Hari Tarwiah, yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, adalah momen krusial dalam rangkaian ibadah haji. Ia merupakan pintu gerbang spiritual yang memisahkan ritual pendahuluan di Makkah dari puncak ibadah yang akan dijalani di Arafah. Hari ini menandai dimulainya pergerakan besar jamaah haji dari Makkah menuju Mina, sebuah lembah yang memiliki sejarah mendalam dalam narasi kenabian.
Pada hari yang diberkahi ini, jutaan manusia yang mengenakan kain ihram seragam, bergerak dalam satu gelombang besar. Perjalanan ini bukanlah sekadar perpindahan fisik dari satu titik ke titik lain di padang pasir, melainkan sebuah manifestasi niat yang diperbarui, sebuah simbol pelepasan diri dari hiruk pikuk dunia, dan persiapan mental serta spiritual untuk menghadapi Wukuf—pilar utama haji—di keesokan harinya. Tanpa Hari Tarwiah, tanpa perhentian dan penyegaran niat di Mina, pengalaman haji terasa terputus dari substansi historis dan spiritualnya.
Kata "Tarwiah" (التَّرْوِيَةُ) dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang kaya makna. Secara harfiah, kata ini mengandung dua interpretasi utama yang keduanya memiliki relevansi mendalam terhadap pelaksanaan ibadah haji dan sejarah para nabi, khususnya Nabi Ibrahim AS.
Interpretasi yang paling umum menghubungkan Tarwiah dengan kata 'rawwa' (رَوَّى) yang berarti ‘memberi minum’ atau ‘mengambil air’. Pada masa lalu, sebelum fasilitas modern tersedia, Makkah dan sekitarnya adalah wilayah yang kering dan tandus. Jamaah haji yang hendak menuju Mina, dan kemudian Arafah, harus membawa bekal air yang cukup untuk beberapa hari ke depan. Hari ke-8 Dzulhijjah dijadikan hari untuk menyiapkan dan mengisi penuh persediaan air di Makkah. Mereka mengambil air dari sumur-sumur yang tersedia, termasuk Sumur Zamzam, untuk dibawa sebagai perbekalan vital menuju padang Arafah. Tindakan ini merupakan persiapan logistik yang sangat penting, menunjukkan betapa ibadah haji menggabungkan aspek spiritualitas dan realitas fisik yang mendasar.
Bekal air ini bukan hanya sekadar minuman, tetapi juga simbol kebutuhan dasar manusia dalam perjalanan spiritual yang panjang. Ketersediaan air memastikan jamaah dapat menjalankan shalat, membersihkan diri, dan bertahan di tengah teriknya matahari. Kebutuhan akan bekal air yang mendesak ini sedemikian rupa sehingga hari tersebut dinamakan berdasarkan aktivitas pengambilannya.
Interpretasi kedua, dan yang dianggap lebih kaya makna spiritual, menghubungkan Tarwiah dengan kata ‘ra’a’ (رَأَى) atau ‘tarawwa’ (تَرَوَّى) yang berarti ‘merenungkan’, ‘memikirkan’, atau ‘kontemplasi’. Penamaan ini terkait erat dengan kisah besar Nabi Ibrahim AS dan mimpinya yang agung.
Diriwayatkan bahwa pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi bahwa ia diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Ketika beliau bangun pada pagi hari tanggal 8, beliau mulai merenung dan berpikir secara mendalam (tarawwa). Apakah mimpi ini datang dari Allah SWT, ataukah dari godaan setan? Kontemplasi ini memakan waktu seharian penuh.
Rasa ragu yang dialami Nabi Ibrahim AS bukanlah keraguan terhadap ketaatan, melainkan upaya untuk memastikan kebenaran perintah Ilahi. Pada malam tanggal 9 Dzulhijjah, mimpi itu datang kembali. Kemudian, pada malam ke-10 (Idul Adha), mimpi itu datang untuk ketiga kalinya, menghapuskan keraguan yang tersisa, dan beliau pun bersiap melaksanakan perintah tersebut.
Hari Tarwiah, oleh karena itu, menjadi hari perenungan niat, pemantapan tekad, dan penyelarasan hati sebelum menghadapi ujian keimanan terbesar. Bagi jamaah haji, ini adalah hari untuk memeriksa kembali niat murni mereka (ikhlas) sebelum memasuki arena puncak ibadah di Arafah.
