Gambar: Simbol Roda Dharma, merepresentasikan ajaran Buddha.
Dalam lanskap Buddhisme yang luas dan beragam, terdapat berbagai tradisi, sekolah, dan interpretasi yang telah berkembang sepanjang sejarah. Salah satu istilah yang sering muncul dalam diskusi tentang sejarah Buddhisme adalah "Hinayana". Namun, istilah ini membawa serta beban sejarah dan seringkali disalahpahami, bahkan dianggap merendahkan oleh banyak praktisi saat ini. Artikel ini akan menyelami asal-usul, ajaran pokok, perbandingan dengan tradisi lain, dan mengapa penting untuk memahami konteks istilah ini, serta mengapa tradisi Theravada, yang sering keliru disamakan dengannya, adalah aliran yang berbeda dan dihormati.
Memahami "Hinayana" bukan berarti meremehkan tradisi apa pun, melainkan untuk menggali akar sejarah dan evolusi pemikiran Buddhis. Tujuan kami adalah memberikan gambaran yang komprehensif dan seimbang, menghormati keragaman jalan spiritual yang telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia.
Secara etimologi, kata "Hinayana" berasal dari bahasa Sanskerta, yang secara harfiah berarti "Kendaraan Kecil" atau "Jalan Kecil". Istilah ini pertama kali muncul dan digunakan oleh para pengikut aliran Mahayana ("Kendaraan Agung" atau "Jalan Agung") sebagai cara untuk membedakan ajaran mereka dari sekolah-sekolah Buddhis yang lebih awal atau yang mereka anggap lebih tradisional. Ini bukanlah nama yang diberikan oleh sekolah-sekolah tersebut kepada diri mereka sendiri, melainkan label eksternal yang bersifat kontrastif dan, dalam banyak kasus, peyoratif.
Penting untuk digarisbawahi bahwa tidak ada satu pun aliran Buddhis yang secara resmi menyebut dirinya "Hinayana". Sebaliknya, ini adalah istilah kolektif yang digunakan Mahayana untuk mengelompokkan berbagai sekolah Nikaya yang berkembang setelah wafatnya Buddha. Sekolah-sekolah Nikaya ini, yang sebagian besar saat ini sudah punah, mengikuti interpretasi ajaran Buddha yang lebih konservatif, dengan fokus kuat pada disiplin monastik dan pencapaian pencerahan individu sebagai seorang Arahat.
Dalam konteks modern, istilah "Hinayana" hampir secara universal dianggap tidak pantas dan merendahkan. Sebagian besar cendekiawan dan praktisi Buddhis menyarankan untuk menghindari penggunaannya, terutama ketika merujuk pada tradisi Theravada yang masih hidup. Tradisi Theravada, yang berkembang dari salah satu sekolah Nikaya awal, adalah aliran Buddhis yang kaya dan mendalam yang dipraktikkan oleh jutaan orang di Asia Tenggara dan Sri Lanka, dan sangat dihormati atas kesetiaannya pada ajaran Buddha awal.
Setelah Parinirvana (wafat) Buddha Siddhartha Gautama, komunitas monastik (Sangha) mulai menghadapi tantangan dalam menjaga kesatuan interpretasi dan praktik ajarannya. Ini memicu serangkaian konsili dan perpecahan yang akhirnya membentuk berbagai sekolah Buddhis. Dua konsili penting yang sering disebut adalah:
Dilaksanakan tak lama setelah wafatnya Buddha di Rajagaha, konsili ini bertujuan untuk mengkodifikasi ajaran Buddha (Dhamma) dan aturan monastik (Vinaya). Bhikkhu Mahakassapa memimpin konsili ini, dan Ananda membacakan khotbah-khotbah Buddha (Sutta), sementara Upali membacakan Vinaya. Konsili ini membentuk dasar dari kanon Buddhis.
