Kawasan Hanggasa, yang terletak di jantung kota Seoul, merupakan salah satu area paling signifikan dan transformatif dalam sejarah modern Korea Selatan. Nama Hanggasa sendiri tidak hanya merujuk pada batas-batas geografisnya, tetapi juga mewakili sebuah narasi kompleks mengenai pendudukan militer asing, ketegangan geopolitik, dan akhirnya, sebuah ambisi besar untuk mengembalikan lahan tersebut kepada rakyat Korea dalam bentuk taman nasional perkotaan. Eksplorasi mendalam ini akan mengupas tuntas sejarah mendalam Hanggasa, dari akarnya sebagai lahan strategis hingga perannya saat ini sebagai poros utama proyek regenerasi Yongsan yang masif.
Alt Text: Ilustrasi Transisi Lahan Militer Hanggasa menjadi Taman Hijau. Menunjukkan perubahan dari area tertutup pangkalan militer (kiri) menuju ruang terbuka hijau publik (kanan).
Secara administratif, Hanggasa-dong merupakan bagian integral dari distrik Yongsan di Seoul, yang telah lama dikenal sebagai pusat strategis dan militer. Meskipun sering dianggap sebagai salah satu ‘dong’ (lingkungan) di Yongsan, signifikansi Hanggasa jauh melampaui batas-batas administrasinya yang relatif kecil. Lokasinya yang sangat sentral, berbatasan dengan Itaewon di sebelah timur, Huam-dong di sebelah barat, dan hanya sepelemparan batu dari Sungai Han, menjadikannya tanah properti yang tak ternilai harganya.
Untuk memahami kompleksitas Hanggasa, kita harus melihat kembali era sebelum pendudukan militer skala besar. Wilayah ini secara historis dikenal karena topografinya yang berbukit dan lokasinya yang dekat dengan pusat kerajaan Joseon. Namun, titik balik historis yang mengubah identitas Hanggasa selamanya terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika Korea berada di bawah pengaruh Kekaisaran Jepang. Pemerintah kolonial Jepang memilih Yongsan, dan khususnya area yang mencakup Hanggasa, sebagai lokasi pangkalan militer utama mereka di Semenanjung Korea. Lahan pertanian dan perumahan lokal disita dan diubah menjadi instalasi militer besar. Identitas Hanggasa mulai dibentuk oleh pagar dan barak, bukan oleh pasar atau komunitas tradisional.
Transformasi Hanggasa mencerminkan tragedi dan ketahanan Seoul: dari lahan sipil menjadi simbol kekuasaan kolonial, kemudian menjadi pusat militer pasca-perang, dan kini, menjadi mercusuar harapan regenerasi perkotaan yang damai. Proses panjang ini melibatkan negosiasi diplomatik, tekanan publik, dan komitmen monumental terhadap pemulihan ekologis dan sosial.
Setelah pembebasan Korea dari Jepang pada tahun 1945, dan diperparah oleh Perang Korea (1950–1953), pangkalan militer di Yongsan, termasuk area Hanggasa, segera dialihkan kepada pasukan Amerika Serikat di bawah komando United States Forces Korea (USFK). Selama lebih dari enam dekade, Hanggasa beroperasi sebagai bagian dari Yongsan Garrison, sebuah kota militer mini yang terisolasi di tengah ibu kota modern. Ini bukan sekadar barak; ini adalah pusat komando, perumahan, fasilitas rekreasi, dan dukungan logistik yang penting bagi aliansi AS-Korea Selatan.
Keterasingan geografis Hanggasa dari kehidupan sipil Korea menciptakan "celah" fisik dan psikologis di jantung kota Seoul. Sementara kota di sekitarnya berkembang pesat, area Hanggasa tetap statis, dipagari tinggi, dan hanya dapat diakses oleh personel militer AS dan staf Korea tertentu. Status quo ini, meskipun penting untuk keamanan nasional, menimbulkan pertanyaan abadi di kalangan warga Seoul tentang kedaulatan atas tanah mereka sendiri. Tanah Hanggasa menjadi perwujudan fisik dari Status of Forces Agreement (SOFA) dan hubungan erat, namun kadang-kadang rumit, antara kedua negara.