Kedua makna ini, logistik air dan spiritualitas kontemplasi, bersatu membentuk esensi Hari Tarwiah. Jamaah dipanggil untuk mempersiapkan diri secara fisik (bekal) dan spiritual (niat) sebelum melangkah ke ritual yang lebih berat dan sakral.
Hari Tarwiah adalah hari pergerakan masif. Setelah jamaah melaksanakan shalat Subuh di Makkah, atau segera setelah matahari terbit, mereka mulai bergerak menuju Lembah Mina. Mina berjarak sekitar 8 kilometer di sebelah timur Makkah, namun perjalanan ini terasa lebih jauh karena dipenuhi oleh lautan manusia yang bertalbiyah serempak.
Sebelum bergerak, bagi mereka yang melaksanakan haji Tamattu', mereka wajib kembali mengenakan kain Ihram dan berniat haji. Meskipun mereka mungkin telah berada dalam kondisi ihram sebelumnya (jika haji Ifrad atau Qiran), Hari Tarwiah menuntut pembaharuan dan penegasan niat khusus untuk memulai rukun haji.
Suasana yang tercipta dalam perjalanan ini sangat khas dan tak tertandingi. Jutaan suara serentak mengumandangkan talbiyah:
"Labaik Allahumma Labaik, Labaika la syarika laka Labaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, La syarika lak."
(Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang. Aku datang tiada sekutu bagi-Mu, aku datang. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.)
Suara talbiyah yang menggetarkan ini memancarkan energi spiritual yang luar biasa, mengingatkan setiap individu akan tujuan tunggal perjalanan mereka: ketaatan mutlak kepada Allah SWT. Perjalanan ke Mina ini adalah latihan kesabaran dan kebersamaan. Perbedaan status sosial, kekayaan, dan bahasa melebur menjadi satu di bawah naungan kain putih ihram.
Setibanya di Mina, jamaah wajib melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan kemudian Shalat Subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Ada dua ketentuan penting yang berlaku untuk shalat di Mina pada hari Tarwiah, sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW:
Shalat yang berjumlah empat rakaat (Dzuhur, Ashar, dan Isya) dipersingkat menjadi dua rakaat. Ini adalah bentuk keringanan (rukhsah) yang diberikan kepada musafir (orang yang dalam perjalanan), meskipun jamaah telah menetap di Mina.
Dalam Mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama, shalat di Mina pada Hari Tarwiah tidak digabungkan. Shalat dilaksanakan pada waktunya masing-masing, meskipun dipersingkat. Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat di Mina secara *qasar* namun *tidak jama’* (tidak digabungkan). Oleh karena itu, jamaah melaksanakan lima waktu shalat secara penuh di lembah ini, mempersiapkan diri untuk puncak ibadah keesokan harinya.
Menghabiskan Hari Tarwiah di Mina adalah sunnah muakkadah (yang ditekankan). Ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban logistik, tetapi memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan kualitas spiritual dan mempersiapkan diri menghadapi puncak ibadah haji.
Sejak meninggalkan Makkah hingga terbitnya fajar pada Hari Arafah, talbiyah harus terus diperbanyak. Talbiyah adalah simbol penyerahan diri dan janji ketaatan. Setiap langkah kaki, setiap tarikan napas di Hari Tarwiah, diiringi oleh seruan ini. Ini menciptakan suasana kesucian dan fokus yang tak terputus. Jamaah didorong untuk tidak menyibukkan diri dengan urusan duniawi, melainkan mengisi waktu dengan dzikir, membaca Al-Qur'an, dan merenungkan niat. Fokus utama adalah mengumpulkan kekuatan spiritual sebelum hari-hari yang melelahkan tiba.
Mina, pada hari ini, bertransformasi menjadi madrasah terbuka. Di dalam tenda-tenda yang berjejer rapi, jamaah dari berbagai penjuru dunia berinteraksi, berbagi ilmu, dan saling menguatkan. Diskusi seputar fiqh haji, sejarah kenabian, dan makna spiritual dari setiap rukun menjadi pemandangan umum.
