Hadis Mutawatir: Pilar Keaslian dan Kepastian dalam Islam

Dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman, hadis menduduki posisi sentral sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an. Ia merupakan penjelas, penafsir, dan pelengkap bagi syariat yang diturunkan Allah SWT. Namun, tidak semua hadis memiliki derajat kekuatan dan keaslian yang sama. Oleh karena itu, para ulama hadis telah merumuskan berbagai klasifikasi untuk menentukan tingkat otentisitas dan kehujjahan suatu riwayat, salah satunya adalah hadis mutawatir. Hadis mutawatir berdiri sebagai puncak tertinggi dalam hierarki kekuatan hadis, memberikan kepastian yang tak tergoyahkan dan keyakinan yang mutlak bagi setiap Muslim.

Pemahaman mendalam tentang hadis mutawatir bukan hanya penting bagi para ahli hadis, tetapi juga bagi seluruh umat Islam. Mengapa demikian? Karena hadis mutawatir menjadi landasan bagi banyak prinsip akidah, ibadah, dan muamalah yang fundamental. Kehujjahannya yang bersifat qat'i (pasti) menjadikan ia tidak dapat diragukan sedikitpun, dan pengingkarannya dapat berimplikasi pada akidah seseorang. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang hadis mutawatir, mulai dari definisi, syarat-syaratnya, jenis-jenisnya, kedudukannya sebagai hujjah, hingga contoh-contoh konkret yang telah disepakati oleh para ulama.

1. Pengantar dan Kedudukan Hadis dalam Islam

Islam adalah agama yang sempurna, ajarannya bersumber dari wahyu Allah SWT, yaitu Al-Qur'an, dan penjelasannya melalui sunah Nabi Muhammad SAW. Hadis, sebagai catatan perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), dan sifat-sifat Nabi, berfungsi sebagai pedoman praktis bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan. Tanpa hadis, banyak ayat Al-Qur'an yang bersifat umum tidak akan dapat dipahami dan diaplikasikan secara benar. Sebagai contoh, Al-Qur'an memerintahkan shalat, namun detail tata cara shalat—berapa rakaat, bagaimana gerakan ruku' dan sujud—dijelaskan secara rinci melalui hadis Nabi SAW. Demikian pula zakat, puasa, haji, dan berbagai aspek syariat lainnya.

Seiring berjalannya waktu dan tersebarnya Islam ke berbagai penjuru dunia, kebutuhan akan metode untuk memverifikasi keaslian hadis menjadi sangat mendesak. Apalagi, upaya pemalsuan hadis sempat terjadi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik atau pribadi. Untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, para ulama hadis telah mencurahkan seluruh hidup mereka untuk mengumpulkan, meneliti, dan mengklasifikasikan setiap riwayat. Mereka mengembangkan ilmu Musthalah Hadis, sebuah disiplin ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui status suatu hadis, apakah ia sahih, hasan, dhaif, atau bahkan palsu. Dalam ilmu inilah, hadis mutawatir memperoleh kedudukan istimewa.

Hadis mutawatir adalah kategori hadis yang paling kuat dan paling otentik. Kekuatannya berasal dari banyaknya jalur periwayatan yang mustahil bagi para perawinya untuk bersepakat dalam kedustaan. Kuantitas dan kualitas jalur periwayatan ini melahirkan keyakinan mutlak bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, hadis mutawatir diterima secara universal oleh seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai hujjah yang pasti dan tidak memerlukan penelitian isnad (rantai perawi) lebih lanjut, karena kepastiannya sudah terwujud melalui jumlah perawinya.

2. Definisi Hadis Mutawatir

2.1. Definisi Secara Bahasa (Lughawi)

Secara etimologi, kata "mutawatir" (متواتر) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata "watara" (وتر) atau "tawatara" (تواتر) yang berarti "berturut-turut," "berkesinambungan," atau "beriringan tanpa henti." Makna ini menyiratkan adanya kesinambungan atau keberulangan yang tidak terputus. Dalam konteks umum, misalnya, "hujan yang mutawatir" berarti hujan yang turun secara terus-menerus tanpa jeda. Jadi, dari segi bahasa, mutawatir mengindikasikan sesuatu yang datang secara berurutan dan berkesinambungan.

2.2. Definisi Secara Istilah (Terminologi)

Adapun secara terminologi dalam ilmu hadis, hadis mutawatir didefinisikan oleh para ulama dengan redaksi yang beragam namun esensinya sama. Salah satu definisi yang paling umum dan komprehensif adalah:

"Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan sanadnya, di mana secara adat mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan sumber riwayat mereka adalah sesuatu yang dapat diindera (His)."

Mari kita bedah setiap komponen definisi ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh:

