Nama guillotine telah lama bergema melalui koridor sejarah, memanggil gambaran Revolusi Prancis, teror, dan sebuah upaya kontroversial untuk "kemanusiaan" dalam hukuman mati. Lebih dari sekadar alat eksekusi, guillotine adalah simbol kompleks dari perubahan sosial radikal, pergeseran filosofis tentang keadilan, dan kekuatan brutal negara. Artikel ini akan menelusuri kisah mendalam guillotine, dari akar sejarahnya yang mengejutkan, evolusi mekanismenya, peran sentralnya dalam momen-momen paling bergejolak dalam sejarah Eropa, hingga warisan abadi yang masih kita rasakan hingga hari ini.
Dalam narasi ini, kita akan mengungkap bagaimana alat yang dirancang untuk mengurangi penderitaan justru menjadi ikon teror, bagaimana ia menciptakan kesetaraan yang mengerikan di antara para korban, dan bagaimana kehadirannya membentuk imajinasi kolektif selama berabad-abad. Dari bilah baja yang berkilau hingga keranjang berisi kepala yang terpenggal, setiap aspek guillotine menceritakan sebuah kisah tentang hukum, moralitas, kekuasaan, dan sifat manusia itu sendiri.
Meskipun namanya identik dengan Revolusi Prancis, gagasan di balik guillotine — yaitu sebuah mekanisme yang menjatuhkan bilah berat untuk memenggal kepala — bukanlah inovasi baru di akhir abad ke-18. Faktanya, beberapa alat serupa telah ada dan digunakan di berbagai bagian Eropa selama berabad-abad, mencerminkan kebutuhan kuno akan metode eksekusi yang dianggap lebih efisien atau bahkan lebih "manusiawi" dibandingkan dengan praktik penyiksaan yang lebih brutal.
Sejak zaman kuno, pemenggalan kepala telah menjadi bentuk hukuman mati yang umum, sering kali dikhususkan untuk bangsawan atau mereka yang dianggap layak mendapat kematian yang "terhormat," berbeda dengan digantung atau dibakar yang sering dicadangkan untuk rakyat jelata atau kejahatan yang lebih rendah. Namun, pemenggalan dengan kapak atau pedang sering kali tidak sempurna. Diperlukan keterampilan besar dari algojo, dan bahkan algojo terbaik pun bisa gagal, menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan dan kengerian yang lebih besar bagi penonton. Kegagalan seperti itu tidak hanya menyiksa korban tetapi juga merusak reputasi algojo dan otoritas negara yang mengizinkan eksekusi tersebut.
Salah satu pendahulu guillotine yang paling terkenal adalah Halifax Gibbet, yang digunakan di kota Halifax, West Yorkshire, Inggris, setidaknya sejak abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-17. Gibbet ini adalah struktur kayu tinggi dengan balok horizontal di bagian atas, di mana sebuah kapak berat (bukan bilah miring) digantung di antara dua balok vertikal. Kapak itu kemudian dilepaskan oleh pasak, jatuh dengan cepat dan memenggal kepala korban yang ditempatkan di bawahnya. Hukum Halifax, yang dikenal sangat keras, mengizinkan eksekusi bagi pencuri yang tertangkap dengan barang curian senilai lebih dari 13,5 pence. Antara tahun 1541 dan 1650, sekitar 100 orang dieksekusi oleh Halifax Gibbet, menjadikannya bukti awal dari efisiensi brutal mesin pemenggal.
Di Skotlandia, alat serupa yang disebut Maiden (Gadis) digunakan di Edinburgh dari pertengahan abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18. Maiden lebih mirip guillotine modern dalam desainnya, dengan bilah yang lebih besar dan terpasang pada rel vertikal, jatuh di antara dua tiang. Diperkirakan Maiden adalah salinan dari Halifax Gibbet atau setidaknya terinspirasi olehnya, dan mungkin bahkan dibawa dari Prancis. Tercatat sekitar 150 orang dieksekusi oleh Maiden, termasuk para bangsawan seperti James Douglas, Earl of Morton, yang ironisnya adalah orang yang memperkenalkan alat tersebut ke Skotlandia. Kedua alat ini, Halifax Gibbet dan Maiden, jelas menunjukkan bahwa konsep pemenggalan mekanis untuk eksekusi yang lebih cepat dan efisien telah ada jauh sebelum Revolusi Prancis.