Meskipun Hari Tarwiah dipenuhi dengan amalan ibadah, ia juga berfungsi sebagai hari istirahat yang strategis. Malam yang dihabiskan di Mina harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk tidur dan memulihkan energi. Hari Arafah dan hari-hari Tasyriq berikutnya akan menuntut stamina fisik dan mental yang sangat besar. Oleh karena itu, disiplin diri dalam mengatur waktu tidur dan makan menjadi bagian integral dari ibadah Hari Tarwiah. Ini menunjukkan bahwa Islam menghargai keseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani.
Ketentuan untuk bermalam di Mina pada malam ke-9 Dzulhijjah (setelah Hari Tarwiah berakhir) adalah langkah awal yang menentukan. Meskipun bermalam di Mina pada malam ini tidak termasuk rukun atau wajib haji menurut sebagian besar ulama, namun ia adalah sunnah yang sangat ditekankan, mengikuti praktik Nabi Muhammad SAW. Keberadaan di Mina memastikan transisi yang mulus dan teratur menuju Arafah segera setelah matahari terbit.
Lembah Mina adalah tempat yang penuh dengan sejarah, bukan hanya sekadar tempat persinggahan. Hari Tarwiah mengantar jamaah ke lembah ini, mengingatkan mereka pada peristiwa-peristiwa penting yang membentuk inti ajaran Islam.
Seperti telah disebutkan, kontemplasi Nabi Ibrahim AS menjadi jantung penamaan hari ini. Namun, kehadiran di Mina juga mengingatkan pada ujian yang lebih besar. Mina adalah tempat di mana Nabi Ibrahim AS, dalam perjalanan melaksanakan perintah penyembelihan, diuji oleh Iblis.
Pada hari-hari berikutnya (Tasyriq), jamaah akan melontar jumrah di tempat-tempat yang diyakini sebagai lokasi di mana Ibrahim AS melempari Iblis dengan batu. Meskipun ritual pelemparan batu terjadi setelah Hari Tarwiah, perenungan mengenai keimanan Ibrahim AS dimulai tepat pada Hari Tarwiah.
Jamaah yang berada di tenda-tenda Mina didorong untuk memvisualisasikan keteguhan hati Nabi Ibrahim AS. Bagaimana seorang ayah, atas dasar ketaatan mutlak, siap mengorbankan putranya yang dinanti-nanti? Kontemplasi ini memperkuat tekad jamaah untuk melepaskan segala bentuk kemelekatan duniawi dan menempatkan ketaatan kepada Allah SWT di atas segalanya.
Nabi Muhammad SAW melaksanakan haji Wada' (haji perpisahan) dengan penuh ketelitian. Beliau tiba di Mina pada Hari Tarwiah, melaksanakan shalat lima waktu (Dzuhur hingga Subuh), dan beristirahat. Setiap detail dari ibadah yang dilakukan jamaah saat ini, mulai dari tata cara shalat qasar, hingga posisi tenda (meskipun modern), mengikuti pola yang ditetapkan oleh beliau. Kehadiran di Mina adalah penghormatan terhadap sunnah Nabi, memastikan bahwa ibadah haji dilaksanakan sesuai dengan manual ilahi yang paling sempurna.
Mengikuti jejak langkah Rasulullah di lembah ini memberikan energi spiritual yang unik. Jamaah merasa terhubung langsung dengan sejarah Islam yang agung, menjadi bagian dari mata rantai tak terputus yang dimulai sejak Nabi Ibrahim AS dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Hari Tarwiah, meskipun berfokus pada persiapan individual, juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Mina menjadi miniatur dunia, tempat jutaan manusia berkumpul tanpa memandang ras, suku, atau kekayaan.
Kain ihram yang dikenakan sejak berniat haji telah menghapus semua simbol pembeda. Di Mina, semua orang berada di bawah tenda yang sama, makan makanan yang sederhana, dan memiliki tujuan yang sama. Fenomena ini adalah realisasi nyata dari konsep persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam.
Hari Tarwiah adalah pelatihan hidup berkomunitas. Jamaah belajar berbagi ruang, bersabar terhadap kesulitan logistik, dan mengutamakan kebutuhan sesama. Keramahan, tolong-menolong, dan toleransi menjadi kunci kelangsungan hidup yang harmonis di tengah padatnya Mina. Ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak bisa dipisahkan dari etika sosial yang baik.
