Hadanah, sebuah konsep fundamental dalam hukum keluarga Islam, merujuk pada hak asuh dan pemeliharaan anak-anak yang belum mencapai usia tamyiz (kemampuan membedakan baik buruk) atau bahkan setelahnya, hingga mereka mandiri. Konsep ini bukan sekadar hak, melainkan juga kewajiban mulia yang diemban oleh orang tua atau pihak lain yang berhak, demi memastikan tumbuh kembang anak secara fisik, mental, spiritual, dan moral berjalan optimal. Dalam konteks perceraian atau perselisihan keluarga, hadanah menjadi isu krusial yang sering kali menjadi titik sengketa, karena menyentuh langsung masa depan dan kesejahteraan anak.
Pentingnya hadanah dalam Islam ditekankan melalui berbagai dalil syar'i, baik dari Al-Qur'an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW, serta diperkuat oleh konsensus para ulama (ijma') dari berbagai mazhab fiqih. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi kepentingan terbaik anak, yang oleh syariat Islam dianggap sebagai prioritas tertinggi. Anak-anak, dalam pandangan Islam, adalah amanah (titipan) dari Allah SWT yang harus dijaga dan dididik dengan sebaik-baiknya agar menjadi generasi saleh dan bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek terkait hadanah, mulai dari definisi dan landasan hukumnya, prinsip-prinsip umum, hierarki pihak yang berhak, syarat-syarat bagi pengasuh, faktor usia anak, perbedaan pandangan antarmazhab fiqih, implikasi finansial, pencabutan hak hadanah, hingga penerapannya dalam hukum positif Indonesia. Kita juga akan menelaah tantangan kontemporer dan dampak psikologis pada anak, serta peran penting peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa hadanah.
Secara etimologi, kata Hadanah (حضانه) berasal dari bahasa Arab yang berarti mendidik, mengasuh, memelihara, atau mendekap sesuatu ke dada. Akar katanya, hadhan, merujuk pada bagian dada atau pangkuan. Konsep ini secara implisit menunjukkan kedekatan, perlindungan, dan kehangatan yang diberikan oleh pengasuh kepada anak.
Dalam terminologi hukum Islam (fiqih), hadanah didefinisikan secara beragam oleh para ulama, namun esensinya tetap sama: pemeliharaan dan pengasuhan anak yang belum mampu mandiri, baik laki-laki maupun perempuan, hingga mencapai usia tertentu yang memungkinkannya untuk mengurus diri sendiri atau memilih salah satu dari orang tuanya. Definisi ini mencakup aspek fisik (pemberian makanan, pakaian, tempat tinggal), mental (pendidikan, bimbingan), dan moral (penanaman nilai-nilai agama dan akhlak mulia).
Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mendefinisikan hadanah sebagai: "Menjaga anak yang tidak mampu membedakan (tamyiz) dan mengurus dirinya sendiri, serta mendidiknya dari hal-hal yang merugikan dan membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat."
Hadanah mencakup seluruh kebutuhan anak, mulai dari makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, pengobatan, hingga perlindungan dari bahaya. Ini adalah tugas komprehensif yang tidak hanya memenuhi kebutuhan materiil, tetapi juga kebutuhan emosional dan spiritual anak.
Meskipun tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menggunakan kata "hadanah" untuk mengatur detail hak asuh, namun prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar hadanah dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang menekankan pentingnya perlindungan dan pemeliharaan anak, serta keadilan dalam hubungan keluarga. Beberapa di antaranya adalah:
Adapun landasan dari Hadis Nabi SAW, terdapat beberapa riwayat yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan hadanah:
Ijma' (konsensus) para ulama juga memperkuat bahwa hadanah adalah hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, dan hak seorang ibu untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil adalah prioritas, kecuali ada halangan syar'i. Tujuan utama dari seluruh dalil ini adalah untuk menjaga kemaslahatan anak dan memastikan perlindungan serta pendidikan yang layak baginya.
