Bertohor Air Liur: Panduan Lengkap Hukum Thaharah dan Saliva dalam Islam

Ilustrasi tetesan air bersih yang melambangkan kesucian dan thaharah.

Dalam ajaran Islam, kebersihan dan kesucian atau yang dikenal dengan istilah "thaharah" memiliki kedudukan yang sangat fundamental. Thaharah bukan sekadar aspek kebersihan fisik, melainkan merupakan prasyarat mutlak untuk melaksanakan berbagai ibadah, terutama shalat. Tanpa thaharah, ibadah tidak akan sah di sisi Allah SWT. Konsep ini mencakup pembersihan dari hadats (kondisi tidak suci yang menghalangi ibadah) dan najis (kotoran yang menghalangi keabsahan ibadah).

Salah satu aspek thaharah yang sering menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan pemahaman mendalam adalah mengenai status hukum air liur (saliva) dalam konteks kesucian. Air liur adalah cairan biologis yang dihasilkan oleh kelenjar saliva di dalam mulut, yang memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh, seperti membantu pencernaan, menjaga kelembaban mulut, dan melindungi dari bakteri. Karena sifatnya yang selalu ada dan terlibat dalam banyak aktivitas sehari-hari, sangat wajar jika timbul pertanyaan: apakah air liur itu suci atau najis? Bagaimana pengaruhnya terhadap wudhu, pakaian, dan interaksi sosial kita? Pertanyaan "bertahor air liur" secara spesifik merujuk pada upaya memahami dan mengaplikasikan aturan thaharah yang berkaitan dengan air liur.

Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai dimensi terkait hukum air liur dalam Islam, mulai dari konsep dasar thaharah, hakikat air liur, pandangan fiqih tentang air liur manusia dan hewan, aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, hingga perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tujuannya adalah memberikan panduan komprehensif agar setiap Muslim dapat memahami dan mengamalkan thaharah dengan benar dan yakin, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan air liur.

I. Konsep Dasar Thaharah dalam Islam

Thaharah secara bahasa berarti bersih atau suci. Sedangkan secara istilah syar'i, thaharah adalah menghilangkan hadats dan najis. Hadats adalah sifat hukum yang melekat pada diri seorang Muslim yang menghalangi keabsahan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur'an. Hadats terbagi menjadi dua: hadats kecil (yang dihilangkan dengan wudhu) dan hadats besar (yang dihilangkan dengan mandi wajib atau ghusl).

Najis adalah kotoran yang bersifat konkret dan terlihat atau tercium, yang wajib dihilangkan jika mengenai badan, pakaian, atau tempat shalat. Contoh najis meliputi darah, nanah, kotoran manusia dan hewan (tertentu), air kencing, muntah, bangkai (selain ikan dan belalang), dan air liur anjing dan babi.

A. Dalil Pentingnya Thaharah

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (QS. Al-Ma'idah: 6)

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur."

Ayat ini secara jelas menunjukkan perintah untuk bersuci sebelum shalat, baik dengan wudhu maupun tayamum. Frasa "tetapi Dia hendak membersihkan kamu" menegaskan tujuan utama syariat thaharah.

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ (HR. Muslim)

Artinya: "Kebersihan adalah sebagian dari iman."

Hadits ini menempatkan thaharah pada posisi yang sangat penting dalam keimanan seorang Muslim. Tanpa thaharah yang benar, iman seseorang bisa dikatakan belum sempurna.

B. Jenis-jenis Air untuk Thaharah

Air merupakan alat utama dalam bersuci. Dalam fiqih, air terbagi menjadi beberapa kategori:

  1. Air Mutlak (Suci dan Mensucikan): Ini adalah air yang masih murni, belum tercampur benda lain yang mengubah sifatnya (warna, bau, rasa), dan bisa digunakan untuk bersuci. Contoh: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air embun.
  2. Air Musta'mal (Suci tapi Tidak Mensucikan): Air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats (wudhu atau mandi wajib) atau najis, namun belum berubah sifatnya. Air ini suci untuk diminum atau digunakan untuk keperluan lain, tetapi tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci dari hadats atau najis.
  3. Air Mutanajjis (Tercampur Najis): Air yang tercampur najis dan jumlahnya kurang dari dua qullah (sekitar 270 liter), atau air yang lebih dari dua qullah tetapi sifat-sifatnya (warna, bau, rasa) berubah karena najis tersebut. Air ini tidak suci dan tidak mensucikan.
  4. Air Musyammas (Air yang Terjemur Matahari): Air yang dipanaskan oleh matahari dalam wadah logam (selain emas dan perak). Menurut sebagian ulama, air ini makruh digunakan untuk thaharah karena dikhawatirkan menimbulkan penyakit kulit, namun suci dan mensucikan. Pendapat yang lebih kuat menyatakan tidak makruh.
  5. Air Musyabahah (Air yang Bercampur dengan Benda Suci): Air yang bercampur dengan benda suci lain yang tidak sejenis air (misal: sabun, teh, kopi) namun tidak menghilangkan kemutlakannya atau tidak sampai mengubah salah satu sifatnya secara signifikan sehingga tidak lagi disebut air. Jika sifatnya berubah dan tidak lagi disebut air (misal: menjadi teh), maka tidak bisa untuk bersuci.

Pemahaman mengenai jenis-jenis air ini sangat penting karena air liur, dalam konteks tertentu, bisa bercampur dengan air dan mengubah statusnya.

C. Jenis-jenis Najis

Najis terbagi menjadi tiga tingkatan:

  1. Najis Mukhaffafah (Ringan): Najis yang cara membersihkannya paling mudah. Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun, belum makan makanan selain ASI, dan tidak muntah. Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke area yang terkena.
  2. Najis Mutawassitah (Sedang): Ini adalah najis paling umum. Contohnya adalah kotoran manusia dan hewan (selain anjing dan babi), air kencing (selain bayi laki-laki di atas), darah, nanah, muntah, bangkai (selain ikan dan belalang), dan Khamr (minuman keras). Cara membersihkannya dengan mencuci area yang terkena sampai hilang warna, bau, dan rasanya.
  3. Najis Mughallazhah (Berat): Najis yang cara membersihkannya paling sulit dan membutuhkan perlakuan khusus. Contohnya adalah najis yang berasal dari anjing dan babi, termasuk air liur, air kencing, kotoran, dan seluruh bagian tubuhnya. Cara membersihkannya adalah dengan mencuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air yang dicampur tanah.

Klasifikasi najis ini krusial dalam pembahasan air liur, terutama ketika menyinggung air liur hewan tertentu yang masuk kategori najis mughallazhah.

II. Hakikat Air Liur (Saliva)

Sebelum membahas hukum syariat, penting untuk memahami air liur dari sudut pandang biologis dan karakteristik umum.

A. Definisi dan Fungsi Biologis Air Liur

Air liur adalah cairan bening yang diproduksi oleh kelenjar ludah (kelenjar saliva) di dalam dan di sekitar mulut. Kelenjar utama meliputi parotid, submandibular, dan sublingual. Komposisi air liur mayoritas adalah air (99.5%), selebihnya adalah elektrolit, enzim (seperti amilase dan lipase yang memulai pencernaan), protein, glikoprotein, antibodi, dan sel-sel epitel. pH air liur umumnya netral, sekitar 6.2-7.6.

Fungsi air liur sangat vital:

  1. Pencernaan: Enzim amilase membantu memecah karbohidrat.
  2. Pelumasan: Membasahi makanan sehingga mudah ditelan dan membantu bicara.
  3. Perlindungan: Membersihkan sisa makanan, menetralkan asam, mengandung antibakteri (lisozim, laktoferin), dan menjaga kesehatan gigi serta mukosa mulut.
  4. Pelarutan: Melarutkan zat-zat makanan agar dapat dirasakan oleh lidah.

B. Jenis Air Liur dalam Konteks Fiqih

Dalam konteks fiqih, air liur dapat dibedakan berdasarkan sumbernya:

  1. Air Liur Manusia: Ini adalah fokus utama karena paling sering berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Air Liur Hewan: Hukum air liur hewan sangat bervariasi tergantung jenis hewannya, apakah hewan tersebut halal dimakan atau haram, dan apakah termasuk hewan buas atau jinak.
  3. Air Liur Bayi: Air liur bayi seringkali keluar tanpa disadari, dan ini juga memiliki hukum khusus.

Pemahaman ini menjadi dasar untuk menyelami lebih lanjut pandangan syariat Islam terhadap air liur.

III. Pandangan Fiqih tentang Air Liur

Ini adalah inti dari pembahasan "bertahor air liur." Hukum air liur sangat bergantung pada sumbernya.