Ketika malam menjelang pada tanggal 8 Dzulhijjah, suara talbiyah mencapai puncaknya. Mengumandangkan talbiyah bersama jutaan orang lainnya menciptakan resonansi emosional yang mendalam. Ini bukan sekadar ritual lisan, melainkan pengakuan kolektif atas keesaan Tuhan dan penyerahan diri bersama. Pengalaman kolektif ini memperkuat ikatan persaudaraan global dan menghadirkan gambaran kecil dari Hari Kebangkitan, di mana seluruh umat manusia berkumpul di hadapan Pencipta.
Tujuan utama dari menetap di Mina pada Hari Tarwiah adalah untuk mempersiapkan diri secara sempurna untuk Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hari Tarwiah adalah pengantar, sedangkan Arafah adalah klimaks.
Malam Tarwiah (malam ke-9) adalah malam yang sangat mulia. Jamaah mengisi malam ini dengan shalat malam, munajat, dan doa. Mereka berupaya mencapai tingkat kekhusyukan tertinggi, menyadari bahwa beberapa jam lagi mereka akan berada di padang yang merupakan tempat terkabulnya doa, Arafah.
Di tenda-tenda Mina, keheningan kadang-kadang menguasai, diselingi oleh isak tangis dan doa. Ini adalah waktu introspeksi terakhir sebelum berdiri di hadapan Allah SWT di Arafah, sebuah momen yang menentukan diterimanya haji seseorang.
Setelah melaksanakan Shalat Subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah di Mina, jamaah tidak menunggu lama. Mereka mulai bergerak menuju Arafah segera setelah matahari terbit. Perjalanan ini, yang dikenal sebagai Ifadhah (meluber), adalah kelanjutan dari pergerakan yang dimulai pada Hari Tarwiah.
Kehadiran di Mina memastikan pergerakan menuju Arafah berjalan lebih teratur dibandingkan jika semua jamaah bergerak langsung dari Makkah. Hal ini adalah salah satu hikmah logistik yang mendasari sunnah bermalam di Mina pada Hari Tarwiah.
Untuk memahami sepenuhnya nilai dari Hari Tarwiah, kita perlu menelaah lebih dalam etika dan adab yang harus dijaga selama berada di Mina. Kehidupan di Mina selama Tarwiah adalah latihan kesabaran, pengekangan diri, dan pemfokusan niat.
Di Mina, ruang sangat terbatas, dan waktu terasa berjalan cepat. Jamaah didorong untuk tidak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti ghibah, perdebatan, atau penggunaan teknologi yang berlebihan. Fokus harus tetap pada persiapan rohani. Pengelolaan waktu di Hari Tarwiah adalah manajemen prioritas: shalat tepat waktu, dzikir, dan istirahat yang cukup.
Mina mengajarkan kerendahan hati. Tidur di tenda yang sederhana, berbagi fasilitas sanitasi, dan berdesakan dalam keramaian adalah penghapus kesombongan. Kesulitan fisik yang dihadapi adalah bagian dari ibadah, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesabaran (sabr) dan keikhlasan (ikhlas).
Selama Hari Tarwiah dan seterusnya, jamaah harus sangat teliti dalam menjaga pantangan-pantangan ihram. Meskipun beberapa pantangan logistik seperti mencari air telah teratasi, pantangan yang berkaitan dengan perilaku tetap harus dijaga dengan ketat, terutama:
Hari Tarwiah adalah hari di mana kepekaan spiritual dipertajam, memastikan bahwa transisi menuju Arafah dilakukan dalam kondisi kesucian rohani yang maksimal. Setiap pelanggaran, sekecil apa pun, akan mengurangi kesempurnaan haji dan berpotensi membutuhkan denda (dam).
Setiap ritual haji berulang, dan setiap pengulangan mengandung makna yang diperdalam. Hari Tarwiah, sebagai hari kontemplasi, mewajibkan jamaah untuk mengulang dan memperkuat niat mereka.
Niat yang diucapkan pada Hari Tarwiah bukan hanya niat untuk ritual fisik semata, tetapi komitmen untuk menjalani sisa hidup setelah haji dengan ketaatan yang lebih besar. Ketika jamaah berdiri di Mina, mereka secara mental meninggalkan Makkah, pusat kekayaan dan duniawi, dan bergerak menuju tempat yang sunyi (Arafah), simbol dari tempat penghisaban.