Hadanah dalam Islam didasari oleh beberapa prinsip fundamental yang menjadi pedoman dalam setiap pengambilan keputusan terkait hak asuh anak:
Ini adalah prinsip paling utama dan menjadi inti dari seluruh aturan hadanah. Setiap keputusan mengenai siapa yang berhak mengasuh anak, bagaimana pengasuhan itu dijalankan, dan sampai kapan, harus selalu didasarkan pada pertimbangan terbaik bagi kesejahteraan anak. Kemaslahatan anak mencakup segala aspek, baik fisik, mental, emosional, pendidikan, maupun moral-spiritual. Pengadilan atau pihak yang berwenang harus memastikan bahwa lingkungan pengasuhan akan memberikan anak kesempatan terbaik untuk tumbuh kembang secara sehat dan optimal.
Anak-anak, terutama yang masih kecil, dianggap sebagai pihak yang lemah dan sangat membutuhkan perlindungan serta pemenuhan kebutuhan dasar. Syariat Islam menempatkan perlindungan terhadap jiwa (an-nafs) dan keturunan (an-nasl) sebagai salah satu dari lima tujuan utama (maqashid syariah). Oleh karena itu, hadanah berfungsi sebagai mekanisme untuk memastikan kebutuhan ini terpenuhi dan anak terlindungi dari segala bentuk bahaya atau kelalaian.
Meskipun terjadi perceraian antara suami dan istri, tanggung jawab mereka sebagai orang tua terhadap anak tidak pernah berakhir. Hadanah mengatur siapa yang memiliki hak asuh harian, namun kewajiban nafkah tetap berada pada ayah, dan hak untuk mengunjungi serta mendidik anak tetap melekat pada kedua orang tua. Perceraian hanya memutus ikatan pernikahan, bukan ikatan orang tua-anak.
Prinsip keadilan menuntut bahwa keputusan hadanah harus adil bagi semua pihak, terutama anak. Keseimbangan antara hak pengasuh, kewajiban nafkah, dan hak kunjungan orang tua lain harus diupayakan. Tidak ada pihak yang boleh mendominasi secara tidak proporsional sehingga merugikan pihak lain atau, yang lebih penting, merugikan anak.
Ketika terjadi perpisahan atau perceraian, timbul pertanyaan siapa yang paling berhak atas hadanah. Mayoritas ulama fiqih telah menetapkan hierarki berdasarkan hadis dan prinsip kemaslahatan anak. Umumnya, hierarki ini mengutamakan pihak yang secara alami lebih dekat dan lebih mampu memberikan kasih sayang serta perawatan fisik di usia dini.
Mayoritas ulama sepakat bahwa ibu adalah pihak yang paling berhak atas hadanah anak-anaknya yang masih kecil dan belum mampu memilih (belum tamyiz), baik laki-laki maupun perempuan. Landasan utamanya adalah hadis Ummu Salamah yang disebutkan di atas, serta pertimbangan biologis dan psikologis bahwa ibu adalah sosok yang secara alamiah paling mampu memberikan kasih sayang, kelembutan, dan perawatan fisik yang dibutuhkan anak di usia dini.
Hak ibu ini terus berlangsung hingga anak mencapai usia tertentu, yang batasannya bervariasi antarmazhab, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut. Namun, hak ibu dapat gugur jika ia menikah lagi dengan laki-laki yang bukan mahram bagi anak, atau jika ia terbukti tidak cakap, tidak amanah, atau memiliki akhlak yang buruk sehingga membahayakan kemaslahatan anak.
Jika ibu tidak ada atau gugur haknya, maka ayah adalah pihak kedua yang berhak atas hadanah. Ayah bertanggung jawab penuh atas nafkah anak dan juga memiliki peran penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak, terutama dalam hal disiplin dan penanaman nilai-nilai maskulin bagi anak laki-laki. Dalam beberapa kasus, terutama jika anak sudah tamyiz, hak asuh bisa jatuh kepada ayah berdasarkan pilihan anak atau pertimbangan kemaslahatan.
Jika kedua orang tua tidak ada atau gugur haknya, maka nenek dari pihak ibu (ibu kandung dari ibu) adalah pihak selanjutnya yang paling berhak. Alasannya adalah kedekatan emosional dan darah dengan ibu, serta diasumsikan nenek memiliki kasih sayang dan kelembutan yang mirip dengan ibu.
