Gusuran: Kisah Manusia, Pembangunan, dan Keadilan Perkotaan

Pendahuluan: Wajah Ganda Pembangunan

Setiap kota memiliki cerita. Di balik gemerlap gedung pencakar langit, jalan tol yang mulus, dan pusat perbelanjaan megah, tersimpan narasi lain yang tak kalah penting, seringkali lebih getir: kisah tentang "gusuran". Gusuran, atau penggusuran paksa, adalah fenomena kompleks yang menjadi konsekuensi tak terhindarkan dari laju urbanisasi dan pembangunan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Ia bukan sekadar perpindahan fisik sekelompok orang dari satu lokasi ke lokasi lain. Lebih dari itu, gusuran adalah sebuah peristiwa sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang mengoyak tatanan hidup, meruntuhkan impian, dan seringkali meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang mengalaminya. Ini adalah wajah ganda pembangunan, di mana kemajuan satu pihak seringkali dibayar mahal oleh penderitaan pihak lain.

Di Indonesia, kata "gusuran" telah akrab di telinga masyarakat, seringkali dikaitkan dengan konflik agraria, perebutan lahan, dan upaya pemerintah atau swasta untuk "menata" kota. Narasi yang sering muncul di media menggambarkan warga sebagai penghalang pembangunan, atau sebaliknya, pemerintah/pengembang sebagai pihak yang tidak manusiawi. Namun, realitasnya jauh lebih berlapis. Gusuran melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan yang berbeda-beda: pemerintah dengan visi pembangunan dan regulasi tata ruangnya, pengembang dengan motif ekonomi dan investasi, serta masyarakat yang menggantungkan seluruh hidupnya pada sepetak tanah yang mereka huni. Memahami gusuran berarti menyelami labirin hukum, etika, hak asasi manusia, serta dinamika kekuasaan yang bekerja di baliknya.

Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena gusuran di Indonesia. Kita akan memulai dengan mendefinisikan apa itu gusuran, melampaui makna harfiahnya, untuk memahami dimensi sosial dan kemanusiaannya. Selanjutnya, kita akan mengidentifikasi akar masalah dan pemicu utama di balik terjadinya gusuran, dari kebutuhan infrastruktur hingga sengketa legalitas lahan. Dampak multidimensional yang ditimbulkan oleh gusuran akan dieksplorasi secara mendalam, baik bagi individu, keluarga, maupun komunitas. Kita juga akan meninjau perspektif berbagai aktor yang terlibat dan bagaimana kerangka hukum di Indonesia berinteraksi dengan isu hak asasi manusia dalam konteks penggusuran. Terakhir, artikel ini akan menawarkan berbagai solusi dan pendekatan menuju pembangunan kota yang lebih inklusif dan berkeadilan, di mana kemajuan tidak harus mengorbankan martabat manusia.

Memahami 'Gusuran': Definisi dan Dimensi

Kata "gusuran" secara harfiah merujuk pada tindakan menggusur atau memindahkan sesuatu dari tempatnya. Namun, dalam konteks sosial perkotaan, maknanya jauh lebih kompleks dan berdimensi. Gusuran tidak hanya tentang bangunan yang dirobohkan atau lahan yang dikosongkan; ia adalah peristiwa sosial yang melibatkan manusia, hak-hak mereka, dan seluruh jaringan kehidupan yang telah mereka bangun.

Bukan Sekadar Pindah, tapi Kehilangan

Bagi sebagian besar masyarakat yang mengalami gusuran, terutama mereka yang tinggal di pemukiman informal atau padat penduduk, tempat tinggal bukan hanya sekadar atap di atas kepala. Ia adalah pusat kehidupan, pusat ekonomi, dan pusat komunitas. Kehilangan tempat tinggal berarti kehilangan:

1. Akses ke Mata Pencarian: Banyak warga menggantungkan hidupnya pada usaha informal di sekitar tempat tinggal mereka. Penggusuran seringkali memutus akses ke pasar, pelanggan, dan jaringan sosial yang esensial untuk kelangsungan hidup ekonomi mereka.
2. Jaringan Sosial dan Komunitas: Lingkungan kumuh sekalipun seringkali memiliki ikatan komunitas yang kuat, dibentuk oleh sejarah bersama, saling tolong-menolong, dan kedekatan emosional. Gusuran merobek ikatan ini, menyebabkan isolasi dan kerentanan psikologis.
3. Akses ke Layanan Dasar: Relokasi yang tidak direncanakan dengan baik dapat menjauhkan warga dari sekolah anak-anak, fasilitas kesehatan, dan transportasi umum, menambah beban hidup.
4. Identitas dan Sejarah: Bagi banyak keluarga, tempat tinggal adalah warisan, tempat memori, dan bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Kehilangan rumah adalah kehilangan bagian dari diri mereka sendiri, sejarah mereka, dan ikatan dengan tanah leluhur.
5. Rasa Aman dan Kepastian: Penggusuran, terutama yang disertai kekerasan, menciptakan trauma psikologis yang mendalam, menghancurkan rasa aman dan keyakinan akan masa depan.

