Dalam memahami ajaran Islam yang begitu luas dan mendalam, seorang Muslim seringkali dihadapkan pada berbagai interpretasi dan pandangan hukum. Fenomena ini melahirkan konsep bertaklik, yaitu mengikuti pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mazhab tertentu dalam masalah-masalah furu' (cabang) agama. Konsep bertaklik bukan sekadar pilihan acak, melainkan sebuah metode yang telah berkembang dan menjadi bagian integral dari sejarah keilmuan Islam selama berabad-abad.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang bertaklik, mulai dari definisi, sejarah kemunculan mazhab, dalil-dalil pensyariatan, hukum-hukumnya, perbandingan dengan ijtihad, syarat-syarat, macam-macam taklik, pandangan ulama, hikmah dan manfaat, kritik dan mispersepsi, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Tujuan utama artikel ini adalah memberikan pemahaman yang komprehensif agar setiap Muslim dapat menyikapi praktik bertaklik dengan bijak dan benar, selaras dengan semangat ajaran Islam yang moderat dan toleran.
Kata "taklik" (تقليد) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata qallada (قلّد) yang berarti menaruh sesuatu di leher, menggantungkan, atau menyerahkan sesuatu kepada orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, ia juga bisa bermakna meniru, mencontoh, atau mengikuti tanpa mengetahui dalilnya secara rinci. Sebagai contoh, kalung yang melingkar di leher disebut qiladah, yang secara metaforis menunjukkan bahwa orang yang bertaklik seolah-olah mengalungkan fatwa atau pendapat seorang mujtahid di lehernya sebagai panduan.
Makna bahasa ini memberikan gambaran awal bahwa bertaklik melibatkan unsur kepercayaan dan penyerahan diri kepada otoritas tertentu, mirip seperti seseorang yang menyerahkan urusan kepada ahli dalam bidangnya.
Dalam terminologi syariat, definisi bertaklik sedikit berbeda tergantung pada mazhab dan ulama yang merumuskannya, namun intinya adalah sama. Berikut beberapa definisi yang populer:
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri utama dari bertaklik adalah adanya pengambilan pendapat tanpa kemampuan untuk menelaah dalil-dalil syar'i secara langsung dan mendalam. Ini membedakannya dari ijtihad, di mana seorang mujtahid harus mampu menggali hukum langsung dari Al-Quran dan Sunnah dengan metodologi yang ketat. Penting untuk dicatat bahwa istilah "tanpa mengetahui dalilnya" dalam konteks taklik tidak berarti mengabaikan dalil, melainkan merujuk pada ketidakmampuan individu yang bertaklik untuk melakukan proses penggalian dalil secara mandiri.
Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada konsep mazhab atau taklik sebagaimana yang kita kenal sekarang. Sumber hukum hanyalah Al-Quran dan Sunnah. Para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah untuk segala urusan. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat menjadi rujukan utama. Mereka melakukan ijtihad untuk masalah-masalah baru yang tidak ada nashnya. Masyarakat umum pada masa itu, jika dihadapkan pada masalah hukum, akan bertanya kepada sahabat yang memiliki ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang agama. Ini bisa dianggap sebagai bentuk awal dari `bertaklik`, yaitu mengikuti pendapat orang yang lebih berilmu, meskipun belum terinstitusionalisasi dalam bentuk mazhab.
Para sahabat pun tidak bertaklik satu sama lain secara membabi buta. Mereka terkadang berdiskusi, saling menguatkan, atau bahkan mengoreksi jika ada perbedaan pandangan. Namun, bagi masyarakat awam, mengikuti fatwa seorang sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas'ud, atau Ibnu Abbas adalah hal yang lumrah dan dibutuhkan.
Setelah era sahabat, jumlah masalah baru yang muncul semakin banyak seiring dengan meluasnya wilayah Islam dan kompleksitas kehidupan. Generasi Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in mulai muncul sebagai ulama-ulama besar yang memiliki kapasitas ijtihad. Mereka menghadapi tantangan baru dalam memahami dan menerapkan Al-Quran serta Sunnah.
Di masa inilah, muncullah metodologi-metodologi ijtihad yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh lokasi geografis (seperti mazhab ahli Hadits di Hijaz dan mazhab ahli Ra'yi di Irak), ketersediaan hadits, dan cara pandang terhadap sumber hukum. Perbedaan metodologi ini kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang dikenal luas.
Empat mazhab besar yang dominan dan bertahan hingga kini adalah:
Para pendiri mazhab ini tidak pernah memerintahkan pengikutnya untuk bertaklik kepada mereka secara buta. Justru, mereka mendorong murid-muridnya untuk belajar dan memahami dalil. Namun, seiring waktu, metode ijtihad yang kompleks dan kebutuhan masyarakat awam untuk mendapatkan pedoman hukum yang jelas, menyebabkan praktik bertaklik menjadi lazim.
Pada abad ke-4 Hijriah, muncul kecenderungan untuk membatasi ijtihad dan menggalakkan taklik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kekhawatiran akan kekacauan hukum akibat banyaknya ijtihad yang tidak berkualitas, keinginan untuk menjaga stabilitas hukum, dan konsolidasi ajaran mazhab-mazhab besar yang telah terbukukan dengan baik. Sejak saat itu, bertaklik kepada salah satu mazhab fiqh menjadi jalur utama bagi mayoritas Muslim untuk memahami dan mengamalkan syariat.