Setelah nenek dari pihak ibu, maka nenek dari pihak ayah yang memiliki hak. Ini juga didasarkan pada pertimbangan kedekatan kekerabatan dan kasih sayang.
Hierarki selanjutnya akan melibatkan kerabat dekat lainnya secara berurutan, biasanya mengikuti urutan mahram (orang yang haram dinikahi) atau ashabah (ahli waris), dengan mempertimbangkan siapa yang paling mampu dan paling dekat hubungannya dengan anak. Urutan ini bisa bervariasi sedikit antarmazhab, tetapi umumnya meliputi:
Prinsip dasarnya tetap kemaslahatan anak, sehingga hakim memiliki diskresi untuk menyimpang dari urutan ini jika ada alasan kuat yang menunjukkan bahwa pihak yang seharusnya lebih berhak justru tidak layak atau merugikan anak.
Hak hadanah bukan hak mutlak, melainkan melekat pada individu yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengasuh benar-benar mampu memberikan lingkungan yang sehat dan aman bagi anak. Syarat-syarat umum yang disepakati mayoritas ulama adalah:
Pengasuh haruslah orang yang berakal sehat, tidak gila atau memiliki gangguan jiwa yang parah. Kemampuan untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan yang baik adalah esensial dalam membesarkan anak.
Pengasuh harus sudah mencapai usia dewasa (baligh). Anak-anak tidak dapat mengasuh anak lain, karena mereka sendiri masih membutuhkan pengasuhan dan bimbingan.
Ini adalah syarat yang komprehensif, mencakup kemampuan fisik, finansial, dan moral.
Pengasuh harus jujur, dapat dipercaya, dan tidak memiliki reputasi buruk yang dapat membahayakan anak. Ini mencakup kepercayaan dalam menjaga harta anak (jika ada) dan dalam mendidik anak sesuai ajaran Islam.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika anak beragama Islam, maka pengasuhnya juga harus seorang Muslim. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa anak mendapatkan pendidikan agama yang benar dan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung keyakinan agamanya. Namun, ada perbedaan pendapat dalam mazhab-mazhab tertentu mengenai hal ini, terutama jika tidak ada alternatif pengasuh Muslim yang layak. Mazhab Hanafi, misalnya, membolehkan ibu non-Muslim untuk mengasuh anak Muslim hingga usia tertentu, selama tidak ada kekhawatiran anak akan dibesarkan di luar Islam.
Syarat ini khusus bagi ibu. Jika seorang ibu yang memiliki hak hadanah menikah lagi dengan laki-laki yang bukan mahram bagi anaknya, maka hak hadanahnya gugur. Alasannya adalah kekhawatiran bahwa suami baru mungkin tidak akan memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama kepada anak tirinya, atau bahkan bisa memperlakukan anak tersebut dengan tidak baik. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kehadiran orang asing dalam rumah tangga dapat mengurangi fokus ibu terhadap anak kandungnya. Namun, jika suami barunya adalah mahram bagi anak (misalnya paman dari pihak ayah), maka hak hadanah ibu tidak gugur. Beberapa ulama juga berpendapat bahwa jika pernikahan itu tidak membahayakan anak dan suami barunya mau dan mampu merawat anak tersebut dengan baik, hak ibu bisa tetap dipertahankan, terutama dalam konteks peradilan modern.
Pengasuh harus memiliki tempat tinggal yang tetap dan stabil, tidak berpindah-pindah secara sering atau tinggal di lingkungan yang tidak aman, karena stabilitas sangat penting bagi tumbuh kembang anak.
Usia anak merupakan faktor penentu yang sangat signifikan dalam hukum hadanah. Mayoritas ulama membagi fase anak menjadi dua: sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz.
Tamyiz adalah kemampuan anak untuk membedakan antara yang baik dan buruk, atau antara hal-hal yang bermanfaat dan berbahaya baginya, dan juga memahami perkataan serta meresponsnya dengan benar. Usia tamyiz biasanya diperkirakan antara 5 hingga 7 tahun, meskipun ini bervariasi pada setiap anak.