1. "Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi (jama'atun katsirun):" Ini adalah syarat utama dan paling fundamental. Tidak ada batasan pasti mengenai jumlah minimum perawi yang disepakati oleh seluruh ulama. Namun, mereka sepakat bahwa jumlahnya harus banyak sehingga tidak mungkin dihitung jari dan sulit untuk meragukan kebenarannya. Beberapa ulama menetapkan angka minimum 4, 10, 20, 40, bahkan 70 orang. Namun, inti dari syarat ini adalah kuantitas yang signifikan yang melampaui keraguan.
2. "Pada setiap tingkatan sanadnya (thabaqat al-sanad):" Jumlah besar perawi ini harus ada pada setiap lapisan atau generasi perawi, mulai dari generasi sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, hingga perawi terakhir yang mencatat hadis tersebut. Bukan hanya di satu tingkatan saja. Ini berarti jika di generasi sahabat ada 20 orang yang meriwayatkan, maka di generasi tabi'in pun harus ada sejumlah besar yang menerima dari 20 sahabat tersebut, dan seterusnya.
3. "Secara adat mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan (yastahilul 'adatu tawatu'uhum 'alal kadzib):" Ini adalah inti dari kepastian mutawatir. Dengan jumlah perawi yang sangat banyak, berasal dari berbagai daerah, latar belakang sosial, dan pemikiran yang berbeda, secara logis dan kebiasaan manusia, sangat tidak mungkin mereka semua bisa bersepakat untuk berbohong atau membuat-buat cerita yang sama persis. Keragaman ini menjadi jaminan kebenaran riwayat.
4. "Sumber riwayat mereka adalah sesuatu yang dapat diindera (his/musyahadah):" Riwayat tersebut harus didasarkan pada penglihatan, pendengaran, atau indera lainnya secara langsung, seperti "Saya mendengar Rasulullah bersabda..." atau "Saya melihat Rasulullah melakukan...". Ini berbeda dengan riwayat yang hanya berdasarkan dugaan, perkiraan, atau interpretasi pribadi. Jadi, tidak cukup jika perawi hanya mengatakan, "Saya tahu Rasulullah bersabda demikian," tetapi harus "Saya mendengar," atau "Saya melihat."

Dengan terpenuhinya keempat syarat ini, sebuah hadis akan mencapai derajat mutawatir, yang membawa keyakinan mutlak (ilmu dharuri) akan kebenaran dan keasliannya dari Nabi SAW. Keyakinan ini setara dengan keyakinan kita terhadap hal-hal yang kita lihat dan dengar sendiri secara langsung.

3. Syarat-syarat Hadis Mutawatir Secara Lebih Rinci

Untuk memahami mengapa hadis mutawatir begitu kokoh, penting untuk mendalami setiap syaratnya dengan lebih rinci. Masing-masing syarat memiliki peran krusial dalam membangun kepastian yang tak terbantahkan.

3.1. Jumlah Perawi yang Banyak di Setiap Tingkatan Sanad

Ini adalah syarat yang paling sering diperdebatkan mengenai batasan angka pastinya. Namun, semua ulama sepakat bahwa jumlah tersebut harus 'banyak' atau 'jama'atun katsirun'.

• Berapa "Banyak" Itu?
  • Imam An-Nawawi, Imam As-Suyuti, dan mayoritas ulama cenderung berpendapat bahwa tidak ada batasan angka pasti yang mutlak. Yang terpenting adalah jumlahnya harus sedemikian rupa sehingga akal sehat secara wajar menganggap mustahil adanya konspirasi dusta.
  • Beberapa ulama mengusulkan angka minimal:
    • 4 Perawi: Mengambil analogi empat saksi dalam kasus perzinaan, namun pendapat ini dianggap lemah karena konteks saksi berbeda dengan periwayatan.
    • 5 Perawi: Sejumlah ulama berpendapat minimal lima, merujuk pada lima rukun Islam.
    • 7 Perawi: Berdasarkan ayat Al-Qur'an tentang tujuh pintu neraka atau tujuh lapis langit. Ini juga dianggap lemah karena analoginya tidak tepat.
    • 10 Perawi: Ini adalah pendapat yang cukup populer, didasarkan pada firman Allah dalam QS. Hud: 13 "Atau mereka berkata: 'Dia membuat-buatnya.' Katakanlah: '(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka datanglah sepuluh surat (saja) yang semisal dengannya (Al-Qur'an), dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.'" Juga, hadis tentang sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Ini adalah pendapat yang kuat dari beberapa ulama, termasuk Ibnu Hazm dan Al-Qarafi.
    • 20 Perawi: Berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal: 65 "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh."
    • 40 Perawi: Sebagian mengacu pada jumlah orang yang harus ada di suatu majelis untuk menegakkan shalat Jumat.
    • 70 Perawi: Ini adalah salah satu pendapat yang sangat kuat, terutama dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Al-Mustashfa," mengambil analogi 70 utusan Nabi Musa ke Gunung Sinai dan 70 ahli badar.
• Konsensus: Meskipun ada perbedaan angka, esensinya adalah jumlah perawi tersebut haruslah signifikan secara kuantitas sehingga mencapai derajat yakin (certainty) dan menghilangkan keraguan sekecil apa pun. Para ulama lebih mengedepankan kualitas kemustahilan konspirasi daripada angka yang mutlak.
• Pada Setiap Tingkatan: Poin krusial lainnya adalah jumlah besar ini harus konsisten di setiap tingkatan sanad (tabaqah). Jika di generasi sahabat ada 70 yang meriwayatkan, kemudian di generasi tabi'in hanya 3 orang yang menerima dari mereka, maka hadis tersebut tidak lagi mutawatir. Ia akan berubah menjadi hadis ahad pada tingkatan tabi'in. Ini menunjukkan ketatnya syarat mutawatir.

3.2. Kemustahilan Konspirasi Dusta

Ini adalah jantung dari konsep mutawatir. Bukan hanya jumlah perawi yang banyak, tetapi kondisi mereka juga harus mendukung kemustahilan untuk bersepakat dalam kedustaan.