Meskipun Al-Quran dan Sunnah adalah sumber hukum utama, keduanya tidak secara eksplisit memerintahkan atau melarang praktik bertaklik. Namun, para ulama menyimpulkan kebolehan dan bahkan kewajiban bertaklik bagi sebagian orang berdasarkan beberapa dalil syar'i, baik dari Al-Quran maupun Sunnah, serta dari logika syar'i yang kuat.
Beberapa ayat Al-Quran mengisyaratkan pentingnya bertanya kepada ahli ilmu bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan:
Surat An-Nahl Ayat 43:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini adalah dalil paling fundamental bagi kebolehan bertaklik. "Ahl adz-Dzikr" (orang yang mempunyai pengetahuan) di sini merujuk kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Bagi orang awam yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, jalan terbaik untuk mengetahui hukum syariat adalah dengan bertanya kepada mereka yang ahli, yaitu para mujtahid atau ulama yang mengikuti mazhab. Ketika seorang awam menerima fatwa dari seorang ahli tanpa menanyakan dalilnya secara rinci (karena ia memang tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi dalil tersebut), inilah esensi dari bertaklik.
Surat An-Nisa Ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)
Meskipun ayat ini lebih fokus pada ketaatan kepada pemimpin, ulama menafsirkannya juga mencakup ketaatan kepada ulama yang merupakan "ulil amri" dalam bidang ilmu agama. Perintah untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasulullah adalah bagi mereka yang mampu melakukannya, yaitu para mujtahid. Bagi orang awam, cara mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah adalah dengan mengikuti penjelasan dari ulama yang berkapasitas dalam hal tersebut. Dengan kata lain, bertaklik kepada ulama yang telah mengembalikan perselisihan kepada Al-Quran dan Sunnah merupakan bentuk ketaatan bagi orang awam.
Hadits-hadits Nabi SAW juga memberikan landasan untuk pentingnya rujukan kepada ahli ilmu:
Hadits tentang Kewajiban Menuntut Ilmu dan Peran Ulama:
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah menjadikannya paham dalam agama." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan keutamaan pemahaman agama. Namun, tidak semua orang dianugerahi kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan melakukan ijtihad. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, jalan untuk meraih kebaikan ini adalah dengan bertaklik kepada mereka yang Allah berikan pemahaman. Ini menegaskan adanya diferensiasi peran dalam umat, di mana sebagian menjadi ahli dan sebagian lagi menjadi pengikut.
Hadits tentang Larangan Berfatwa Tanpa Ilmu:
"Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari manusia, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Apabila tidak tersisa seorang alim pun, maka manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara implisit menunjukkan bahaya bagi orang awam untuk berijtihad sendiri atau mengikuti orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu, pentingnya bertaklik kepada ulama yang memiliki ilmu yang sahih menjadi sangat relevan untuk menghindari kesesatan.
Selain dalil naqli (Al-Quran dan Sunnah), ada juga dalil aqli (logika) yang mendukung keharusan bertaklik bagi orang awam:
Ketidakmampuan Umum: Tidak semua Muslim memiliki kapasitas, waktu, dan sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu syar'i secara mendalam (nahwu, sharaf, balaghah, ushul fiqh, musthalah hadits, tafsir, dll.) yang dibutuhkan untuk melakukan ijtihad. Jika setiap Muslim diwajibkan berijtihad, maka kehidupan duniawi akan terganggu karena mereka tidak bisa fokus pada pekerjaan dan tanggung jawab lainnya.
Prinsip Kemudahan: Islam adalah agama yang mudah. Mewajibkan ijtihad kepada semua orang akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa, bertentangan dengan prinsip syariat yang menghendaki kemudahan bagi umat. Oleh karena itu, bagi mayoritas umat yang sibuk dengan urusan duniawi, bertaklik adalah jalan yang paling mudah dan praktis untuk mengamalkan syariat.
Menghindari Kekacauan: Jika setiap orang berijtihad sendiri tanpa ilmu, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan dalam praktik agama. Akan muncul fatwa-fatwa yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan syariat, yang pada akhirnya dapat merusak tatanan agama dan masyarakat. Bertaklik kepada mazhab yang telah teruji metodologinya dapat menjaga konsistensi dan stabilitas hukum.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil syar'i dan logika menunjukkan bahwa bertaklik merupakan sebuah keniscayaan dan bahkan kewajiban bagi orang awam dalam upaya mereka mengamalkan syariat Islam dengan benar dan tepat.
Hukum bertaklik tidak bersifat mutlak, melainkan bervariasi tergantung pada kondisi individu yang akan bertaklik. Para ulama membagi hukum taklik menjadi beberapa kategori:
Bertaklik menjadi wajib bagi mayoritas umat Islam, yaitu:
Kewajiban bertaklik ini adalah bentuk rahmat Allah agar setiap Muslim, tanpa memandang tingkat pendidikannya, dapat mengamalkan agamanya dengan tenang dan benar.
Bertaklik hukumnya jaiz atau dibolehkan dalam kondisi tertentu:
Ada beberapa bentuk bertaklik yang diharamkan dalam Islam:
Pemahaman yang jelas tentang hukum bertaklik ini sangat penting agar seorang Muslim dapat menempatkan dirinya secara proporsional dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, menghindari ekstremisme fanatik maupun sikap meremehkan ilmu ulama.
Memahami perbedaan mendasar antara taklik dan ijtihad sangat krusial untuk menempatkan kedua konsep ini dalam konteks yang benar. Keduanya adalah metode untuk mencapai hukum syariat, namun dengan pendekatan dan prasyarat yang sangat berbeda.