Munculnya mesin-mesin pemenggal ini, terlepas dari kekejamannya, sebagian dimotivasi oleh keinginan untuk melakukan eksekusi yang lebih "manusiawi" atau setidaknya lebih bersih dan pasti. Pada masa itu, metode eksekusi lain sering melibatkan penyiksaan yang lama dan menjijikkan, seperti digantung dan dicabik, dipecah di roda, atau dibakar hidup-hidup. Pemenggalan, jika dilakukan dengan benar, menawarkan kematian instan. Para reformis awal hukuman mati melihatnya sebagai langkah maju dalam mengurangi penderitaan yang tidak perlu, meskipun dari perspektif modern, konsep "kemanusiaan" ini sulit untuk diterima sepenuhnya.
Terlepas dari nama yang melekat padanya, Dr. Joseph-Ignace Guillotin bukanlah penemu mesin pemenggal kepala. Ia adalah seorang dokter yang saleh dan reformis sosial. Perannya dalam sejarah guillotine jauh lebih kompleks dan sering disalahpahami, bermula dari keinginannya untuk menghadirkan kesetaraan dan mengurangi penderitaan dalam sistem peradilan Prancis pada masa pergolakan Revolusi.
Lahir di Saintes, Prancis pada tahun 1738, Guillotin adalah seorang dokter yang terkemuka dan profesor anatomi. Ia adalah anggota yang dihormati dari komunitas ilmiah. Ketika Revolusi Prancis meletus, ia terpilih sebagai wakil Paris di Majelis Konstituante Nasional pada tahun 1789. Di sinilah ia mulai menyuarakan keprihatinannya tentang metode eksekusi yang digunakan di Prancis, yang dianggapnya tidak adil dan tidak manusiawi.
Pada tanggal 10 Oktober 1789, dalam pidatonya di Majelis Nasional, Dr. Guillotin mengajukan enam pasal proposal untuk reformasi hukuman mati. Tujuan utamanya adalah untuk membuat eksekusi menjadi lebih cepat, kurang menyakitkan, dan, yang terpenting, setara bagi semua kelas sosial. Pada saat itu, bangsawan berhak dipenggal dengan pedang atau kapak, sebuah bentuk kematian yang dianggap "terhormat," sementara rakyat jelata sering kali digantung, dipecah di roda, atau bahkan dieksekusi dengan metode yang lebih brutal dan memalukan. Guillotin berpendapat bahwa setiap orang, tanpa memandang status, harus dieksekusi dengan cara yang sama dan manusiawi.
"Kematian yang diberikan oleh mekanisme ini akan menjadi kematian yang paling manusiawi dan paling tidak menyakitkan, karena kepala akan terlepas dari tubuh dalam sekejap mata."
— Pernyataan yang dikaitkan dengan Dr. Guillotin
Meskipun Guillotin tidak menyebutkan rancangan mesin tertentu, ia mengusulkan agar "setiap orang yang dijatuhi hukuman mati, kepalanya akan dipenggal; ini akan terjadi melalui mekanisme sederhana." Ini adalah poin kunci: ia mengadvokasi metode pemenggalan mekanis yang standar dan efisien untuk menghilangkan perbedaan kelas dalam eksekusi, serta mengurangi penderitaan. Ia membayangkan sebuah alat yang dapat melakukan eksekusi dengan cepat dan tanpa cela, yang menurutnya merupakan bentuk belas kasihan.
Ironisnya, nama Dr. Guillotin secara permanen terhubung dengan mesin yang tidak ia ciptakan. Nama "guillotine" pertama kali muncul dalam sebuah lagu satir di tahun 1789, dan menjadi populer sebagai nama informal untuk alat tersebut. Dr. Guillotin sendiri merasa terganggu dengan asosiasi ini; keluarganya bahkan sempat mengajukan petisi kepada pemerintah untuk mengganti nama alat tersebut, namun gagal. Ia meninggal karena sebab alami pada tahun 1814, tanpa pernah dieksekusi oleh "ciptaannya." Warisannya adalah sebuah ironi tragis: seorang humanis yang namanya selamanya dikaitkan dengan salah satu simbol teror paling menakutkan dalam sejarah.