• Diversitas Perawi: Para perawi yang banyak ini haruslah dari kelompok, suku, geografis, dan latar belakang yang berbeda-beda. Jika semua perawi berasal dari satu keluarga, satu kota kecil, atau satu mazhab politik yang sama, maka kemungkinan adanya konspirasi untuk berbohong menjadi lebih besar. Namun, jika mereka tersebar di berbagai kota (Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Mesir), dari berbagai kabilah dan profesi, dengan pandangan politik yang mungkin saling bertentangan, maka probabilitas mereka untuk bersekongkol dalam satu kebohongan menjadi nol.
• Karakteristik Perawi: Meskipun hadis mutawatir tidak mensyaratkan setiap perawi individu harus adil (terpercaya) dan dhabit (kuat hafalannya) sebagaimana syarat hadis ahad sahih, namun secara kolektif, mereka haruslah orang-orang yang secara umum dikenal memiliki integritas dan tidak memiliki motif yang jelas untuk berbohong. Yang lebih penting lagi, keadaan mereka yang beragam dan tersebar luas menjamin kemustahilan konspirasi.
• Ilmu Dharuri: Ketika syarat ini terpenuhi, maka riwayat tersebut menghasilkan 'ilmu dharuri' (pengetahuan yang pasti dan niscaya) bagi pendengarnya. Artinya, seseorang tidak lagi membutuhkan argumen logis atau bukti tambahan untuk meyakini kebenarannya, karena akal sehatnya akan secara otomatis menerima bahwa hal tersebut benar adanya. Ini seperti melihat segerombolan besar orang datang dari arah yang berbeda, semuanya melaporkan telah melihat gajah di hutan. Akal akan serta merta meyakini keberadaan gajah tersebut, tanpa perlu bertanya lagi detail masing-masing saksi.

3.3. Sumber Riwayat Berdasarkan Panca Indra (His/Musyahadah)

Syarat ini menekankan bahwa dasar periwayatan haruslah pengalaman langsung, bukan spekulasi atau kesimpulan logis.

• Contoh His: Perawi harus mengatakan "Saya mendengar Rasulullah bersabda...", "Saya melihat Rasulullah melakukan...", "Kami merasakan...", atau "Kami menyaksikan...". Ini adalah ungkapan-ungkapan yang jelas menunjukkan pengalaman indrawi langsung.
• Bukan Berdasarkan Akal atau Ijtihad: Jika riwayat didasarkan pada penalaran, interpretasi pribadi, atau ijtihad seorang perawi, maka ia tidak dapat menjadi mutawatir. Misalnya, jika seorang perawi berkata, "Saya mengira Rasulullah pasti akan bersabda demikian," atau "Menurut saya, ini adalah ajaran yang paling mungkin dari Rasulullah," maka itu tidak memenuhi syarat ini. Riwayat harus berupa fakta yang diamati atau didengar.
• Pentingnya Sumber Langsung: Syarat ini penting untuk menghindari kesalahan interpretasi atau bias pribadi yang mungkin muncul jika riwayat hanya didasarkan pada pemikiran atau perasaan. Mutawatir membutuhkan objektivitas tertinggi dalam sumbernya.

4. Pembagian Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu mutawatir lafzi dan mutawatir ma'nawi, tergantung pada kesamaan redaksi atau maknanya.

4.1. Hadis Mutawatir Lafzi (Redaksional)

Hadis mutawatir lafzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang telah memenuhi syarat-syarat mutawatir, dan semua perawi tersebut sepakat dalam meriwayatkan hadis dengan redaksi (lafaz) yang sama persis atau sangat mirip sehingga tidak mengubah makna fundamental. Kesamaan redaksi ini terjadi pada setiap tingkatan sanad, mulai dari Nabi SAW hingga perawi terakhir.

• Karakteristik:
  • Kesamaan Lafaz: Lafaznya identik atau hampir tidak ada perbedaan yang signifikan.
  • Kelangkaan: Hadis jenis ini sangat jarang ditemukan karena sulit bagi banyak orang yang berbeda untuk mengingat dan menyampaikan redaksi yang sama persis tanpa ada sedikit pun variasi.
  • Kepastian Mutlak: Menghasilkan ilmu dharuri yang sangat kuat, baik dari segi lafaz maupun makna.
• Contoh Hadis Mutawatir Lafzi:
  1. Hadis "Barangsiapa Berdusta Atas Namaku":

     مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

     "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (mengatasnamakan diriku), maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka."
     Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat Nabi SAW, dan di setiap tingkatan berikutnya juga diriwayatkan oleh jumlah yang sangat banyak. Para ulama sepakat bahwa hadis ini adalah mutawatir lafzi karena lafaznya yang relatif sama di berbagai jalur periwayatan.

  2. Hadis Tentang Haud (Telaga Nabi):

     Hadis-hadis yang menjelaskan tentang Telaga Al-Kautsar yang akan dimiliki Nabi Muhammad SAW di akhirat, di mana umatnya akan datang untuk minum dari telaga tersebut. Lafaz-lafaznya memiliki kesamaan dalam menjelaskan keberadaan, bentuk, dan karakteristik telaga tersebut. Diriwayatkan oleh puluhan sahabat dengan lafaz yang mirip.

  3. Hadis Mengusap Khuf (Sepatu Kulit):

     Hadis yang menjelaskan bahwa Nabi SAW mengusap khuf (sepatu kulit) sebagai pengganti membasuh kaki saat berwudhu. Meskipun ada sedikit variasi lafaz, inti dan lafaz utama dari perintah serta tata caranya diriwayatkan secara mutawatir lafzi, sehingga menjadi landasan hukum yang pasti dalam fiqh.

4.2. Hadis Mutawatir Ma'nawi (Maknawi)

Hadis mutawatir ma'nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan sanadnya, di mana lafaz atau redaksinya berbeda-beda secara signifikan, namun semua riwayat tersebut memiliki makna atau inti pesan yang sama. Meskipun lafaznya tidak seragam, jumlah keseluruhan riwayat yang banyak dan bermacam-macam tersebut, secara kolektif, menghasilkan keyakinan mutlak terhadap makna yang terkandung di dalamnya.