Ijtihad (اجتهاد) secara bahasa berarti mengerahkan segenap kemampuan. Dalam istilah syar'i, ijtihad adalah usaha maksimal seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) untuk menggali hukum syar'i dari dalil-dalilnya yang terperinci (Al-Quran, Sunnah, Ijma', Qiyas, dll.) dengan menggunakan metodologi yang telah ditetapkan oleh syariat. Hasil dari ijtihad adalah fatwa atau hukum yang diyakini paling mendekati kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Tabel berikut merangkum perbedaan antara taklik dan ijtihad:
| Aspek | Taklik | Ijtihad |
|---|---|---|
| Pelaku | Orang awam, atau mujtahid yang memilih tidak berijtihad dalam masalah tertentu. | Mujtahid (orang yang memiliki kapasitas ijtihad). |
| Pengetahuan Dalil | Tidak mengetahui dalil secara rinci dan metodologi penggalian hukumnya. Cukup tahu hukumnya saja. | Mengetahui dalil secara mendalam, memahami berbagai penafsiran, dan metode penggalian hukum. |
| Sumber Hukum | Mengikuti fatwa atau pendapat ulama/mazhab. | Menggali langsung dari Al-Quran dan Sunnah serta sumber-sumber syariat lainnya. |
| Tujuan | Mengamalkan syariat dengan benar sesuai petunjuk ahli. | Menentukan hukum syariat untuk masalah baru atau meninjau hukum lama. |
| Kewajiban | Wajib bagi orang awam. | Fardhu kifayah bagi umat Islam (ada yang harus melaksanakannya). |
| Kemungkinan Salah | Mungkin salah jika mujtahid yang ditaklidi salah, namun tidak berdosa jika ia sudah berusaha memilih yang terbaik. | Mujtahid yang benar ijtihadnya mendapat dua pahala, yang salah mendapat satu pahala (jika telah mengerahkan seluruh kemampuannya). |
Taklik dan ijtihad bukan dua hal yang saling bertentangan secara mutlak. Keduanya saling melengkapi dalam sistem hukum Islam. Ijtihad adalah motor penggerak keilmuan yang menghasilkan fatwa dan hukum. Sementara bertaklik adalah cara mayoritas umat untuk mengakses dan mengamalkan hukum-hukum tersebut. Tanpa ijtihad, tidak akan ada fatwa untuk ditaklidi. Tanpa taklik, hasil ijtihad para ulama tidak akan sampai dan teramalkan oleh umat secara luas.
Penting untuk diingat bahwa seorang Muslim harus tahu posisinya. Jika ia seorang awam, ia wajib bertaklik. Jika ia seorang mujtahid, ia wajib berijtihad. Jika ia seorang penuntut ilmu (thalibul ilm) yang sedang dalam proses memahami dalil, ia berada di antara keduanya, ia bertaklik dalam banyak hal namun juga belajar untuk memahami dalil sehingga kelak ia bisa bertaklik dengan lebih sadar (taklik basirah) atau bahkan berijtihad dalam masalah-masalah tertentu.
Agar praktik bertaklik menjadi sah dan bermanfaat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini bertujuan untuk memastikan bahwa seorang Muslim bertaklik dengan cara yang benar dan bertanggung jawab, bukan sekadar ikut-ikutan atau mencari-cari kemudahan belaka.
Tidak Memiliki Kapasitas Ijtihad: Ini adalah syarat paling fundamental. Orang yang bertaklik adalah mereka yang tidak memiliki kelengkapan ilmu dan metodologi untuk melakukan ijtihad sendiri. Jika seseorang sudah mencapai derajat mujtahid, ia haram bertaklik kepada mujtahid lain, kecuali dalam keadaan khusus seperti yang telah dijelaskan.
Bukan dalam Masalah Ushuluddin (Akidah): Seperti yang telah dibahas, dalam masalah akidah yang fundamental, setiap Muslim wajib memiliki keyakinan yang didasarkan pada dalil, meskipun tidak harus sedalam ulama. Bertaklik buta dalam akidah tidaklah cukup.
Tidak Mengetahui Dalil yang Kuat Bertentangan: Jika seorang Muslim, meskipun awam, secara kebetulan mengetahui ada dalil yang jelas dan kuat (dari Al-Quran atau Sunnah yang sahih) yang bertentangan dengan pendapat mazhab yang ia taklidi, maka ia tidak boleh terus bertaklik pada pendapat tersebut. Ia wajib mengikuti dalil yang lebih kuat jika ia mampu memahaminya, atau bertanya kepada ulama lain yang menjelaskan dalil tersebut.
Tidak Bertujuan Mencari-Cari Kemudahan (Talafuq Tercela): Bertaklik tidak boleh didasari oleh niat untuk sekadar mengikuti hawa nafsu atau mencari-cari keringanan dari berbagai mazhab (talafuq) tanpa dasar syar'i yang kuat. Misalnya, dalam satu transaksi ia mengambil pendapat satu mazhab yang membolehkan, lalu dalam transaksi serupa yang lain ia mengambil pendapat mazhab lain yang membolehkan, padahal kedua pendapat itu tidak dapat digabungkan secara syar'i, hanya karena ingin menghindari kewajiban.
Tidak Melakukan Taklik Setelah Peristiwa (Ba'da al-Waqi'): Maksudnya, seseorang tidak boleh bertaklik untuk membenarkan perbuatan yang telah ia lakukan, padahal perbuatan itu jelas-jelas tidak sah menurut mazhab yang ia ikuti atau mayoritas ulama. Bertaklik seharusnya dilakukan sebelum beramal untuk mengetahui hukumnya.