Penguasaan lahan di Hanggasa oleh militer asing berdampak signifikan pada perencanaan kota Seoul. Selama puluhan tahun, pembangunan jalan, jalur kereta api bawah tanah, dan infrastruktur lainnya harus berputar mengelilingi perimeter pangkalan Yongsan. Hal ini menghambat konektivitas dan menciptakan kemacetan di area sekitarnya, seperti Itaewon dan Huam-dong. Akibatnya, pembebasan lahan Hanggasa dan pangkalan Yongsan Garrison secara keseluruhan, menjanjikan tidak hanya ruang hijau, tetapi juga reorganisasi fundamental tata kota di pusat metropolitan.
Periode pasca-Perang Korea hingga awal abad ke-21 adalah babak paling definitif dalam sejarah Hanggasa. Area ini berfungsi sebagai lokasi strategis, menampung berbagai fasilitas kritis yang mendukung misi militer AS di Asia Timur. Identitas Hanggasa melekat pada citra markas besar, pos keamanan, dan kehidupan sehari-hari keluarga militer Amerika yang tinggal di sana.
Meskipun data spesifik mengenai tata letak internal Hanggasa di masa lalu sulit diakses publik, diketahui bahwa wilayah ini mencakup unit-unit perumahan, area administrasi, dan mungkin beberapa gudang logistik. Pangkalan Yongsan, tempat Hanggasa berada, dibagi menjadi dua bagian besar (Main Post dan South Post), dan area ini memainkan peran penting dalam menyediakan tempat tinggal yang terstandarisasi bagi personel AS. Fasilitas ini dirancang untuk menciptakan lingkungan yang mandiri, mengurangi interaksi yang tidak perlu dengan lingkungan Korea di sekitarnya, yang semakin memperkuat isolasi fisik Hanggasa.
Wacana mengenai relokasi pangkalan Yongsan sudah muncul sejak tahun 1990-an, tetapi baru benar-benar diwujudkan melalui perjanjian komprehensif pada awal 2000-an. Keputusan untuk memindahkan sebagian besar instalasi militer AS ke Pyeongtaek (Camp Humphreys) adalah momen monumental bagi Korea Selatan, menandai pengembalian kedaulatan atas tanah vital di ibu kota. Proses ini, yang dikenal sebagai Yongsan Relocation Program (YRP), secara langsung memengaruhi nasib Hanggasa.
Relokasi dari Hanggasa bukanlah proses yang cepat. Itu melibatkan pembongkaran fasilitas, transfer aset, dan yang paling penting, pemeriksaan ekstensif terhadap kondisi lingkungan. Ketika gerbang Hanggasa mulai dibuka, perhatian publik segera beralih dari status geopolitik ke masalah ekologi. Selama puluhan tahun penggunaan intensif militer, termasuk penyimpanan bahan bakar, penggunaan pelarut industri, dan pengelolaan limbah, muncul kekhawatiran serius tentang kontaminasi tanah dan air tanah.
Proses pengosongan dan pembersihan lahan di Hanggasa menjadi studi kasus yang kompleks. Transisi ini tidak hanya memerlukan dana besar untuk pembersihan, tetapi juga membutuhkan kerjasama diplomatik yang rumit untuk menentukan tanggung jawab finansial atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi selama puluhan tahun. Keberhasilan proyek regenerasi Hanggasa sangat bergantung pada penanganan isu kontaminasi ini secara tuntas dan transparan.