Terjadi di Vesali, konsili ini berfokus pada perbedaan interpretasi mengenai Vinaya. Perpecahan besar pertama terjadi di sini, memisahkan Sangha menjadi dua kelompok utama:
Dari perpecahan ini, munculah banyak sekolah kecil lainnya, sering disebut "Sekolah Nikaya" atau "Sekolah Sravakayana" (Kendaraan Pendengar/Murid). Diperkirakan ada sekitar 18 hingga 20 sekolah Nikaya yang berbeda, masing-masing dengan penekanan doktrinal dan aturan monastik yang sedikit berbeda. Beberapa yang terkenal termasuk Sarvastivada, Dharmaguptaka, Pudgalavada, dan Mahishasaka. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian secara kolektif disebut "Hinayana" oleh Mahayana.
Ciri umum dari sebagian besar sekolah Nikaya ini adalah fokus pada:
Perlu dicatat bahwa perpecahan ini tidak selalu bersifat permusuhan. Seringkali, berbagai sekolah hidup berdampingan, saling belajar, dan bahkan berbagi tempat ibadah. Perbedaan mereka lebih pada interpretasi filosofis dan praktik monastik daripada permusuhan terbuka.
Meskipun ada variasi di antara sekolah-sekolah Nikaya, ada beberapa ajaran inti yang menjadi landasan bagi sebagian besar dari mereka, dan ajaran ini juga merupakan fondasi bagi tradisi Theravada. Ajaran-ajaran ini berpusat pada pemahaman realitas dan jalan menuju pembebasan, sebagaimana diajarkan oleh Buddha sendiri.
Ini adalah inti dari semua ajaran Buddha, yang diakui oleh semua aliran Buddhis. Empat Kebenaran Mulia adalah:
Jalan ini merupakan panduan praktis untuk mencapai pencerahan dan peniadaan penderitaan. Ini dibagi menjadi tiga bagian:
Ini adalah tiga karakteristik fundamental dari semua fenomena yang terkondisi:
Ajaran tentang karma (tindakan) dan tumimbal lahir (kelahiran kembali) adalah pusat dari kosmologi Buddhis. Setiap tindakan yang dilakukan dengan niat akan memiliki konsekuensi yang sesuai, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan mendatang. Tujuan utamanya adalah untuk membebaskan diri dari siklus tumimbal lahir yang didorong oleh karma.
Ini adalah ajaran tentang saling ketergantungan semua fenomena. Semua hal muncul karena kondisi tertentu dan akan lenyap ketika kondisi tersebut tidak lagi ada. Ini adalah penjelasan tentang bagaimana penderitaan muncul dan bagaimana penderitaan dapat dihentikan.
Bagi sekolah-sekolah yang diklasifikasikan sebagai "Hinayana", tujuan akhir adalah menjadi Arahat. Seorang Arahat adalah individu yang telah menghancurkan semua kekotoran batin (kilesa) – nafsu, kebencian, dan delusi – dan telah mencapai Nibbana (Nirvana) melalui usaha dan praktik meditasi sendiri. Mereka telah sepenuhnya membebaskan diri dari samsara dan tidak akan terlahir kembali. Jalur ini menekankan upaya individu dan disiplin diri yang ketat, terutama bagi para bhikkhu dan bhikkhuni.
Aturan-aturan disipliner bagi para bhikkhu dan bhikkhuni sangat ditekankan. Vinaya Pitaka, salah satu bagian dari Kanon Pali, berisi ribuan aturan yang mengatur kehidupan monastik, mulai dari hal-hal kecil hingga pelanggaran berat. Ketaatan pada Vinaya dipandang penting untuk menjaga kemurnian Sangha dan mendukung praktik Dhamma.
Kanon Pali adalah kumpulan kitab suci utama bagi tradisi Theravada dan diyakini sebagai rekaman paling otentik dari ajaran Buddha awal. Tipitaka (Tiga Keranjang) terdiri dari:
Ajaran-ajaran ini membentuk tulang punggung dari apa yang Mahayana sebut "Hinayana", dan secara khusus, menjadi fondasi tradisi Theravada yang kita kenal sekarang. Mereka menekankan realisme, pragmatisme, dan upaya pribadi yang gigih dalam perjalanan menuju pencerahan.