Untuk anak yang belum mencapai usia tamyiz, semua mazhab fiqih sepakat bahwa hak hadanah diberikan kepada ibu, selama ia memenuhi syarat dan tidak ada halangan syar'i. Alasannya adalah pada usia ini, anak sangat membutuhkan perawatan, kasih sayang, kelembutan, dan perhatian yang lebih intensif, yang secara alami lebih mudah diberikan oleh seorang ibu.
Setelah anak mencapai usia tamyiz, pandangan antarmazhab fiqih mulai bervariasi mengenai siapa yang lebih berhak. Beberapa mazhab memberikan hak pilih kepada anak, sementara yang lain menetapkan hak asuh berdasarkan jenis kelamin anak atau pertimbangan kemaslahatan yang ditentukan oleh hakim.
Secara umum, pada fase ini, anak dianggap sudah memiliki kemampuan untuk mengungkapkan keinginannya, dan keinginannya perlu dipertimbangkan, meskipun bukan satu-satunya faktor penentu. Hakim akan menimbang pilihan anak bersama dengan faktor-faktor lain untuk memutuskan siapa pengasuh terbaik.
Hukum hadanah, meskipun memiliki prinsip dasar yang sama, menunjukkan variasi dalam detail pelaksanaannya di antara empat mazhab fiqih utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Perbedaan ini terutama muncul dalam batasan usia anak, siapa yang berhak setelah ibu, dan kondisi gugurnya hak hadanah.
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang cukup khas terkait batasan usia hadanah:
Namun, dalam pandangan modern atau jika ada pertimbangan kemaslahatan, beberapa ulama Hanafi atau pengadilan yang mengadopsi prinsip Hanafi dapat memperpanjang hak ibu jika terbukti lebih baik bagi anak. Mazhab Hanafi juga membolehkan ibu non-Muslim untuk mengasuh anak Muslim hingga usia tamyiz, selama tidak ada kekhawatiran anak akan dibesarkan di luar Islam, karena kebutuhan akan perawatan fisik dari ibu lebih diutamakan pada usia dini.
Mazhab Maliki memiliki durasi hadanah bagi ibu yang paling panjang di antara mazhab lainnya:
Pandangan Maliki ini menempatkan nilai tinggi pada peran ibu dalam membentuk karakter dan moral anak, terutama anak perempuan. Jika ibu menikah lagi, hak hadanahnya gugur, kecuali jika suami barunya adalah mahram bagi anak.
Mazhab Syafi'i memiliki pandangan yang memberikan pilihan kepada anak setelah mencapai usia tamyiz:
Pendekatan Syafi'i ini menekankan pengakuan terhadap perkembangan kognitif anak dan hak anak untuk memiliki suara dalam kehidupannya sendiri, tentu saja dengan pengawasan dan bimbingan orang dewasa. Jika ibu menikah lagi, hak hadanahnya gugur, kecuali jika suami barunya adalah mahram bagi anak.
Mazhab Hanbali juga memberikan hak pilih kepada anak setelah usia tamyiz, mirip dengan Syafi'i, namun dengan sedikit nuansa:
Perbedaan penting dalam Mazhab Hanbali adalah, jika anak memilih salah satu orang tua dan kemudian menunjukkan perilaku yang tidak baik, hakim dapat mengubah putusan hadanah untuk memastikan kemaslahatan anak tetap terjaga. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam melindungi kepentingan anak. Seperti mazhab lainnya, hak ibu akan gugur jika ia menikah lagi dengan non-mahram bagi anak.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah ringkasan perbandingan pandangan mazhab mengenai hadanah:
| Mazhab | Anak Laki-laki (Batas Hadanah Ibu) | Anak Perempuan (Batas Hadanah Ibu) | Setelah Batas Usia |
|---|---|---|---|
| Hanafi | Sampai usia 7 tahun | Sampai usia 9 tahun | Beralih ke ayah |
| Maliki | Sampai baligh (pubertas) | Sampai menikah | Anak laki-laki memilih; anak perempuan tetap di ibu hingga menikah |
| Syafi'i | Sampai tamyiz (sekitar 7 tahun) | Sampai tamyiz (sekitar 7 tahun) | Anak memilih antara ayah atau ibu |
| Hanbali | Sampai tamyiz (sekitar 7 tahun) | Sampai tamyiz (sekitar 7 tahun) | Anak memilih antara ayah atau ibu, dengan pertimbangan hakim |
Meskipun hak hadanah (pengasuhan) dapat diberikan kepada ibu atau pihak lain, kewajiban untuk menafkahi anak secara finansial tetap menjadi tanggung jawab ayah. Ini adalah prinsip yang disepakati oleh seluruh mazhab fiqih.