Jenis-Jenis Gusuran dalam Konteks Urban

Fenomena gusuran dapat dikategorikan berdasarkan berbagai faktor, termasuk tingkat paksaan, tujuan, dan pihak yang terlibat. Memahami jenis-jenis ini membantu kita melihat kompleksitas di balik setiap peristiwa:

• Gusuran Paksa (Forced Eviction)

  Ini adalah bentuk gusuran yang paling drastis dan melanggar hak asasi manusia. Gusuran paksa terjadi ketika warga dipaksa keluar dari rumah atau tanah mereka tanpa perlindungan hukum yang memadai, tanpa akses ke ganti rugi yang adil, dan tanpa opsi relokasi yang layak. Seringkali, gusuran ini melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dari aparat keamanan. Ciri utamanya adalah ketiadaan dialog, negosiasi yang seimbang, dan proses hukum yang transparan. Gusuran paksa biasanya melanggar Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang mengamanatkan hak atas perumahan yang layak.

• Gusuran Semu (Constructive Eviction)

  Tidak selalu melalui kekerasan fisik, gusuran juga bisa terjadi secara "halus" atau tidak langsung. Gusuran semu adalah ketika pemerintah atau pihak pengembang menciptakan kondisi yang tidak layak huni di sekitar pemukiman warga, seperti memutus akses air, listrik, sanitasi, atau sengaja membiarkan lingkungan menjadi kumuh dan tidak aman. Tujuan akhirnya adalah mendorong warga untuk "sukarela" meninggalkan lokasi karena kondisi yang semakin memburuk dan tidak manusiawi, tanpa perlu melakukan penggusuran paksa secara langsung. Bentuk ini seringkali lebih sulit untuk dibuktikan secara hukum tetapi sama merusaknya bagi kehidupan warga.

• Gusuran Akibat Relokasi (Relocation Eviction)

  Jenis ini terjadi ketika warga dipindahkan dari lokasi mereka saat ini untuk tujuan pembangunan, namun dengan janji relokasi ke tempat lain. Masalah sering timbul ketika tempat relokasi tidak memenuhi standar kelayakan, terlalu jauh dari mata pencarian, atau tidak memiliki fasilitas dasar yang memadai. Meskipun ada upaya untuk menyediakan alternatif, kualitas relokasi seringkali jauh di bawah ekspektasi dan tidak mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi warga yang dipindahkan.

• Gusuran Pasar (Market-Driven Eviction/Gentrification)

  Dalam konteks gentrifikasi, kenaikan nilai properti dan biaya hidup di suatu area dapat secara tidak langsung menggusur penduduk berpenghasilan rendah. Ketika sebuah lingkungan menjadi semakin "menarik" bagi investor atau penduduk kelas menengah ke atas, harga sewa dan pajak properti melonjak. Penduduk asli yang tidak mampu lagi membayar biaya tersebut terpaksa pindah, meski tanpa paksaan langsung. Ini adalah gusuran yang didorong oleh kekuatan pasar dan perubahan demografi, seringkali mengubah karakter sosial suatu kawasan secara drastis.

Gusuran, dalam segala bentuknya, adalah cerminan dari ketidakseimbangan kekuasaan dan seringkali menjadi indikator dari kegagalan perencanaan kota yang inklusif dan berkeadilan. Ini adalah isu yang menuntut perhatian serius, bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat sipil.

Akar Masalah dan Pemicu Gusuran

Penggusuran bukanlah kejadian tunggal yang berdiri sendiri; ia adalah puncak dari serangkaian faktor yang saling terkait, baik struktural maupun situasional. Memahami akar masalah ini krusial untuk mencari solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Pembangunan Infrastruktur Skala Besar

Salah satu pemicu paling umum gusuran di Indonesia adalah proyek pembangunan infrastruktur. Dalam upaya meningkatkan konektivitas, memacu pertumbuhan ekonomi, dan memperbaiki layanan publik, pemerintah seringkali meluncurkan proyek-proyek besar seperti:

• Jalan Tol dan Jalan Layang: Pembangunan jalur-jalur transportasi ini kerap memerlukan pembebasan lahan yang luas, memaksa warga yang berada di rute proyek untuk pindah.
• Bendungan dan Irigasi: Proyek-proyek pengairan seringkali menenggelamkan desa-desa atau pemukiman yang berada di area genangan, memaksa ribuan orang direlokasi.
• Pelabuhan, Bandara, dan Jalur Kereta Api: Ekspansi fasilitas transportasi ini juga memerlukan lahan yang signifikan, seringkali berbenturan dengan pemukiman padat.
• Pembangkit Listrik dan Jaringan Energi: Pembangunan fasilitas vital ini, termasuk jalur transmisi listrik, dapat melewati dan menggusur area pemukiman.

Meskipun infrastruktur sangat penting untuk kemajuan, proses pembebasan lahan untuk proyek-proyek ini seringkali tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak adil dalam pemberian kompensasi, sehingga memicu konflik dan gusuran paksa.

Pembangunan Komersial dan Residensial Swasta

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah di perkotaan, permintaan akan properti komersial (pusat perbelanjaan, perkantoran) dan residensial (apartemen mewah, perumahan elit) meningkat tajam. Hal ini mendorong pengembang swasta untuk mencari lahan strategis, yang seringkali sudah dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau informal. Konflik muncul ketika pengembang menggunakan berbagai cara, mulai dari pembelian yang "lunak" hingga tekanan yang lebih agresif, untuk menguasai lahan tersebut.