Setelah usulan Dr. Guillotin untuk metode eksekusi yang setara disetujui, Majelis Legislatif Prancis menyetujuinya pada bulan Mei 1791. Namun, masalahnya adalah merancang mesin yang tepat untuk mencapai tujuan ini. Ini bukan tugas yang mudah, mengingat pentingnya presisi dan efisiensi yang dituntut.
Pada tanggal 25 April 1792, mesin baru ini digunakan untuk pertama kalinya. Korban pertamanya adalah seorang penjahat bernama Nicholas-Jacques Pelletier, seorang perampok jalanan. Eksekusi publiknya di Place de Grève di Paris menarik perhatian banyak orang. Kerumunan yang biasanya menikmati tontonan eksekusi yang lebih brutal, seperti digantung atau disiksa, dilaporkan kecewa dengan kecepatan dan kurangnya "hiburan" dari metode baru ini. Mereka bahkan berteriak, "Kembalikan tiang gantung kami!" Namun, dari sudut pandang otoritas, eksekusi itu dianggap sukses: cepat, bersih, dan efisien.
Desain final guillotine sebagian besar merupakan hasil kerja dari Dr. Antoine Louis, seorang ahli bedah dan fisiolog terkemuka, serta sekretaris Akademi Bedah. Louis diinstruksikan oleh Majelis Nasional untuk merancang sebuah alat yang akan memenuhi persyaratan "kematian yang lebih manusiawi" seperti yang diusulkan oleh Guillotin. Ia menyusun rencana dan spesifikasi untuk mesin tersebut, yang kemudian dikenal sebagai "Louisette" atau "Mirabelle" sebelum nama "guillotine" menjadi populer.
Pembuatan prototipe awal diserahkan kepada Tobias Schmidt, seorang pembuat harpsichord Jerman yang tinggal di Paris. Schmidt berhasil membangun model kayu dan baja berdasarkan spesifikasi Louis. Salah satu kontribusi penting Schmidt (atau setidaknya dikaitkan dengannya) adalah saran untuk menggunakan bilah miring, bukan bilah lurus, yang diyakini akan memotong lebih bersih dan efisien melalui tulang leher. Meskipun bilah lurus awalnya dipertimbangkan, pengujian pada mayat dan hewan menunjukkan bahwa bilah miring (sekitar 45 derajat) jauh lebih unggul dalam memotong. Desain ini terbukti sangat efektif dan diadopsi dalam semua guillotine berikutnya.
Guillotine adalah mesin yang relatif sederhana tetapi dirancang dengan presisi untuk satu tujuan: pemenggalan yang cepat dan tidak dapat dihindari. Komponen utamanya meliputi:
Desain ini, yang disempurnakan oleh Louis dan Schmidt, secara fundamental tidak banyak berubah sepanjang sejarah guillotine, membuktikan efektivitas dan kekejamannya yang dingin.
Tidak ada periode dalam sejarah yang lebih erat kaitannya dengan guillotine selain Revolusi Prancis. Alat ini menjadi simbol ganda: harapan akan keadilan yang setara dan kengerian teror yang tak pandang bulu.
Revolusi Prancis, yang dimulai pada tahun 1789, adalah periode pergolakan politik dan sosial yang mendalam. Kemarahan rakyat terhadap monarki absolut, aristokrasi yang boros, dan ketimpangan ekonomi memuncak. Ketika Republik Pertama Prancis didirikan, muncul kebutuhan untuk membersihkan para "musuh revolusi," baik itu monarkis, simpatisan asing, atau bahkan faksi-faksi revolusioner yang bersaing. Pengadilan Revolusioner dibentuk, dan putusan mati menjadi sangat umum. Dalam konteks ini, metode eksekusi yang cepat dan efisien sangat diperlukan untuk mengatasi jumlah tahanan yang besar.
