Dalam khazanah keilmuan dan praktik spiritual umat Islam, konsep bertawasul senantiasa menjadi salah satu topik yang paling sering dibahas, diperdebatkan, dan terkadang menimbulkan kesalahpahaman. Ia adalah sebuah praktik yang menyentuh inti dari hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah jembatan yang dicari sebagian orang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, kerumitan dan sensitivitasnya terletak pada penafsiran dan batasan-batasannya, yang memunculkan beragam pandangan di kalangan ulama dan umat dari masa ke masa.
Berta wasul bukan sekadar tindakan ritual belaka, melainkan sebuah manifestasi dari keyakinan, harapan, dan kerendahan hati. Ia mengundang pertanyaan fundamental tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya berinteraksi dengan kebesaran Ilahi, apakah melalui jalur langsung ataukah ada "perantara" yang dibenarkan syariat. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk tawassul, mulai dari akar katanya, landasan syar'i, jenis-jenisnya yang disepakati maupun yang diperselisihkan, hingga hikmah dan adab dalam melaksanakannya, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan seimbang bagi pembaca.
Kata "wasilah" (الوَسيلة) berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah memiliki beberapa makna. Kamus-kamus bahasa Arab klasik seperti Lisan al-Arab oleh Ibnu Manzur menjelaskan bahwa wasilah berarti:
Dalam konteks yang lebih umum, wasilah merujuk pada segala sesuatu yang menjadi jalan, sarana, atau perantara untuk mencapai suatu tujuan. Ketika seseorang mencari wasilah, ia sedang mencari cara atau metode untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
Dalam terminologi syar'i (agama), makna wasilah menjadi lebih spesifik. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ"Ya ayyuhalladzīna āmanuttaqullāha wabtaghū ilaihil-wasīlata wajāhidū fī sabīlihī la'allakum tuflikhūn."
Terjemahan: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 35)
Ayat ini menjadi landasan utama dalam pembahasan tentang wasilah. Para ulama tafsir memiliki berbagai pandangan mengenai makna "wasilah" dalam ayat ini:
Adapun bertawasul (التَّوَسُّلُ) adalah bentuk masdar dari fi'il (kata kerja) tawassala-yatawassalu, yang berarti mencari wasilah atau mengambil sesuatu sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk mencapai suatu tujuan di sisi-Nya. Secara syar'i, tawassul adalah menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa atau permohonan kita dikabulkan oleh Allah SWT, atau agar kita mendapatkan manfaat tertentu dari-Nya.
Perbedaan utama antara wasilah dan tawassul adalah: wasilah adalah sarana itu sendiri, sedangkan tawassul adalah tindakan mencari atau menggunakan sarana tersebut. Intinya, tawassul adalah upaya seorang Muslim untuk mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara yang dianggap memiliki nilai atau kedudukan di sisi Allah.
Untuk memahami tawassul secara komprehensif, penting untuk menelaah dalil-dalil dari sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah (Hadis Nabi ﷺ). Dalil-dalil ini menjadi dasar bagi para ulama untuk menyimpulkan hukum dan jenis-jenis tawassul.
Selain QS. Al-Ma'idah: 35 yang telah disebutkan, ada beberapa ayat lain yang relevan, meskipun penafsirannya juga menjadi titik perdebatan dalam konteks tawassul yang lebih luas.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا"Ulā'ikalladzīna yad'ūna yabtaghūna ilā rabbihimul-wasīlata ayyuhum aqrabu wayarjunā raḥmatahū wayakhāfūna 'adzābahū. Inna 'adzāba rabbika kāna maḥdzūrā."
Terjemahan: "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al-Isra': 57)
Ayat ini berbicara tentang sebagian orang musyrik yang menyembah selain Allah, seperti para malaikat atau orang-orang saleh, yang pada hakikatnya para malaikat dan orang saleh itu sendiri justru beribadah dan mencari kedekatan kepada Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan makhluk-makhluk yang mulia pun berwasilah kepada Allah, dalam artian mereka mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah. Ini menguatkan pemahaman bahwa wasilah primer adalah ketaatan dan amal saleh.