Ayah wajib menyediakan nafkah untuk anak-anaknya, bahkan jika anak tersebut diasuh oleh mantan istrinya atau pihak lain. Nafkah ini mencakup:
Besaran nafkah ditentukan berdasarkan kemampuan finansial ayah dan kebutuhan anak. Jika terjadi sengketa, pengadilan agama akan menetapkan jumlah nafkah yang adil setelah mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Nafkah ini bersifat wajib dan tidak gugur karena perceraian atau karena anak diasuh oleh pihak lain.
Selain nafkah untuk anak, ibu yang mengasuh anak juga berhak mendapatkan upah pengasuhan (ujratul hadanah) jika ia tidak lagi dalam ikatan perkawinan dengan ayah anak tersebut. Upah ini diberikan sebagai kompensasi atas waktu dan tenaga yang dicurahkan ibu dalam merawat anak. Jumlah upah ini juga disesuaikan dengan kemampuan ayah dan kebiasaan yang berlaku.
Hak hadanah bukanlah hak mutlak yang tidak dapat dicabut. Ada beberapa kondisi di mana hak hadanah seseorang dapat gugur atau berakhir:
Hak hadanah ibu, yang merupakan prioritas utama, dapat gugur karena beberapa sebab:
Hak hadanah secara umum berakhir ketika anak mencapai usia tertentu atau menjadi mandiri:
Setelah hak hadanah formal berakhir, tanggung jawab orang tua tetap melekat dalam hal pendidikan, bimbingan, dan dukungan moral hingga anak benar-benar mandiri. Hak kunjungan dan komunikasi antara anak dengan orang tua yang tidak memiliki hak asuh harian juga harus tetap dihormati dan difasilitasi.
Hukum hadanah di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta berbagai peraturan pelaksana lainnya. Peradilan Agama memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa hadanah.
KHI adalah acuan utama bagi umat Islam di Indonesia dalam masalah hukum keluarga, termasuk hadanah. Beberapa pasal penting terkait hadanah dalam KHI antara lain:
Dari pasal-pasal ini terlihat bahwa KHI mengadopsi prinsip yang dekat dengan Mazhab Syafi'i dan Hanbali dalam memberikan prioritas kepada ibu untuk anak yang belum mumayyiz, dan memberikan hak pilih kepada anak setelah mencapai usia mumayyiz (KHI menetapkan batas 12 tahun sebagai mumayyiz).
Meskipun tidak secara spesifik menggunakan istilah "hadanah", UU Perkawinan juga menegaskan prinsip perlindungan anak:
UU Perkawinan memberikan dasar hukum umum, sementara KHI memberikan detail lebih lanjut sesuai dengan fiqih Islam yang berlaku di Indonesia.
Peradilan Agama adalah lembaga yang berwenang untuk menangani perkara-perkara hadanah, termasuk sengketa hak asuh, penetapan biaya nafkah, dan pencabutan hak hadanah. Hakim-hakim di Peradilan Agama akan mempertimbangkan semua bukti, kesaksian, dan yang terpenting, kemaslahatan anak dalam membuat putusan. Dalam praktik, hakim seringkali melakukan mediasi terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan damai antara orang tua, dan jika tidak berhasil, barulah putusan dikeluarkan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam mengambil keputusan, hakim tidak hanya terikat pada teks KHI semata, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial, psikologis anak, dan bukti-bukti konkret yang menunjukkan lingkungan terbaik bagi tumbuh kembang anak.