A. Hukum Air Liur Manusia

Secara umum, mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa air liur manusia adalah suci. Ini berlaku untuk air liur orang dewasa, anak-anak, maupun bayi, selama tidak tercampur dengan najis lain.

1. Dalil dan Argumentasi

2. Implikasi Hukum Air Liur Manusia yang Suci

3. Pengecualian: Air Liur Manusia yang Tercampur Najis

Meskipun air liur manusia itu suci, statusnya bisa berubah jika ia tercampur dengan najis. Misalnya:

Dalam kasus pengecualian ini, berlaku hukum najis mutawassitah, yaitu harus dicuci hingga hilang warna, bau, dan rasanya.

B. Hukum Air Liur Hewan

Hukum air liur hewan jauh lebih kompleks dan bervariasi. Ini adalah area yang membutuhkan perhatian khusus dalam pembahasan "bertahor air liur."

1. Air Liur Anjing

Ini adalah salah satu kasus paling jelas mengenai najis mughallazhah. Mayoritas ulama, berdasarkan hadits shahih, sepakat bahwa air liur anjing adalah najis berat.

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ (HR. Muslim)

Artinya: "Apabila anjing minum (menjilat) di wadah salah seorang di antara kalian, maka basuhlah wadah tersebut tujuh kali, salah satunya dengan tanah."

Implikasi Hukum Air Liur Anjing:

2. Air Liur Babi

Sama seperti anjing, babi juga dianggap hewan najis mughallazhah oleh mayoritas ulama. Dalil utamanya adalah firman Allah SWT yang mengharamkan babi:

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ (QS. Al-An'am: 145)

Artinya: "Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun)—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah."

Kata "rijsun" (kotor) dalam ayat ini menunjukkan kenajisan babi. Oleh karena itu, air liur babi juga najis mughallazhah dan cara membersihkannya sama dengan air liur anjing.

3. Air Liur Kucing

Air liur kucing adalah suci. Ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa'i:

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa'i)

Artinya: "Kucing itu tidaklah najis, sesungguhnya ia termasuk hewan yang sering berkeliling di sekitar kalian."

Hadits ini menjelaskan bahwa kucing adalah hewan yang sering berinteraksi dengan manusia di rumah. Jika air liurnya najis, tentu akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, air liur kucing dianggap suci. Jika kucing menjilat wadah atau menjilat pakaian, tidak perlu dicuci.

4. Air Liur Hewan Halal yang Dimakan Dagingnya (Sapi, Kambing, Ayam, dll.)

Air liur hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti sapi, kambing, ayam, burung merpati, dan lain-lain, adalah suci. Ini didasarkan pada prinsip bahwa jika dagingnya halal dan suci, maka air liurnya juga suci. Rasulullah SAW pernah berwudhu dari air sisa minum kuda. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa air liur hewan-hewan ini najis.

5. Air Liur Hewan Buas (Harimau, Serigala, dll.)

Mengenai hewan buas yang haram dimakan dagingnya seperti harimau, serigala, atau singa, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Mengingat adanya perbedaan pendapat ini, sikap kehati-hatian (ihtiyat) adalah dengan menganggap air liur hewan buas sebagai najis mutawassitah dan membersihkannya jika mengenai badan atau pakaian.

6. Air Liur Burung

Air liur burung secara umum adalah suci, karena burung dianggap termasuk hewan yang sering berkeliling di sekitar manusia dan sulit dihindari. Baik burung yang halal dimakan maupun yang tidak.

7. Air Liur Tikus atau Serangga

Air liur tikus atau serangga (kecoa, semut) yang sering masuk ke makanan atau minuman juga dianggap suci oleh mayoritas ulama karena sifatnya yang sulit dihindari (masyaqqah) dan tidak ada dalil khusus yang menajiskannya. Namun, tentu saja kebersihan dari kotoran atau bangkai mereka tetap wajib dijaga.

IV. Aplikasi Hukum Air Liur dalam Kehidupan Sehari-hari

Setelah memahami status hukum air liur, penting untuk mengetahui bagaimana mengaplikasikan pemahaman ini dalam praktik thaharah dan kehidupan sehari-hari.