Interpretasi ayat-ayat ini menjadi krusial. Sebagian ulama berpendapat bahwa "wasilah" dalam Al-Quran selalu merujuk pada amal saleh dan ketaatan kepada Allah secara langsung. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa ayat-ayat ini membuka pintu untuk memahami wasilah dalam bentuk yang lebih luas, termasuk perantara yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, selama itu tidak mengarah pada penyembahan perantara tersebut.
Terdapat banyak hadis yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan konsep tawassul. Hadis-hadis ini dapat dikategorikan berdasarkan jenis tawassul yang ditunjukkan.
Hadis yang paling masyhur dalam kategori ini adalah kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Ada tiga orang dari umat sebelum kalian keluar (bepergian). Lalu hujan pun turun dan mereka berteduh di sebuah gua. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dan menutup pintu gua, sehingga mereka tidak bisa keluar. Salah seorang di antara mereka berkata: 'Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari bencana ini kecuali kalian memohon kepada Allah dengan amal saleh kalian.'
Orang pertama berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia, dan aku tidak pernah memberi minum susu kepada siapapun sebelum mereka berdua. Pada suatu hari aku pergi mencari gembalaan jauh hingga aku tidak pulang kecuali setelah mereka tertidur. Aku memerah susu untuk mereka, lalu aku datang dan kudapati keduanya sudah tertidur. Aku tidak suka memberi minum kepada siapapun sebelum mereka berdua, maka aku berdiri di dekat kepala keduanya dengan membawa gelas berisi susu hingga fajar menyingsing. Keduanya pun bangun lalu minum susu itu. Ya Allah, jika aku melakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit dari batu ini!' Maka batu itu bergeser sedikit.
Orang kedua berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki sepupu wanita yang sangat aku cintai, tidak ada seorang pun yang mencintainya seperti aku mencintainya. Aku ingin berzina dengannya tetapi dia menolak. Sampai pada suatu tahun dia mengalami kesulitan ekonomi, lalu dia datang kepadaku dan aku memberinya seratus dua puluh dinar dengan syarat dia mau berzina denganku. Dia pun setuju. Ketika aku sudah di antara kedua kakinya, dia berkata: 'Takutlah kepada Allah, jangan engkau pecahkan cincin kecuali dengan haknya.' Maka aku langsung bangkit meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku cintai, dan aku meninggalkan emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah, jika aku melakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit dari batu ini!' Maka batu itu bergeser sedikit lagi.
Orang ketiga berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku pernah mempekerjakan beberapa orang pekerja dan aku telah membayar upah mereka semua, kecuali seorang pekerja yang pergi sebelum mengambil upahnya. Aku kembangkan upahnya itu hingga menjadi harta yang banyak. Lalu dia datang kepadaku setelah sekian lama dan berkata: 'Wahai hamba Allah, berikanlah kepadaku upahku!' Aku berkata: 'Semua yang kamu lihat ini, unta, sapi, kambing, dan hamba sahaya, adalah dari upahmu.' Dia berkata: 'Wahai hamba Allah, jangan mengolok-olokku!' Aku berkata: 'Aku tidak mengolok-olokmu.' Maka dia pun mengambil semuanya dan tidak meninggalkan sedikitpun. Ya Allah, jika aku melakukan itu karena mengharapkan wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit dari batu ini!' Maka batu itu bergeser sepenuhnya dan mereka pun keluar dari gua." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini adalah dalil yang sangat kuat dan disepakati akan keabsahannya untuk tawassul melalui amal saleh. Ketiga orang tersebut memohon kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah mereka lakukan semata-mata karena Allah, dan Allah pun mengabulkan doa mereka.
Banyak hadis yang menunjukkan para sahabat meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk mendoakan mereka. Ini adalah bentuk tawassul yang disepakati keabsahannya.
Kisah Umar bin Khattab ini sangat penting karena menunjukkan bahwa setelah wafatnya Nabi ﷺ, para sahabat tidak bertawassul dengan pribadi Nabi ﷺ yang telah wafat, melainkan dengan doa orang saleh yang masih hidup (yaitu Abbas). Ini sering dijadikan dalil oleh pihak yang melarang tawassul kepada orang yang telah meninggal dunia.