• Karakteristik:
  • Perbedaan Lafaz: Redaksi hadisnya bervariasi dari satu jalur ke jalur lain.
  • Kesamaan Makna: Meskipun lafaznya berbeda, semua riwayat mengarah pada satu makna atau peristiwa yang sama.
  • Lebih Banyak Ditemukan: Jenis ini lebih banyak dibandingkan mutawatir lafzi karena lebih mudah bagi perawi untuk menangkap inti pesan dan menyampaikannya dengan kata-kata sendiri.
  • Kepastian Makna: Menghasilkan ilmu dharuri tentang makna tersebut, namun bukan tentang lafaz spesifiknya.
• Contoh Hadis Mutawatir Ma'nawi:
  1. Hadis Tentang Mengangkat Tangan Saat Berdoa:

     Ada banyak hadis yang meriwayatkan Nabi SAW mengangkat tangan saat berdoa, namun masing-masing hadis memiliki redaksi yang berbeda-beda terkait konteks doanya (misalnya, doa istisqa' - minta hujan, doa qunut, doa di Arafah, dll.). Meskipun lafaznya beragam, kumpulan hadis-hadis ini secara kolektif memberikan kepastian bahwa Nabi SAW sering mengangkat tangan saat berdoa, menjadikannya mutawatir secara makna.

  2. Hadis Tentang Syafaat Nabi di Hari Kiamat:

     Terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang syafaat Nabi Muhammad SAW di hari kiamat untuk umatnya, namun masing-masing hadis memiliki redaksi dan detail yang sedikit berbeda (misalnya, syafaat untuk mengeluarkan ahli tauhid dari neraka, syafaat untuk mempercepat hisab, dll.). Semua hadis ini secara kolektif menegaskan eksistensi syafaat Nabi, sehingga makna syafaat Nabi adalah mutawatir.

  3. Hadis Tentang Azab Kubur:

     Ada berbagai hadis yang menjelaskan tentang adanya azab kubur, nikmat kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Meskipun lafaz dan detailnya bervariasi di antara riwayat-riwayat tersebut, namun keseluruhan hadis tersebut secara kolektif menetapkan keberadaan azab dan nikmat kubur sebagai suatu realitas, sehingga ini adalah mutawatir ma'nawi.

  4. Hadis Tentang Turunnya Nabi Isa di Akhir Zaman:

     Banyak hadis yang mengabarkan tentang turunnya Nabi Isa 'alaihissalam menjelang hari kiamat untuk memimpin umat Islam, mematahkan salib, membunuh babi, dan membunuh Dajjal. Redaksi hadis-hadis ini bervariasi, namun semuanya sepakat pada inti makna tentang kembalinya Nabi Isa ke bumi, menjadikannya mutawatir ma'nawi.

  5. Hadis Tentang Tanda-tanda Hari Kiamat:

     Terdapat ratusan hadis yang membahas berbagai tanda-tanda kecil maupun besar hari kiamat. Meskipun setiap hadis mungkin hanya menyebutkan satu atau beberapa tanda dengan lafaz yang spesifik, namun kumpulan hadis-hadis ini secara keseluruhan memberikan keyakinan yang pasti tentang adanya tanda-tanda kiamat yang akan terjadi, sehingga maknanya adalah mutawatir.

5. Kedudukan dan Kehujjahan Hadis Mutawatir

Kedudukan hadis mutawatir sangat tinggi dalam ilmu syariat. Ia merupakan puncak dari kekuatan hadis dan menjadi pondasi bagi banyak hukum dan keyakinan dalam Islam. Kehujjahannya bersifat qat'i ad-dalalah (memberikan kepastian makna), yang berarti ia wajib diterima dan diyakini kebenarannya tanpa keraguan sedikit pun.

5.1. Menghasilkan Ilmu Dharuri (Pengetahuan Mutlak)

Salah satu karakteristik paling penting dari hadis mutawatir adalah kemampuannya untuk menghasilkan 'ilmu dharuri' atau 'ilmu yaqin' (pengetahuan mutlak/pasti). Ini adalah pengetahuan yang tidak memerlukan bukti atau argumen lebih lanjut, melainkan langsung diterima oleh akal sehat, sebagaimana kita meyakini keberadaan Mekkah atau Kairo tanpa harus melihatnya sendiri, karena telah diriwayatkan oleh banyak orang dari generasi ke generasi.

• Kesetaraan dengan Pengamatan Langsung: Keyakinan yang timbul dari hadis mutawatir setara dengan keyakinan yang diperoleh dari pengamatan langsung (musyahadah) atau pendengaran langsung (sama'). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meragukan kebenaran sebuah hadis yang telah terbukti mutawatir.
• Implikasi Akidah: Mengingkari hadis mutawatir, atau meragukan kebenarannya secara sengaja dan tanpa alasan syar'i, dapat berimplikasi serius pada akidah seseorang, bahkan bisa menjerumuskan pada kekafiran, karena sama dengan mengingkari apa yang telah pasti dari Nabi SAW. Para ulama fiqh, ushul fiqh, dan akidah sepakat tentang kewajiban mengamalkan dan meyakini hadis mutawatir.

5.2. Tidak Membutuhkan Penelitian Isnad Secara Detail

Berbeda dengan hadis ahad (hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir) yang memerlukan penelitian isnad (rantai perawi) secara cermat untuk memastikan keadilan dan kedhabitan setiap perawinya, hadis mutawatir tidak lagi membutuhkan penelitian semacam itu. Kuantitas perawi yang sangat banyak di setiap tingkatan sanad sudah menjadi jaminan keasliannya.