Periode dari September 1793 hingga Juli 1794 dikenal sebagai Reign of Terror (Masa Teror), titik puncak penggunaan guillotine secara massal. Di bawah kepemimpinan Komite Keamanan Publik, khususnya Maximilien Robespierre, ribuan orang dicurigai sebagai musuh revolusi dan dieksekusi tanpa proses hukum yang layak. Angka-angka bervariasi, tetapi diperkirakan antara 17.000 hingga 40.000 orang meninggal di guillotine selama periode ini, dengan puluhan ribu lainnya meninggal di penjara atau karena sebab lain yang terkait dengan Teror.
Korban Teror tidak hanya kaum bangsawan atau rohaniwan yang secara tradisional membenci revolusi. Banyak di antaranya adalah rakyat biasa, petani, pekerja, dan bahkan revolusioner itu sendiri yang dituduh tidak cukup "murni" dalam kesetiaan mereka. Guillotine, yang awalnya diusulkan untuk kesetaraan, menciptakan kesetaraan yang mengerikan di hadapan kematian, menghapus semua perbedaan kelas dengan bilah yang sama.
Guillotine tidak pandang bulu dalam menuntut korbannya, menjadikan banyak tokoh terkenal dari era itu sebagai saksi bisu kekejamannya:
Setiap eksekusi ini adalah tontonan publik, dihadiri oleh kerumunan besar yang campur aduk antara rasa takut, kegembiraan, dan kehausan akan keadilan atau pembalasan. Guillotine menjadi panggung drama politik dan sosial yang paling ekstrem.
Eksekusi dengan guillotine adalah proses yang terstruktur dan teratur, dirancang untuk efisiensi dan untuk mengirim pesan yang jelas kepada publik. Di balik kesederhanaan alat tersebut, terdapat serangkaian ritual dan tindakan yang melibatkan algojo, korban, dan kerumunan penonton.
Di Prancis, profesi algojo sering diwariskan dari generasi ke generasi. Keluarga Sansone (Charles-Henri Sanson, Henri Sanson) adalah dinasti algojo paling terkenal, yang melayani selama Revolusi dan seterusnya. Mereka adalah tokoh publik yang paradoks: di satu sisi, mereka adalah pelayan keadilan, di sisi lain, mereka adalah agen kematian yang dikucilkan secara sosial.
Tugas algojo tidak hanya menarik tuas. Mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan mesin, transportasi ke tempat eksekusi, mempersiapkan korban, dan memastikan seluruh proses berjalan lancar dan efisien. Mereka harus memiliki kekuatan mental yang luar biasa untuk menghadapi kekejaman pekerjaan mereka setiap hari.
Sehari sebelum eksekusi atau pada pagi hari, korban akan diberitahu tentang nasibnya. Di penjara, mereka akan digeledah, barang-barang pribadi mereka disita, dan seringkali rambut mereka dicukur di bagian belakang leher untuk memastikan bilah dapat memotong bersih tanpa hambatan. Tangan mereka akan diikat di belakang punggung, dan mereka mungkin diberi pakaian sederhana.
Perjalanan ke tempat eksekusi biasanya dilakukan dengan gerobak terbuka atau kereta yang dikenal sebagai "tombreau". Ini adalah bagian dari tontonan publik, di mana korban dipamerkan kepada kerumunan yang berkumpul di sepanjang jalan. Reaksi kerumunan bisa bervariasi: dari ejekan dan makian hingga simpati atau bahkan keheningan yang tegang.
Tempat eksekusi paling terkenal adalah Place de la Révolution (sekarang Place de la Concorde) di Paris, tetapi guillotine juga digunakan di banyak kota lain. Guillotine biasanya didirikan di atas panggung tinggi agar semua orang bisa melihat. Di bawah panggung, seringkali ada keranjang atau bak besar untuk menampung kepala dan aliran darah.