• Pengembangan Real Estat: Pembangunan kondominium, apartemen, dan perumahan kluster yang berorientasi pasar seringkali menargetkan lokasi strategis di pusat kota atau daerah pinggir kota yang prospektif, yang notabene dihuni oleh masyarakat yang rentan.
• Pusat Bisnis dan Perbelanjaan: Transformasi area kumuh menjadi kawasan bisnis modern juga menjadi pemicu gusuran, mengubah wajah kota namun mengorbankan penduduk aslinya.

Dalam banyak kasus, proses akuisisi lahan oleh pengembang swasta ini kurang terawasi, rentan terhadap praktik calo tanah, dan tidak menjamin hak-hak warga yang terancam gusur.

Urbanisasi dan Kebutuhan Lahan yang Mendesak

Indonesia mengalami laju urbanisasi yang pesat. Jutaan orang berpindah dari desa ke kota setiap tahun mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan populasi kota ini menciptakan tekanan besar terhadap ketersediaan lahan dan infrastruktur. Pemerintah kota seringkali merasa perlu untuk "menata" kota, menghilangkan pemukiman kumuh yang dianggap tidak estetik atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Ini seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan penggusuran.

• Penataan Kawasan Kumuh: Program penataan kota seringkali berujung pada penggusuran warga, dengan dalih revitalisasi atau perbaikan lingkungan, namun tanpa menyediakan solusi perumahan yang layak.
• Pencegahan Banjir dan Bencana: Di beberapa kota, penggusuran dilakukan dengan alasan mitigasi bencana, seperti penggusuran di bantaran sungai atau daerah rawan longsor. Meskipun tujuannya baik, pelaksanaannya seringkali tidak manusiawi dan tanpa persiapan relokasi yang matang.

Sengketa Lahan dan Legalitas Kepemilikan

Salah satu akar masalah paling fundamental dalam isu gusuran adalah sengketa lahan dan ketidakjelasan legalitas kepemilikan. Banyak warga yang telah mendiami suatu lahan selama beberapa generasi tidak memiliki sertifikat hak milik yang sah. Mereka mungkin hanya memiliki surat garapan, surat izin menempati, atau bahkan tidak memiliki dokumen sama sekali, terutama di pemukiman yang terbentuk secara informal.

• Tanah Negara/Publik: Banyak pemukiman informal berdiri di atas tanah yang diklaim sebagai milik negara (misalnya, bantaran sungai, jalur hijau, lahan bekas rel kereta api). Meskipun warga telah lama tinggal di sana, tanpa legalitas formal, posisi mereka sangat lemah.
• Tanah Adat: Di beberapa daerah, terjadi konflik antara hak adat masyarakat dengan klaim pemerintah atau perusahaan atas lahan yang secara turun-temurun menjadi milik masyarakat adat.
• Tumpang Tindih Sertifikat: Kasus tumpang tindih sertifikat atau sengketa batas lahan juga sering menjadi pemicu gusuran, di mana satu lahan diklaim oleh lebih dari satu pihak.
• Mafia Tanah: Keberadaan mafia tanah yang memalsukan dokumen atau mengakuisisi lahan secara tidak sah juga memperkeruh kondisi dan menjadi pemicu gusuran bagi warga yang sah namun lemah secara hukum.

Kebijakan Tata Ruang yang Tidak Inklusif

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dibuat oleh pemerintah daerah seringkali menjadi pedoman utama dalam pembangunan kota. Namun, dalam banyak kasus, proses penyusunan kebijakan ini kurang partisipatif, tidak melibatkan masyarakat terdampak secara berarti, dan cenderung mengabaikan keberadaan pemukiman informal. Akibatnya, banyak pemukiman warga menjadi "ilegal" secara de jure, meskipun mereka telah ada secara de facto selama puluhan tahun.

• Zona Hijau atau Peruntukan Lain: Lahan yang dihuni warga bisa saja ditetapkan sebagai zona hijau, zona komersial, atau zona industri dalam rencana tata ruang, yang secara otomatis menjadikan keberadaan mereka di lahan tersebut melanggar hukum.
• Kurangnya Perumahan Rakyat: Kebijakan perumahan yang lebih berpihak pada pembangunan hunian komersial daripada perumahan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga memperparah masalah, mendorong masyarakat untuk membangun pemukiman informal.

Semua faktor ini saling berinteraksi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana masyarakat yang paling rentanlah yang paling sering menjadi korban dari pembangunan yang tidak berpihak.

Dramaturgi Dampak: Korban dan Komunitas

Dampak gusuran jauh melampaui kerugian material. Ia menciptakan riak-riak kehancuran yang menyebar ke seluruh aspek kehidupan individu, keluarga, dan komunitas, menciptakan drama kehidupan yang pahit dan seringkali tidak tersembuhkan.