Setelah pengembalian lahan, nasib Hanggasa ditetapkan: ia akan diintegrasikan ke dalam Yongsan Park, sebuah proyek ambisius yang bertujuan menciptakan taman perkotaan terbesar di Seoul, setara dengan Central Park di New York atau Hyde Park di London. Lahan bekas pangkalan militer di Hanggasa kini menjadi kanvas untuk menciptakan ruang publik yang merefleksikan sejarah, alam, dan aspirasi masa depan Korea.
Desain Yongsan Park berpusat pada konsep pemulihan ekologis dan memorialisasi sejarah. Area Hanggasa, karena lokasinya yang strategis dan topografinya, dirancang untuk menjadi salah satu zona utama dalam taman tersebut, yang akan menghubungkan distrik-distrik sekitarnya yang sebelumnya terputus. Filosofi di balik desain ini adalah menciptakan ‘koneksi’—koneksi antara utara dan selatan Seoul, koneksi antara masa lalu militer dan masa depan sipil, dan koneksi antara manusia dan alam.
Para perencana kota melihat Hanggasa bukan hanya sebagai lahan kosong, tetapi sebagai situs warisan. Oleh karena itu, tidak semua bangunan militer akan dihancurkan. Beberapa struktur historis, terutama yang berkaitan dengan arsitektur kolonial Jepang atau fasilitas kunci AS, akan dipertahankan dan diubah menjadi museum, galeri seni, atau pusat komunitas. Ini akan memastikan bahwa ketika warga berjalan di Hanggasa di masa depan, mereka tetap dapat mengenali jejak sejarah yang membentuk kawasan ini.
Masalah kontaminasi, yang sangat terasa di daerah-daerah logistik di Hanggasa, menuntut upaya pembersihan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kontaminan utama yang diidentifikasi meliputi Total Petroleum Hydrocarbons (TPH) dari kebocoran tangki bahan bakar bawah tanah, serta beberapa logam berat. Proses pemulihan ini memerlukan penggunaan teknologi canggih seperti soil washing (pencucian tanah) dan in-situ stabilization (stabilisasi di tempat) untuk memastikan bahwa tanah tersebut aman bagi publik, terutama anak-anak, yang akan menggunakan taman tersebut.
Pemerintah Korea Selatan telah mengalokasikan sumber daya yang sangat besar untuk memastikan bahwa setiap meter persegi tanah di Hanggasa memenuhi standar lingkungan tertinggi sebelum dibuka. Proses ini, yang diawasi ketat oleh berbagai kelompok aktivis lingkungan dan badan pemerintah, menunda pembukaan taman tetapi dianggap penting untuk legitimasi jangka panjang proyek Hanggasa.
Keberhasilan pemulihan di Hanggasa akan menjadi bukti kemampuan Korea Selatan untuk mengatasi warisan lingkungan dari sejarah militer yang panjang. Ini bukan hanya tentang menanam pohon; ini tentang menyembuhkan tanah secara literal dan simbolis. Upaya ini melibatkan ribuan jam penelitian geologis, pengambilan sampel tanah yang berulang, dan dialog berkelanjutan dengan pihak Amerika mengenai data historis penggunaan lokasi tertentu di Hanggasa.
Selama pangkalan Yongsan aktif, komunitas yang berdekatan dengan Hanggasa, seperti Itaewon dan Huam-dong, mengembangkan hubungan ekonomi dan sosial yang unik dengan pangkalan tersebut. Bisnis lokal sering bergantung pada personel militer AS, menciptakan zona khusus yang melayani kebutuhan mereka. Namun, penutupan dan transisi Hanggasa membawa gelombang perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan.
Itaewon, yang terkenal secara internasional, tumbuh subur karena kedekatannya dengan Hanggasa dan pangkalan Yongsan secara keseluruhan. Restoran, bar, toko suvenir, dan layanan khusus lainnya berorientasi pada pasar Amerika. Ketika personel militer mulai pindah, bisnis-bisnis ini menghadapi tantangan besar. Namun, penutupan Hanggasa juga membuka peluang baru: kawasan ini kini menarik perhatian wisatawan dan penduduk lokal Korea Selatan yang ingin menjelajahi area yang dulunya tertutup.
