Hukum Laut: Panduan Lengkap Konvensi & Zona Maritim Dunia

Pendahuluan: Samudra sebagai Panggung Hukum Global

Laut dan samudra, yang meliputi lebih dari 70% permukaan bumi, selalu menjadi elemen vital bagi kehidupan manusia. Dari sumber makanan, jalur perdagangan, hingga pertahanan, keberadaan lautan tak terpisahkan dari peradaban. Namun, pemanfaatan dan pengelolaan lautan yang begitu luas dan kaya sumber daya ini membutuhkan kerangka hukum yang jelas, yang dikenal sebagai Hukum Laut. Hukum Laut adalah seperangkat aturan internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara-negara dalam penggunaan lautan, samudera, dan sumber dayanya. Ia mencakup berbagai aspek mulai dari navigasi, penangkapan ikan, perlindungan lingkungan, hingga eksplorasi dasar laut. Keberadaan hukum ini krusial untuk menjaga ketertiban, mencegah konflik, dan memastikan pemanfaatan laut yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Pada awalnya, hukum laut berkembang dari kebiasaan dan praktik antarnegara yang didasarkan pada prinsip kebebasan laut. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, peningkatan populasi, dan eksploitasi sumber daya laut yang semakin intensif, kebutuhan akan kodifikasi dan pengembangan aturan yang lebih komprehensif menjadi mendesak. Kondisi ini memuncak pada diadopsinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) pada tahun 1982, yang sering disebut sebagai "konstitusi lautan" karena cakupannya yang luas dan fundamental. UNCLOS menjadi landasan utama bagi sebagian besar Hukum Laut Internasional modern, menetapkan kerangka hukum yang mengatur hampir semua aspek penggunaan dan pengelolaan ruang laut.

Studi tentang hukum laut tidak hanya relevan bagi negara-negara pantai, tetapi juga bagi negara-negara yang terkurung daratan. Setiap negara memiliki kepentingan dalam memastikan kebebasan navigasi dan akses terhadap sumber daya laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia, hukum laut memiliki signifikansi yang jauh lebih mendalam karena eksistensi dan kedaulatan negara sangat bergantung pada pengelolaan wilayah lautnya. Pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip, zona-zona maritim, hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum laut adalah esensial bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam menjaga dan memanfaatkan samudra secara bertanggung jawab dan damai. Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai aspek hukum laut, mulai dari sejarah perkembangannya, inti dari UNCLOS, zona-zona maritim, hingga tantangan-tantangan di masa depan.

Sejarah Perkembangan Hukum Laut

Perjalanan hukum laut adalah cerminan dari evolusi hubungan antarnegara, kemajuan teknologi, dan perubahan persepsi manusia terhadap lautan. Sejak dahulu kala, lautan telah menjadi jalur utama perdagangan, penjelajahan, dan peperangan. Oleh karena itu, kebutuhan akan aturan main telah ada sejak peradaban kuno, meskipun bentuknya masih sangat rudimenter dan bersifat kebiasaan.

Awal Mula dan Konsep Kuno

Di masa kuno, konsep tentang laut didominasi oleh dua pandangan yang kontras: laut sebagai properti terbuka (mare liberum) atau laut sebagai properti tertutup (mare clausum). Bangsa Romawi, misalnya, menganggap laut sebagai res communis, yaitu sesuatu yang menjadi milik bersama dan tidak dapat dimiliki secara individu. Namun, pada praktiknya, negara-negara dengan kekuatan maritim besar seringkali mengklaim kendali atas wilayah laut tertentu untuk melindungi kepentingan perdagangan atau pertahanan mereka. Venesia dan Genoa, misalnya, pernah mengklaim kekuasaan atas Laut Adriatik dan Laut Liguria.

Pada Abad Pertengahan, klaim atas wilayah laut menjadi lebih umum, terutama di wilayah pesisir. Namun, klaim ini seringkali terbatas pada jarak yang dapat dicapai oleh tembakan meriam dari pantai, yang kemudian dikenal sebagai "aturan tembakan meriam" (cannon-shot rule) yang secara informal membatasi wilayah laut teritorial negara. Konsep ini menjadi penting karena memberikan batasan praktis atas klaim kedaulatan di laut.

Era Penjelajahan dan Perdebatan Abad ke-17

Abad ke-15 dan ke-16 ditandai dengan era penjelajahan besar-besaran, yang memicu persaingan sengit antara kekuatan-kekuatan Eropa untuk mengklaim wilayah baru dan menguasai jalur pelayaran. Spanyol dan Portugal, melalui Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza, bahkan berusaha membagi dunia, termasuk lautan, di antara mereka. Klaim ini memicu perdebatan sengit tentang sifat hukum lautan.

Pada awal abad ke-17, muncul dua pemikir hukum yang sangat berpengaruh: Hugo Grotius dan John Selden. Grotius, seorang ahli hukum Belanda, menerbitkan karyanya yang monumental, Mare Liberum (Laut Bebas) pada tahun 1609. Dalam karyanya, Grotius berargumen bahwa laut, seperti udara, adalah milik bersama seluruh umat manusia dan tidak dapat diklaim oleh negara mana pun. Prinsip kebebasan laut (freedom of the seas) yang diusungnya menjadi landasan pemikiran hukum laut selama berabad-abad dan sangat menguntungkan negara-negara dengan kekuatan maritim dan perdagangan yang kuat, seperti Belanda.

Sebagai tanggapan atas Grotius, John Selden, seorang ahli hukum Inggris, pada tahun 1635 menerbitkan Mare Clausum (Laut Tertutup). Selden berargumen bahwa lautan dapat dan harus diklaim oleh negara-negara, terutama untuk melindungi perikanan dan kepentingan pertahanan. Pandangan Selden mencerminkan kepentingan Inggris pada saat itu untuk mengamankan wilayah laut di sekitarnya. Perdebatan antara mare liberum dan mare clausum membentuk dasar diskusi hukum laut modern, di mana keseimbangan antara kebebasan dan kedaulatan menjadi inti.