Kehilangan Tempat Tinggal: Lebih dari Sekadar Bangunan

Bagi sebagian besar korban gusuran, rumah adalah segalanya. Kehilangan tempat tinggal berarti:

1. Kehilangan Fisik dan Materi: Hancurnya bangunan, barang-barang pribadi, kenangan, dan seluruh aset yang telah dikumpulkan seumur hidup. Seringkali, harta benda yang tidak sempat diselamatkan menjadi puing-puing, menambah beban kerugian finansial yang tak terkira.
2. Trauma Psikologis Mendalam: Proses penggusuran yang seringkali disertai kekerasan atau ancaman, menciptakan trauma, stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, depresi, dan perasaan tidak berdaya. Anak-anak dan lansia sangat rentan terhadap dampak psikologis ini. Mereka kehilangan rasa aman dan stabilitas dalam hidup mereka.
3. Guncangan Identitas dan Martabat: Rumah seringkali menjadi simbol status, identitas, dan martabat. Digusur berarti kehilangan pengakuan sosial, merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua, dan merasakan kemerosotan martabat pribadi.

Dampak Ekonomi: Kemiskinan yang Membelit

Penggusuran hampir selalu berarti pukulan telak bagi kondisi ekonomi keluarga. Dampak ini bersifat multi-lapis:

• Kehilangan Mata Pencarian: Sebagaimana disinggung sebelumnya, banyak warga menggantungkan hidup pada usaha informal di sekitar rumah mereka. Penggusuran memutus akses ke lokasi strategis, jaringan pelanggan, dan modal sosial yang mendukung usaha tersebut. Pedagang kaki lima kehilangan lapaknya, buruh harian kehilangan akses ke proyek terdekat, dan ibu rumah tangga kehilangan kesempatan untuk berjualan kecil-kecilan di depan rumah.
• Kerugian Modal Sosial dan Finansial: Investasi waktu, tenaga, dan uang yang telah ditanamkan dalam membangun rumah atau mengembangkan usaha kini hancur begitu saja. Tidak jarang, warga harus berutang untuk menyewa tempat baru atau memulai hidup kembali, semakin membelit mereka dalam lingkaran kemiskinan.
• Biaya Hidup Meningkat: Jika direlokasi, biaya transportasi untuk mencapai tempat kerja atau pasar yang lama bisa sangat mahal. Harga kebutuhan pokok di tempat relokasi juga bisa berbeda, atau biaya sewa hunian yang baru mungkin lebih tinggi dari yang sebelumnya, menciptakan tekanan finansial baru.

Dampak Sosial: Komunitas yang Terkoyak

Komunitas adalah jaring pengaman sosial yang vital. Gusuran menghancurkan struktur sosial yang telah terbangun bertahun-tahun:

• Pembubaran Komunitas: Warga seringkali dipindahkan ke lokasi yang berbeda-beda, merobek ikatan kekeluargaan, persahabatan, dan gotong royong yang telah menjadi tulang punggung kehidupan mereka. Hilangnya solidaritas ini membuat individu semakin rentan dan terisolasi.
• Disorganisasi Sosial: Lingkungan baru, tanpa dukungan sosial yang kuat, dapat meningkatkan risiko konflik, kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Anak-anak kehilangan teman, orang dewasa kehilangan tetangga yang bisa diandalkan.
• Kerentanan Kelompok Rentan: Anak-anak kehilangan lingkungan bermain dan sekolah, lansia kehilangan dukungan keluarga dan tetangga, wanita kehilangan jaringan saling bantu. Mereka menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi dan kesulitan pasca-gusuran.

Dampak Pendidikan dan Kesehatan

Penggusuran juga memiliki efek domino pada akses pendidikan dan kesehatan:

• Gangguan Pendidikan: Anak-anak seringkali harus putus sekolah atau pindah sekolah ke tempat yang baru, yang mungkin memiliki kualitas pendidikan yang lebih rendah atau membutuhkan biaya transportasi yang lebih tinggi. Proses adaptasi di lingkungan sekolah baru juga bisa sulit.
• Penurunan Kesehatan Mental: Stres, kecemasan, dan depresi akibat penggusuran dapat memperburuk kondisi kesehatan mental seluruh anggota keluarga. Anak-anak mungkin menunjukkan masalah perilaku atau kesulitan belajar.
• Akses Kesehatan Terbatas: Tempat relokasi yang jauh dari fasilitas kesehatan atau lingkungan yang tidak sehat dapat memperburuk kondisi fisik warga, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit kronis atau membutuhkan perawatan rutin.

Gusuran adalah krisis kemanusiaan yang seringkali tersembunyi di balik narasi pembangunan. Memahami dampak multidimensionalnya adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa pembangunan di masa depan lebih manusiawi dan berkeadilan.

Perspektif Multi-Aktor dalam Isu Gusuran

Isu gusuran melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan, motivasi, dan kekuasaan yang berbeda-beda. Memahami sudut pandang masing-masing aktor adalah kunci untuk mengurai kompleksitas dan mencari titik temu.

Pemerintah: Dilema Pembangunan dan Tata Ruang

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, seringkali berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki mandat untuk melaksanakan pembangunan, meningkatkan infrastruktur, dan "menata" kota agar lebih modern dan efisien. Di sisi lain, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak atas perumahan yang layak.