Pengulangan talbiyah selama perjalanan ke Mina secara terus-menerus berfungsi sebagai pengingat agar niat tetap murni karena Allah semata, bukan karena pujian manusia atau pencapaian status sosial. Niat haji adalah investasi rohani terbesar, dan Hari Tarwiah adalah hari verifikasi investasi tersebut.
Perjalanan di Hari Tarwiah, dengan segala keramaian dan tantangannya, adalah proses menanggalkan keakuan. Tidak ada layanan VIP di hadapan Tuhan; semua sama-sama berjalan kaki (atau duduk di bus yang sama-sama tersendat), menghadapi debu, dan meminum air yang sama. Hal ini mengajarkan bahwa status di sisi Allah SWT ditentukan oleh ketakwaan, bukan oleh kekayaan atau kekuasaan. Kontemplasi Tarwiah adalah perenungan tentang bagaimana melepaskan ego sebelum hari penghisaban di Arafah.
Pada Hari Tarwiah, kesederhanaan pakaian ihram, kesamaan tempat tinggal di tenda Mina, dan kesatuan suara talbiyah adalah pelajaran utama. Ini adalah hari di mana jiwa dilatih untuk berserah diri secara total, meniru penyerahan diri total dari Nabi Ibrahim AS.
Mina bukan hanya tempat transit, tetapi sebuah stasiun yang memiliki peran ekologis dalam manajemen kerumunan dan spiritualitas haji. Tanpa perhentian di Mina, ritual haji akan menjadi kacau dan kehilangan ritme yang telah ditetapkan oleh Sunnah.
Secara logistik, Hari Tarwiah memungkinkan pergerakan jutaan jamaah terbagi menjadi dua fase: Makkah ke Mina, dan Mina ke Arafah. Jika semua jamaah bergerak langsung dari Makkah ke Arafah pada pagi hari tanggal 9, kemacetan dan bahaya akan jauh lebih besar. Perhentian satu malam di Mina berfungsi sebagai penyangga, memungkinkan persiapan logistik dan keamanan diselesaikan sebelum pergerakan massal berikutnya.
Meskipun Mina sangat ramai, suasana di dalamnya relatif lebih tenang dibandingkan keramaian di sekitar Masjidil Haram. Ketenangan ini sangat diperlukan untuk jamaah beradaptasi dengan ritme ibadah haji. Mereka telah menyelesaikan Tawaf Qudum (kedatangan) dan Sai, dan kini mereka membutuhkan jeda untuk memproses makna spiritual sebelum menghadapi hari puncak. Mina adalah jeda kontemplatif, menawarkan ketenangan internal di tengah kekacauan eksternal.
Jika kita kembali pada makna harfiah "mengambil air," nilai Hari Tarwiah di mata jamaah pada zaman dahulu sangatlah besar. Kehidupan mereka bergantung pada persiapan air tersebut.
Air dalam Islam melambangkan kehidupan, kesucian, dan rahmat. Dengan sibuk mengumpulkan air pada Hari Tarwiah, jamaah secara simbolis mengumpulkan bekal kehidupan spiritual mereka. Mereka memastikan bahwa mereka memiliki cukup kesucian (melalui wudhu) dan kekuatan (melalui minum) untuk menghadapi hari-hari di Arafah, sebuah padang yang bisa sangat menguji daya tahan.
Tradisi mengambil air ini, yang melahirkan nama Tarwiah, mengajarkan bahwa ibadah harus realistis dan memperhatikan kebutuhan fisik. Allah SWT tidak membebani hamba-Nya melampaui batas kemampuan mereka. Persiapan logistik yang matang adalah bagian dari ketaatan.
Seringkali air yang diambil pada Hari Tarwiah adalah air Zamzam. Air Zamzam sendiri adalah mukjizat yang terkait erat dengan kisah Hajar dan Ismail di Makkah. Ketika jamaah membawa air Zamzam dari Makkah ke Mina, mereka membawa serta sejarah keteguhan Hajar dan rahmat Ilahi yang mengalir tanpa henti.
Kontemplasi di Hari Tarwiah mencakup perenungan terhadap semua mukjizat yang terjadi di sekitar mereka, dari air Zamzam yang tak pernah kering hingga pengorbanan Ibrahim yang tak tertandingi.