Ini adalah bentuk tawassul yang juga disepakati, di mana para sahabat meminta Nabi ﷺ yang masih hidup untuk berdoa kepada Allah untuk mereka. Contohnya adalah kisah permintaan doa untuk hujan dan doa untuk orang buta yang disebutkan di atas.
Berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta ijma' (konsensus) ulama, ada beberapa bentuk tawassul yang secara luas diterima keabsahannya dalam Islam. Bentuk-bentuk ini dianggap tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dan tidak menjerumuskan kepada syirik.
Ini adalah bentuk tawassul yang paling tinggi derajatnya dan tidak ada sedikit pun perselisihan di antara ulama. Seorang hamba memohon kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah atau sifat-sifat-Nya yang mulia, karena Dialah yang memiliki segala kesempurnaan.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ"Walillāhil-asmā'ul-ḥusnā fād'ūhu bihā. Wa żarulladzīna yulḥidūna fī asmā'ihī. Sayujzauna mā kānū ya'malūn."
Terjemahan: "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf: 180)
Contoh Doa:
Ini adalah bentuk tawassul yang paling langsung dan paling jelas dibenarkan oleh syariat, karena kita memohon langsung kepada Allah dengan mengakui kebesaran dan sifat-sifat-Nya.
Seperti yang telah dibuktikan oleh kisah tiga pemuda di gua, bertawassul dengan amal saleh yang ikhlas karena Allah adalah cara yang sangat dianjurkan. Ini berarti seorang hamba memohon kepada Allah dengan menyebutkan perbuatan baik yang pernah ia lakukan semata-mata karena mengharap ridha-Nya, dengan harapan Allah akan mengabulkan doanya karena kebaikan tersebut.
Contoh Doa:
Bentuk tawassul ini mendorong umat Islam untuk senantiasa berbuat kebaikan dengan ikhlas, karena amal saleh tersebut bukan hanya mendatangkan pahala di akhirat, tetapi juga dapat menjadi sebab dikabulkannya doa di dunia.
Seorang Muslim diperbolehkan meminta seorang yang saleh, yang masih hidup, untuk mendoakan dirinya kepada Allah. Ini bukanlah meminta kepada orang saleh tersebut, melainkan meminta ia untuk berdoa kepada Allah. Dalilnya adalah praktik para sahabat yang meminta Nabi ﷺ untuk mendoakan mereka, serta tindakan Umar bin Khattab yang meminta Abbas bin Abdul Muthalib untuk berdoa memohon hujan.
Syaratnya:
Ini adalah bentuk tawassul yang disepakati, karena ia mencerminkan kerendahan hati seseorang untuk mengakui bahwa ada orang lain yang mungkin lebih dekat kepada Allah dan doanya lebih mustajab. Namun, tetap saja, inti dari permohonan adalah kepada Allah SWT.
Pada bagian ini, kita akan membahas bentuk-bentuk tawassul yang menjadi titik perselisihan sengit di kalangan ulama. Perbedaan pandangan ini seringkali menimbulkan friksi dan perdebatan, sehingga penting untuk memahami argumen dari kedua belah pihak dengan adil dan objektif.
Ini adalah salah satu isu paling sentral dan paling diperdebatkan dalam bab tawassul. Pertanyaannya adalah, apakah seorang Muslim boleh bertawassul kepada Allah dengan perantara pribadi Nabi Muhammad ﷺ setelah beliau wafat?
Sebagian besar ulama dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan jumhur Ahlus Sunnah Wal Jama'ah secara umum membolehkan tawassul dengan pribadi Nabi Muhammad ﷺ, baik semasa hidup beliau maupun setelah wafatnya. Argumentasi mereka didasarkan pada beberapa poin:
Seorang pria buta datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Doakanlah Allah agar menyembuhkanku." Nabi ﷺ menjawab, "Jika engkau mau, aku akan menunda doamu (agar kamu bersabar), dan itu lebih baik bagimu. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Pria itu berkata, "Doakanlah." Maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk berwudu dengan sempurna, lalu shalat dua rakaat, kemudian berdoa dengan kalimat ini: "اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي هذه لتقضى لي، اللهم فشفعه فيّ"
"Allaahumma innī as'aluka wa atawajjahu ilaika bi Nabiyyika Muhammadin Nabiyyi-r Rahmah, Yaa Muhammad innī atawajjahu bika ilā Rabbī fī hājatī hādhihī li-tuqḍā lī, Allaahumma fa-shaffi'hu fiyya."