Ketika tiba di panggung, korban akan dibantu atau dipaksa naik. Algojo atau asistennya akan mendorong korban ke papan bascule. Korban kemudian diikat ke papan ini, seringkali dengan tali di pergelangan tangan, lengan, dan kaki. Papan kemudian diayun ke depan, menempatkan korban dalam posisi horizontal, dengan lehernya tepat di bawah lunette.
Lunette, sebuah penjepit kayu berbentuk kerah, kemudian ditutup di sekitar leher korban, menahan kepala dengan erat di tempatnya. Ini adalah momen kritis, di mana korban secara fisik dikunci pada posisinya, tidak dapat bergerak.
Setelah lunette terkunci, algojo akan menarik tuas atau memotong tali yang menahan mouton (balok berat) di bagian atas tiang vertikal. Dengan suara mendesing, bilah miring akan meluncur turun dengan kecepatan tinggi karena gravitasi. Kontak dengan leher terjadi dalam hitungan milidetik, dan pemenggalan hampir instan. Kepala akan terpisah dari tubuh, seringkali memantul ke dalam keranjang atau bak di bawah, sementara tubuh yang terpenggal akan tergeletak di papan bascule atau jatuh ke dalam keranjang.
Secara tradisional, setelah kepala terlepas, algojo akan mengangkatnya dan menunjukkannya kepada kerumunan. Ini adalah tindakan simbolis yang kuat: untuk membuktikan bahwa keadilan telah ditegakkan, untuk mengintimidasi, dan untuk menegaskan kekuasaan negara. Kerumunan mungkin bersorak atau terdiam dalam ketakutan.
Setelah eksekusi, algojo dan asistennya akan membersihkan mesin, menyiapkan guillotine untuk korban berikutnya jika ada. Darah akan disiram atau ditutup dengan pasir. Kepala dan tubuh korban biasanya akan dimasukkan ke dalam peti mati atau karung dan diangkut untuk penguburan massal, seringkali di kuburan tak bertanda. Proses ini akan berulang berkali-kali selama puncak Reign of Terror, kadang-kadang beberapa lusin eksekusi dalam sehari.
Meskipun tujuan awal guillotine adalah untuk menyediakan "kematian yang manusiawi," pertanyaan tentang apakah itu benar-benar mencapai tujuan itu telah menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan ilmuwan, dokter, dan filsuf selama berabad-abad. Perdebatan ini menyentuh inti dari etika hukuman mati dan sifat kesadaran manusia.
Ini adalah pertanyaan paling mengerikan yang mengelilingi guillotine. Banyak pengamat pada masa Revolusi Prancis mengklaim telah melihat kepala yang terpenggal berkedip, mengerutkan kening, atau bahkan mencoba berbicara. Kesaksian ini memicu spekulasi yang meluas tentang apakah otak tetap sadar untuk beberapa saat setelah pemenggalan.
Selain dampaknya pada korban, guillotine memiliki efek psikologis yang mendalam pada mereka yang terlibat dalam atau menyaksikan eksekusi.
Guillotine, dalam konteks Revolusi Prancis, memicu perdebatan yang lebih luas tentang etika hukuman mati. Para penganutnya melihatnya sebagai alat keadilan yang setara, menghukum kejahatan berat dan membersihkan masyarakat dari musuh. Mereka percaya bahwa kematian yang cepat adalah bentuk belas kasihan dibandingkan dengan metode yang lebih brutal.
Namun, para kritikus, baik pada waktu itu maupun di kemudian hari, berpendapat bahwa tidak ada metode eksekusi yang bisa disebut "manusiawi." Mereka mempertanyakan hak negara untuk mengambil nyawa, efektivitas hukuman mati sebagai pencegah, dan risiko eksekusi yang salah. Guillotine, dengan efisiensi yang dingin dan impersonal, secara paradoks menyoroti kekejaman yang melekat pada hukuman mati itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini masih relevan dalam diskusi tentang hukuman mati di seluruh dunia hingga saat ini.
Guillotine, sebagai ikon visual dan konseptual, telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam budaya populer, seni, dan sastra. Kekuatannya sebagai simbol begitu besar sehingga ia terus memikat imajinasi kolektif, mewakili berbagai hal mulai dari keadilan buta hingga kengerian teror politik.