• Visi Pembangunan: Pemerintah seringkali melihat penggusuran sebagai bagian yang tak terhindarkan dari program pembangunan kota, seperti proyek transportasi massal, revitalisasi kawasan kumuh, atau pembangunan pusat-pusat ekonomi baru. Mereka berargumen bahwa proyek-proyek ini demi kepentingan publik yang lebih luas.
• Penegakan Aturan Tata Ruang: Pemerintah juga bertindak berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pemukiman informal yang dianggap melanggar aturan, berdiri di lahan hijau, bantaran sungai, atau daerah rawan bencana, seringkali menjadi target penggusuran dengan alasan penegakan hukum dan keselamatan publik.
• Tekanan Politik dan Ekonomi: Ada kalanya pemerintah juga berada di bawah tekanan dari investor atau pengembang swasta yang memiliki kekuatan ekonomi besar, atau dari publik yang menuntut penertiban kota.
• Keterbatasan Sumber Daya: Solusi perumahan yang layak, kompensasi yang adil, dan program relokasi yang komprehensif membutuhkan anggaran besar. Keterbatasan sumber daya seringkali menjadi alasan di balik solusi yang kurang ideal bagi warga.

Pengembang Swasta: Keuntungan dan Investasi

Para pengembang swasta adalah aktor yang didorong oleh motif ekonomi dan investasi. Mereka mencari keuntungan dari pembangunan properti komersial atau residensial di lokasi-lokasi strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

• Pencarian Lahan Strategis: Lahan di pusat kota atau daerah yang sedang berkembang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Seringkali, lahan-lahan ini sudah dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
• Peningkatan Nilai Properti: Dengan mengakuisisi dan mengembangkan lahan tersebut, pengembang dapat menciptakan nilai properti yang jauh lebih tinggi, menarik investor dan pembeli.
• Peran dalam Pembangunan Ekonomi: Pengembang juga melihat diri mereka sebagai pendorong ekonomi, menciptakan lapangan kerja (meskipun sementara) dan menarik investasi, yang pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan kota.
• Strategi Akuisisi Lahan: Strategi akuisisi bisa beragam, dari negosiasi langsung, pembelian melalui perantara, hingga tekanan terselubung atau bahkan memanfaatkan celah hukum untuk mengklaim lahan.

Masyarakat Terdampak: Perjuangan untuk Bertahan Hidup dan Bermartabat

Masyarakat yang terancam atau mengalami gusuran adalah aktor yang paling rentan namun seringkali paling tidak berdaya. Bagi mereka, isu ini adalah perjuangan untuk mempertahankan hak atas tempat tinggal, mata pencarian, dan martabat.

• Hak atas Tempat Tinggal: Ini adalah hak dasar mereka yang seringkali terancam. Bagi banyak warga, rumah adalah satu-satunya aset yang mereka miliki, meskipun tidak ada legalitas formal.
• Kelangsungan Hidup Ekonomi: Hilangnya rumah berarti hilangnya akses ke mata pencarian, yang mengancam kelangsungan hidup keluarga mereka.
• Ikatan Sosial dan Budaya: Masyarakat sangat menghargai ikatan komunitas yang telah terbangun. Gusuran merobek ikatan ini, menyebabkan penderitaan sosial dan psikologis.
• Perlawanan dan Advokasi: Meskipun seringkali lemah secara politik, masyarakat terdampak seringkali melakukan perlawanan dan mencari dukungan dari organisasi masyarakat sipil, aktivis hukum, atau media untuk menyuarakan hak-hak mereka.
• Ketidakpercayaan terhadap Pemerintah: Pengalaman pahit di masa lalu seringkali menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap proses yang dilakukan oleh pemerintah atau pengembang.

Akademisi dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS): Suara Keadilan

Aktor lain yang memainkan peran penting adalah akademisi dan organisasi masyarakat sipil (OMS). Mereka berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, penyedia data dan analisis, serta pembela hak-hak masyarakat.

• Penelitian dan Analisis: Akademisi melakukan penelitian mendalam tentang dampak gusuran, akar masalahnya, dan pola-polanya, memberikan dasar empiris untuk advokasi.
• Advokasi dan Pendampingan Hukum: OMS seringkali memberikan pendampingan hukum gratis, mengorganisir masyarakat, dan melakukan advokasi ke pemerintah atau lembaga internasional untuk menekan agar proses gusuran dilakukan secara adil dan manusiawi.
• Pendidikan Publik: Mereka juga berperan dalam meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu hak asasi manusia dan keadilan sosial yang terkait dengan gusuran.
• Mediasi dan Negosiasi: Dalam beberapa kasus, OMS bertindak sebagai mediator antara pemerintah/pengembang dan masyarakat, membantu mencari solusi yang disepakati bersama.

Interaksi antara berbagai aktor ini seringkali penuh ketegangan, negosiasi yang alot, dan konflik terbuka. Solusi yang adil memerlukan pengakuan terhadap kepentingan setiap pihak, tetapi dengan prioritas pada perlindungan hak-hak dasar manusia, terutama mereka yang paling rentah.

Kerangka Hukum dan Hak Asasi Manusia

Isu gusuran tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum yang berlaku, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia. Namun, seringkali ada celah antara apa yang tertera dalam hukum dan praktik di lapangan.

Landasan Hukum di Indonesia

Indonesia memiliki berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, tata ruang, dan hak-hak warga. Namun, seringkali interpretasi dan implementasinya yang menjadi masalah.

• Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960

  UUPA adalah dasar hukum agraria di Indonesia. Meskipun bertujuan untuk memberikan kepastian hukum hak atas tanah, dalam praktiknya, banyak tanah di Indonesia yang belum bersertifikat, termasuk yang telah dihuni secara turun-temurun oleh masyarakat. Konsep "hak menguasai negara" atas tanah seringkali disalahpahami atau disalahgunakan untuk menjustifikasi penggusuran, mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau penggarap lama.

• Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

  Undang-undang ini mengatur prosedur pembebasan lahan untuk proyek-proyek publik. Ditegaskan bahwa proses harus transparan, partisipatif, dan kompensasi harus adil dan layak. Namun, definisi "kepentingan umum" seringkali diperdebatkan dan bisa menjadi celah bagi kepentingan komersial yang disamarkan. Kompensasi yang "adil" pun seringkali hanya diukur dari nilai properti tanpa mempertimbangkan kerugian non-materiil seperti hilangnya mata pencarian dan komunitas.

• Undang-Undang Tata Ruang

  UU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun rencana tata ruang. Pemukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang seringkali dianggap "ilegal" dan menjadi target penertiban. Masalahnya, penyusunan rencana tata ruang ini seringkali tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat terdampak, sehingga tidak mengakomodasi keberadaan mereka.

• Peraturan Daerah (Perda)

  Banyak Perda yang mengatur tentang penertiban pemukiman kumuh atau bangunan tanpa izin. Perda ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan penertiban, termasuk penggusuran. Namun, Perda ini seringkali tidak diimbangi dengan solusi perumahan yang layak dan manusiawi.

Hak Asasi Manusia dalam Konteks Gusuran

Di luar hukum nasional, ada prinsip-prinsip hak asasi manusia universal yang harus dihormati dalam setiap tindakan penggusuran. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional yang relevan.

• Hak atas Perumahan yang Layak

  Ini adalah hak dasar yang dijamin oleh Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Hak ini tidak hanya berarti memiliki atap di atas kepala, tetapi juga akses ke air bersih, sanitasi, listrik, keamanan kepemilikan, keterjangkauan, dan lingkungan yang layak huni. Penggusuran paksa secara terang-terangan melanggar hak ini.

• Hak untuk Tidak Digusur secara Paksa

  Komite HAM PBB menegaskan bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran berat hak asasi manusia. Setiap penggusuran harus dilakukan sebagai upaya terakhir, dengan pemberitahuan yang cukup, konsultasi yang berarti, ketersediaan ganti rugi yang adil, dan relokasi ke tempat yang layak.

• Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan

  Seperti dibahas sebelumnya, gusuran seringkali memutus akses ke mata pencarian, melanggar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

• Hak atas Kesehatan dan Pendidikan

  Dampak gusuran terhadap kesehatan fisik dan mental, serta gangguan pendidikan anak-anak, juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar ini.

• Hak atas Partisipasi dan Informasi

  Warga yang terdampak harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, serta hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan transparan.

Prosedur Penggusuran yang Adil (yang seringkali tidak adil)

Meskipun ada kerangka hukum dan HAM, praktik penggusuran di lapangan seringkali jauh dari kata "adil" dan "manusiawi".

• Kurangnya Pemberitahuan: Warga seringkali menerima pemberitahuan penggusuran yang mendadak, singkat, atau tidak jelas, tidak memberikan cukup waktu untuk mencari alternatif atau mengamankan barang-barang.
• Tidak Ada Konsultasi Bermakna: Dialog yang terjadi seringkali hanya formalitas, bukan negosiasi yang seimbang. Keputusan seringkali sudah diambil sebelumnya tanpa mempertimbangkan masukan warga.
• Kompensasi Tidak Layak: Ganti rugi yang diberikan seringkali jauh di bawah nilai pasar, tidak mencakup kerugian non-materiil, atau bahkan tidak ada sama sekali, terutama bagi mereka yang dianggap "ilegal".
• Tidak Ada Opsi Relokasi Layak: Jika ada relokasi, tempat yang disediakan seringkali jauh dari pusat kota, tidak memiliki akses ke fasilitas dasar, atau tidak sesuai dengan mata pencarian warga.
• Penggunaan Kekerasan: Dalam banyak kasus, penggusuran dilakukan dengan menggunakan aparat keamanan, menimbulkan ketakutan dan seringkali kekerasan fisik, yang melanggar prinsip HAM.

Jelas bahwa hukum dan hak asasi manusia memberikan landasan yang kuat untuk menuntut keadilan dalam isu gusuran. Namun, implementasinya yang konsisten dan berpihak pada masyarakat rentan adalah tantangan besar yang membutuhkan komitmen politik dan pengawasan yang kuat.

Mencari Solusi Berkelanjutan dan Berkeadilan

Menghadapi kompleksitas isu gusuran, mencari solusi yang berkelanjutan dan berkeadilan adalah keharusan. Ini membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan yang reaktif dan represif menjadi proaktif, partisipatif, dan berorientasi pada hak asasi manusia.

1. Perencanaan Partisipatif dan Inklusif

Kunci untuk menghindari konflik gusuran adalah dengan melibatkan masyarakat sejak awal dalam proses perencanaan kota. Rencana tata ruang harus disusun dengan mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.