Dalam masyarakat modern, kasus hadanah menghadapi berbagai tantangan dan isu kompleks yang memerlukan pendekatan yang lebih sensitif dan komprehensif:
Meskipun secara tradisional ibu menjadi prioritas utama untuk hadanah anak di bawah umur, peran ayah dalam pengasuhan kini semakin diakui. Banyak ayah modern yang terlibat aktif dalam perawatan sehari-hari dan pendidikan anak sejak dini. Peradilan kini lebih terbuka untuk mempertimbangkan hak asuh ayah jika terbukti ia lebih mampu atau jika kemaslahatan anak menghendakinya, bahkan untuk anak yang belum tamyiz.
Kasus hadanah menjadi lebih rumit dalam perkawinan campuran atau ketika salah satu orang tua berasal dari negara atau budaya yang berbeda. Perbedaan sistem hukum, pandangan budaya terhadap pengasuhan, dan isu yurisdiksi internasional dapat memperumit penyelesaian sengketa hadanah.
Kasus KDRT atau dugaan penelantaran anak menjadi faktor penentu utama dalam sengketa hadanah. Jika salah satu orang tua terbukti melakukan KDRT atau lalai dalam merawat anak, hak hadanahnya otomatis akan gugur demi perlindungan anak. Peradilan modern sangat serius dalam menangani isu ini.
Dalam era digital, tantangan baru muncul, seperti bagaimana melindungi anak dari konten berbahaya atau cyberbullying, dan bagaimana membatasi akses anak ke perangkat digital. Pengasuh harus memiliki kemampuan untuk membimbing anak dalam penggunaan teknologi secara sehat dan aman.
Dalam beberapa kasus, kakek-nenek atau kerabat lain mungkin merasa lebih layak mengasuh anak jika kedua orang tua dianggap tidak mampu. Peradilan akan menimbang secara cermat peran dan kemampuan pihak ketiga ini, tetap dengan prinsip kemaslahatan anak sebagai prioritas.
Keputusan hadanah, terutama setelah perceraian, memiliki dampak psikologis yang signifikan pada anak. Penting bagi semua pihak yang terlibat, terutama orang tua dan pengadilan, untuk memahami dampak ini dan berupaya meminimalkannya.
Anak-anak yang orang tuanya bercerai seringkali merasakan kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Mereka kehilangan gambaran keluarga utuh dan mungkin merasa bertanggung jawab atas perceraian tersebut. Lingkungan pengasuhan yang stabil dan penuh kasih sayang sangat penting untuk membantu mereka mengatasi perasaan ini.
Proses perceraian dan sengketa hadanah yang berkepanjangan dapat menyebabkan trauma dan stres pada anak. Perpecahan dalam keluarga, perselisihan yang tidak berkesudahan antara orang tua, dan perubahan lingkungan hidup dapat mengganggu keseimbangan emosional anak. Dukungan psikologis dari profesional mungkin diperlukan dalam kasus-kasus tertentu.
Anak mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sekolah baru, atau bahkan pasangan baru orang tuanya. Ini dapat memengaruhi kinerja akademis, hubungan sosial, dan perilaku mereka. Pengasuh harus peka terhadap tanda-tanda masalah penyesuaian diri dan memberikan dukungan yang memadai.
Dalam situasi di mana orang tua saling bersengketa, anak mungkin merasa terpecah antara loyalitas kepada ayah dan ibunya. Mereka mungkin merasa bersalah jika menunjukkan kasih sayang kepada salah satu orang tua di hadapan yang lain. Ini adalah beban emosional yang berat bagi anak dan dapat menghambat perkembangan identitas mereka. Orang tua harus menghindari melibatkan anak dalam konflik mereka dan memastikan anak merasa bebas untuk mencintai kedua orang tuanya.
Meskipun hak asuh diberikan kepada satu pihak, anak tetap membutuhkan kasih sayang, bimbingan, dan kehadiran kedua orang tuanya. Oleh karena itu, hak kunjungan dan komunikasi orang tua yang tidak memegang hadanah sangat penting untuk dijaga. Pemutusan hubungan dengan salah satu orang tua dapat berdampak negatif jangka panjang pada perkembangan anak.