Terjemahan: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar ia dikabulkan. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku."
Maka pria itu pun sembuh. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dll., dinilai sahih oleh banyak ulama seperti Tirmidzi, Hakim, Baihaqi, Al-Mundziri, Al-Haitsami).
Interpretasi Hadis Orang Buta oleh Pihak yang Membolehkan: Mereka berargumen bahwa hadis ini secara jelas menunjukkan tawassul dengan pribadi Nabi ﷺ. Frasa "أتوجه إليك بنبيك محمد" (aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad) dan "يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي" (wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku) menunjukkan penggunaan Nabi ﷺ sebagai perantara. Mereka juga berpendapat bahwa ini adalah tawassul dengan zat atau kedudukan Nabi, bukan hanya dengan doanya, karena Nabi ﷺ mengajarkan doa tersebut kepada orang buta untuk diucapkan sendiri, dan dalam doa tersebut ada panggilan langsung kepada Nabi ("Ya Muhammad"). Mereka percaya bahwa tawassul ini tetap berlaku setelah wafatnya Nabi ﷺ karena kedudukan beliau tetap mulia di sisi Allah.
Sebagian ulama, khususnya dari kalangan mazhab Hanbali tertentu dan ulama-ulama kontemporer yang condong kepada manhaj Salafi (seperti Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan para pengikutnya), melarang atau sangat tidak menganjurkan tawassul dengan pribadi Nabi ﷺ setelah wafatnya beliau, maupun dengan orang-orang saleh yang telah wafat. Argumen mereka meliputi:
Isu ini memiliki kemiripan dengan tawassul melalui Nabi ﷺ yang telah wafat, namun dengan penekanan pada individu selain Nabi.
Banyak ulama dari mazhab empat, terutama dari kalangan Syafi'iyyah dan sebagian Malikiyyah serta Hanbaliyyah, membolehkan tawassul dengan para wali, orang-orang saleh, atau kekasih Allah yang telah wafat. Argumen mereka:
Ulama dari kalangan Salafi dan sebagian Hanbaliyyah serta ulama lain yang sangat menjaga kemurnian tauhid dengan tegas melarang tawassul jenis ini. Alasan mereka sama atau bahkan lebih kuat daripada larangan tawassul kepada Nabi ﷺ setelah wafat:
Bentuk tawassul ini adalah ketika seseorang memohon kepada Allah dengan menyebut "kedudukan," "kehormatan," atau "hak" seseorang di sisi Allah. Misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kedudukan Nabi-Mu Muhammad..."
Ulama yang membolehkan tawassul ini menganggapnya sebagai bentuk lain dari tawassul dengan pribadi Nabi atau orang saleh yang telah wafat, karena kedudukan dan kehormatan adalah bagian dari pribadi mereka. Dalil utama yang mereka gunakan adalah interpretasi mereka terhadap hadis orang buta, di mana mereka mengartikan "bi nabiyyika Muhammad" sebagai tawassul dengan kedudukan Nabi. Mereka juga sering mengutip hadis-hadis yang dinilai lemah oleh pihak lain, seperti hadis: "Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah dengan kehormatan (jaah)ku, karena kehormatanku di sisi Allah sangat besar." (Hadis ini dianggap dha'if jiddan/sangat lemah oleh banyak muhaddits).
Bagi mereka, tawassul ini adalah pengakuan atas kemuliaan yang Allah berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, dan memohon kepada Allah dengan menyebut kemuliaan tersebut adalah bentuk penghormatan dan pengakuan akan takdir ilahi.