Perkembangan Abad ke-18 hingga Awal Abad ke-20

Seiring waktu, prinsip mare liberum Grotius mulai dominan, namun dengan pengakuan adanya wilayah laut di dekat pantai di mana negara pantai memiliki kedaulatan. Klaim ini secara umum dibatasi oleh "aturan tembakan meriam," yang seringkali diartikan sebagai 3 mil laut dari garis pantai. Ahli hukum Italia Ferdinando Galiani dan Cornelius van Bynkershoek berkontribusi pada formulasi ini, mengusulkan bahwa kedaulatan negara pantai meluas sejauh kekuasaannya dapat ditegakkan dari darat.

Abad ke-19 dan awal abad ke-20 menyaksikan pertumbuhan perdagangan internasional dan peningkatan eksploitasi sumber daya laut. Klaim atas yurisdiksi di luar batas 3 mil laut mulai muncul, terutama terkait dengan perikanan dan kepentingan keamanan. Namun, belum ada kesepakatan internasional yang mengikat mengenai lebar laut teritorial atau zona-zona lainnya. Upaya untuk mengkodifikasi hukum laut secara internasional dimulai pada awal abad ke-20, salah satunya melalui Konferensi Kodifikasi Den Haag pada tahun 1930, namun gagal mencapai kesepakatan yang komprehensif.

Era Pasca-Perang Dunia II dan Konferensi UNCLOS

Setelah Perang Dunia II, kebutuhan akan kerangka hukum laut yang lebih terstruktur menjadi semakin mendesak. Teknologi penangkapan ikan yang canggih, penemuan ladang minyak dan gas lepas pantai, serta meningkatnya kesadaran akan pencemaran laut, semuanya menuntut adanya aturan yang jelas. Presiden Amerika Serikat Harry Truman pada tahun 1945 mengeluarkan Proklamasi Truman, yang mengklaim yurisdiksi atas sumber daya alam di landas kontinen AS di luar laut teritorialnya. Proklamasi ini memicu gelombang klaim serupa dari negara-negara lain, memperluas konsep yurisdiksi maritim jauh melampaui batas tradisional 3 mil laut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengambil peran sentral dalam upaya kodifikasi dan pengembangan hukum laut. Tiga Konferensi PBB tentang Hukum Laut diselenggarakan:

1. UNCLOS I (1958): Menghasilkan empat konvensi terpisah mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Laut Lepas, Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Lepas, serta Landas Kontinen. Namun, UNCLOS I gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial dan zona perikanan.
2. UNCLOS II (1960): Berusaha mengatasi masalah lebar laut teritorial dan zona perikanan, namun juga gagal mencapai konsensus.
3. UNCLOS III (1973-1982): Ini adalah konferensi paling ambisius dan monumental. Berlangsung selama sembilan tahun, konferensi ini melibatkan hampir semua negara di dunia dan bertujuan untuk menciptakan satu konvensi yang komprehensif dan mengikat. Hasilnya adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), yang diadopsi pada 10 Desember 1982 dan mulai berlaku pada 16 November 1994.

UNCLOS 1982 menjadi puncak dari evolusi hukum laut, menetapkan kerangka hukum yang menyeluruh untuk lautan dunia. Konvensi ini tidak hanya mengkodifikasi hukum kebiasaan yang ada, tetapi juga mengembangkan konsep-konsep baru seperti Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Dasar Laut Internasional sebagai warisan bersama umat manusia. Keberhasilan UNCLOS III dalam mencapai konsensus yang luas di antara negara-negara dengan kepentingan maritim yang beragam merupakan pencapaian diplomatik yang luar biasa dan menjadi pondasi utama hukum laut modern.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982): Konstitusi Lautan Dunia

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea – UNCLOS), yang diadopsi pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika, dan mulai berlaku pada 16 November 1994, adalah dokumen hukum internasional paling penting dan komprehensif yang mengatur tentang laut dan segala aspek yang berkaitan dengannya. Sering disebut sebagai "konstitusi lautan," UNCLOS menyediakan kerangka hukum universal untuk penggunaan, pengelolaan, dan perlindungan lautan dan sumber dayanya.

Latar Belakang dan Tujuan UNCLOS 1982

Kebutuhan akan UNCLOS 1982 muncul dari serangkaian faktor yang berkembang pesat pasca-Perang Dunia II. Kemajuan teknologi maritim memungkinkan eksplorasi sumber daya laut yang lebih dalam dan jauh dari pantai, memicu klaim yurisdiksi yang tumpang tindih dan konflik potensial. Peningkatan aktivitas penangkapan ikan, penemuan ladang minyak dan gas lepas pantai, serta kekhawatiran yang meningkat terhadap pencemaran laut, semuanya menuntut adanya seperangkat aturan yang jelas, adil, dan mengikat secara internasional. Konferensi-konferensi PBB sebelumnya (UNCLOS I dan II) gagal mencapai konsensus pada beberapa isu krusial, terutama mengenai lebar laut teritorial dan hak-hak di luar batas tersebut.

UNCLOS 1982 dirancang dengan tujuan utama untuk:

• Membangun Kerangka Hukum yang Komprehensif: Menggantikan berbagai perjanjian sektoral dan hukum kebiasaan dengan satu instrumen hukum yang tunggal dan menyeluruh.
• Mempromosikan Tatanan Maritim yang Stabil: Mengurangi potensi konflik melalui penetapan batas-batas maritim dan hak-hak serta kewajiban negara secara jelas.
• Mendukung Pemanfaatan Sumber Daya yang Adil dan Berkelanjutan: Mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut, termasuk perikanan dan mineral dasar laut, untuk kepentingan semua negara, khususnya negara berkembang.
• Melindungi Lingkungan Laut: Menetapkan kewajiban bagi negara-negara untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut.
• Memastikan Kebebasan Navigasi: Menjaga jalur komunikasi laut vital dan kebebasan berlayar yang penting bagi perdagangan global.
• Menyediakan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Menciptakan jalur untuk resolusi damai atas perselisihan terkait interpretasi atau penerapan konvensi.