• Jaminan Kolektif: Kekuatan hadis mutawatir tidak terletak pada kesempurnaan individu setiap perawi, melainkan pada kekuatan kolektif mereka. Meskipun mungkin ada satu atau dua perawi yang kurang dhabit di antara ratusan perawi, kesalahan mereka akan tertutupi oleh banyaknya perawi lain yang jujur dan dhabit. Kemustahilan konspirasi dusta adalah jaminannya.
• Konsensus Ulama: Seluruh ulama dari berbagai mazhab dan disiplin ilmu sepakat bahwa hadis mutawatir adalah hujjah yang pasti dan tidak perlu lagi diperiksa keabsahan isnadnya. Ini menunjukkan betapa tinggi derajat kepercayaan terhadap hadis jenis ini.

5.3. Fondasi Hukum dan Akidah yang Kuat

Banyak sekali hukum-hukum syariat dan pokok-pokok akidah Islam yang dibangun di atas fondasi hadis mutawatir. Ini menunjukkan peran vital hadis mutawatir dalam menjaga kemurnian dan keteguhan ajaran Islam.

• Prinsip-prinsip Akidah: Keyakinan akan adanya surga dan neraka, azab kubur, syafaat Nabi, turunnya Nabi Isa di akhir zaman, tanda-tanda kiamat, serta banyak sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam hadis, seringkali didasari oleh hadis-hadis mutawatir ma'nawi.
• Hukum-hukum Ibadah: Tatacara shalat secara umum, kewajiban zakat, rukun-rukun haji, dan puasa, banyak detailnya yang disampaikan melalui hadis mutawatir. Meskipun detail-detail kecil bisa dari ahad, namun inti dari ibadah tersebut bersifat mutawatir.
• Hukum-hukum Muamalah: Beberapa prinsip dasar dalam muamalah yang bersifat universal juga didukung oleh hadis mutawatir, meskipun tidak sebanyak dalam akidah dan ibadah.

6. Perbandingan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad

Untuk lebih memahami keistimewaan hadis mutawatir, penting untuk membandingkannya dengan hadis ahad, kategori hadis lainnya yang lebih umum.

6.1. Hadis Ahad (Khabar Wahid)

Hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir. Artinya, jumlah perawinya tidak mencapai batas mutawatir pada salah satu atau seluruh tingkatan sanadnya. Hadis ahad dibagi lagi menjadi beberapa kategori berdasarkan jumlah perawinya di setiap tingkatan, yaitu:

• Masyhur: Diriwayatkan oleh minimal tiga perawi atau lebih di setiap tingkatan, tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir.
• Aziz: Diriwayatkan oleh minimal dua perawi di setiap tingkatan.
• Gharib: Diriwayatkan oleh hanya satu perawi di salah satu tingkatan sanadnya.

6.2. Perbedaan Kunci

1. Jumlah Perawi:
   • Mutawatir: Jumlah perawi sangat banyak di setiap tingkatan, mustahil bersepakat dusta.
   • Ahad: Jumlah perawi terbatas, tidak mencapai batas mutawatir.
2. Tingkat Kepastian (Ilmu):
   • Mutawatir: Menghasilkan ilmu dharuri (pengetahuan pasti/mutlak) yang tidak diragukan.
   • Ahad: Menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan dugaan/kemungkinan kuat), meskipun sahih. Artinya, ada kemungkinan (sekecil apapun) bahwa riwayat tersebut tidak benar, meski secara ilmu hadis sudah terbukti sahih. Namun, dalam prakteknya, hadis ahad yang sahih tetap wajib diamalkan.
3. Kewajiban Menerima:
   • Mutawatir: Wajib diterima dan diyakini, mengingkarinya dapat berimplikasi pada akidah.
   • Ahad: Wajib diamalkan jika sudah terbukti sahih, namun mengingkarinya tidak serta merta mengeluarkan dari Islam (kecuali jika berkaitan dengan rukun iman atau pokok agama yang sudah pasti dari Al-Qur'an dan mutawatir).
4. Kebutuhan Penelitian Isnad:
   • Mutawatir: Tidak perlu lagi diteliti isnadnya karena kepastiannya sudah terwujud secara kolektif.
   • Ahad: Wajib diteliti isnad dan matannya secara cermat untuk memastikan keadilan perawi, kedhabitan, ketersambungan sanad, ketiadaan syadz (kejanggalan), dan ketiadaan illat (cacat tersembunyi).

Meskipun hadis ahad menghasilkan ilmu zhanni, bukan berarti ia tidak memiliki kekuatan. Mayoritas hukum-hukum syariat dalam fiqh dan banyak detail akidah diambil dari hadis ahad yang sahih. Ilmu zhanni yang didasarkan pada bukti-bukti kuat (seperti hadis ahad sahih) tetap wajib diamalkan oleh seorang Muslim. Perbedaannya terletak pada tingkat kepastian yang mutlak (qat'i) versus kepastian yang dominan (zhanni ghalib).

7. Contoh-contoh Hadis Mutawatir yang Telah Disepakati Ulama

Meskipun jumlah hadis mutawatir tidak sebanyak hadis ahad, namun contoh-contohnya tersebar di berbagai bidang ilmu Islam. Berikut adalah beberapa contoh hadis mutawatir yang disepakati oleh mayoritas ulama, baik lafzi maupun ma'nawi:

7.1. Hadis Mutawatir Lafzi

1. Hadis Peringatan Dusta Atas Nama Nabi SAW:

   مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

   "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka."
   Ini adalah hadis yang paling sering disebut sebagai contoh mutawatir lafzi. Diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat dari berbagai daerah dan latar belakang, dan dari mereka diriwayatkan lagi oleh jumlah yang tak terhingga dari kalangan tabi'in dan seterusnya. Kesamaan lafaznya yang luar biasa menjadikannya mutawatir lafzi yang tidak diragukan lagi. Pentingnya hadis ini adalah sebagai peringatan keras bagi para pemalsu hadis dan sebagai penjaga kemurnian sunah Nabi.

