adalah rumah yang bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual.
Untuk mencapai sakinah, diperlukan:
- Saling Percaya dan Jujur: Fondasi hubungan yang kuat adalah kepercayaan. Kejujuran dalam segala hal akan membangun rasa aman.
- Saling Melengkapi: Suami dan istri adalah pasangan yang saling melengkapi kekurangan satu sama lain, seperti pakaian yang melindungi dan memperindah.
- Memaafkan dan Berlapang Dada: Tidak ada manusia yang sempurna. Kesediaan untuk memaafkan kesalahan dan berlapang dada adalah kunci kedamaian.
- Saling Mendukung: Dalam suka maupun duka, pasangan harus menjadi pendukung utama satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup.
- Ketaatan kepada Allah: Rumah tangga yang sakinah dibangun di atas ketaatan kepada Allah, di mana setiap anggota keluarga berusaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sakinah adalah oase di padang pasir kehidupan, tempat jiwa menemukan istirahat dan hati merasa tenang.
7.2. Mawaddah: Cinta yang Tulus dan Mendalam
Mawaddah adalah cinta yang tulus, penuh gairah, dan mendalam. Ini adalah rasa kasih sayang yang mengikat hati suami istri, menjadikan mereka berdua merasa bahagia dan bersemangat dalam menjalani hidup bersama.
Cinta dalam pernikahan Islam bukanlah cinta yang buta atau egois, melainkan cinta yang dilandasi oleh iman dan keinginan untuk saling membahagiakan demi ridha Allah. Mawaddah termanifestasi dalam:
- Perhatian dan Kepedulian: Saling memberikan perhatian pada hal-hal kecil, mendengarkan keluh kesah, dan menunjukkan bahwa pasangan adalah prioritas.
- Romantisme yang Halal: Menjaga api cinta tetap menyala melalui sentuhan fisik, pujian, kejutan kecil, dan waktu berkualitas bersama.
- Pengorbanan: Kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kebahagiaan pasangan dan keluarga.
- Menjaga Komunikasi: Berbicara dari hati ke hati, menyampaikan rasa sayang dan apresiasi secara verbal.
- Saling Mendoakan: Cinta yang sejati juga diwujudkan dalam doa-doa tulus untuk kebaikan pasangan di dunia dan akhirat.
Mawaddah adalah energi yang menggerakkan roda rumah tangga, menjadikannya penuh warna dan kehangatan.
7.3. Rahmah: Kasih Sayang dan Belas Kasih
Rahmah adalah kasih sayang, belas kasih, dan kepedulian yang melebihi cinta biasa. Ini adalah rasa iba dan keinginan untuk melindungi, yang muncul terutama saat pasangan sedang dalam kesulitan atau kelemahan. Rahmah adalah perekat yang menjaga rumah tangga tetap utuh di saat-saat sulit.
Rahmah terlihat dalam:
- Empati: Mampu merasakan apa yang dirasakan pasangan, dan berusaha memahami sudut pandangnya.
- Toleransi dan Kesabaran: Menghadapi kekurangan pasangan dengan kesabaran, tidak mudah marah atau menghakimi.
- Memberikan Dukungan di Masa Sulit: Menjadi sandaran bagi pasangan saat menghadapi masalah, baik finansial, kesehatan, maupun emosional.
- Pengorbanan Tanpa Pamrih: Memberikan yang terbaik untuk pasangan tanpa mengharapkan balasan.
- Mendidik dan Membimbing: Saling menasihati dalam kebaikan dan mengingatkan dalam kebenaran.
Rahmah adalah jaring pengaman yang menahan rumah tangga dari keruntuhan saat badai menerpa, mengubah kesulitan menjadi kekuatan, dan menjadikan hubungan semakin matang.
7.4. Pernikahan sebagai Ibadah Jangka Panjang
Pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang paling lama dan paling kompleks. Setiap interaksi antara suami istri, mulai dari ucapan lembut, sentuhan, hingga upaya mencari nafkah, dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar. Ia adalah ladang pahala yang tak terbatas.
Tujuan utama pernikahan adalah mencapai ridha Allah SWT, bukan hanya kebahagiaan duniawi semata. Dengan menempatkan Allah sebagai tujuan tertinggi, setiap permasalahan akan dihadapi dengan sabar, setiap kebahagiaan akan disyukuri, dan setiap tantangan akan menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Pasangan yang berijab bukan hanya mengikat janji di antara mereka, tetapi juga berjanji kepada Allah untuk membangun generasi yang bertakwa, memelihara syariat-Nya, dan mewujudkan keindahan Islam dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga. Ini adalah amanah yang besar, namun juga merupakan sumber kebahagiaan dan keberkahan yang tak terhingga.
Maka, perjalanan setelah ijab adalah tentang mempertahankan janji itu, menumbuhkan cinta dan kasih sayang, menciptakan ketenangan, dan terus berjuang di jalan Allah bersama-sama, hingga jannah-Nya yang abadi.
---
Dengan demikian, prosesi berijab atau ijab qabul adalah pintu gerbang menuju kehidupan pernikahan yang penuh makna dalam Islam. Ia adalah pernyataan suci yang menegaskan komitmen, mengubah status hukum, dan membuka lembaran baru yang dihiasi dengan harapan, tanggung jawab, dan cita-cita untuk mencapai ridha Allah SWT.
Memahami setiap detail, mulai dari pengertian ijab, rukun dan syarat, hingga prosesi pelaksanaannya, serta makna filosofis dari mahar dan peran wali serta saksi, adalah esensial bagi setiap Muslim yang akan melangkah ke jenjang pernikahan. Lebih dari itu, kesadaran akan tujuan pernikahan yang lebih besar – membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah – akan membimbing pasangan dalam mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga dengan bijaksana dan penuh berkah.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi mereka yang sedang merencanakan pernikahan, maupun bagi pasangan yang telah menikah, untuk selalu mengingat kembali kemuliaan dan kesakralan ikatan pernikahan dalam Islam.