Hari Tarwiah adalah fondasi yang kokoh untuk puncak haji. Tidak mungkin memahami puncak jika tidak menghayati fondasinya.
Mina, dengan ribuan tendanya, adalah tempat yang ramai, penuh dengan interaksi sosial dan logistik. Namun, pergerakan menuju Arafah pada pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah adalah pergerakan menuju keheningan. Arafah adalah tempat yang seolah menelan semua suara selain rintihan doa.
Hari Tarwiah berfungsi sebagai jembatan yang mempersiapkan jamaah dari hiruk pikuk Tawaf dan Sai (Makkah) menuju keheningan kontemplatif (Arafah). Keseimbangan antara ibadah komunal (di Mina) dan ibadah individual (di Arafah) adalah kunci yang diletakkan pada tanggal 8 Dzulhijjah.
Setiap jamaah harus memastikan niat yang mereka genggam pada Hari Tarwiah tetap utuh saat mereka berdiri di Arafah. Jika niat mereka goyah atau tercemari oleh hal-hal duniawi selama di Mina, maka kualitas wukuf mereka akan berkurang.
Oleh karena itu, Hari Tarwiah adalah hari penjagaan. Jamaah menjaga hati mereka, menjaga lisan mereka, dan menjaga pandangan mereka, semuanya demi janji besar yang akan mereka tunaikan di padang Arafah: permohonan ampunan total dan kelahiran kembali spiritual.
Detail pelaksanaan shalat di Mina pada Hari Tarwiah adalah subjek penting dalam fiqh haji. Pemahaman yang tepat memastikan bahwa sunnah Nabi SAW diikuti dengan seksama.
Keputusan untuk mengqasar shalat (memendekkan dari empat menjadi dua rakaat) didasarkan pada status jamaah sebagai musafir, meskipun mereka menetap selama hampir 24 jam. Ini adalah bukti kemudahan yang ditawarkan oleh syariat. Jamaah tidak merasa terbebani dengan panjangnya shalat saat mereka sedang dalam kondisi kelelahan dan persiapan.
Beberapa ulama kontemporer memperdebatkan apakah qasar masih berlaku untuk penduduk Mina (pekerja haji) atau bagi mereka yang tinggal di Mina dalam waktu yang lama. Namun, bagi jutaan jamaah haji yang bergerak, keringanan qasar pada Hari Tarwiah hingga hari-hari Tasyriq adalah bagian tak terpisahkan dari sunnah Nabi SAW yang harus diikuti.
Seperti disebutkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat di Mina secara terpisah pada waktunya masing-masing (tidak digabung, kecuali Maghrib dan Isya jika diperlukan, namun Dzuhur dan Ashar dilaksanakan terpisah). Ini menegaskan bahwa tujuan di Mina bukanlah tergesa-gesa menyelesaikan ibadah, melainkan menetap dengan tenang dan memenuhi hak waktu shalat. Jamaah perlu memanfaatkan waktu antara shalat untuk dzikir, doa, dan istirahat.
Kepatuhan terhadap sunnah non-jama' ini menunjukkan bahwa Hari Tarwiah adalah hari penetapan diri, bukan hari pelarian. Setiap momen shalat adalah penanda spiritual yang harus dihormati secara individual.
Malam antara tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah adalah malam yang penuh berkah. Ini adalah waktu terakhir bagi jamaah untuk berintrospeksi total sebelum wukuf.
Dianjurkan bagi jamaah untuk menghidupkan malam Tarwiah dengan ibadah sunnah, seperti qiyamullail (shalat malam), membaca Al-Qur'an, dan terutama memperbanyak istighfar. Di tengah kegelapan Mina, di antara tenda-tenda yang hening, ada kesempatan luar biasa untuk berbicara kepada Allah SWT tanpa perantara.
Ini adalah malam di mana jamaah merenungkan tujuan kedatangan mereka, mengingat kembali dosa-dosa yang telah dilakukan, dan memohon kekuatan untuk menghadapi ujian di Arafah. Malam Tarwiah adalah momen privat antara hamba dan Tuhannya, sebuah persiapan sunyi untuk teriakan massal di Arafah.