Ulama yang melarang berpendapat bahwa tawassul dengan "jaah" atau "hurmah" adalah bentuk tawassul yang tidak memiliki landasan yang jelas dalam syariat yang sahih. Mereka berargumen:
Bentuk tawassul ini seringkali terpisah namun berkaitan erat dengan tawassul melalui orang saleh yang telah wafat. Ini melibatkan tindakan-tindakan tertentu di sekitar kuburan orang saleh, seperti mengusap kuburan, thawaf di sekelilingnya, atau meyakini bahwa doa di dekat kuburan tersebut lebih mustajab.
Sebagian kecil ulama dan mayoritas kaum awam di beberapa daerah mungkin mempraktikkan hal ini, dengan keyakinan bahwa tanah atau tempat di mana orang saleh dimakamkan memiliki keberkahan. Mereka mungkin berargumen bahwa berdoa di tempat yang dekat dengan makam wali adalah bentuk penghormatan dan mencari keberkahan. Namun, ini seringkali merupakan praktik budaya lokal yang tidak selalu didukung oleh dalil syar'i yang kuat.
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab, dan khususnya ulama Salafi, melarang keras segala bentuk tawassul melalui kuburan atau situs suci yang mengarah pada pengkultusan atau penyembahan selain Allah. Argumen mereka sangat kuat:
Penting untuk membedakan antara ziarah kubur yang disyariatkan (untuk mendoakan mayit dan mengingat mati) dengan praktik tawassul bid'ah atau syirik di kuburan. Ziarah kubur adalah sunah, sedangkan praktik yang mengarah pada penyembahan kuburan adalah haram dan bisa jatuh ke dalam syirik.
Perdebatan seputar tawassul telah berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan ulama-ulama besar dari berbagai mazhab. Memahami nuansa dalam perbedaan pandangan ini memerlukan wawasan tentang metodologi fikih, prinsip-prinsip akidah, dan sejarah pemikiran Islam.
Secara umum, dalam mazhab fikih Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali), terdapat keragaman pandangan:
Penting dicatat bahwa perdebatan tentang tawassul ini semakin memanas pada abad ke-7 Hijriah dengan munculnya pemikiran Ibnu Taimiyyah, dan kemudian pada abad ke-12 Hijriah dengan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebelum itu, praktik tawassul dengan Nabi ﷺ dan orang saleh yang telah wafat lebih umum di kalangan mayoritas umat dan ulama, meskipun selalu ada ulama yang lebih berhati-hati.
Perbedaan pandangan ini adalah contoh klasik dari ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang diakui dalam Islam. Para ulama melakukan ijtihad (usaha keras untuk menyimpulkan hukum syariat) berdasarkan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah, serta kaidah-kaidah ushul fikih. Perbedaan ijtihad bisa disebabkan oleh:
Adalah kewajiban setiap Muslim untuk menghormati perbedaan pendapat ini, asalkan ia masih dalam koridor syariat dan didasarkan pada dalil. Yang terpenting adalah niat dan keyakinan hati agar tidak terjerumus dalam syirik.
Niat adalah elemen krusial dalam masalah tawassul. Batas antara tawassul yang dibolehkan dan syirik sangat tipis dan seringkali bergantung pada niat seseorang:
Seorang Muslim harus selalu memastikan bahwa seluruh harapannya, doanya, dan ketergantungannya adalah kepada Allah semata. Perantara, jika digunakan, hanyalah sebagai sebab yang sah dalam pandangan syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai tujuan akhir permohonan.
Islam adalah agama tauhid yang sangat menjaga kemurnian keyakinan dan peribadatan. Oleh karena itu, dalam konteks tawassul, sangat penting untuk memahami batasan-batasan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan syirik (menyekutukan Allah) atau bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak ada dasarnya).
Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, yaitu menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain dalam uluhiyah (ketuhanan), rububiyah (penciptaan, pengaturan, pemeliharaan), atau asma wa sifat (nama dan sifat). Dalam konteks tawassul, syirik dapat terjadi jika seseorang:
Batas antara tawassul yang sah dan syirik terletak pada siapa yang diyakini sebagai pemberi dan pengabul doa. Dalam tawassul yang sah, hanya Allah yang diyakini sebagai pengabul, sedangkan perantara hanyalah sebab. Dalam syirik, perantara tersebut disamakan dengan Allah atau dianggap memiliki kekuatan ilahi.