Salah satu penggambaran guillotine yang paling berpengaruh dalam sastra adalah dalam novel klasik Charles Dickens, "A Tale of Two Cities" (1859). Berlatar belakang Revolusi Prancis dan Reign of Terror, Dickens secara hidup menggambarkan suasana Paris yang dicekam ketakutan, di mana guillotine menjadi pusat perhatian, menelan nyawa demi nyawa. Deskripsinya tentang Madame Defarge yang kejam yang rajutannya menghitung jumlah korban, atau tentang pengorbanan heroik Sydney Carton di bawah bilah pisau, telah membentuk pemahaman banyak orang tentang era tersebut. Guillotine dalam karya Dickens adalah simbol pembalasan dendam yang tak terhindarkan dan kehancuran moral.
Novel Victor Hugo, "The Last Day of a Condemned Man" (1829), meskipun ditulis beberapa dekade setelah revolusi, secara langsung menentang hukuman mati dan secara implisit menyerang guillotine. Cerita ini mengikuti pikiran seorang pria yang dijatuhi hukuman mati di Paris, merinci kengerian dan kesengsaraan mental yang ia alami saat menunggu eksekusi oleh mesin yang tak terhindarkan. Karya Hugo adalah argumen yang kuat menentang dehumanisasi yang melekat dalam sistem hukuman mati, yang diwakili oleh guillotine yang dingin dan efisien.
Karya-karya lain, seperti "The Scarlet Pimpernel" oleh Baroness Orczy, juga menggunakan guillotine sebagai elemen dramatis utama, menggambarkan upaya-upaya heroik untuk menyelamatkan bangsawan dari bilah pisau selama Revolusi.
Dalam seni visual, guillotine sering digambarkan dalam bentuk yang kuat dan dramatis. Dari ukiran dan lukisan kontemporer Revolusi hingga interpretasi modern, ia selalu menonjol. Ilustrasi awal seringkali berfokus pada kerumunan penonton, menampilkan tontonan publik yang mengerikan. Seniman menggunakannya untuk menyampaikan pesan politik, kritik sosial, atau hanya untuk menangkap momen sejarah yang brutal.
Karya-karya seperti lukisan Jacques-Louis David yang menggambarkan Marat yang terbunuh, meskipun tidak secara langsung menampilkan guillotine, tetap berada dalam konteks kekerasan revolusioner yang diwakili oleh alat tersebut. Kartun politik dan karikatur pada masa Revolusi juga sering menggunakan guillotine sebagai metafora yang tajam untuk kekuasaan yang berlebihan dan penghancuran musuh politik.
Di abad ke-20 dan ke-21, guillotine terus muncul dalam film, serial televisi, dan video game. Film-film bertema Revolusi Prancis, seperti adaptasi "A Tale of Two Cities" atau "Danton", secara rutin menampilkan adegan eksekusi guillotine. Ia menjadi shorthand visual untuk era tersebut dan kekejamannya. Dalam konteks modern, guillotine sering digunakan untuk membangkitkan rasa takut, ketidakadilan, atau sebagai simbol dari konsekuensi ekstrem sebuah revolusi atau perubahan politik.
Di luar penggambaran historis, guillotine juga muncul dalam fiksi horor, cerita-cerita distopia, dan bahkan komedi gelap, seringkali dengan sentuhan absurditas atau hiperbola. Ini menunjukkan bahwa alat ini telah melampaui konteks sejarah aslinya dan menjadi bagian dari arketipe universal tentang kekuasaan, hukuman, dan kematian.
Di luar representasi literal, guillotine juga berfungsi sebagai metafora yang kuat:
Melalui semua manifestasi budaya ini, guillotine tetap relevan, tidak hanya sebagai peninggalan sejarah tetapi sebagai cerminan abadi dari sisi gelap sifat manusia dan dinamika kekuasaan.
Meskipun paling terkenal karena hubungannya dengan Revolusi Prancis, guillotine tidak terbatas pada Prancis. Konsep dan alat ini diadopsi oleh beberapa negara lain, sebagian besar di Eropa, yang melihatnya sebagai metode eksekusi yang efisien dan pada masanya, dianggap lebih "manusiawi."