Struktur dan Isi Utama UNCLOS 1982

UNCLOS 1982 adalah dokumen yang sangat panjang dan terperinci, terdiri dari 17 Bagian (Parts), 320 Pasal (Articles), dan 9 Lampiran (Annexes). Struktur ini mencerminkan kompleksitas dan cakupan yang luas dari subjek yang diatur. Beberapa bagian inti konvensi meliputi:

1. Bagian II: Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Articles 2-33): Menetapkan definisi, lebar, dan rezim hukum untuk laut teritorial (hingga 12 mil laut) dan zona tambahan (hingga 24 mil laut).
2. Bagian III: Selat yang Digunakan untuk Pelayaran Internasional (Articles 34-45): Mengatur hak lintas transit di selat-selat penting untuk navigasi internasional.
3. Bagian IV: Negara Kepulauan (Articles 46-54): Mengakui status hukum khusus negara kepulauan dan rezim perairan kepulauan.
4. Bagian V: Zona Ekonomi Eksklusif (Articles 55-75): Menetapkan ZEE hingga 200 mil laut, memberikan hak berdaulat kepada negara pantai atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya.
5. Bagian VI: Landas Kontinen (Articles 76-85): Mendefinisikan landas kontinen dan hak berdaulat negara pantai atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineralnya.
6. Bagian VII: Laut Lepas (Articles 86-120): Mengatur prinsip kebebasan laut lepas dan yurisdiksi negara bendera.
7. Bagian XI: Kawasan Dasar Laut Internasional (The Area) (Articles 133-191): Menetapkan Dasar Laut Internasional dan sumber dayanya sebagai "warisan bersama umat manusia" dan mendirikan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority – ISA) untuk mengaturnya.
8. Bagian XII: Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut (Articles 192-237): Menetapkan kewajiban umum negara-negara untuk melindungi lingkungan laut dan mengatur pencegahan pencemaran dari berbagai sumber.
9. Bagian XV: Penyelesaian Sengketa (Articles 279-299): Menyediakan berbagai mekanisme untuk penyelesaian sengketa, termasuk Arbitrase, Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea – ITLOS), dan Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ).

UNCLOS juga mengatur isu-isu penting lainnya seperti penelitian ilmiah kelautan, pengembangan teknologi kelautan, dan kerja sama internasional.

Signifikansi dan Dampak UNCLOS 1982

UNCLOS 1982 telah memiliki dampak yang transformatif terhadap tata kelola lautan global.

• Kodifikasi dan Pengembangan Hukum: Konvensi ini berhasil mengkodifikasi sebagian besar hukum kebiasaan yang ada dan mengembangkan konsep-konsep baru yang esensial, menciptakan kerangka hukum yang tunggal dan komprehensif.
• Pengakuan ZEE: Pengenalan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah salah satu inovasi paling signifikan. Ini memberikan hak berdaulat kepada negara pantai atas sumber daya hayati dan non-hayati di kolom air dan dasar laut hingga 200 mil laut, mengubah secara fundamental peta yurisdiksi maritim global dan memicu klaim ZEE oleh banyak negara.
• Perlindungan Lingkungan: UNCLOS adalah instrumen internasional pertama yang secara eksplisit menetapkan kewajiban umum negara-negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, memberikan dasar bagi perjanjian lingkungan laut selanjutnya.
• Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Penyediaan berbagai mekanisme penyelesaian sengketa, termasuk pembentukan ITLOS, telah memberikan jalur damai bagi negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan maritim, meskipun beberapa sengketa masih memerlukan diplomasi intensif.
• Konsensus Internasional: Diadopsi oleh mayoritas negara di dunia, UNCLOS merupakan bukti kemampuan komunitas internasional untuk bekerja sama dalam isu-isu kompleks dan sensitif. Meskipun Amerika Serikat belum meratifikasinya, ia mengakui sebagian besar ketentuannya sebagai hukum kebiasaan internasional.

Dengan lebih dari 160 negara anggota dan Uni Eropa, UNCLOS 1982 adalah instrumen hukum yang dinamis dan terus relevan. Meskipun menghadapi tantangan baru seiring waktu, ia tetap menjadi landasan utama bagi pengelolaan lautan global, memastikan keseimbangan antara kepentingan kedaulatan negara, kebebasan penggunaan laut, dan perlindungan lingkungan untuk masa depan.

Zona-zona Maritim: Membagi Lautan dan Yurisdiksi

Salah satu kontribusi paling penting dari UNCLOS 1982 adalah penetapan serangkaian zona maritim yang berbeda, masing-masing dengan rezim hukum tersendiri yang mengatur hak dan kewajiban negara pantai serta negara lain. Pembagian ini memungkinkan pengaturan yang lebih jelas mengenai kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi di berbagai bagian laut, mulai dari garis pantai hingga jauh ke laut lepas.

1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Perairan pedalaman adalah wilayah laut yang paling dekat dengan daratan dan dianggap sebagai bagian integral dari wilayah daratan suatu negara. Mereka mencakup perairan di sisi darat dari garis pangkal, seperti teluk-teluk, pelabuhan, dan muara sungai. UNCLOS Pasal 8 menyatakan bahwa perairan pedalaman adalah perairan di sisi darat dari garis pangkal laut teritorial.

• Kedaulatan Penuh: Negara pantai memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas perairan pedalamannya, sama seperti kedaulatan atas wilayah daratannya. Ini berarti hukum nasional negara pantai berlaku sepenuhnya di sini.
• Akses Kapal Asing: Kapal asing umumnya tidak memiliki hak untuk masuk atau berlayar di perairan pedalaman tanpa izin dari negara pantai. Pengecualian mungkin berlaku untuk kasus-kasus darurat atau berdasarkan perjanjian bilateral. Pelabuhan, sebagai bagian dari perairan pedalaman, adalah contoh di mana akses kapal asing diizinkan dengan izin dan tunduk pada peraturan pelabuhan setempat.
• Contoh: Teluk Jakarta, Sungai Musi di Palembang, atau Danau Toba yang terhubung ke laut melalui sungai.