Bid'ah adalah setiap inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar dari Al-Quran dan Sunnah, baik dalam hal akidah maupun ibadah. Beberapa bentuk tawassul yang dianggap bid'ah oleh sebagian ulama adalah:
Prinsip dalam ibadah adalah tauqifiyah, artinya harus berdasarkan tuntunan dari syariat. Jika tidak ada dalil yang jelas dan sahih, maka lebih baik ditinggalkan untuk menghindari bid'ah. Apalagi jika hal itu berpotensi membuka jalan menuju syirik.
Sejarah menunjukkan bahwa praktik tawassul terkadang disalahpahami atau dieksploitasi, menyebabkan penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Beberapa contoh eksess:
Muslim wajib berhati-hati dan selalu kembali kepada Al-Quran dan Sunnah yang sahih dalam setiap praktik ibadah, termasuk tawassul, agar terhindar dari kesesatan.
Tawassul yang disyariatkan, yaitu tawassul melalui Asmaul Husna, amal saleh, dan doa orang saleh yang masih hidup, memiliki hikmah dan tujuan mulia yang selaras dengan ajaran Islam.
Tawassul dengan amal saleh atau doa orang saleh menunjukkan pengakuan seorang hamba terhadap nilai dan keutamaan perbuatan baik serta posisi mulia para hamba Allah yang takwa. Ini memotivasi individu untuk:
Ketika seseorang bertawassul dengan cara yang benar, ia sebenarnya sedang meningkatkan harapannya kepada Allah. Dengan menyebutkan amal salehnya atau nama-nama Allah yang mulia, ia sedang menegaskan keyakinannya bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan, dan bahwa Dia akan membalas kebaikan hamba-Nya.
Ini adalah bentuk pengajaran bahwa hubungan dengan Allah tidak bersifat mekanis, melainkan penuh kasih sayang dan pengampunan. Allah senang jika hamba-Nya mendekat dengan berbagai cara yang telah Dia ridai.
Tawassul, pada hakikatnya, adalah pengakuan akan keterbatasan diri dan kebutuhan mutlak seorang hamba kepada Allah. Dengan bertawassul, seseorang mengakui bahwa ia tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Bahkan ketika ia menggunakan amal salehnya sebagai perantara, ia melakukannya dengan kerendahan hati, bukan dengan rasa bangga, karena ia tahu bahwa amal saleh itu sendiri adalah karunia dari Allah.
Menggunakan doa orang saleh yang masih hidup juga menunjukkan kerendahan hati bahwa seseorang mengakui dirinya mungkin tidak sesaleh orang lain dan membutuhkan bantuan doa dari saudaranya sesama Muslim.
Berta wasul melalui doa orang saleh yang masih hidup mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan sesama Muslim. Ini mendorong untuk saling mendoakan dan membantu dalam kebaikan, menciptakan masyarakat yang saling peduli dan mendukung.
Mengingat sensitivitas dan potensi kesalahpahaman dalam masalah tawassul, sangat penting bagi seorang Muslim untuk memahami dan mengamalkan adab-adab berta wasul agar ibadah dan permohonannya diterima di sisi Allah SWT.
Ini adalah syarat paling mendasar dalam setiap ibadah. Niat bertawassul harus murni hanya untuk mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak boleh ada niat riya' (pamer), sum'ah (mencari pujian), atau mengharapkan keuntungan duniawi semata dari perantara.
Seorang Muslim harus memohon kepada Allah dengan penuh harap akan rahmat-Nya, namun juga dengan rasa takut akan azab-Nya, serta dengan sikap rendah hati. Menyadari bahwa kita adalah hamba yang penuh dosa dan kesalahan, sehingga perlu mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Tawassul bukanlah pengganti doa langsung kepada Allah. Bahkan, tawassul adalah bagian dari doa kepada Allah. Seorang Muslim harus senantiasa memohon langsung kepada Allah, karena Dialah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Mengabulkan. Tawassul hanyalah sarana tambahan yang dibenarkan syariat untuk menguatkan doa.