Harus Seorang Mujtahid: Pendapat yang ditaklidi harus berasal dari seorang ulama yang memang memiliki kapasitas ijtihad yang diakui. Bukan dari sembarang orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup.
Hidup atau Pendapatnya Terdokumentasi: Ulama yang ditaklidi bisa jadi masih hidup atau telah wafat. Jika wafat, pendapatnya harus tercatat dan terbukukan dengan baik dalam kitab-kitab mazhab yang sahih.
Pendapatnya Jelas dan Terang: Fatwa atau pendapat yang akan ditaklidi harus jelas dan tidak ambigu, sehingga orang yang bertaklik tidak kebingungan dalam mengamalkannya.
Bukan Mujtahid yang Berubah Pendapatnya: Jika seorang mujtahid memiliki beberapa pendapat dalam suatu masalah (misalnya, qaul qadim dan qaul jadid), maka yang ditaklidi adalah pendapat yang paling terakhir atau yang paling kuat menurut penelitian para pengikut mazhabnya.
Bagi orang awam, tidak ada kewajiban untuk mengikuti satu mazhab tertentu saja seumur hidup (taklik syakhsi), meskipun ini adalah praktik yang lazim dan dianjurkan untuk menjaga konsistensi. Yang terpenting adalah:
Memenuhi syarat-syarat ini akan membantu seorang Muslim dalam bertaklik secara bijak, bertanggung jawab, dan mendapatkan keberkahan dari ilmunya para ulama.
Bertaklik dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis berdasarkan aspek-aspek tertentu. Pemahaman tentang macam-macam taklik ini penting untuk menyikapi praktik bertaklik dengan lebih nuansa dan tidak menyamaratakan semua bentuk taklik.
Ini adalah bentuk bertaklik yang tercela. Taklik a'ma berarti mengikuti pendapat seseorang tanpa dasar pengetahuan sama sekali, tanpa mempertimbangkan dalil, dan tanpa peduli apakah pendapat tersebut benar atau salah. Orang yang melakukan taklik a'ma tidak memiliki keinginan untuk belajar atau memahami, bahkan jika ia mengetahui ada dalil yang lebih kuat atau bertentangan. Taklik jenis ini dilarang karena dapat menjerumuskan pada kebodohan, fanatisme mazhab yang berlebihan, dan bahkan kesesatan.
Contoh: Mengikuti semua yang dikatakan oleh seorang "ustaz" tanpa kritis, bahkan jika ustaz tersebut dikenal tidak memiliki kompetensi keilmuan yang memadai atau fatwanya jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah baku.
Ini adalah bentuk bertaklik yang dianjurkan dan terpuji. Taklik basirah berarti mengikuti pendapat seorang mujtahid atau mazhab setelah memiliki sedikit pemahaman tentang dasar-dasar dalil, atau setelah yakin akan kompetensi dan keilmuan ulama yang ditaklidinya. Meskipun ia tidak mampu menggali dalil secara mendalam layaknya seorang mujtahid, ia memiliki pengetahuan dasar yang memungkinkannya membedakan antara ulama yang kompeten dan yang tidak, atau antara pendapat yang kuat dan yang sangat lemah.
Seorang Muslim yang bertaklik basirah akan berusaha mencari ulama yang kredibel, membaca penjelasan tentang alasan-alasan di balik suatu hukum (meskipun tidak sampai ke tingkat dalil terperinci), dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat jika ada argumen yang kuat. Ini adalah ideal bagi mayoritas orang awam yang ingin bertaklik secara bertanggung jawab.
Contoh: Seorang Muslim yang rajin membaca buku-buku fiqh dari mazhab tertentu, memahami dasar-dasar pemikirannya, dan memilih untuk mengikutinya karena keyakinan akan soliditas mazhab tersebut, meskipun ia tidak bisa melakukan ijtihad sendiri.
Ini adalah bentuk bertaklik di mana seorang Muslim mengikatkan diri untuk secara konsisten mengikuti satu mazhab tertentu (misalnya, Mazhab Syafi'i) dalam seluruh aspek ibadah dan muamalahnya. Ini adalah praktik yang sangat umum dan dianjurkan oleh banyak ulama, terutama bagi orang awam. Tujuannya adalah untuk menciptakan konsistensi dalam praktik beragama, memudahkan pembelajaran fiqh, dan menghindari kebingungan akibat terlalu sering berpindah-pindah mazhab.
Meskipun disebut taklik syakhsi, bukan berarti ia haram berpindah mazhab jika ada kebutuhan syar'i atau menemukan dalil yang lebih kuat (bagi yang mampu menilainya). Namun, prinsipnya adalah konsistensi.
Ini adalah bentuk bertaklik di mana seorang Muslim tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu saja, melainkan mengikuti pendapat ulama atau mazhab yang dianggap paling kuat dalilnya dalam suatu masalah, atau mengikuti pendapat yang paling cocok untuk kondisi tertentu setelah berkonsultasi dengan ulama. Bentuk taklik ini sering disebut dengan ittiba' oleh sebagian ulama, yaitu mengikuti dalil yang paling kuat tanpa terikat pada satu mazhab. Namun, bagi orang awam, ittiba' sejati (mampu menimbang dalil) sulit dilakukan. Oleh karena itu, taklik ghairu syakhsi bagi awam tetap berarti bertaklik kepada ulama yang mampu menimbang dalil, bukan ia sendiri yang menimbangnya.
Praktik ini lebih umum di kalangan penuntut ilmu yang memiliki kemampuan untuk menimbang-nimbang dalil antar mazhab, atau di kalangan masyarakat di mana tidak ada dominasi satu mazhab tertentu, sehingga mereka cenderung mengambil pendapat ulama kontemporer yang diyakini ilmunya.