Transformasi Hanggasa menjadi taman publik diharapkan dapat menarik jenis investasi dan populasi baru ke Itaewon dan Huam-dong. Alih-alih melayani komunitas militer tertutup, bisnis di sekitar Hanggasa kini beradaptasi untuk melayani pengunjung taman, keluarga, dan pecinta seni. Ini mendorong diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada satu demografi saja.
Pembukaan Hanggasa menghilangkan hambatan fisik terbesar di pusat Seoul. Setelah taman dibuka, akan ada koneksi jalan dan jalur pejalan kaki yang mulus antara distrik-distrik di utara (seperti Namsan dan Huam-dong) dan di selatan (Yongsan-gu dan Sungai Han). Peningkatan konektivitas ini, dikombinasikan dengan janji ruang hijau premium, telah mendorong kenaikan dramatis dalam nilai properti di sekitar perimeter Hanggasa, menjadikannya salah satu area real estat paling dicari di Seoul.
Namun, kenaikan harga ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai gentrifikasi. Pemerintah daerah harus menyeimbangkan ambisi pembangunan taman dengan kebutuhan untuk melindungi penduduk lama dan usaha kecil dari penggusuran yang disebabkan oleh melonjaknya biaya hidup dan sewa di sekitar Hanggasa. Ini adalah dilema umum dalam proyek regenerasi skala besar—memastikan bahwa manfaat taman tersebut dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang mampu membeli properti di dekatnya.
Untuk mencapai kedalaman yang diperlukan, kita harus memperluas analisis mengenai kompleksitas proyek Hanggasa melampaui sekadar rencana pembangunan fisik. Transformasi ini adalah cerminan dari identitas nasional Korea yang sedang berevolusi dan upaya mereka untuk mendefinisikan ulang hubungan historis dengan kekuatan asing. Setiap aspek proyek Hanggasa sarat dengan makna simbolis dan tantangan teknis yang sangat spesifik.
Pengembalian lahan Hanggasa bukan sekadar transaksi properti; ini adalah tindakan politik dan kedaulatan. Selama bertahun-tahun, keberadaan pangkalan asing di ibu kota adalah pengingat konstan akan perjanjian masa lalu. Proyek Yongsan Park, dengan Hanggasa sebagai salah satu bagian terpentingnya, secara eksplisit diposisikan sebagai "hadiah kepada rakyat Korea."
Transfer lahan Hanggasa diatur di bawah Status of Forces Agreement (SOFA), yang mendefinisikan persyaratan di mana personel dan fasilitas militer AS beroperasi di Korea. Negosiasi mengenai detail transfer, termasuk timeline penarikan, pembongkaran fasilitas, dan biaya pemulihan lingkungan, sangat intens. Isu biaya pembersihan kontaminasi (yang seringkali sangat mahal, puluhan hingga ratusan juta dolar) menjadi titik gesekan utama. Pemerintah Korea akhirnya mengambil alih tanggung jawab pembersihan besar-besaran di Hanggasa, menunjukkan komitmen tak tergoyahkan untuk membuka taman tersebut tanpa penundaan lebih lanjut yang disebabkan oleh sengketa finansial yang berlarut-larut.
Keputusan ini mencerminkan prioritas nasional: mendapatkan kembali kontrol penuh atas tanah pusat Seoul yang strategis di Hanggasa melebihi pertimbangan biaya segera. Tanah di Hanggasa dinilai tidak hanya berdasarkan nilai komersialnya, tetapi berdasarkan nilai simbolisnya sebagai warisan nasional yang harus dipertahankan. Oleh karena itu, investasi besar dalam pembersihan dan pembangunan infrastruktur regenerasi di Hanggasa dianggap sebagai investasi dalam kedaulatan masa depan.