Perbedaan antara Mahayana dan sekolah-sekolah Nikaya (yang kemudian disebut Hinayana) tidak hanya sebatas penamaan, tetapi mencakup perbedaan filosofis, tujuan spiritual, dan praktik. Mahayana muncul sebagai gerakan reformasi yang ingin memperluas cakupan Buddhisme, menganggap jalur yang lebih awal terlalu eksklusif dan berorientasi pada diri sendiri.
Ini adalah perbedaan paling mendasar dan sering disebut:
Singkatnya, Mahayana melihat dirinya sebagai "kendaraan yang lebih besar" karena ia menawarkan jalan pembebasan bagi lebih banyak makhluk, tidak hanya bagi para monastik, tetapi juga bagi kaum awam, dan dengan tujuan yang lebih ambisius (kebuddhaan penuh) melalui jalur Bodhisattva. Sementara itu, sekolah-sekolah Nikaya berpegang pada jalur yang lebih tradisional dan berfokus pada ideal Arahat.
Seperti yang telah disebutkan, "Hinayana" adalah istilah yang usang dan merendahkan, yang seharusnya tidak digunakan untuk merujuk pada tradisi Buddhis mana pun yang masih ada. Tradisi Theravada adalah tradisi Buddhis paling kuno yang masih hidup hingga saat ini, dan merupakan keturunan langsung dari salah satu sekolah Sthaviravada awal yang dihormati. Theravada bukan "Hinayana"; itu adalah tradisi yang berbeda, lengkap, dan dihormati dengan sejarah dan praktik yang kaya.
Theravada berarti "Doktrin Sesepuh" (Thera = sesepuh, Vada = doktrin/ajaran). Ini berasal dari aliran Vibhajjavada, yang merupakan cabang dari Sthaviravada. Setelah Konsili Ketiga di Pataliputra (sekitar 250 SM) yang dipimpin oleh Raja Ashoka, Buddhisme Theravada dibawa ke Sri Lanka oleh Bhikkhu Mahinda, putra Raja Ashoka. Dari Sri Lanka, Theravada kemudian menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Thailand, Laos, dan Kamboja.
Menyamakan Theravada dengan "Hinayana" adalah keliru dan tidak akurat karena beberapa alasan:
Oleh karena itu, ketika membahas sekolah-sekolah Buddhis awal yang menjadi target label "Hinayana", adalah lebih akurat untuk menggunakan istilah seperti "Sekolah-sekolah Nikaya" atau "Sekolah-sekolah Sravakayana". Ketika merujuk pada tradisi yang berkembang dari jalur ini dan masih hidup, istilah yang tepat adalah Theravada.
Istilah "Hinayana" telah menciptakan banyak kesalahpahaman sepanjang sejarah. Penting untuk mengklarifikasi beberapa di antaranya dan memahami nuansa yang lebih luas.
Salah satu kritik utama dari Mahayana terhadap apa yang mereka sebut Hinayana adalah bahwa jalur Arahat dianggap "egois" atau berorientasi pada pembebasan diri sendiri saja, mengabaikan penderitaan orang lain. Ini adalah pandangan yang dangkal dan keliru.
Dalam tradisi Theravada (yang sering dikaitkan), seorang Arahat yang telah mencapai pencerahan memang telah membebaskan diri dari penderitaan. Namun, ini tidak berarti mereka menjadi acuh tak acuh terhadap orang lain. Sebaliknya, seorang Arahat adalah orang yang sepenuhnya bebas dari keserakahan, kebencian, dan delusi, dan karena itu, tindakan dan ucapannya secara alami dipenuhi dengan kasih sayang (metta) dan welas asih (karuna). Mereka menjadi sumber inspirasi, kebijaksanaan, dan bimbingan bagi orang lain. Dengan membebaskan diri mereka sendiri dari penderitaan, mereka menjadi lebih efektif dalam membantu orang lain. Sama seperti seorang dokter harus menyembuhkan dirinya sendiri terlebih dahulu dari penyakit agar dapat merawat pasien dengan maksimal, seorang Arahat mencapai kesehatan spiritual penuh untuk dapat secara efektif memimpin orang lain menuju kesehatan yang sama.