• Dialog Bermakna: Pemerintah harus membuka ruang dialog yang substantif dan setara dengan masyarakat terdampak, mendengarkan aspirasi dan kekhawatiran mereka, bukan sekadar sosialisasi keputusan yang sudah jadi.
• Pendataan Akurat: Melakukan pendataan yang komprehensif terhadap semua penghuni, termasuk yang tidak memiliki legalitas formal, untuk memahami profil sosial-ekonomi mereka.
• Co-Production of Urban Space: Mendorong model "co-production" di mana masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta bekerja sama untuk merancang dan membangun lingkungan perkotaan yang sesuai untuk semua.

2. Reforma Agraria dan Legalitas Lahan

Memperkuat legalitas kepemilikan tanah bagi masyarakat adalah langkah fundamental untuk mencegah gusuran. Program reforma agraria yang sejati dapat memberikan kepastian hukum bagi petani, masyarakat adat, dan penghuni pemukiman informal.

• Sertifikasi Tanah: Percepatan program sertifikasi tanah bagi warga yang telah mendiami lahan dalam waktu lama, meskipun tanpa dokumen formal sebelumnya, melalui program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang berpihak pada rakyat kecil.
• Perlindungan Hak Komunal: Mengakui dan melindungi hak-hak tanah komunal masyarakat adat dan tradisional.
• Bank Tanah: Pembentukan bank tanah oleh pemerintah untuk menyediakan cadangan lahan yang dapat digunakan untuk perumahan rakyat atau proyek yang benar-benar berorientasi sosial, bukan hanya komersial.

3. Ganti Rugi yang Layak dan Manusiawi

Jika penggusuran tidak dapat dihindari, kompensasi yang diberikan harus benar-benar adil dan layak, bukan hanya secara finansial tetapi juga mempertimbangkan kerugian non-materiil.

• Penilaian Komprehensif: Penilaian ganti rugi harus mencakup tidak hanya nilai bangunan dan tanah, tetapi juga hilangnya mata pencarian, biaya perpindahan, kerugian sosial-psikologis, dan peluang ekonomi yang hilang.
• Bukan Sekadar Uang Tunai: Kompensasi bisa berupa kombinasi uang tunai, hunian pengganti yang layak, akses ke fasilitas publik, dan dukungan transisi untuk mata pencarian baru.
• Transparansi dan Akuntabilitas: Proses penilaian dan pemberian ganti rugi harus transparan, melibatkan pihak independen, dan dapat diaudit.

4. Relokasi yang Komprehensif dan Berbasis Komunitas

Relokasi bukanlah sekadar memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. Ia harus direncanakan secara holistik.

• Tempat Relokasi yang Layak: Lokasi relokasi harus memiliki akses yang baik ke transportasi, sekolah, fasilitas kesehatan, pasar, dan mata pencarian. Hunian yang disediakan harus memenuhi standar kelayakan dan memiliki lingkungan yang mendukung.
• Relokasi Bersama Komunitas: Idealnya, komunitas yang digusur direlokasi bersama-sama agar ikatan sosial tidak putus. Model kampung deret atau vertikal di lokasi yang sama atau berdekatan dapat menjadi solusi.
• Dukungan Transisi: Menyediakan program dukungan transisi, seperti pelatihan keterampilan baru, bantuan modal usaha, atau pendampingan dalam mencari pekerjaan baru di lokasi relokasi.

5. Peran Organisasi Masyarakat Sipil dan Akademisi

OMS dan akademisi memiliki peran krusial dalam mendorong solusi berkelanjutan.

• Advokasi Kebijakan: Mendorong perubahan kebijakan yang lebih pro-rakyat, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.
• Pendampingan Hukum: Memberikan bantuan hukum gratis dan pendampingan bagi masyarakat terdampak.
• Pemantauan dan Evaluasi: Mengawasi pelaksanaan program pembangunan dan memastikan kepatuhan terhadap standar HAM.
• Pendidikan dan Peningkatan Kapasitas: Memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan tentang hak-hak mereka dan strategi advokasi.

6. Pembangunan Perumahan Rakyat yang Berkeadilan

Pemerintah harus berinvestasi lebih banyak dalam pembangunan perumahan yang terjangkau dan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, bukan hanya mengandalkan pasar swasta.

• Program Rusunawa/Rusunami: Membangun lebih banyak rumah susun sederhana sewa atau hak milik yang lokasinya strategis dan terintegrasi dengan fasilitas kota.
• Skema Pembiayaan Inovatif: Mengembangkan skema pembiayaan perumahan yang inovatif dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
• Revitalisasi Tanpa Penggusuran: Menerapkan pendekatan revitalisasi kawasan kumuh yang tidak melibatkan penggusuran, seperti "in-situ upgrading", di mana lingkungan diperbaiki tanpa merelokasi penduduk asli.

Gusuran adalah tantangan multidimensional yang membutuhkan pendekatan holistik dan kerja sama lintas sektor. Hanya dengan komitmen kuat terhadap keadilan sosial dan hak asasi manusia, kita dapat membangun kota yang benar-benar inklusif, di mana pembangunan tidak lagi harus memakan korban manusia.