2. Laut Teritorial (Territorial Sea)

Laut teritorial adalah jalur laut yang berbatasan langsung dengan garis pangkal negara pantai. UNCLOS Pasal 3 menetapkan bahwa setiap negara memiliki hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga batas maksimum 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan konvensi.

• Kedaulatan Penuh: Negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Kedaulatan ini mirip dengan kedaulatan atas perairan pedalaman, tetapi dengan satu pengecualian penting.
• Hak Lintas Damai (Right of Innocent Passage): Kapal-kapal dari semua negara, baik kapal niaga maupun kapal perang (dengan beberapa interpretasi yang bervariasi untuk kapal perang), memiliki hak untuk melintasi laut teritorial secara damai (innocent passage). Lintas damai adalah pelayaran yang tidak merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Kapal selam wajib berlayar di permukaan dan mengibarkan benderanya. Negara pantai dapat mengadopsi undang-undang untuk mengatur lintas damai, tetapi tidak boleh menghalangi atau membebani lintas damai.
• Penerapan Hukum: Negara pantai dapat menegakkan hukumnya di laut teritorial, termasuk hukum pidana dan perdata, tetapi dengan batasan tertentu, terutama terkait dengan kebebasan lintas damai.

3. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan adalah wilayah laut yang terletak di luar laut teritorial dan berbatasan dengannya. UNCLOS Pasal 33 memungkinkan negara pantai untuk menetapkan zona tambahan hingga batas maksimum 24 mil laut dari garis pangkal (yang berarti 12 mil laut di luar laut teritorial).

• Hak Pengawasan: Di zona ini, negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh, tetapi memiliki hak untuk melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran undang-undang dan peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi yang berlaku di wilayah darat atau laut teritorialnya. Negara pantai juga dapat menghukum pelanggaran undang-undang tersebut jika terjadi di wilayahnya.
• Bukan Kedaulatan: Penting untuk dicatat bahwa zona tambahan bukanlah wilayah kedaulatan, melainkan zona di mana negara pantai memiliki yurisdiksi terbatas untuk tujuan penegakan hukum tertentu.

4. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE - Exclusive Economic Zone)

ZEE adalah salah satu inovasi paling penting dari UNCLOS 1982. Zona ini membentang dari garis pangkal hingga batas maksimum 200 mil laut. Ini adalah wilayah di mana negara pantai memiliki hak dan yurisdiksi yang spesifik dan berdaulat.

• Hak Berdaulat: Di ZEE, negara pantai memiliki hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, di perairan di atas dasar laut, di dasar laut, dan di bawah tanahnya. Ini termasuk sumber daya ikan, minyak, gas, dan mineral. Negara pantai juga memiliki hak berdaulat atas kegiatan lain untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.
• Yurisdiksi: Negara pantai memiliki yurisdiksi terkait dengan:
  1. Pemasangan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan struktur.
  2. Penelitian ilmiah kelautan.
  3. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
• Kebebasan Negara Lain: Di ZEE, semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan navigasi dan penerbangan, serta kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, asalkan kegiatan tersebut konsisten dengan ketentuan UNCLOS.
• Keseimbangan Hak: ZEE mewakili kompromi antara klaim kedaulatan penuh dan prinsip kebebasan laut lepas, memberikan negara pantai kendali atas sumber daya sambil tetap menjaga kebebasan navigasi dan komunikasi internasional.

5. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Landas kontinen adalah perpanjangan alamiah dari wilayah daratan suatu negara di bawah laut. Secara geologis, ini adalah bagian tepi benua yang terendam air. UNCLOS Pasal 76 memberikan definisi hukum landas kontinen yang dapat melampaui batas geologis alami.

• Hak Berdaulat Eksklusif: Negara pantai memiliki hak berdaulat eksklusif untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinennya. Sumber daya ini termasuk sumber daya mineral dan non-hayati dasar laut dan tanah di bawahnya, serta organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedenter (misalnya, kerang, kepiting tertentu yang terus-menerus bersentuhan dengan dasar laut).
• Batas Luar Landas Kontinen:
  • Minimum 200 mil laut: Setiap negara pantai secara otomatis memiliki landas kontinen hingga setidaknya 200 mil laut dari garis pangkalnya, terlepas dari apakah perpanjangan geologisnya mencapai sejauh itu atau tidak (ini sering disebut sebagai "landas kontinen hukum" atau "landas kontinen ZEE").
  • Batas yang Diperluas: Jika landas kontinen geologis melampaui 200 mil laut, negara pantai dapat mengklaim batas luar landas kontinen yang diperluas hingga maksimum 350 mil laut dari garis pangkal atau 100 mil laut dari isobat 2.500 meter (garis kedalaman 2.500 meter), mana saja yang memberikan batasan terluar. Klaim batas luar landas kontinen yang diperluas harus diserahkan kepada Komisi Batas Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf – CLCS) untuk direkomendasikan.
• Tidak Mempengaruhi Status Air di Atasnya: Hak atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut.

6. Laut Lepas (High Seas)

Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, perairan pedalaman, atau perairan kepulauan suatu negara. Laut lepas adalah wilayah laut di luar yurisdiksi nasional.

• Kebebasan Laut Lepas: Prinsip fundamental yang mengatur laut lepas adalah "kebebasan laut lepas" (freedom of the high seas), yang berarti tidak ada negara yang dapat mengklaim kedaulatan atas bagian mana pun dari laut lepas. Prinsip ini mencakup:
  1. Kebebasan navigasi.
  2. Kebebasan penerbangan.
  3. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.
  4. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lain yang diizinkan oleh hukum internasional.
  5. Kebebasan menangkap ikan (dengan kewajiban konservasi).
  6. Kebebasan penelitian ilmiah.
• Yurisdiksi Negara Bendera: Kapal di laut lepas tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara bendera yang mereka kibarkan. Artinya, negara bendera bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan hukum terhadap kapal-kapalnya di laut lepas. Ada beberapa pengecualian, seperti hak pengejaran panas (hot pursuit), penindasan perompakan, perdagangan budak, dan siaran tidak sah.