Istilah "Hinayana" menyiratkan bahwa semua sekolah awal adalah satu kesatuan monolitik dengan ajaran yang sama persis. Kenyataannya, ada keragaman yang signifikan di antara 18-20 sekolah Nikaya yang berbeda. Meskipun mereka berbagi inti ajaran Buddha, mereka memiliki perbedaan dalam interpretasi Vinaya, doktrin Abhidhamma, dan kadang-kadang praktik ritual. Misalnya, sekolah Sarvastivada memiliki pandangan yang berbeda tentang waktu dan keberadaan atom daripada sekolah Pudgalavada yang menekankan konsep "pudgala" (pribadi).
Oleh karena itu, menggeneralisasi mereka semua di bawah satu label "Hinayana" tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan nuansa tradisi-tradisi tersebut.
Munculnya Mahayana dan penggunaan istilah "Hinayana" harus dipahami dalam konteks evolusi sejarah Buddhisme. Mahayana muncul pada periode ketika Buddhisme telah mapan dan mulai menyebar ke berbagai budaya. Gerakan Mahayana menawarkan interpretasi yang lebih fleksibel, akomodatif, dan mungkin lebih menarik bagi kaum awam dan budaya yang lebih luas. Hal ini tidak berarti bahwa ajaran awal tidak valid, melainkan bahwa ada kebutuhan untuk pendekatan yang berbeda.
Konflik atau perbedaan antara kedua "kendaraan" ini lebih sering terjadi dalam literatur dan debat filosofis daripada dalam praktik sehari-hari. Banyak cendekiawan menunjukkan bahwa pada awalnya, Mahayana mungkin merupakan gerakan di dalam, bukan di luar, sekolah-sekolah Nikaya yang lebih tua. Baru kemudian garis pemisah menjadi lebih jelas.
Dalam pandangan modern, sangat penting untuk menghormati semua tradisi Buddhis, terlepas dari sejarah atau klasifikasi mereka. Setiap aliran menawarkan jalur yang valid menuju pembebasan dari penderitaan dan memiliki nilai intrinsik. Menggunakan istilah yang merendahkan tidak kondusif untuk dialog antar-agama atau antar-tradisi.
Sebagai gantinya, lebih baik menggunakan nama spesifik dari tradisi yang bersangkutan (misalnya, Theravada, Zen, Tibet, dll.) atau istilah netral seperti "Buddhisme Awal" atau "Sekolah Nikaya" ketika merujuk pada tradisi-tradisi yang lebih tua. Semua tradisi Buddhis pada akhirnya memiliki tujuan yang sama: mengurangi penderitaan dan mencapai pencerahan.
Meskipun istilah "Hinayana" sendiri bermasalah, sekolah-sekolah yang diklasifikasikan di bawah payung ini, khususnya Theravada, telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi Buddhisme dan dunia.
Salah satu kontribusi terpenting dari sekolah-sekolah Nikaya adalah pelestarian ajaran Buddha dalam bentuk yang paling awal dan otentik. Kanon Pali, yang dijaga dengan cermat oleh tradisi Theravada, adalah jendela yang tak ternilai ke dalam khotbah-khotbah asli Buddha dan aturan Vinaya. Tanpa upaya pelestarian ini, pemahaman kita tentang Buddhisme awal akan jauh lebih terbatas.
Kanon Pali memberikan dasar bagi studi Buddhis, memungkinkan para cendekiawan dan praktisi untuk memahami akar dari semua tradisi Buddhis lainnya. Bahkan dalam tradisi Mahayana, banyak ajaran inti (seperti Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan) tetap menjadi fondasi yang kuat.