Ada beberapa alasan mengapa negara-negara di luar Prancis mengadopsi guillotine:
Meskipun adopsi internasional ini, guillotine tetap paling erat terkait dengan Prancis, baik dalam imajinasi publik maupun dalam simbolisme sejarahnya. Penggunaan masifnya oleh Nazi Jerman, bagaimanapun, menambahkan babak yang sangat kelam dan mengerikan pada sejarah alat tersebut, jauh melampaui apa yang mungkin dibayangkan oleh Dr. Guillotin yang humanis.
Setelah dominasinya selama Revolusi Prancis dan penggunaannya di berbagai negara, nasib guillotine mulai meredup seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan pandangan masyarakat tentang hukuman mati, meningkatnya sensitivitas terhadap kekejaman, dan argumen filosofis yang kuat pada akhirnya menyebabkan penurunannya dan akhirnya, abolisi total.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak negara Eropa mulai menjauh dari eksekusi publik. Pertunjukan kekerasan di depan umum mulai dianggap barbar dan tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang "beradab." Di Prancis, eksekusi guillotine terakhir yang sepenuhnya publik terjadi pada tahun 1939, di luar penjara Versailles. Korban, Eugen Weidmann, seorang pembunuh berantai, menyebabkan kerumunan yang begitu kacau dan histeris sehingga pemerintah Prancis memutuskan untuk mengakhiri eksekusi publik. Sejak itu, semua eksekusi dilakukan secara tertutup di dalam penjara.
Pergeseran ini mencerminkan tren yang lebih luas: rasa jijik yang tumbuh terhadap kekerasan yang disaksikan secara langsung dan pengakuan bahwa tontonan seperti itu justru dapat memperkuat sisi gelap sifat manusia daripada mengintimidasi atau mendidik.
Seiring waktu, argumen menentang hukuman mati secara umum semakin kuat. Para penentang berargumen:
Untuk guillotine, khususnya, meskipun ia memecahkan masalah eksekusi yang gagal, ia tidak memecahkan masalah moral yang lebih besar dari hukuman mati itu sendiri. Pertanyaan tentang kesadaran setelah pemenggalan juga terus menghantui alat ini, menambahkan lapisan kengerian psikologis.
Eksekusi terakhir oleh guillotine di Prancis terjadi pada tanggal 10 September 1977. Korbannya adalah Hamida Djandoubi, seorang imigran Tunisia yang dihukum karena penyiksaan dan pembunuhan. Eksekusi Djandoubi di penjara Baumettes di Marseille menjadi momen penting. Ini adalah eksekusi hukuman mati terakhir di Eropa Barat dan menarik perhatian internasional yang besar. Meskipun dilakukan secara tertutup, kasus ini memicu perdebatan sengit tentang keberlanjutan hukuman mati di Prancis dan negara-negara demokratis.
Gelombang dukungan untuk penghapusan hukuman mati tumbuh kuat di Prancis setelah kasus Djandoubi. Tokoh kunci dalam gerakan abolisionis adalah Robert Badinter, seorang pengacara terkemuka dan menteri kehakiman di bawah Presiden François Mitterrand. Badinter adalah seorang penentang hukuman mati yang vokal dan gigih. Setelah Mitterrand memenangkan pemilihan presiden pada tahun 1981, salah satu janji utamanya adalah menghapus hukuman mati.
Pada tanggal 9 Oktober 1981, di bawah kepemimpinan Badinter, Majelis Nasional Prancis secara resmi menghapus hukuman mati. Dengan demikian, guillotine, alat yang telah menjadi simbol identitas Prancis selama hampir dua abad, akhirnya dipensiunkan untuk selamanya. Keputusan ini disambut dengan pujian internasional, tetapi juga kontroversi di dalam negeri, dengan sebagian besar masyarakat Prancis masih mendukung hukuman mati pada saat itu.
Dengan abolisi di Prancis, guillotine secara efektif menghilang dari praktik hukum. Negara-negara lain yang masih menggunakannya telah menghentikannya bertahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, sebuah babak dalam sejarah hukuman mati ditutup, mengakhiri era bilah jatuh yang ikonik.