Ini adalah area utama di mana bertaklik diperbolehkan dan bahkan diwajibkan bagi orang awam. Masalah furu' adalah masalah-masalah hukum praktis dalam ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan lain-lain, di mana terdapat kemungkinan perbedaan pendapat di antara para mujtahid karena perbedaan dalam penafsiran dalil, ketersediaan hadits, atau metode istinbath (penggalian hukum).
Seperti yang telah dijelaskan, bertaklik buta dalam masalah ushuluddin (akidah) adalah haram. Setiap Muslim wajib beriman dan meyakini pokok-pokok akidah berdasarkan dalil, meskipun tidak perlu mengetahui dalilnya secara rinci layaknya seorang ulama. Keyakinan harus berdasarkan pemahaman, bukan sekadar ikut-ikutan.
Dengan memahami berbagai macam taklik ini, seorang Muslim diharapkan dapat memilih bentuk bertaklik yang paling tepat untuk dirinya, sesuai dengan kapasitas ilmunya, dan tetap berada dalam koridor syariat yang benar.
Sejak kemunculan mazhab-mazhab fiqh, para ulama memiliki beragam pandangan mengenai praktik bertaklik. Meskipun sebagian besar sepakat tentang keharusannya bagi orang awam, ada perbedaan nuansa dan batasan yang mereka tetapkan.
Para Imam Mazhab sendiri, meskipun menjadi rujukan utama taklik, sejatinya tidak pernah memerintahkan pengikutnya untuk bertaklik secara buta. Justru, mereka dikenal mendorong murid-muridnya untuk menggali ilmu dan memahami dalil:
Imam Abu Hanifah (w. 150 H): Beliau berkata, "Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil perkataan kami jika ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya." Ini menunjukkan bahwa ia mengharapkan pengikutnya memahami sumber hukum. Namun, beliau juga dikenal dengan perkataannya, "Jika tidak ada nash (dalil) maka kami berijtihad dengan ra'yu kami."
Imam Malik bin Anas (w. 179 H): Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam berfatwa dan selalu merujuk pada amalan penduduk Madinah. Beliau berkata, "Setiap orang bisa diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali penghuni kubur ini (yakni Rasulullah SAW)." Ini adalah isyarat jelas bahwa pendapat siapa pun, termasuk dirinya, tidak boleh diikuti secara mutlak tanpa verifikasi.
Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H): Beliau adalah ulama yang paling tegas dalam hal ini. Beliau berkata, "Jika ada hadits shahih, maka itu adalah mazhabku." Dan juga, "Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah Sunnah dan tinggalkan perkataanku." Ini adalah indikasi kuat bahwa prioritas utama adalah Sunnah Nabi, bukan pendapat beliau. Bagi orang yang mampu memahami hadits, ia harus mengikuti hadits tersebut meskipun bertentangan dengan pendapat Syafi'i.
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Beliau melarang murid-muridnya untuk bertaklik buta. Beliau berkata, "Janganlah kamu bertaklik kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi'i, Al-Auza'i, dan Ats-Tsauri. Ambillah dari sumber mereka mengambil." Ini menunjukkan dorongan agar penuntut ilmu mencari dalil langsung.
Dari perkataan para imam ini, jelas bahwa mereka tidak menghendaki taklik a'ma. Namun, seruan mereka ini ditujukan kepada para penuntut ilmu yang memiliki kapasitas untuk memahami dalil, bukan kepada orang awam yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Bagi orang awam, pilihan untuk bertaklik kepada mazhab mereka adalah jalan yang disyariatkan.
Jumhur ulama, baik klasik maupun kontemporer, sepakat bahwa bertaklik adalah wajib bagi orang awam (yang tidak memiliki kapasitas ijtihad). Mereka berdalil dengan QS. An-Nahl: 43 ("bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui") dan dalil-dalil lain yang menunjukkan kemudahan dalam agama serta bahaya berfatwa tanpa ilmu. Bagi mereka, bertaklik merupakan pintu bagi mayoritas umat untuk dapat mengamalkan syariat tanpa harus menjadi ahli fiqh.
Mereka juga menganjurkan untuk bertaklik kepada salah satu dari empat mazhab fiqh yang telah terbukukan dengan rapi dan teruji keilmuannya. Beberapa ulama bahkan mewajibkan taklik syakhsi (mengikuti satu mazhab secara konsisten) bagi awam untuk menghindari kebingungan dan inkonsistensi.
Ada pula ulama yang sangat keras dalam menolak taklik a'ma dan sangat menekankan ittiba' (mengikuti dalil yang terkuat). Tokoh-tokoh seperti Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, Imam Asy-Syaukani, dan sebagian ulama dari gerakan Salafi kontemporer, sangat menentang taklik buta dan menyeru umat untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah secara langsung. Mereka berpendapat bahwa setiap Muslim, sejauh kemampuannya, harus berusaha memahami dalil.
Namun, perlu dicatat bahwa seruan ini seringkali ditujukan kepada mereka yang memiliki sedikit kapasitas ilmu untuk menimbang dalil, bukan kepada orang awam total. Bagi awam yang tidak memiliki kemampuan memahami dalil secara langsung, mereka tetap harus bertaklik, tetapi dengan memilih ulama yang dikenal mengedepankan dalil dan jauh dari fanatisme.