2. Hadis Tentang Telaga Al-Kautsar (Haudh):

   Berbagai riwayat dengan lafaz yang mirip telah sampai kepada kita tentang keberadaan Telaga Al-Kautsar di akhirat, yang merupakan telaga khusus bagi Nabi Muhammad SAW. Umat beliau akan datang untuk minum dari telaga tersebut. Hadis-hadis ini secara konsisten menyebutkan ciri-ciri telaga tersebut, seperti airnya yang lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, bejana-bejananya sebanyak bintang di langit, dan siapa yang meminumnya tidak akan haus selamanya. Lafaz-lafaz ini, meski ada sedikit variasi, secara keseluruhan mutawatir lafzi.

3. Hadis Tentang Mengusap Khuf (Sepatu Kulit):

   Banyak hadis yang diriwayatkan dengan lafaz yang serupa tentang izin Nabi SAW untuk mengusap sepatu kulit (khuf) saat berwudhu, sebagai pengganti membasuh kaki. Hadis ini diriwayatkan oleh puluhan sahabat dan merupakan salah satu landasan hukum dalam fiqh. Kesamaan lafaz dalam menyampaikan tata cara dan izin ini menjadikannya mutawatir lafzi.

4. Hadis Tentang Keutamaan Ali Bin Abi Thalib dalam Perang Khaibar:

   Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat dengan lafaz yang mirip tentang sabda Nabi SAW di Perang Khaibar: "Sungguh, akan aku berikan bendera ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menaklukkan (benteng)." Kemudian bendera itu diberikan kepada Ali bin Abi Thalib RA. Meskipun detail cerita mungkin bervariasi, inti lafaz ini diriwayatkan secara mutawatir lafzi.

5. Hadis Tentang Al-Qur'an sebagai Mukjizat:

   Kenyataan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat dan tantangan bagi manusia untuk membuat yang semisal dengannya (I'jaz Al-Qur'an), meskipun bukan hadis dalam artian perkataan Nabi secara spesifik, namun konsep dan lafaz tantangan ini telah menjadi mutawatir dalam periwayatan dan pemahaman umat Islam. Para ulama menyebutnya sebagai "mutawatir ma'nawi," namun kemunculan lafaznya dalam Al-Qur'an dan penyebarannya secara meluas juga seringkali disamakan dengan mutawatir lafzi dalam konteks kemustahilan dusta.

7.2. Hadis Mutawatir Ma'nawi

1. Hadis Mengangkat Tangan Saat Berdoa:

   Telah diriwayatkan dari Nabi SAW dalam banyak kesempatan yang berbeda bahwa beliau mengangkat tangan saat berdoa. Ada hadis tentang doa istisqa' (minta hujan), doa saat qunut nazilah, doa di Arafah, dan doa-doa lainnya. Setiap hadis ini memiliki lafaz dan konteksnya sendiri, tetapi semuanya secara kolektif menunjukkan bahwa Nabi SAW sering mengangkat tangan ketika berdoa. Makna ini telah mencapai derajat mutawatir.

2. Hadis Syafaat Nabi SAW:

   Banyak hadis dengan redaksi yang beragam menjelaskan tentang hak syafaat Nabi Muhammad SAW di hari kiamat. Ada hadis yang menyebutkan beliau akan memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa agar dikeluarkan dari neraka, ada yang menyebutkan syafaat untuk mempercepat hisab, dan lain sebagainya. Meskipun lafaznya tidak seragam, makna bahwa Nabi SAW memiliki syafaat yang besar di hari kiamat adalah mutawatir.

3. Hadis Tentang Azab dan Nikmat Kubur:

   Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan tentang adanya kehidupan di alam barzakh setelah kematian, di mana ada azab bagi orang durhaka dan nikmat bagi orang saleh, serta pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir. Setiap hadis mungkin fokus pada aspek yang berbeda dengan lafaz yang khas, namun secara keseluruhan, eksistensi azab dan nikmat kubur adalah mutawatir ma'nawi.

4. Hadis Tentang Turunnya Nabi Isa AS di Akhir Zaman:

   Banyak hadis yang berbeda-beda lafaznya menjelaskan tentang turunnya Nabi Isa 'alaihissalam ke bumi menjelang hari kiamat. Beliau akan turun di Damaskus, mematahkan salib, membunuh babi, dan membunuh Dajjal. Kumpulan hadis-hadis ini, dengan lafaz yang tidak sama persis namun makna yang identik, menjadikan turunnya Nabi Isa sebagai mutawatir ma'nawi.

5. Hadis Tentang Melihat Allah di Surga (Ru'yatullah):

   Terdapat hadis-hadis yang diriwayatkan dengan lafaz yang bervariasi tentang kaum mukminin yang akan melihat wajah Allah SWT di surga kelak. Meskipun lafaznya berbeda, seperti "Kalian akan melihat Rabb kalian dengan jelas seperti melihat bulan purnama," atau "Tidak ada keraguan dalam melihat-Nya," makna fundamental bahwa melihat Allah di surga adalah mungkin dan akan terjadi bagi orang beriman adalah mutawatir ma'nawi.

6. Hadis Tentang Tanda-tanda Hari Kiamat:

   Ratusan hadis yang berbeda-beda redaksinya berbicara tentang tanda-tanda kecil dan besar hari kiamat, seperti munculnya Dajjal, Ya'juj dan Ma'juj, terbitnya matahari dari barat, dukhon (kabut), dan lain-lain. Masing-masing hadis mungkin menyebutkan satu atau beberapa tanda, tetapi secara kolektif, kumpulan hadis ini memberikan kepastian tentang akan terjadinya berbagai tanda kiamat, sehingga maknanya adalah mutawatir.