Dalam masalah tawassul yang khilafiyah, seorang Muslim wajib menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat. Tidak boleh saling mencela, menghina, atau mengkafirkan karena perbedaan ini, selama pendapat tersebut masih memiliki landasan dalil dan berada dalam koridor Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Fanatisme buta terhadap satu pandangan tanpa dalil yang kuat hanya akan memecah belah umat.
Sebaiknya, fokus pada bentuk-bentuk tawassul yang disepakati (melalui Asmaul Husna, amal saleh, dan doa orang saleh yang masih hidup) karena keabsahannya tidak diragukan dan tidak menimbulkan perdebatan.
Sebelum mengamalkan suatu bentuk tawassul, seorang Muslim harus berusaha keras untuk mempelajari dalil-dalilnya dari Al-Quran dan Sunnah yang sahih, serta memahami interpretasi para ulama yang terkemuka. Bertanya kepada ulama yang berilmu dan terpercaya adalah langkah bijak untuk menghindari kesesatan.
Selalu berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam praktik-praktik yang berlebihan atau bid'ah yang tidak memiliki dasar dalam syariat. Hindari segala bentuk pengkultusan individu, kuburan, atau benda-benda yang dapat mengarah pada syirik.
Konsep bertawasul adalah salah satu aspek penting dalam praktik spiritual dan peribadatan seorang Muslim, yang bertujuan untuk mencari kedekatan dan memohon kepada Allah SWT. Sebagaimana telah diuraikan secara mendalam, ada jenis-jenis tawassul yang disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama, yaitu tawassul dengan Asmaul Husna dan Sifat Allah, tawassul dengan amal saleh, dan tawassul dengan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk-bentuk tawassul ini memiliki landasan syar'i yang kuat dari Al-Quran dan Sunnah yang sahih, serta selaras dengan prinsip tauhid.
Namun, terdapat pula bentuk-bentuk tawassul yang menjadi objek khilafiyah (perbedaan pendapat) yang sengit di kalangan ulama, terutama tawassul dengan pribadi Nabi Muhammad ﷺ atau para wali yang telah wafat, serta tawassul melalui kedudukan (jaah) mereka. Perbedaan ini muncul dari beragamnya interpretasi dalil, penilaian kesahihan hadis, dan kekhawatiran akan implikasi akidah yang lebih besar, yaitu syirik. Penting untuk diingat bahwa di balik perbedaan ini, setiap ulama berijtihad dengan tujuan menjaga kemurnian ajaran Islam.
Batas antara tawassul yang dibolehkan dan syirik sangat tipis dan krusial, terletak pada niat dan keyakinan hati. Seorang Muslim harus selalu memastikan bahwa permohonan utamanya ditujukan hanya kepada Allah SWT, dan perantara, jika digunakan, hanyalah sebagai sarana yang diyakini memiliki nilai di sisi Allah, tanpa meyakini mereka memiliki kekuatan mandiri atau kekuasaan ilahi. Setiap bentuk tawassul yang mengarah pada pengkultusan, penyembahan, atau keyakinan bahwa selain Allah dapat mengabulkan doa secara independen, adalah syirik akbar yang membatalkan keislaman.
Dalam menghadapi perbedaan pandangan ini, umat Islam dianjurkan untuk bersikap toleran, saling menghormati, dan menghindari fanatisme yang berlebihan. Fokuslah pada hal-hal yang disepakati dan menjauhkan diri dari perdebatan yang tidak produktif. Yang paling utama adalah senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah, memperbanyak amal saleh, dan memperbaharui keikhlasan dalam setiap ibadah, karena inilah wasilah terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Pada akhirnya, setiap Muslim akan kembali kepada Allah, dan hanya amal saleh serta hati yang bersihlah yang akan diterima di sisi-Nya.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama-Nya dengan benar, menjauhkan kita dari segala bentuk kesesatan dan syirik, serta menerima segala amal ibadah dan doa kita.