Disiplin Vinaya yang ketat, yang sangat ditekankan oleh sekolah-sekolah Nikaya, telah memastikan kelangsungan hidup Sangha selama ribuan tahun. Aturan-aturan ini membantu menjaga integritas komunitas monastik, memberikan struktur bagi praktik spiritual, dan memungkinkan para bhikkhu dan bhikkhuni untuk hidup dalam lingkungan yang kondusif untuk pencerahan.
Peran Sangha sebagai penjaga Dhamma dan Vinaya sangat penting. Mereka menjadi teladan moralitas dan spiritualitas, serta menjadi tempat berlindung bagi umat awam yang ingin belajar dan mempraktikkan ajaran Buddha.
Ideal Arahat memberikan model yang jelas dan terarah untuk pembebasan pribadi. Ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mencapai pencerahan melalui usaha dan praktik mereka sendiri, tanpa bergantung pada entitas eksternal. Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini memberdayakan praktisi untuk mengambil kendali atas perjalanan spiritual mereka.
Fokus pada meditasi, moralitas, dan kebijaksanaan sebagai alat untuk mencapai pembebasan diri tetap relevan dan menarik bagi banyak orang yang mencari jalur spiritual yang mandiri dan berbasis pengalaman.
Meskipun tradisi Mahayana menyebar ke Tiongkok, Korea, Jepang, dan Tibet, tradisi Theravada juga telah menyebar dan menjadi aliran Buddhis dominan di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja. Dari negara-negara ini, Theravada kini telah menyebar ke Barat, menarik banyak praktisi dengan ajarannya yang jelas dan praktis.
Berbagai pusat meditasi Vipassana di seluruh dunia, yang banyak di antaranya berakar pada tradisi Theravada, telah membantu jutaan orang belajar mindfulness dan mengatasi penderitaan dalam kehidupan modern.
Dengan demikian, warisan dari sekolah-sekolah yang disebut "Hinayana" bukanlah warisan yang "lebih rendah" atau "kurang signifikan", melainkan fondasi yang kuat dan penting yang terus menopang dan memperkaya Buddhisme hingga hari ini.
Perjalanan kita memahami istilah "Hinayana" membawa kita melintasi sejarah Buddhisme yang kompleks, dari konsili-konsili awal hingga perpecahan besar yang membentuk berbagai tradisi yang kita kenal sekarang. Kita telah melihat bahwa "Hinayana" bukanlah nama diri, melainkan label yang diberikan oleh pengikut Mahayana untuk mengidentifikasi sekolah-sekolah Buddhis yang lebih awal dan konservatif, dengan konotasi yang seringkali merendahkan.
Meskipun istilah ini usang dan tidak pantas digunakan untuk menyebut tradisi yang hidup, memahami konteks sejarahnya membantu kita menghargai bagaimana berbagai aliran Buddhis saling membedakan dan berkembang. Ajaran pokok yang dikaitkan dengan "Hinayana", seperti Empat Kebenaran Mulia, Jalan Utama Berunsur Delapan, Tiga Corak Keberadaan, dan ideal Arahat, adalah fondasi universal yang masih dihormati dan dipraktikkan oleh semua tradisi Buddhis.
Terlebih penting, kita telah menegaskan bahwa Theravada, yang sering keliru disamakan dengan "Hinayana", adalah tradisi Buddhis yang mandiri, kuno, dan sangat dihormati. Ia adalah penjaga setia Kanon Pali dan mewakili jalur pencerahan yang mendalam melalui disiplin monastik, moralitas, meditasi, dan kebijaksanaan.
Pada akhirnya, terlepas dari perbedaan dalam interpretasi, penekanan, atau praktik, semua tradisi Buddhis berbagi tujuan yang sama: mengakhiri penderitaan dan mencapai pembebasan. Dengan memahami dan menghormati keragaman ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan Buddhisme dan kebijaksanaannya yang abadi.
Semoga semua makhluk berbahagia.