7. Dasar Laut Internasional (The Area)

Dasar laut internasional, atau yang dikenal sebagai "The Area," adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar batas yurisdiksi nasional (yaitu, di luar landas kontinen suatu negara). UNCLOS Pasal 136 menyatakan bahwa The Area dan sumber dayanya adalah "warisan bersama umat manusia" (common heritage of mankind).

• Warisan Bersama: Konsep "warisan bersama umat manusia" berarti bahwa The Area dan sumber dayanya tidak dapat diklaim oleh negara mana pun, dan eksplorasi serta eksploitasinya harus dilakukan untuk kepentingan seluruh umat manusia, dengan mempertimbangkan kepentingan negara-negara berkembang.
• Otorita Dasar Laut Internasional (ISA): Untuk mengelola The Area, UNCLOS mendirikan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority – ISA), yang berkantor pusat di Kingston, Jamaika. ISA adalah organisasi antar-pemerintah yang diberi mandat untuk mengatur kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya mineral dasar laut, seperti nodul polimetalik, kerak kobalt-kaya, dan sulfida masif. Tujuannya adalah untuk memastikan eksplorasi dan eksploitasi yang teratur, aman, dan ramah lingkungan, serta pembagian keuntungan yang adil.
• Tantangan: Eksploitasi sumber daya di The Area masih menghadapi banyak tantangan, termasuk isu-isu teknologi, ekonomi, dan lingkungan, serta perdebatan mengenai rezim bagi sumber daya hayati dasar laut dalam, yang tidak secara eksplisit diatur oleh UNCLOS.

8. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)

Khusus untuk negara-negara kepulauan, UNCLOS Bagian IV mengakui konsep "negara kepulauan" dan "perairan kepulauan." Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

• Garis Pangkal Kepulauan: Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan fitur-fitur yang paling terluar.
• Kedaulatan Penuh: Perairan di dalam garis pangkal kepulauan tersebut disebut perairan kepulauan. Negara kepulauan memiliki kedaulatan atas perairan kepulauan, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya yang terkandung di dalamnya.
• Hak Lintas Jalur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes Passage): Meskipun memiliki kedaulatan, negara kepulauan wajib menghormati hak lintas jalur laut kepulauan bagi kapal dan pesawat udara asing. Ini adalah hak navigasi dan penerbangan untuk tujuan transit yang cepat dan tidak terhalang melalui jalur yang ditetapkan oleh negara kepulauan (atau jalur yang biasa digunakan jika tidak ada jalur yang ditetapkan). Hak ini lebih luas dari hak lintas damai dan menyerupai hak lintas transit di selat internasional.
• Contoh: Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat diuntungkan oleh ketentuan ini, memungkinkan negara untuk mengklaim kedaulatan atas wilayah laut yang luas yang menghubungkan pulau-pulau utamanya.

Pembagian zona-zona maritim ini menunjukkan kompleksitas dan nuansa dalam hukum laut internasional. Setiap zona memiliki implikasi yang berbeda terhadap kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi, dan kebebasan penggunaan oleh negara-negara lain, yang semuanya dirancang untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan global.

Hak dan Kewajiban Negara Pantai

UNCLOS 1982 tidak hanya mendefinisikan batas-batas maritim, tetapi juga secara rinci menetapkan hak dan kewajiban negara pantai di berbagai zona tersebut. Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah fundamental untuk menjaga ketertiban dan mencegah konflik di lautan.

Hak-hak Negara Pantai

1. Kedaulatan atas Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial:

   Negara pantai memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas perairan pedalaman dan laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Ini berarti negara pantai memiliki hak untuk menerapkan hukum nasionalnya secara penuh di wilayah ini, kecuali untuk hak lintas damai di laut teritorial.

2. Hak Berdaulat di ZEE:

   Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang membentang hingga 200 mil laut, negara pantai memiliki hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati. Ini mencakup hak atas perikanan, minyak, gas, dan energi dari air, arus, dan angin. Negara pantai juga memiliki yurisdiksi eksklusif untuk pendirian dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan struktur; penelitian ilmiah kelautan; serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

3. Hak Berdaulat atas Landas Kontinen:

   Negara pantai memiliki hak berdaulat eksklusif atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinennya, yaitu mineral dan sumber daya non-hayati lainnya dari dasar laut dan tanah di bawahnya, serta organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedenter. Hak ini bersifat inheren dan tidak bergantung pada pendudukan, proklamasi, atau tindakan eksplisit.

4. Hak Pengawasan di Zona Tambahan:

   Di zona tambahan, negara pantai memiliki hak untuk melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah dan menghukum pelanggaran undang-undang dan peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi yang dilakukan di wilayah darat atau laut teritorialnya.

5. Hak untuk Menetapkan Jalur Laut dan Skema Pemisah Lalu Lintas:

   Negara pantai dapat menetapkan jalur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorialnya atau perairan kepulauannya untuk memfasilitasi lintas damai dan menjamin keamanan navigasi, selama sesuai dengan hukum internasional.

6. Hak untuk Mengatur Penelitian Ilmiah Kelautan:

   Negara pantai memiliki hak untuk mengotorisasi dan mengatur penelitian ilmiah kelautan di laut teritorial, ZEE, dan landas kontinennya.

Kewajiban-kewajiban Negara Pantai

1. Menghormati Hak Lintas Damai:

   Negara pantai wajib tidak menghalangi atau membatasi hak lintas damai kapal asing di laut teritorialnya, kecuali dalam keadaan luar biasa yang dibenarkan oleh keamanan nasional dan sesuai dengan ketentuan UNCLOS.