A. Air Liur dan Wudhu/Mandi Wajib

1. Air Liur Manusia saat Wudhu/Mandi

Seperti yang telah dijelaskan, air liur manusia adalah suci. Oleh karena itu:

2. Air Liur Hewan saat Wudhu/Mandi

B. Air Liur dan Pakaian/Tempat Shalat

Pakaian dan tempat shalat harus suci dari najis agar shalat sah. Ini adalah salah satu aspek penting dalam "bertahor air liur" untuk menjaga keabsahan ibadah.

1. Air Liur Manusia pada Pakaian/Tempat Shalat

Jika air liur manusia (yang suci) menetes pada pakaian atau tempat shalat, tidak ada masalah. Pakaian dan tempat shalat tetap suci dan shalat sah di atasnya tanpa perlu dicuci.

2. Air Liur Hewan pada Pakaian/Tempat Shalat

C. Air Liur dalam Makanan dan Minuman

Interaksi air liur dengan makanan dan minuman adalah hal yang sangat lumrah.

1. Sisa Makanan Manusia (Su'rul Insan)

Sisa makanan atau minuman yang telah disentuh air liur manusia (misalnya, setelah seseorang makan atau minum dari suatu wadah) hukumnya suci dan halal untuk dikonsumsi. Tidak ada larangan untuk berbagi makanan atau minuman dalam satu wadah yang sama, asalkan bukan untuk alasan kebersihan dan kesehatan umum (misalnya penyakit menular).

Hal ini diperkuat oleh hadits Aisyah RA yang berkata:

كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ (HR. Muslim)

Artinya: "Dulu aku pernah minum dan aku sedang haidh, lalu aku menyerahkan gelas itu kepada Nabi SAW, lalu beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulutku kemudian beliau minum."

Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa sisa minuman istri yang berhaidh (dan otomatis ada air liurnya) tidak dianggap najis oleh Nabi SAW.

2. Sisa Makanan Hewan (Su'rul Hiawan)

D. Air Liur dan Interaksi Sosial

Dalam interaksi sosial, terutama yang melibatkan kasih sayang dan kedekatan, air liur seringkali tidak terhindarkan.

Kecuali, tentu saja, jika air liur tersebut tercampur najis lain seperti darah atau muntahan, maka berlaku hukum najis mutawassitah.

E. Kebersihan dan Etika Meludah

Meskipun air liur manusia suci, etika dan kebersihan tetap menjadi prioritas dalam Islam. Meludah sembarangan di tempat umum, di masjid, atau di hadapan orang lain adalah perbuatan yang tidak beradab dan dapat mengganggu kebersihan serta kenyamanan orang lain.

إِنَّمَا البُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya: "Sesungguhnya meludah di masjid adalah suatu kesalahan, dan kafarahnya adalah menimbun (membersihkan)nya."

Hadits ini menunjukkan pentingnya menjaga kebersihan tempat ibadah dan lingkungan sekitar, meskipun ludah itu sendiri suci. Ini adalah bagian dari menjaga kehormatan dan keindahan agama Islam.

V. Perbedaan Pendapat Ulama dan Analisis Fiqih Lebih Lanjut

Dalam setiap pembahasan fiqih, selalu ada ruang untuk perbedaan pendapat di antara para ulama. Ini menunjukkan kekayaan dan keluwesan syariat Islam. Meskipun demikian, pada banyak isu, ada konsensus kuat, dan pada isu lain, perbedaan muncul karena interpretasi dalil atau metode istinbat hukum yang berbeda. Dalam konteks "bertahor air liur," beberapa nuansa perbedaan pendapat patut diulas.

A. Perbedaan Pendapat tentang Najisnya Air Liur Hewan Buas

Seperti yang disinggung sebelumnya, status air liur hewan buas (selain anjing dan babi) adalah salah satu titik perbedaan. Mari kita elaborasi:

Sikap yang Dianjurkan: Bagi seorang Muslim, mengambil sikap kehati-hatian (ihtiyat) adalah lebih baik. Oleh karena itu, menganggap air liur hewan buas (selain anjing dan babi) sebagai najis mutawassitah dan membersihkannya adalah pilihan yang lebih aman untuk menjaga thaharah, terutama jika memang mudah untuk dihindari.

B. Perdebatan Mengenai Kenajisan Seluruh Tubuh Anjing

Hadits mengenai jilatan anjing jelas menyatakan kenajisan air liurnya. Namun, ada perbedaan pendapat apakah seluruh tubuh anjing, termasuk bulunya yang kering, adalah najis atau tidak.