7. Hadis Tentang Keutamaan Ahlul Bait:

   Meskipun sensitif secara politis, ada banyak hadis yang secara umum menyebutkan keutamaan Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan pentingnya mencintai serta menghormati mereka. Hadis-hadis ini memiliki lafaz yang berbeda-beda, tetapi inti makna tentang keutamaan mereka mencapai derajat mutawatir ma'nawi di kalangan ulama.

8. Hadis Tentang Penetapan Islam sebagai Agama Terakhir:

   Banyak hadis yang secara eksplisit atau implisit menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Islam adalah agama terakhir yang sempurna. Redaksi-redaksi ini beragam, tetapi makna kolektifnya adalah mutawatir.

9. Hadis Tentang Tatacara Shalat dan Zakat:

   Meskipun rincian shalat dan zakat banyak berasal dari hadis ahad, namun inti dari kewajiban, rakaat, dan rukun-rukun dasar shalat, serta kewajiban dan kadar zakat pada jenis-jenis harta tertentu, telah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan ulama hingga mencapai derajat mutawatir ma'nawi. Misalnya, fakta bahwa shalat Subuh dua rakaat, Maghrib tiga rakaat, dan Dzuhur, Ashar, Isya empat rakaat, meskipun tidak ada satu hadis lafzi tunggal yang meriwayatkannya secara mutawatir, namun telah menjadi mutawatir secara maknawi melalui praktik dan periwayatan umum.

10. Hadis Tentang Pengharamana Khamr (Minuman Keras):

    Banyak hadis yang diriwayatkan dari Nabi SAW dengan lafaz yang bervariasi tentang pengharaman khamr dan segala sesuatu yang memabukkan. Meskipun redaksinya tidak seragam, inti makna tentang keharaman khamr dan segala turunannya adalah mutawatir ma'nawi. Ini diperkuat dengan ayat Al-Qur'an dan konsensus umat.

8. Faidah dan Hikmah Adanya Hadis Mutawatir

Keberadaan hadis mutawatir bukanlah tanpa tujuan, melainkan mengandung banyak hikmah dan faidah yang sangat besar bagi umat Islam.

8.1. Penjaga Kemurnian Ajaran Islam

Hadis mutawatir adalah salah satu benteng terkuat yang melindungi ajaran Islam dari pemalsuan dan distorsi. Dengan adanya riwayat-riwayat yang begitu kokoh dan tak terbantahkan, prinsip-prinsip dasar agama tetap terjaga keasliannya dari generasi ke generasi. Ini memastikan bahwa umat Islam senantiasa memiliki pedoman yang jelas dan terverifikasi keasliannya dari Nabi SAW.

8.2. Sumber Keyakinan dan Kepastian

Dalam dunia yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian, hadis mutawatir memberikan landasan keyakinan yang kokoh. Ia memupuk keimanan dan menjauhkan Muslim dari keragu-raguan terhadap ajaran agamanya. Keyakinan mutlak yang dihasilkannya menjadi penenang hati dan pendorong untuk beramal saleh.

8.3. Dasar Hukum yang Tidak Dapat Diragukan

Hukum-hukum syariat yang didasarkan pada hadis mutawatir memiliki kekuatan hukum yang sangat tinggi. Ini memudahkan para fuqaha (ahli fiqh) dan ushuliyyin (ahli ushul fiqh) dalam menetapkan hukum, karena mereka tidak perlu lagi meragukan keabsahan sumbernya. Ini juga menjadi dasar bagi ijma' (konsensus) ulama dalam banyak masalah penting.

8.4. Menghubungkan Umat dengan Nabi SAW Secara Langsung

Melalui hadis mutawatir, umat Islam merasa terhubung secara langsung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Meskipun ribuan tahun telah berlalu, kita dapat meyakini perkataan dan perbuatan beliau dengan keyakinan yang sama seolah-olah kita hidup di zamannya dan mendengarkan langsung dari beliau. Ini memperkuat cinta dan ketaatan kepada Rasulullah SAW.

8.5. Bukti Kehebatan Metode Periwayatan Islam

Sistem periwayatan hadis yang dikembangkan oleh para ulama adalah salah satu sistem verifikasi informasi yang paling canggih dalam sejarah peradaban manusia. Hadis mutawatir adalah puncak dari sistem ini, menunjukkan betapa ketat dan telitinya para ulama dalam menjaga kemurnian sunah Nabi. Ini menjadi bukti kebesaran Islam dalam menjaga sumber ajarannya.

8.6. Membedakan Antara Pokok dan Cabang Ajaran

Dengan adanya hadis mutawatir, umat dapat membedakan mana saja ajaran agama yang bersifat fundamental dan pasti (pokok) yang tidak boleh diingkari, dan mana yang bersifat cabang (furu') yang mungkin masih ada ruang ijtihad atau perbedaan pendapat. Hadis mutawatir seringkali berkaitan dengan pokok-pokok akidah dan ibadah.

9. Proses Identifikasi dan Verifikasi Hadis Mutawatir

Meskipun hadis mutawatir menghasilkan ilmu dharuri, proses untuk mengidentifikasi dan memverifikasi apakah suatu hadis benar-benar mencapai derajat mutawatir bukanlah hal yang mudah. Ini membutuhkan keahlian mendalam dalam ilmu hadis, sejarah, dan geografi.

9.1. Peran Para Imam dan Muhadditsin

Identifikasi hadis mutawatir sebagian besar telah dilakukan oleh para imam dan muhadditsin (ahli hadis) terdahulu. Mereka yang hidup di generasi-generasi awal Islam memiliki akses yang lebih dekat ke rantai periwayatan dan dapat menguji jumlah perawi serta kemustahilan konspirasi secara lebih efektif.