2. Melindungi Lingkungan Laut:

   Salah satu kewajiban paling penting adalah melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Negara pantai wajib mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari segala sumber, termasuk sumber-sumber berbasis daratan, kapal, aktivitas dasar laut, dan pembuangan sampah.

3. Mengelola Sumber Daya Hayati secara Berkelanjutan:

   Di ZEE, negara pantai wajib memastikan bahwa pengelolaan sumber daya hayati dilakukan secara berkelanjutan, mencegah penangkapan ikan berlebihan (overfishing). Jika kapasitas penangkapan ikan nasional tidak mencapai hasil tangkapan yang diizinkan, negara pantai harus memberikan akses kepada negara lain (terutama negara tak berpantai dan negara berkembang geografis yang tidak beruntung) untuk memanfaatkan surplus tersebut, berdasarkan perjanjian.

4. Menjamin Keamanan Navigasi:

   Negara pantai wajib memberikan publikasi yang memadai tentang bahaya navigasi yang diketahui di laut teritorial dan ZEE-nya.

5. Bekerja Sama dalam Penelitian Ilmiah Kelautan:

   Meskipun negara pantai memiliki hak untuk mengatur penelitian, ia juga berkewajiban untuk mempromosikan dan memfasilitasi penelitian ilmiah kelautan, serta bekerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional.

6. Berbagi Keuntungan dari Eksploitasi Landas Kontinen Luar:

   Jika negara pantai mengeksploitasi sumber daya non-hayati di landas kontinennya yang diperluas (melebihi 200 mil laut), sebagian dari hasil eksploitasi tersebut harus dibayarkan kepada Otorita Dasar Laut Internasional untuk dibagikan kepada komunitas internasional, terutama negara-negara berkembang.

7. Menyelesaikan Sengketa secara Damai:

   Setiap negara, termasuk negara pantai, memiliki kewajiban umum berdasarkan UNCLOS untuk menyelesaikan sengketa mengenai interpretasi atau penerapan konvensi melalui cara-cara damai.

8. Menghormati Hak Lintas Jalur Laut Kepulauan (bagi Negara Kepulauan):

   Negara kepulauan memiliki kewajiban untuk menghormati dan menyediakan jalur laut kepulauan untuk transit yang cepat dan tidak terhalang oleh kapal dan pesawat udara asing.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban ini mencerminkan filosofi UNCLOS untuk menciptakan tata kelola lautan yang adil, stabil, dan berkelanjutan. Dengan hak datanglah tanggung jawab, dan kewajiban-kewajiban ini memastikan bahwa kekuatan maritim yang diberikan kepada negara pantai diimbangi dengan keharusan untuk bertindak secara bertanggung jawab demi kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan.

Navigasi dan Kebebasan Berlayar: Jalur Kehidupan Global

Kebebasan navigasi adalah salah satu prinsip tertua dan paling fundamental dalam hukum laut, esensial untuk perdagangan internasional, komunikasi, dan keamanan global. UNCLOS 1982 mengkodifikasi dan mengembangkan prinsip ini, menyeimbangkannya dengan hak kedaulatan negara pantai di berbagai zona maritim.

Prinsip Kebebasan Laut Lepas

Di laut lepas (high seas), prinsip kebebasan navigasi adalah mutlak. Pasal 87 UNCLOS secara eksplisit menyatakan bahwa laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, dan mencakup kebebasan navigasi dan penerbangan. Ini berarti kapal-kapal dan pesawat udara dapat bergerak bebas di luar batas yurisdiksi nasional mana pun, tunduk hanya pada hukum negara benderanya dan ketentuan UNCLOS lainnya.

• Yurisdiksi Negara Bendera: Kapal di laut lepas berada di bawah yurisdiksi eksklusif negara benderanya. Negara bendera bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kapal-kapalnya mematuhi standar keselamatan, lingkungan, dan sosial internasional.
• Pengecualian Yurisdiksi: Ada beberapa pengecualian terhadap yurisdiksi eksklusif negara bendera di laut lepas, yang memungkinkan kapal perang atau kapal pemerintah negara lain untuk melakukan intervensi, seperti:
  • Pembajakan (Piracy): Semua negara memiliki hak untuk menahan kapal atau pesawat yang terlibat dalam pembajakan di laut lepas.
  • Perdagangan Budak: Negara mana pun dapat menghentikan dan memeriksa kapal asing yang dicurigai terlibat dalam perdagangan budak.
  • Siaran Tidak Sah: Negara mana pun dapat menahan orang atau kapal yang terlibat dalam siaran radio atau televisi yang tidak sah dari laut lepas.
  • Hak Pengejaran Panas (Right of Hot Pursuit): Jika ada dugaan pelanggaran hukum negara pantai di perairan pedalaman, laut teritorial, atau zona tambahan/ZEE, pengejaran dapat dimulai dan berlanjut ke laut lepas, asalkan pengejaran tersebut tidak terputus.

Hak Lintas Damai (Innocent Passage)

Meskipun negara pantai memiliki kedaulatan atas laut teritorialnya, kedaulatan ini dibatasi oleh hak lintas damai (right of innocent passage) yang diakui untuk kapal-kapal dari semua negara.