Pandangan yang lebih moderat mencoba mengharmonisasi kedua kutub ini. Mereka mengakui bahwa bertaklik adalah keniscayaan bagi orang awam dan kemaslahatan bagi umat. Namun, mereka juga menekankan pentingnya taklik basirah (taklik dengan wawasan) dan tidak terjebak pada taklik a'ma yang tercela. Mereka menyarankan agar orang awam:
Pandangan moderat ini mencoba mengambil manfaat dari tradisi mazhab yang kaya, sekaligus menjaga semangat untuk selalu kembali kepada dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah, serta menghindari kekakuan dan fanatisme yang bisa memecah belah umat. Bagi mereka, bertaklik adalah jembatan yang menghubungkan umat dengan kekayaan ilmu para ulama mujtahid.
Praktik bertaklik yang telah mengakar dalam sejarah Islam selama berabad-abad tentu memiliki hikmah dan manfaat yang besar bagi umat, terutama bagi mayoritas Muslim yang bukan ahli dalam ilmu agama. Beberapa hikmah dan manfaat tersebut antara lain:
Ini adalah manfaat paling nyata dari bertaklik. Tidak semua Muslim memiliki waktu, kemampuan, dan sumber daya untuk mempelajari seluruh ilmu-ilmu yang diperlukan untuk ijtihad (seperti bahasa Arab, ushul fiqh, musthalah hadits, tafsir, dll.). Jika setiap individu diwajibkan berijtihad, maka kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat sulit, dan mayoritas umat akan kesulitan mengamalkan syariat dengan benar. Bertaklik menyediakan jalan pintas yang aman dan teruji untuk mengamalkan ajaran agama, sehingga umat dapat fokus pada kewajiban duniawi mereka sambil tetap beribadah dengan benar.
Adanya mazhab-mazhab yang diakui dan diikuti oleh jutaan Muslim di seluruh dunia membantu menjaga kesatuan umat dalam pemahaman dan praktik agama. Meskipun ada perbedaan furu' (cabang), namun dalam kerangka mazhab, ada keteraturan dan sistematisasi hukum yang jelas. Jika setiap orang berijtihad sendiri tanpa ilmu, akan terjadi kekacauan dan kebingungan, yang bisa mengarah pada perpecahan umat.
Mazhab-mazhab fiqh telah mengumpulkan, mengkategorikan, dan menganalisis jutaan dalil dari Al-Quran dan Sunnah, serta mengembangkan metodologi yang canggih untuk istinbath hukum. Karya-karya monumental yang dihasilkan oleh para ulama mazhab adalah warisan tak ternilai yang memudahkan generasi berikutnya untuk belajar dan memahami syariat. Bertaklik kepada mazhab berarti memanfaatkan dan melestarikan kekayaan intelektual ini.
Proses ijtihad adalah pekerjaan yang sangat berat dan membutuhkan keahlian luar biasa. Jika dilakukan oleh orang yang tidak kompeten, sangat besar kemungkinan terjadi kesalahan fatal dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Dengan bertaklik kepada ulama mujtahid yang telah diakui keilmuannya, seorang Muslim meminimalkan risiko terjebak dalam penafsiran yang keliru dan menyimpang.
Bertaklik mengajarkan seorang Muslim untuk mengakui keterbatasan pengetahuannya dan menghargai kedalaman ilmu para ulama. Ini menumbuhkan sikap tawadhu' di hadapan ilmu dan menghilangkan kesombongan yang bisa membuat seseorang merasa mampu berijtihad padahal tidak.
Bagi orang awam, mengetahui bahwa mereka mengikuti pendapat ulama besar yang telah berijtihad dengan sungguh-sungguh memberikan rasa aman dan ketenangan dalam beribadah. Mereka yakin bahwa amalan mereka sudah sesuai dengan syariat, karena telah dikaji dan diverifikasi oleh ahli di bidangnya.
Meskipun bertaklik, seorang Muslim tidak dilarang untuk belajar. Justru, dengan bertaklik kepada mazhab, ia memiliki kerangka kerja untuk memulai belajar fiqh. Ia bisa memahami alasan-alasan di balik hukum-hukum mazhab, sehingga takliknya menjadi taklik basirah (dengan wawasan), yang mana itu adalah langkah awal menuju pemahaman agama yang lebih mendalam.
Manfaat-manfaat ini menunjukkan bahwa bertaklik, apabila dilakukan dengan benar dan tidak jatuh ke dalam taklik a'ma yang tercela, adalah mekanisme yang sangat fungsional dan maslahat bagi kehidupan beragama umat Islam.
Meskipun praktik bertaklik memiliki banyak manfaat dan menjadi bagian integral dari sejarah keilmuan Islam, tidak jarang muncul kritik dan mispersepsi terhadapnya. Penting untuk mengklarifikasi hal-hal ini agar pemahaman kita tentang taklik menjadi lebih seimbang.
Kritik: Beberapa pihak menganggap bahwa bertaklik berarti membeku pada pemikiran masa lalu, menutup pintu ijtihad, dan menghambat kemajuan serta inovasi dalam fiqh Islam untuk menjawab tantangan zaman. Mereka berpendapat bahwa ini menyebabkan umat Islam tertinggal.
Klarifikasi: Anggapan ini adalah mispersepsi. Bertaklik adalah kewajiban bagi orang awam, bukan untuk para mujtahid. Pintu ijtihad tidak pernah ditutup bagi mereka yang memenuhi syarat. Justru, dalam setiap mazhab selalu ada ulama yang melakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) atau takhrij (mengembangkan pendapat sesuai prinsip mazhab) untuk masalah-masalah baru. Selain itu, ijtihad kolektif oleh lembaga-lembaga fatwa kontemporer juga terus berjalan. Bertaklik bagi awam justru menciptakan stabilitas yang memungkinkan para mujtahid berfokus pada ijtihad yang mendalam, bukan kekacauan yang menghambat kemajuan.