Sikap yang Dianjurkan: Untuk menjaga kehati-hatian, terutama di masyarakat yang banyak mengikuti mazhab Syafi'i, disarankan untuk tetap menghindari kontak langsung dengan anjing. Namun, jika terjadi sentuhan dengan bulu kering, tidak perlu terlalu khawatir jika mengikuti pandangan Hanafi/Maliki yang menganggapnya suci. Yang pasti najis mughallazhah adalah air liurnya.

C. Hukum Air Liur dari Orang yang Makan Bawang atau Memiliki Bau Mulut

Bagaimana dengan air liur seseorang yang baru saja makan bawang putih/merah, atau seseorang yang memiliki bau mulut tidak sedap? Apakah air liur mereka tetap suci?

Jawabannya adalah tetap suci. Bau yang tidak sedap pada mulut atau air liur seseorang bukanlah indikasi kenajisan. Bau tersebut berasal dari zat-zat yang suci (makanan, bakteri mulut) atau kondisi fisiologis tertentu. Meskipun demikian, menjaga kebersihan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap adalah bagian dari adab dan kebersihan dalam Islam. Nabi SAW sangat menganjurkan untuk membersihkan mulut (miswak) dan melarang orang yang makan bawang untuk mendekat ke masjid sampai baunya hilang, bukan karena najis, tapi karena mengganggu orang lain.

D. Hukum Air Liur yang Tercampur Makanan saat Makan

Ketika seseorang makan, air liur pasti bercampur dengan makanan. Apakah makanan tersebut menjadi musta'mal atau najis?

Tidak, makanan tersebut tetap suci dan boleh dimakan. Air liur manusia, sebagaimana dibahas, adalah suci. Pencampuran air liur dengan makanan adalah proses alami dalam pencernaan dan tidak mengubah status kesucian makanan. Hal ini berbeda dengan air yang digunakan untuk wudhu (air musta'mal) yang kehilangan sifat mensucikannya, karena makanan bukanlah air yang digunakan untuk thaharah.

E. Status Air Liur dari Muntah Anak Kecil yang Belum Makan Selain ASI

Jika bayi laki-laki yang belum makan selain ASI muntah, apakah air liurnya yang ikut keluar najis mukhaffafah juga?

Muntah, secara umum, adalah najis mutawassitah. Hukum air kencing bayi laki-laki yang hanya minum ASI adalah mukhaffafah. Namun, muntah berbeda dengan air kencing. Oleh karena itu, muntah dari bayi tersebut tetap dihukumi najis mutawassitah, termasuk air liur yang tercampur di dalamnya. Ini berarti membersihkannya adalah dengan mencuci sampai hilang zat, warna, bau, dan rasanya, bukan hanya dengan memercikkan air.

Perbedaan ini menunjukkan detail dan kehati-hatian fiqih dalam membedakan berbagai kasus najis dan cara membersihkannya.

VI. Hikmah dan Pelajaran dari Hukum Air Liur

Di balik setiap hukum syariat, terdapat hikmah dan tujuan mulia yang ingin dicapai oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia. Begitu pula dengan hukum "bertahor air liur" dan status kesuciannya.

A. Penekanan pada Kebersihan dan Kesehatan

Syariat Islam sangat menekankan kebersihan, baik fisik maupun spiritual. Meskipun air liur manusia suci, menjaga kebersihan mulut dan gigi adalah bagian dari sunnah dan kebaikan. Hikmahnya adalah menjaga kesehatan mulut, mencegah penyakit, dan menjaga penampilan yang baik di hadapan sesama dan Allah SWT.

B. Kemudahan (Yusrun) dalam Syariat Islam

Jika air liur manusia dianggap najis, tentu akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan betapa sulitnya menjaga pakaian, barang, dan lingkungan dari kenajisan air liur yang secara alami selalu ada. Islam datang untuk memudahkan, bukan mempersulit. Allah SWT berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. Al-Baqarah: 185).

Pengkategorian air liur hewan (suci untuk kucing, najis mughallazhah untuk anjing) juga menunjukkan kemudahan. Kucing adalah hewan peliharaan yang umum dan sulit dihindari interaksinya, sehingga air liurnya disucikan. Anjing, di sisi lain, memiliki risiko kesehatan tertentu dan fungsinya lebih spesifik (penjaga, pemburu), sehingga syariat memberikan batasan ketat terhadap kenajisan air liurnya.