• Definisi: Lintas damai adalah pelayaran melalui laut teritorial yang tidak merugikan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Pelayaran tersebut harus terus-menerus dan secepat mungkin, tanpa berhenti atau lego jangkar kecuali karena insiden navigasi normal, force majeure, atau bantuan orang, kapal, atau pesawat dalam bahaya.
• Tindakan yang Tidak Damai: Pasal 19 UNCLOS memberikan daftar kegiatan yang dianggap merugikan, seperti ancaman atau penggunaan kekuatan, latihan senjata, pengumpulan informasi yang merugikan, tindakan propaganda, peluncuran atau pendaratan pesawat atau perangkat militer, pemuatan atau pembongkaran komoditas, mata uang atau orang yang melanggar hukum bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi, pencemaran yang disengaja dan serius, kegiatan penangkapan ikan, dan kegiatan penelitian.
• Kapal Perang: Kapal perang juga memiliki hak lintas damai, meskipun beberapa negara pantai mengharuskan pemberitahuan atau izin sebelumnya. Namun, UNCLOS tidak secara eksplisit mewajibkan hal tersebut.
• Pengaturan oleh Negara Pantai: Negara pantai dapat mengadopsi undang-undang dan peraturan terkait lintas damai, termasuk mengenai keamanan navigasi, perlindungan lingkungan, perikanan, penelitian, dan pencegahan pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi. Namun, undang-undang ini tidak boleh menghambat atau membebani lintas damai.

Hak Lintas Transit (Transit Passage)

Untuk selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (misalnya, Selat Malaka, Selat Gibraltar), UNCLOS menetapkan rezim khusus yang disebut hak lintas transit (transit passage). Rezim ini lebih kuat daripada hak lintas damai.

• Definisi: Lintas transit adalah pelaksanaan kebebasan navigasi dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang cepat dan tidak terhalang melalui selat antara satu bagian laut lepas atau ZEE dengan bagian laut lepas atau ZEE lainnya.
• Lebih Kuat dari Lintas Damai: Tidak seperti lintas damai, lintas transit tidak boleh dihentikan atau ditangguhkan oleh negara-negara pesisir selat. Kapal selam dapat berlayar di bawah permukaan air. Pesawat militer juga dapat terbang di atas selat.
• Kewajiban Negara Pesisi Selat: Negara pesisir selat memiliki hak untuk mengadopsi undang-undang terkait keamanan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim, pencegahan pencemaran, dan kegiatan penangkapan ikan, tetapi tidak boleh menghalangi atau merusak lintas transit.

Hak Lintas Jalur Laut Kepulauan (Archipelagic Sea Lanes Passage)

Bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia, UNCLOS memberikan hak untuk menetapkan jalur laut kepulauan (archipelagic sea lanes – ASL). Dalam jalur ini, semua kapal dan pesawat udara memiliki hak lintas jalur laut kepulauan.

• Definisi: Lintas jalur laut kepulauan mirip dengan lintas transit, memungkinkan navigasi dan penerbangan yang cepat dan tidak terhalang melalui jalur yang telah ditetapkan.
• Tujuan: Ini adalah kompromi yang memungkinkan negara kepulauan untuk memiliki kedaulatan atas perairan kepulauannya (yang sebelumnya mungkin dianggap laut lepas), sementara tetap menjamin kebebasan navigasi internasional melalui jalur-jalur vital.
• Penetapan Jalur: Negara kepulauan dapat menetapkan jalur laut kepulauan, dan semua negara harus menghormati jalur tersebut. Jika negara kepulauan tidak menetapkan jalur, lintas jalur laut kepulauan dapat dilakukan melalui rute yang secara normal digunakan untuk navigasi internasional.

Implikasi Kebebasan Navigasi

Prinsip-prinsip navigasi ini sangat penting untuk stabilitas global:

• Perdagangan Internasional: Memastikan kelancaran arus barang dan jasa antarnegara, mendukung ekonomi global.
• Keamanan: Memungkinkan penempatan kekuatan maritim yang fleksibel untuk tujuan pertahanan dan keamanan.
• Komunikasi: Mendukung pemasangan kabel dan pipa bawah laut yang vital untuk komunikasi global dan transmisi energi.

Perlindungan Lingkungan Laut

Lautan adalah ekosistem yang rapuh dan sangat vital bagi kesehatan planet kita. Namun, aktivitas manusia telah menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang signifikan, mulai dari pencemaran hingga eksploitasi berlebihan. UNCLOS 1982 mengakui perlunya perlindungan lingkungan laut dan menetapkan kerangka hukum yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini, meskipun detail implementasinya seringkali diatur oleh instrumen hukum internasional lainnya.

Kewajiban Umum Perlindungan Lingkungan Laut

Bagian XII dari UNCLOS (Pasal 192-237) didedikasikan sepenuhnya untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 192 menetapkan kewajiban umum yang fundamental: "Negara-negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut." Ini adalah prinsip yang mendasari semua ketentuan lingkungan lainnya dalam Konvensi.

UNCLOS mewajibkan negara-negara untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari segala sumber, dengan menggunakan teknologi terbaik yang tersedia dan praktik lingkungan terbaik yang layak secara ekonomi. Ini juga menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mencapai tujuan ini.

Sumber-sumber Pencemaran dan Regulasi

UNCLOS mengidentifikasi berbagai sumber pencemaran laut dan menetapkan kerangka untuk regulasinya:

1. Pencemaran Berbasis Daratan (Land-Based Pollution):

   Sebagian besar pencemaran laut (sekitar 80%) berasal dari aktivitas di daratan, seperti limbah industri dan domestik, limpasan pertanian, dan pembuangan sampah. UNCLOS Pasal 207 mewajibkan negara-negara untuk mengadopsi undang-undang dan peraturan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran ini, dan untuk bekerja sama secara regional dan global dalam mengembangkan standar dan praktik.

2. Pencemaran dari Kapal (Vessel-Source Pollution):

   Pencemaran dari kapal, seperti tumpahan minyak, pembuangan limbah, dan emisi udara, merupakan perhatian utama. UNCLOS Pasal 211 memberikan kewenangan kepada negara bendera, negara pantai, dan negara pelabuhan untuk menegakkan aturan yang relevan. Konvensi ini bekerja sama erat dengan perjanjian lain seperti Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal (MARPOL), yang dikelola oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO), untuk menetapkan standar teknis dan operasional yang ketat.