• Penelitian Sanad yang Luas: Para muhadditsin mengumpulkan ribuan bahkan jutaan riwayat hadis dari berbagai jalur. Mereka melakukan perjalanan panjang ke berbagai negeri Islam hanya untuk mendapatkan satu hadis dari berbagai perawi.
• Penelitian Biografi Perawi (Ilmu Rijalul Hadits): Mereka juga mengembangkan ilmu rijalul hadits untuk mengetahui integritas, hafalan, dan kondisi setiap perawi. Meskipun mutawatir tidak mensyaratkan kesempurnaan individu, pengetahuan ini tetap penting untuk memahami konteks dan kemustahilan konspirasi.
• Konsensus Ulama: Sebuah hadis dianggap mutawatir jika ada konsensus (ijma') di antara para ulama hadis terkemuka bahwa hadis tersebut memenuhi syarat-syarat mutawatir. Konsensus ini adalah bukti terkuat.

9.2. Kesulitan dalam Mengidentifikasi Hadis Mutawatir di Era Modern

Di era modern, sangat sulit bagi individu untuk secara mandiri mengidentifikasi hadis mutawatir dari awal. Oleh karena itu, kita mengandalkan daftar-daftar hadis mutawatir yang telah disusun oleh para ulama terdahulu dan yang telah diterima secara luas. Beberapa ulama yang secara khusus mengumpulkan hadis-hadis mutawatir antara lain:

• Imam As-Suyuti: Dalam karyanya Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah dan Qatf Al-Azhar.
• Imam Al-Kattani: Dalam karyanya Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir.

Karya-karya ini mencantumkan hadis-hadis yang telah diakui secara luas sebagai mutawatir oleh para ulama sebelumnya, lengkap dengan jumlah perawi di setiap tingkatan sanadnya jika memungkinkan. Dengan merujuk pada kitab-kitab ini, seorang Muslim dapat yakin bahwa hadis-hadis yang tercantum di dalamnya benar-benar mutawatir.

10. Pentingnya Mempelajari Hadis Mutawatir bagi Umat Islam Kontemporer

Mempelajari hadis mutawatir tidak hanya relevan bagi para ulama dan akademisi, tetapi juga bagi setiap Muslim di era kontemporer. Ada beberapa alasan mengapa pemahaman ini menjadi krusial:

10.1. Menjaga Keyakinan di Tengah Tantangan Modern

Di zaman modern, umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk keraguan dan skeptisisme terhadap sumber-sumber ajaran Islam. Memahami kekuatan hadis mutawatir dapat menjadi tameng yang kokoh terhadap upaya-upaya meragukan keaslian sunah Nabi. Ia menegaskan bahwa ada bagian dari ajaran Nabi yang memiliki kepastian absolut, yang tidak dapat dibantah oleh argumen rasional sekalipun.

10.2. Memahami Fondasi Hukum Syariat

Bagi mereka yang ingin memahami dasar-dasar hukum syariat, baik dalam ibadah maupun muamalah, mengetahui hadis mutawatir adalah keharusan. Banyak rukun Islam dan prinsip-prinsip akidah yang kokoh bertumpu pada hadis jenis ini. Ini membantu dalam membedakan antara hukum yang bersifat qat'i (pasti) dan zhanni (kemungkinan kuat).

10.3. Menghindari Perdebatan yang Tidak Perlu

Dengan mengetahui mana hadis yang mutawatir, seorang Muslim dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu mengenai keaslian atau kehujjahan hadis tertentu. Hadis mutawatir telah disepakati dan tidak ada ruang untuk perdebatan mengenai keabsahannya.

10.4. Menghargai Warisan Ilmu Islam

Mempelajari hadis mutawatir juga merupakan cara untuk menghargai dan memahami keagungan warisan intelektual Islam. Metode yang dikembangkan oleh para ulama hadis untuk menjaga kemurnian sunah adalah bukti kecerdasan, ketekunan, dan keikhlasan mereka dalam melayani agama Allah. Ini dapat menumbuhkan rasa bangga dan penghormatan terhadap tradisi keilmuan Islam.

10.5. Menguatkan Ikatan dengan Sunah Nabi

Ketika seorang Muslim memahami bahwa ada perkataan dan perbuatan Nabi yang telah sampai kepadanya melalui jalur periwayatan yang begitu kokoh dan pasti, hal itu akan menguatkan ikatan emosional dan spiritualnya dengan Rasulullah SAW. Ini mendorong untuk lebih mencintai, mengikuti, dan mengamalkan sunah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

11. Penutup

Hadis mutawatir adalah permata berharga dalam khazanah ilmu hadis, yang mencerminkan kehati-hatian, ketelitian, dan integritas para ulama dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Ia berdiri sebagai simbol keaslian dan kepastian, menjadi landasan kokoh bagi akidah dan syariat Islam.

Dengan jumlah perawi yang sangat banyak di setiap tingkatan sanad, mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan sumber riwayat yang berdasarkan indera langsung, hadis mutawatir menghasilkan ilmu dharuri atau keyakinan mutlak. Baik itu mutawatir lafzi dengan kesamaan redaksinya, maupun mutawatir ma'nawi dengan kesamaan maknanya, keduanya memiliki kehujjahan yang tidak dapat digoyahkan.

Memahami dan meyakini hadis mutawatir adalah bagian integral dari keimanan seorang Muslim. Ia mengingatkan kita akan kesempurnaan agama Islam dan karunia Allah yang telah menjaga sunah Nabi-Nya melalui generasi ulama yang tak terhitung jumlahnya. Semoga pemahaman ini semakin memperkokoh keimanan kita dan mendorong kita untuk senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.