Meskipun guillotine telah dihilangkan dari praktik hukum di seluruh dunia, warisannya jauh dari terlupakan. Alat ini tetap menjadi salah satu simbol paling kuat dan abadi dalam sejarah manusia, sarat dengan makna yang kompleks dan seringkali kontradiktif.
Guillotine adalah simbol tak terpisahkan dari Revolusi Prancis. Ia mewakili janji revolusi akan kesetaraan — bahwa semua orang, dari raja hingga rakyat jelata, akan menghadapi kematian yang sama di hadapan hukum. Namun, ia juga melambangkan teror, kekejaman yang tak terkendali, dan bahaya ekstremisme politik. Kontradiksi ini adalah inti dari daya tarik dan kengerian revolusi itu sendiri. Guillotine adalah representasi visual dari bagaimana cita-cita luhur dapat dengan cepat berubah menjadi mesin penghancur.
Untuk beberapa waktu, guillotine dipandang sebagai alat untuk keadilan yang cepat dan tidak memihak. Namun, seiring waktu, dan terutama dengan pengalaman Reign of Terror, ia datang untuk melambangkan ketidakadilan, pengadilan palsu, dan kekuasaan negara yang menindas. Desainnya yang dingin dan mekanis, yang dirancang untuk efisiensi, justru menyoroti impersonalitas hukuman mati, menghilangkan semua martabat dari proses tersebut.
Kisah guillotine secara intrinsik terjalin dengan perdebatan filosofis yang lebih besar tentang hukuman mati. Alat ini memaksa masyarakat untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan fundamental: Apakah hukuman mati etis? Bisakah kematian itu "manusiawi"? Apakah negara memiliki hak untuk mengambil nyawa warganya? Melalui guillotine, kita melihat evolusi pemikiran tentang keadilan, belas kasihan, dan hak asasi manusia.
Guillotine tetap hidup dalam memori kolektif melalui pendidikan sejarah, sastra, seni, dan budaya populer. Museum-museum memajang sisa-sisa guillotine, artefak yang menakutkan dari masa lalu. Ia muncul dalam ekspresi idiomatik, seperti "kepala akan jatuh" (heads will roll), yang menunjukkan konsekuensi drastis atau hukuman berat. Ini menunjukkan bagaimana konsep guillotine telah berakar dalam bahasa dan pemahaman kita tentang kekuasaan dan pembalasan.
Warisan moral guillotine adalah pengingat yang kuat akan bahaya absolutisme dan dehumanisasi. Alat ini, yang diciptakan dengan niat yang relatif "baik" (mengurangi penderitaan), dengan cepat menjadi instrumen teror massal. Ini adalah peringatan abadi tentang bagaimana teknologi dan kekuasaan dapat disalahgunakan, dan tentang pentingnya perlindungan hak-hak individu di hadapan negara.
Dari pendahulu kuno seperti Halifax Gibbet hingga inovasi modern yang disalahpahami, guillotine adalah lebih dari sekadar mesin pembunuh; ia adalah cerminan dari ambisi, ketakutan, dan moralitas masyarakat yang menggunakannya. Dirancang dengan niat untuk keadilan dan "kemanusiaan" di tengah kegilaan Revolusi Prancis, alat ini ironisnya menjadi ikon teror dan simbol paling mencolok dari kekejaman yang dilembagakan.
Kisah guillotine adalah perjalanan melalui perdebatan filosofis tentang hidup dan mati, keadilan dan pembalasan, dan batas-batas kekuasaan negara. Dari eksekusi raja hingga penghapusan total, setiap bilah yang jatuh telah menulis babak dalam narasi manusia tentang hukuman dan reformasi. Pada akhirnya, guillotine mungkin telah menghilang dari ruang sidang dan panggung eksekusi, tetapi bayangannya masih tetap ada, sebuah pengingat abadi akan kekuatan destruktif kekuasaan yang tak terkendali dan panggilan abadi untuk keadilan yang sejati dan manusiawi.