Di malam ini, jamaah memanjatkan doa agar ibadah haji mereka diterima (haji mabrur). Mereka berdoa untuk kesehatan fisik, kekuatan mental, dan keikhlasan yang berkelanjutan. Setiap doa yang dipanjatkan di Mina pada malam Tarwiah membawa harapan dan ketenangan, karena mereka menyadari bahwa mereka berada di jalur yang benar menuju puncak ketaatan.
Kualitas malam ini akan menentukan kualitas hari di Arafah. Jika malam dipenuhi dengan kontemplasi dan ibadah, maka hari wukuf akan menjadi lebih bermakna dan khusyuk.
Pada akhirnya, Hari Tarwiah adalah ujian sejati terhadap keikhlasan niat. Segala kesulitan, ketidaknyamanan, dan keramaian di Mina adalah saringan yang memisahkan niat murni dari niat yang tercampur aduk.
Mina, meskipun kini telah dilengkapi dengan fasilitas yang jauh lebih baik, tetaplah tempat yang menuntut kesabaran. Antrean kamar mandi yang panjang, suhu yang tinggi, dan keterbatasan ruang adalah kenyataan yang harus dihadapi. Bagaimana seorang jamaah bereaksi terhadap kesulitan-kesulitan ini adalah indikator keikhlasan mereka.
Jika jamaah mampu menerima kesulitan tersebut dengan sabar dan menganggapnya sebagai bagian dari pengorbanan ibadah, maka ia telah lulus dari salah satu ujian Tarwiah. Jika keluh kesah dan amarah mendominasi, maka ia perlu kembali merenungkan niatnya.
Hari Tarwiah memaksa jamaah untuk fokus pada esensi dan meninggalkan formalitas. Pakaian yang sama, makanan yang sederhana, dan tempat tinggal yang seragam menghilangkan segala bentuk kebanggaan atau pretensi. Yang tersisa hanyalah ibadah murni. Kontemplasi Nabi Ibrahim AS, yang siap mengorbankan segalanya demi perintah Allah, menjadi cermin bagi jamaah untuk mengorbankan ego dan kenyamanan duniawi selama beberapa hari ini.
Hari Tarwiah bukan sekadar hari ke-8 Dzulhijjah, tetapi sebuah konsep spiritual yang mewakili transisi, kontemplasi, dan persiapan. Ia adalah hari di mana jamaah mengumpulkan bekal spiritual dan logistik sebelum menghadapi momen paling sakral dalam hidup mereka. Tanpa perhentian ini, haji akan kehilangan kedalaman historis dan makna persiapannya.
Setiap jamaah yang melangkahkan kaki dari Makkah menuju Mina pada Hari Tarwiah sedang mengulangi sejarah kenabian yang agung. Mereka adalah penerus tradisi Ibrahim AS dan pengikut setia Sunnah Muhammad SAW. Mereka sedang melatih jiwa untuk ketaatan total, menanggalkan dunia, dan mempersiapkan diri untuk momen pengampunan terbesar di Arafah.
Semoga setiap langkah, setiap talbiyah, dan setiap tetes keringat yang dikeluarkan pada Hari Tarwiah dicatat sebagai investasi menuju haji yang mabrur, haji yang mengubah hidup, dan ketaatan yang abadi.
Kehadiran di Mina, meskipun singkat, adalah pengukuhan janji. Ini adalah saat dimana jamaah menegaskan sekali lagi, dengan hati yang mantap dan niat yang bersih: "Labaik Allahumma Labaik." Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang dengan seluruh jiwa dan ragaku.
Perjalanan ini terus berlanjut, dari Mina menuju Arafah, sebuah perjalanan yang dimulai dari kontemplasi Hari Tarwiah. Persiapan yang dilakukan pada tanggal 8 Dzulhijjah akan menjadi penentu kesuksesan spiritual pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan seterusnya. Ini adalah warisan abadi, sebuah momen istirahat yang sesungguhnya adalah permulaan dari perjuangan spiritual terbesar.
Kita menutup renungan ini dengan kesadaran bahwa setiap aspek dari Hari Tarwiah telah dirancang secara ilahi untuk memurnikan niat, menguatkan fisik, dan menyelaraskan jiwa, menjadikannya gerbang suci yang harus dilalui dengan penuh penghormatan dan kekhusyukan, menandai transisi penting dari kehidupan biasa menuju status tamu Allah SWT yang sedang dalam perjalanan menuju puncak pengampunan.