Dalam menyelesaikan sengketa hadanah, Peradilan Agama di Indonesia memiliki peran krusial tidak hanya sebagai penentu hukum, tetapi juga sebagai fasilitator penyelesaian konflik melalui mediasi. Tujuan utamanya adalah untuk mencari solusi terbaik yang berpusat pada kepentingan anak.
Sebelum masuk ke ranah litigasi (persidangan), setiap perkara perceraian dan hadanah di Peradilan Agama wajib melalui proses mediasi. Mediator yang ditunjuk oleh pengadilan akan berusaha mempertemukan kedua belah pihak untuk mencari titik temu dan kesepakatan damai. Mediasi sangat ditekankan dalam kasus hadanah karena tujuannya bukan hanya memutus perkara, tetapi juga menjaga hubungan baik antara orang tua demi kesejahteraan anak.
Jika mediasi gagal, hakim akan melanjutkan proses persidangan dan membuat keputusan. Dalam membuat putusan hadanah, hakim memiliki diskresi yang luas dan akan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain:
Hakim akan selalu berusaha mencari tahu apa yang terbaik bagi anak, bahkan jika itu berarti menyimpang dari hierarki tradisional jika ada alasan kuat. Misalnya, jika ibu yang secara teori lebih berhak ternyata memiliki riwayat kekerasan atau penelantaran, hak hadanahnya dapat diberikan kepada ayah atau pihak ketiga yang lebih layak.
Selain menetapkan hak asuh, pengadilan juga biasanya menetapkan hak kunjungan (ru'yah) dan komunikasi (mushahabah) bagi orang tua yang tidak memegang hak asuh. Hal ini sangat penting untuk memastikan anak tetap memiliki hubungan yang sehat dan berkelanjutan dengan kedua orang tuanya. Pengadilan dapat mengatur jadwal kunjungan, durasi, dan cara komunikasi (misalnya melalui telepon atau video call) untuk menghindari konflik di kemudian hari.
Peradilan Agama juga berfungsi sebagai lembaga perlindungan hukum bagi anak. Jika ada indikasi bahwa anak ditelantarkan, dianiaya, atau hak-haknya tidak terpenuhi, pengadilan dapat mengambil tindakan untuk mencabut hak asuh dari orang tua yang lalai dan menyerahkannya kepada pihak yang lebih bertanggung jawab atau kepada lembaga sosial yang relevan.
Hadanah adalah pilar penting dalam hukum keluarga Islam yang dirancang untuk melindungi dan memastikan tumbuh kembang optimal anak-anak, terutama dalam situasi perpecahan keluarga. Dengan landasan kuat dari Al-Qur'an dan Hadis, serta elaborasi mendalam dari berbagai mazhab fiqih, hadanah menempatkan kemaslahatan anak sebagai prioritas tertinggi.
Meskipun terdapat perbedaan dalam detail antara mazhab-mazhab Islam mengenai batasan usia dan hierarki pengasuh, prinsip dasarnya tetap sama: anak yang belum mandiri membutuhkan perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan yang terbaik. Ibu umumnya menjadi prioritas utama untuk anak di bawah usia tamyiz karena kapasitas alami mereka dalam memberikan perawatan dan kehangatan. Namun, hak ini tidak mutlak dan dapat gugur jika ibu tidak lagi memenuhi syarat atau jika kemaslahatan anak terancam.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan telah mengintegrasikan prinsip-prinsip hadanah ini, dengan Peradilan Agama sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan sengketa hak asuh. Pendekatan peradilan yang menekankan mediasi dan mempertimbangkan secara komprehensif kondisi psikologis, sosial, dan finansial, menunjukkan komitmen untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan anak.
Tantangan kontemporer menuntut fleksibilitas dan adaptasi dalam penerapan hadanah, namun esensi dari kewajiban orang tua untuk menjaga amanah Allah ini tidak pernah berubah. Setiap keputusan terkait hadanah haruslah dipandang sebagai investasi masa depan generasi, yang akan membentuk karakter dan keberlangsungan umat. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hadanah bukan hanya penting bagi para praktisi hukum dan pihak yang bersengketa, tetapi juga bagi seluruh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara menyeluruh dan harmonis.