Membangun Kota Inklusif: Sebuah Visi

Pada akhirnya, solusi terhadap masalah gusuran terletak pada visi yang lebih besar tentang bagaimana kita ingin kota-kota kita berkembang. Ini adalah visi kota yang inklusif, tempat di mana setiap warga, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Pembangunan yang Mengedepankan Manusia

Paradigma pembangunan harus bergeser dari sekadar pertumbuhan ekonomi atau estetika fisik menjadi pembangunan yang berpusat pada manusia. Ini berarti:

• Hak atas Kota: Mengakui bahwa setiap warga negara memiliki "hak atas kota", yaitu hak untuk hidup, bekerja, dan menikmati fasilitas kota tanpa diskriminasi.
• Kesejahteraan sebagai Indikator: Mengukur keberhasilan pembangunan bukan hanya dari angka pertumbuhan PDB atau jumlah gedung pencakar langit, melainkan dari peningkatan kualitas hidup, pengurangan kemiskinan, dan keadilan sosial bagi seluruh penduduk.
• Empati dan Kemanusiaan: Membangun kebijakan dengan dasar empati terhadap mereka yang paling rentan, memastikan bahwa pembangunan tidak menciptakan ketidakadilan baru.

Keadilan Spasial

Keadilan spasial berarti distribusi sumber daya, layanan, dan peluang di dalam kota secara adil, tidak hanya berdasarkan kemampuan ekonomi. Ini menentang segregasi spasial dan memastikan bahwa area yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah tidak diabaikan atau ditargetkan untuk penggusuran.

• Akses Setara: Memastikan akses yang setara terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, dan ruang publik yang berkualitas untuk semua wilayah kota.
• Pengakuan Keberadaan: Mengakui bahwa pemukiman informal adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika kota dan mencari cara untuk mengintegrasikan mereka secara inklusif, bukan menghilangkannya.

Dialog dan Negosiasi sebagai Fondasi

Konflik yang berujung pada gusuran seringkali berakar pada kurangnya dialog yang tulus. Dialog dan negosiasi yang berkelanjutan harus menjadi fondasi utama dalam setiap proses pembangunan yang melibatkan perubahan tata guna lahan atau pemindahan penduduk.

• Mekanisme Penyelesaian Konflik: Mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang independen, adil, dan dapat diakses oleh semua pihak.
• Peran Mediasi: Memberdayakan lembaga mediasi yang netral dan kompeten untuk memfasilitasi negosiasi antara pihak-pihak yang berkonflik.

Perencanaan Kota yang Responsif dan Adaptif

Rencana kota harus responsif terhadap perubahan demografi dan sosial, serta adaptif terhadap kebutuhan yang berkembang. Ini berarti perencanaan yang tidak kaku, melainkan fleksibel dan mampu berdialog dengan realitas di lapangan.

• Data Berbasis Komunitas: Menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dari tingkat komunitas untuk menginformasikan keputusan perencanaan.
• Evaluasi Berkelanjutan: Secara rutin mengevaluasi efektivitas kebijakan tata ruang dan program pembangunan untuk mengidentifikasi kesenjangan dan membuat penyesuaian yang diperlukan.

Kesimpulan: Menuju Pembangunan yang Berpihak pada Kemanusiaan

Fenomena gusuran adalah cerminan kompleksitas pembangunan di Indonesia yang seringkali mempertaruhkan hak asasi manusia demi ambisi kemajuan fisik. Ini adalah luka kronis dalam tubuh perkotaan yang menuntut perhatian serius dan penanganan yang sistematis.

Kita telah melihat bagaimana gusuran bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan serangkaian kehilangan yang mendalam: kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, komunitas, identitas, dan martabat. Akar masalahnya bercabang dari kebutuhan infrastruktur, motif ekonomi pengembang, tekanan urbanisasi, sengketa legalitas lahan, hingga kebijakan tata ruang yang tidak inklusif. Semua ini berinteraksi, menciptakan jurang lebar antara janji pembangunan dan realitas penderitaan manusia.

Meskipun ada kerangka hukum dan hak asasi manusia yang seharusnya melindungi warga, implementasinya di lapangan seringkali jauh dari ideal, diwarnai oleh kurangnya transparansi, partisipasi yang minim, kompensasi yang tidak layak, dan seringkali penggunaan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa hukum saja tidak cukup; dibutuhkan komitmen politik yang kuat, empati, dan keberanian untuk menempatkan manusia sebagai prioritas utama pembangunan.

Mencari solusi untuk gusuran adalah perjalanan panjang yang membutuhkan perubahan mendasar. Ini dimulai dengan perencanaan yang partisipatif dan inklusif, reforma agraria yang berpihak pada rakyat, pemberian ganti rugi yang benar-benar layak, dan relokasi yang komprehensif, bukan sekadar memindahkan masalah. Peran aktif organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media juga krusial dalam mengadvokasi keadilan dan mengawasi jalannya pembangunan. Yang terpenting, kita harus membangun visi kota yang inklusif, di mana pertumbuhan dan kemajuan tidak dicapai dengan mengorbankan hak dan martabat warganya yang paling rentan.

Pembangunan sejati bukanlah tentang seberapa tinggi gedung yang menjulang atau seberapa panjang jalan yang membentang, melainkan seberapa baik kota itu mampu melindungi dan melayani semua penghuninya, terutama mereka yang paling membutuhkan. Hanya dengan berpihak pada kemanusiaan, kita dapat menciptakan kota-kota yang benar-benar layak huni, adil, dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.