Mengingat sensitivitas historis lahan Hanggasa, proses perencanaan taman telah melibatkan tingkat partisipasi publik yang tinggi. Berbagai komite dan forum dibentuk untuk mengumpulkan masukan dari warga, arsitek, sejarawan, dan aktivis lingkungan. Transparansi dalam penanganan kontaminasi tanah di Hanggasa, termasuk publikasi data pengujian, menjadi prasyarat untuk mendapatkan kepercayaan publik. Kepercayaan ini penting karena proyek Hanggasa bertujuan untuk menyembuhkan luka sejarah, dan penyembuhan itu harus dilakukan secara terbuka.
Model perencanaan partisipatif yang diterapkan di Hanggasa menciptakan preseden baru di Korea Selatan. Warga memiliki kesempatan untuk memilih elemen desain, menyarankan fungsi untuk bangunan yang dipertahankan, dan secara aktif memantau kemajuan pembersihan. Ini memastikan bahwa Yongsan Park, dan khususnya area Hanggasa, benar-benar menjadi 'Taman Rakyat'.
Aspek unik dari regenerasi Hanggasa adalah keputusan untuk tidak menghapus semua jejak militer. Area ini kaya akan lapisan sejarah—dari periode kekaisaran Joseon (meskipun sedikit yang tersisa di permukaan) hingga arsitektur kolonial Jepang dan bangunan bergaya Amerika pasca-Perang. Konservasi arsitektur ini berfungsi sebagai memorial yang penting.
Beberapa bangunan yang didirikan pada masa pendudukan Jepang, yang kemudian digunakan oleh militer AS di Hanggasa, akan dilestarikan. Struktur-struktur ini memiliki nilai historis karena mereka adalah artefak langka yang menunjukkan kontinuitas penggunaan militer lahan tersebut selama lebih dari satu abad. Dengan mengubah barak atau kantor komando menjadi pusat pendidikan, Hanggasa dapat mengajarkan generasi mendatang tentang sejarah yang rumit ini.
Konservasi ini menghadapi tantangan dilematis. Bagaimana cara menghormati sejarah tanpa mengagungkan masa lalu yang menyakitkan? Keputusan di Hanggasa adalah untuk mengkontekstualisasikan struktur ini. Misalnya, rumah perwira AS yang mewah (yang kontras tajam dengan perumahan Seoul di luar gerbang) mungkin diubah menjadi museum yang mendiskusikan perbedaan sosial dan budaya yang ada di sekitar Hanggasa.
Bahkan instalasi yang lebih baru di Hanggasa, seperti lapangan olahraga atau beberapa jalan yang didesain secara khas Amerika, mungkin dipertahankan dalam bentuk modifikasi. Jalanan lama pangkalan dapat diubah menjadi jalur sepeda atau jalan setapak yang mempertahankan jejak tata letak militer. Ini memungkinkan pengunjung untuk merasakan skala pangkalan yang dulu tertutup, sambil menikmati ruang hijau yang baru. Filosofi di balik ini adalah bahwa taman tersebut harus menjadi tempat di mana masa lalu dapat dilihat, dipelajari, dan direfleksikan, bukan tempat di mana masa lalu benar-benar terhapus.
Isu lingkungan adalah inti dari regenerasi Hanggasa. Kegagalan untuk membersihkan lahan secara menyeluruh akan merusak seluruh proyek taman. Ini membutuhkan fokus yang sangat teknis pada ilmu tanah dan hidrologi.
Daerah logistik di Hanggasa sering kali memiliki tangki bahan bakar bawah tanah (UST) yang mengalami kebocoran selama masa operasionalnya. Kontaminan TPH memerlukan upaya bioremediasi (penggunaan mikroorganisme untuk mengurai polutan) yang ekstensif atau, dalam kasus konsentrasi tinggi, pemindahan dan pengolahan tanah di luar lokasi. Selain itu, temuan zat kimia seperti PCE (Perchloroethylene), yang biasa digunakan untuk dry cleaning atau sebagai pelarut industri, menambah kompleksitas pembersihan di area-area tertentu di Hanggasa.