C. Pembentukan Karakter dan Adab Muslim

Hukum tentang air liur juga membentuk adab seorang Muslim. Meskipun ludah manusia suci, kita diajarkan untuk tidak meludah sembarangan di tempat umum, apalagi di masjid, sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan dan orang lain. Ini mengajarkan disiplin, tanggung jawab sosial, dan estetika kebersihan.

D. Mendalami Makna Ketaatan dan Ketundukan

Memahami dan mengamalkan hukum-hukum fiqih, termasuk yang terkait air liur, adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Meskipun terkadang akal manusia mungkin tidak sepenuhnya memahami "mengapa" suatu hal dihukumi demikian, seorang Muslim dididik untuk tunduk pada perintah dan larangan Ilahi, karena keyakinan bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Ketaatan ini membawa keberkahan dan pahala.

E. Perlindungan dari Bahaya

Hukum kenajisan air liur anjing dan babi, serta keharusan membersihkannya dengan tanah, juga bisa dipandang sebagai perlindungan dari bahaya. Secara ilmiah, air liur anjing memang dapat membawa bakteri dan parasit berbahaya. Penggunaan tanah sebagai salah satu media pembersihan diketahui memiliki sifat antiseptik dan dapat membantu menghilangkan kuman secara efektif. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak hanya mengatur aspek ritual, tetapi juga mengandung dimensi kesehatan dan perlindungan.

Dengan demikian, memahami hukum "bertahor air liur" bukan hanya sekadar mengetahui daftar halal dan haram, tetapi juga merenungkan hikmah di baliknya, yang mengarah pada kehidupan yang lebih bersih, sehat, beradab, dan penuh ketaatan.

VII. Kesimpulan

Thaharah adalah pilar fundamental dalam Islam, prasyarat utama untuk sahnya banyak ibadah, dan cerminan keimanan seorang Muslim. Salah satu aspek thaharah yang perlu dipahami secara mendalam adalah mengenai status air liur, yang sering menjadi pertanyaan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan poin-poin kunci mengenai "bertahor air liur":

  1. Air Liur Manusia: Hukum asalnya adalah suci. Tidak ada dalil yang menajiskannya, dan praktik Nabi Muhammad SAW menunjukkan demikian. Air liur manusia tidak membatalkan wudhu, tidak menajiskan pakaian atau makanan, dan tidak perlu dicuci jika mengenai sesuatu. Namun, jika air liur tercampur najis lain (darah, muntah), maka statusnya berubah menjadi najis mutawassitah.
  2. Air Liur Hewan:
    • Anjing dan Babi: Air liur mereka adalah najis mughallazhah (berat). Wajib dibersihkan dengan mencuci tujuh kali, salah satunya dengan air yang dicampur tanah, jika mengenai badan, pakaian, atau wadah.
    • Kucing dan Hewan Halal (sapi, kambing, ayam, dll.): Air liur mereka adalah suci. Tidak ada kewajiban mencuci jika mengenai sesuatu.
    • Hewan Buas (harimau, serigala, dll.): Ada perbedaan pendapat, namun mayoritas ulama menganggapnya najis mutawassitah. Sikap kehati-hatian adalah membersihkannya jika mengenai sesuatu.
    • Tikus, Serangga, Burung: Air liur mereka umumnya dianggap suci karena sulit dihindari interaksinya.
  3. Aplikasi Praktis: Pemahaman hukum ini sangat relevan dalam wudhu, shalat (menjaga kesucian pakaian dan tempat), konsumsi makanan dan minuman, serta interaksi sosial.
  4. Etika dan Kebersihan: Meskipun air liur manusia suci, menjaga kebersihan dan adab dalam meludah tetap sangat ditekankan dalam Islam sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan dan sesama.
  5. Hikmah: Di balik hukum-hukum ini terkandung hikmah kemudahan syariat, penekanan pada kebersihan dan kesehatan, pembentukan karakter Muslim yang beradab, serta perlindungan dari bahaya.

Dengan memahami secara komprehensif hukum-hukum terkait air liur ini, seorang Muslim diharapkan dapat melaksanakan ibadah dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih yakin, tenang, dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Semoga artikel ini memberikan pencerahan dan manfaat bagi kita semua dalam upaya senantiasa menjaga thaharah, baik secara lahir maupun batin.

Related Posts