Kritik: Ada kekhawatiran bahwa dengan bertaklik kepada mazhab, seorang Muslim seolah-olah mengabaikan Al-Quran dan Sunnah, dan hanya mengikuti perkataan manusia (imam mazhab) saja.
Klarifikasi: Ini adalah mispersepsi serius. Mazhab-mazhab fiqh dibangun di atas Al-Quran dan Sunnah. Para imam mazhab mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk memahami dan menggali hukum dari kedua sumber utama ini. Mengikuti mazhab berarti mengikuti pemahaman yang sistematis dan teruji tentang Al-Quran dan Sunnah, yang diformulasikan oleh ulama yang paling mumpuni. Bagi orang awam, bertaklik kepada mazhab adalah cara terbaik dan paling aman untuk mengamalkan Al-Quran dan Sunnah, karena mereka sendiri tidak mampu melakukannya secara langsung.
Kritik: Banyak yang mengeluhkan bahwa bertaklik menyebabkan fanatisme yang berlebihan terhadap satu mazhab, sehingga pengikut mazhab tertentu merendahkan mazhab lain dan menolak kebenaran yang datang dari luar mazhabnya.
Klarifikasi: Fanatisme mazhab adalah penyimpangan dari tujuan asli bertaklik, bukan esensinya. Islam mengajarkan toleransi dan menghargai perbedaan pendapat selama masih dalam koridor syar'i. Para imam mazhab sendiri sangat menghargai satu sama lain dan tidak menganjurkan fanatisme. Sikap fanatik ini muncul karena kebodohan atau pemahaman yang sempit, bukan karena konsep taklik itu sendiri. Bertaklik yang benar adalah taklik basirah, yang terbuka terhadap ilmu dan toleran terhadap perbedaan.
Kritik: Sebagian menganggap bahwa bertaklik adalah tindakan tanpa menggunakan akal, hanya ikut-ikutan buta.
Klarifikasi: Ini tidak sepenuhnya benar. Bagi orang awam, bertaklik adalah penggunaan akal yang paling rasional. Mengapa? Karena akal sehat akan memerintahkan seseorang yang tidak ahli dalam suatu bidang untuk bertanya dan mengikuti petunjuk ahli di bidang tersebut. Akal sehat tidak akan menyuruh seorang awam di bidang kedokteran untuk mengobati dirinya sendiri tanpa konsultasi dokter. Demikian pula dalam agama. Mengikuti ulama yang berilmu adalah wujud penggunaan akal yang bijaksana. Tentu saja, ini dengan syarat bahwa yang ditaklidi adalah ulama yang kompeten dan kredibel.
Kritik: Anggapan bahwa dengan bertaklik, seorang Muslim tidak perlu lagi bertanggung jawab atas amalnya karena sudah mengikuti ulama.
Klarifikasi: Ini salah. Bertaklik tidak menghilangkan tanggung jawab individu. Setiap Muslim tetap bertanggung jawab atas pilihan takliknya, yaitu memilih ulama atau mazhab yang kompeten dan terpercaya. Jika ia bertaklik kepada orang yang jelas-jelas tidak berilmu atau kepada pendapat yang menyimpang, maka ia berdosa. Tanggung jawab individu tetap ada dalam usaha mencari kebenaran sesuai kapasitasnya.
Dengan memahami klarifikasi terhadap kritik dan mispersepsi ini, diharapkan umat Islam dapat memandang praktik bertaklik dengan lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Di era modern yang serba cepat dan informasi melimpah, konsep bertaklik menghadapi tantangan dan dinamika baru. Globalisasi, akses mudah terhadap informasi (termasuk informasi agama yang beragam dan seringkali kontradiktif), serta munculnya berbagai gerakan dan dai, mengubah lanskap praktik taklik.
Akses internet dan media sosial telah membuat setiap orang dapat "mendengar" fatwa dari berbagai ulama dan bahkan orang yang mengaku ulama, dari berbagai mazhab dan latar belakang pemikiran. Hal ini menciptakan tantangan:
Dalam menghadapi tantangan ini, peran lembaga fatwa seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU) dengan bahtsul masail-nya, dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih-nya, menjadi sangat penting. Mereka seringkali melakukan ijtihad kolektif atau tarjih (memilih pendapat terkuat dari mazhab-mazhab) untuk masalah-masalah kontemporer yang relevan dengan masyarakat. Bagi orang awam di Indonesia, bertaklik kepada keputusan lembaga-lembaga fatwa resmi ini adalah bentuk taklik yang sangat dianjurkan dan relevan.
Ulama kontemporer yang memiliki keilmuan mendalam juga memiliki peran krusial dalam memberikan pencerahan kepada umat. Mereka tidak hanya menyampaikan hukum, tetapi juga menjelaskan dalil dan metodologi di balik hukum tersebut, sehingga umat dapat bertaklik dengan basirah.
Di era kontemporer ini, bertaklik a'ma (buta) menjadi semakin berbahaya. Oleh karena itu, penekanan pada taklik basirah (dengan wawasan) menjadi sangat vital. Seorang Muslim, meskipun awam, perlu berusaha:
Bertaklik tetap relevan dan dibutuhkan. Namun, bentuk taklik yang ideal di era kontemporer adalah taklik basirah, di mana seorang Muslim mengikuti ulama atau mazhab dengan pengetahuan dan kesadaran, bukan dengan kebodohan atau fanatisme. Ini adalah jalan tengah yang menjaga stabilitas agama dan sekaligus mendorong umat untuk terus belajar.