Air tanah di bawah Hanggasa juga menjadi perhatian. Tim ahli lingkungan bekerja untuk memasang sistem pemompaan dan pengolahan untuk mencegah penyebaran kontaminan ke area yang lebih luas atau ke Sungai Han. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun dan harus dipantau secara ketat bahkan setelah taman dibuka untuk memastikan keamanan jangka panjang.
Setelah tanah dibersihkan, fokus beralih ke penciptaan ekosistem yang sehat. Karena Hanggasa terletak di antara Pegunungan Namsan di utara dan Sungai Han di selatan, taman ini memiliki potensi besar untuk berfungsi sebagai koridor ekologis vital. Perencanaan melibatkan penanaman spesies pohon dan tanaman asli Korea yang dapat mendukung keanekaragaman hayati lokal, yang telah lama terhambat oleh infrastruktur militer yang keras dan tertutup.
Area Hanggasa akan menampilkan zona-zona konservasi air, termasuk kolam retensi yang dirancang untuk mengelola limpasan air hujan dan memulihkan habitat lahan basah. Keberhasilan ekologis di Hanggasa akan menjadi model untuk pembangunan perkotaan berkelanjutan di Seoul dan sekitarnya.
Proyek Hanggasa bukan hanya tentang taman; ini adalah tentang memperbaiki struktur perkotaan Seoul. Selama lebih dari 100 tahun, pangkalan militer bertindak sebagai tumor yang memisahkan bagian-bagian kota. Pemulihan Hanggasa memungkinkan Seoul untuk tumbuh secara organik dan terpadu.
Salah satu manfaat utama pembukaan Hanggasa adalah peningkatan drastis dalam konektivitas transportasi publik. Rencana tata ruang kota mencakup perpanjangan jalur bus dan, mungkin, pembangunan stasiun kereta bawah tanah baru yang berdekatan dengan batas taman. Aksesibilitas ke Hanggasa harus dirancang agar setara, memastikan bahwa taman ini mudah dijangkau oleh semua warga Seoul, terlepas dari lokasi mereka.
Jalur pejalan kaki dan sepeda yang melintasi Hanggasa akan menjadi penghubung utama, mengurangi kebutuhan akan mobil di pusat kota dan mendorong gaya hidup yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Taman ini dirancang untuk berfungsi sebagai paru-paru kota, di mana ruang terbuka dan udara bersih menjadi aset yang paling berharga.
Ketika bangunan militer di Hanggasa bertransisi menjadi ruang budaya, kawasan ini akan menjadi hub baru bagi seni dan sejarah. Rencana termasuk mendirikan fasilitas pendidikan tentang sejarah modern Korea, pusat pameran arsitektur Yongsan, dan tempat-tempat untuk pertunjukan publik. Hanggasa akan bertindak sebagai museum hidup, di mana sejarah kontemporer berinteraksi langsung dengan kehidupan sehari-hari warga Seoul.
Pendirian pusat-pusat budaya di Hanggasa bertujuan untuk memperkuat identitas lokal yang unik. Meskipun ada pengaruh global dari Itaewon di dekatnya, taman ini akan menggarisbawahi identitas Korea yang telah pulih, yang kini mampu mengubah warisan pendudukan menjadi aset publik yang memuliakan. Inilah inti dari janji regenerasi Hanggasa: mengubah kenangan pahit menjadi ruang perayaan dan rekonsiliasi.
Alt Text: Grafik yang menunjukkan peningkatan drastis dalam kualitas hidup dan konektivitas sosial di area sekitar Hanggasa pasca regenerasi menjadi taman kota.