Setelah memahami berbagai aspek tentang bertaklik, pertanyaan penting selanjutnya adalah bagaimana seorang Muslim seharusnya mempraktikkan taklik dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah panduan praktis:
Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri tentang tingkat pengetahuan dan kapasitas keilmuan. Apakah Anda seorang mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari Al-Quran dan Sunnah dengan segala perangkat ilmunya? Atau seorang penuntut ilmu yang sedang dalam proses memahami dalil? Atau seorang awam yang belum memiliki kemampuan tersebut?
Bagi orang awam, sangat dianjurkan untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqh yang populer (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) karena keilmuan dan metodologinya telah teruji dan terbukukan dengan rapi selama berabad-abad. Anda bisa memilih mazhab yang dominan di lingkungan Anda atau yang Anda merasa nyaman dengan sistematisasi fatwanya.
Jika Anda memilih untuk tidak secara spesifik mengikuti satu mazhab, pastikan ulama yang Anda taklidi adalah ulama yang kompeten, moderat, memiliki sanad ilmu yang jelas, dan dikenal mengedepankan dalil dalam fatwanya. Hindari mengikuti orang yang mengaku ulama tanpa kapasitas, atau yang dikenal menyebarkan ajaran ekstrem.
Meskipun bertaklik, jangan berhenti belajar. Usahakan untuk memahami mengapa ulama berpendapat demikian, apa hikmah di baliknya, dan dalil-dalil apa yang digunakan (meskipun tidak sampai ke tingkat penelaahan dalil secara mendalam). Ini akan membuat taklik Anda lebih kokoh dan tidak mudah goyah. Belajarlah dari buku-buku fiqh yang terpercaya atau penjelasan ulama yang otoritatif.
Jangan pernah bertaklik secara buta tanpa sedikitpun usaha memahami dan tidak peduli dengan kebenaran. Jangan pula sengaja mencari-cari keringanan dari berbagai mazhab hanya untuk menghindari kewajiban syar'i atau menuruti hawa nafsu.
Ketika dihadapkan pada masalah baru atau yang tidak Anda pahami, jangan ragu untuk bertanya kepada ulama atau asatidz yang Anda percayai keilmuannya. Ini adalah inti dari bertaklik yang benar.
Dengan menerapkan panduan ini, seorang Muslim dapat mempraktikkan bertaklik dengan cara yang bertanggung jawab, mendapatkan keberkahan dari ilmu para ulama, dan mengamalkan ajaran Islam secara konsisten dan tenang.
Dari pembahasan yang panjang ini, jelaslah bahwa bertaklik bukanlah sekadar praktik biasa, melainkan sebuah pilar penting dalam struktur keberagamaan umat Islam, terutama bagi mayoritas mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad secara mandiri. Konsep ini muncul dan berkembang sebagai respons alami terhadap kebutuhan umat untuk memahami dan mengamalkan syariat Islam yang kompleks, pasca wafatnya Rasulullah SAW dan berakhirnya era wahyu.
Bertaklik, ketika dilakukan dengan benar, adalah manifestasi dari prinsip kemudahan (taisir) dalam Islam, yang memungkinkan setiap Muslim, terlepas dari tingkat keilmuannya, untuk menjalankan kewajiban agamanya dengan keyakinan dan ketenangan. Ia bukan bentuk kemalasan intelektual, melainkan pengakuan akan batas kemampuan diri dan penghargaan terhadap kedalaman ilmu para ulama mujtahid yang telah mencurahkan hidup mereka untuk memahami dan menggali hukum dari sumber-sumber syar'i yang otentik, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Mazhab-mazhab fiqh, yang merupakan hasil kristalisasi ijtihad ribuan ulama selama berabad-abad, adalah warisan intelektual yang tak ternilai harganya. Bertaklik kepada mazhab yang sahih berarti memanfaatkan kekayaan ilmu ini, menjaga konsistensi dalam beramal, serta menghindari kekacauan dan kesesatan yang mungkin timbul jika setiap individu berijtihad sendiri tanpa ilmu yang memadai. Ini juga merupakan cara untuk menjaga persatuan umat dalam kerangka perbedaan pendapat yang sah (ikhtilaf) dalam masalah cabang.
Namun demikian, praktik bertaklik juga harus dijaga dari penyimpangan, terutama taklik a'ma (taklik buta) dan fanatisme mazhab. Seorang Muslim yang bijak akan selalu berusaha untuk bertaklik basirah, yaitu bertaklik dengan wawasan dan pemahaman, mengenali ulama yang kredibel, serta bersikap terbuka terhadap ilmu dan toleran terhadap perbedaan. Di era kontemporer yang penuh dengan informasi, kemampuan untuk memilah dan memilih rujukan yang sahih menjadi semakin krusial.
Pada akhirnya, tujuan utama dari bertaklik adalah untuk mencapai ridha Allah SWT dengan mengamalkan syariat-Nya sebaik mungkin. Dengan memahami hakikat taklik, seorang Muslim dapat menempatkan dirinya secara proporsional dalam peta keilmuan Islam, mengambil manfaat dari kerja keras para ulama, dan menjalani kehidupannya dengan bimbingan agama yang kokoh dan penuh berkah. Semoga artikel ini dapat memberikan pencerahan dan panduan bagi umat Islam dalam menyikapi praktik bertaklik dengan penuh tanggung jawab dan hikmah.