Pengalaman Hanggasa menawarkan pelajaran berharga bagi kota-kota lain di seluruh dunia yang menghadapi tugas konversi lahan militer besar menjadi ruang sipil. Kasus serupa, seperti High Line di New York (konversi rel kereta api) atau Potsdamer Platz di Berlin (konversi lahan kosong Perang Dingin), menunjukkan potensi transformasi. Namun, Hanggasa memiliki dimensi yang lebih kompleks karena melibatkan kedaulatan, pembersihan ekologis yang ekstrim, dan memorialisasi dua era pendudukan asing yang berbeda.
Proyek Hanggasa mencontohkan manajemen aset strategis. Keputusan untuk mendedikasikan seluruh lahan Yongsan, termasuk Hanggasa, untuk taman (daripada menjualnya untuk pembangunan real estat yang akan menghasilkan triliunan won) adalah keputusan yang berani. Ini menggarisbawahi komitmen pemerintah Seoul terhadap kualitas hidup dan warisan budaya, memprioritaskan fungsi sosial dan lingkungan di atas keuntungan finansial jangka pendek. Model ini sering disebut sebagai 'nilai publik abadi'.
Hanggasa juga menjadi kasus uji untuk diplomasi lingkungan. Negosiasi antara Korea dan AS mengenai tanggung jawab kontaminasi menetapkan batas-batas baru untuk kerja sama bilateral dalam masalah ekologis di masa depan. Meskipun penyelesaiannya tidak mudah, proses ini menyoroti perlunya klausul yang lebih kuat dalam perjanjian SOFA di seluruh dunia untuk memastikan bahwa kerusakan lingkungan oleh pangkalan militer asing ditangani secara memadai sebelum penyerahan lahan.
Pendekatan Korea terhadap Hanggasa dan Yongsan secara keseluruhan telah menarik perhatian urbanis dan diplomat internasional sebagai contoh sukses (walaupun memakan waktu) bagaimana sebuah negara dapat menegaskan kembali kontrol atas tanahnya yang paling berharga sambil mempertahankan hubungan aliansi yang penting.
Ketika fase-fase pembangunan Yongsan Park berlanjut, Hanggasa akan menjadi salah satu area pertama yang dibuka untuk umum. Harapan yang menyertai pembukaan ini adalah bahwa lahan tersebut akan menjadi tempat rekonsiliasi. Rekonsiliasi antara alam dan manusia (melalui pemulihan ekologis) dan rekonsiliasi antara sejarah dan masa kini (melalui penggunaan ruang publik secara damai).
Pengunjung masa depan di Hanggasa akan berjalan di atas tanah yang dulunya hanya bisa dilihat melalui pagar kawat berduri—sebuah simbol betapa jauhnya Seoul telah bergerak dari era konflik dan keterbatasan. Taman ini akan menawarkan pemandangan spektakuler ke Seoul, menghubungkan kembali Puncak Namsan dengan Sungai Han, sebuah poros visual dan fisik yang terputus selama lebih dari satu abad.
Hanggasa akan selalu menjadi lebih dari sekadar nama tempat; ia adalah penanda waktu, sebuah memorial, dan, yang paling penting, sebuah janji: bahwa kedaulatan dan ruang hijau dapat dikembalikan dan diabadikan di tengah hiruk pikuk metropolitan terbesar.
Rencana jangka panjang untuk Hanggasa meliputi pembangunan museum yang khusus didedikasikan untuk sejarah transisi Yongsan, yang akan memastikan bahwa pengorbanan dan upaya yang dilakukan untuk membersihkan dan membuka lahan ini tidak akan pernah terlupakan. Dari pangkalan militer yang tertutup rapat, Hanggasa bertransformasi menjadi ruang terbuka yang mendefinisikan ulang kehidupan kota Seoul di abad ke-21. Ini adalah kisah pemulihan yang masif, monumental, dan penuh makna.