3. Pencemaran dari Kegiatan Dasar Laut (Seabed Activities):

   Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral di dasar laut (misalnya, minyak dan gas lepas pantai) dapat menyebabkan pencemaran. UNCLOS Pasal 208 mewajibkan negara pantai untuk mengadopsi undang-undang dan peraturan untuk mencegah pencemaran dari kegiatan di landas kontinennya, sementara Otorita Dasar Laut Internasional (ISA) bertanggung jawab atas pengaturan pencemaran dari kegiatan di Dasar Laut Internasional (The Area).

4. Pencemaran Melalui Pembuangan (Dumping):

   Pembuangan limbah dan materi lainnya ke laut (dumping) diatur oleh UNCLOS Pasal 210, yang mewajibkan negara-negara untuk mengadopsi undang-undang yang konsisten dengan aturan global. Konvensi London (Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter) dan Protokol London adalah instrumen khusus yang mengatur hal ini.

5. Pencemaran dari Atmosfer (Atmospheric Pollution):

   Pencemaran yang masuk ke laut dari atmosfer (misalnya, hujan asam) juga diakui sebagai masalah. UNCLOS Pasal 212 mewajibkan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran dari atmosfer yang memengaruhi lingkungan laut.

Penegakan Hukum Lingkungan Laut

UNCLOS memberikan kewenangan penegakan hukum kepada negara bendera, negara pantai, dan negara pelabuhan:

• Negara Bendera: Memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan kapal-kapalnya mematuhi standar lingkungan internasional, di mana pun mereka berada di laut.
• Negara Pantai: Memiliki hak untuk menegakkan hukum lingkungan di laut teritorialnya, dan hak terbatas di ZEE untuk melindungi lingkungan dari pencemaran.
• Negara Pelabuhan: Dapat memeriksa kapal-kapal asing yang masuk ke pelabuhannya dan mengambil tindakan terhadap kapal yang diyakini melanggar standar lingkungan internasional, terlepas dari lokasi pelanggaran tersebut, jika itu terjadi di luar wilayah laut teritorialnya. Ini disebut sebagai "yurisdiksi negara pelabuhan" (Port State Jurisdiction).

Kerja Sama Internasional

UNCLOS sangat menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk perlindungan lingkungan laut. Pasal 197 mewajibkan negara-negara untuk bekerja sama secara global dan regional, baik secara langsung maupun melalui organisasi internasional yang kompeten, dalam merumuskan dan mengkoordinasikan aturan, standar, dan praktik untuk melindungi lingkungan laut. Contoh kerja sama regional termasuk melalui Organisasi Perikanan Regional (RFMOs) dan program laut regional PBB.

Tantangan dalam Perlindungan Lingkungan Laut

Meskipun UNCLOS menyediakan kerangka hukum yang kuat, perlindungan lingkungan laut menghadapi banyak tantangan:

• Penegakan: Sulitnya menegakkan hukum di wilayah laut yang luas, terutama di laut lepas.
• Perubahan Iklim dan Pengasaman Laut: UNCLOS tidak secara spesifik mengatur tentang perubahan iklim, namun dampaknya (kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut) menimbulkan ancaman serius yang memerlukan adaptasi hukum.
• Sampah Plastik: Masalah sampah plastik laut yang masif memerlukan pendekatan baru di luar kerangka UNCLOS yang ada.
• Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing): Mengikis upaya konservasi dan keberlanjutan sumber daya ikan.

Penelitian Ilmiah Kelautan

Penelitian ilmiah kelautan (Marine Scientific Research – MSR) adalah aktivitas krusial untuk memahami lautan, perubahan iklim, sumber daya, dan ekosistemnya. UNCLOS 1982 mengakui pentingnya MSR dan berusaha menyeimbangkan kebutuhan akan kebebasan penelitian dengan hak kedaulatan negara pantai atas wilayah lautnya.

Prinsip Dasar

Bagian XIII UNCLOS (Pasal 238-265) mengatur MSR. Pasal 238 menyatakan bahwa semua negara, terlepas dari letak geografisnya, memiliki hak untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan, tunduk pada hak dan kewajiban negara lain seperti yang ditetapkan dalam Konvensi. Pasal 239 juga menekankan bahwa negara-negara dan organisasi internasional harus mempromosikan dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan MSR yang sesuai dengan Konvensi.

Rezim Persetujuan (Consent Regime)

Salah satu aspek paling signifikan dalam pengaturan MSR adalah "rezim persetujuan" (consent regime), yang berarti bahwa penelitian di zona-zona maritim tertentu membutuhkan izin dari negara pantai yang bersangkutan.

1. Di Laut Teritorial dan Perairan Pedalaman:

   Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengatur dan mengotorisasi MSR di laut teritorial dan perairan pedalamannya. Penelitian di wilayah ini memerlukan persetujuan eksplisit dari negara pantai dan harus mematuhi semua hukum dan peraturan negara pantai.

2. Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen:

   Di ZEE dan landas kontinen, MSR juga memerlukan persetujuan dari negara pantai. Namun, UNCLOS Pasal 246 menetapkan bahwa negara pantai "dalam keadaan normal harus memberikan persetujuan" untuk proyek-proyek MSR yang dilakukan oleh negara lain atau organisasi internasional jika penelitian tersebut bersifat damai, dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi kemaslahatan seluruh umat manusia, dan memenuhi kriteria tertentu lainnya. Persetujuan dapat "ditolak" dalam kondisi tertentu, seperti jika proyek tersebut memiliki implikasi langsung untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya, melibatkan pengeboran di landas kontinen, melibatkan penggunaan bahan peledak, atau melibatkan pengenalan zat berbahaya ke lingkungan laut.

   Negara pantai juga dapat meminta syarat-syarat tertentu, seperti partisipasi ilmuwan nasional, akses terhadap data dan sampel, dan hasil awal penelitian.

3. Di Laut Lepas:

   MSR di laut lepas dapat dilakukan oleh negara mana pun tanpa memerlukan persetujuan dari negara lain, sesuai dengan prinsip kebebasan laut lepas.

4. Di Dasar Laut Internasional (The Area):

   MSR di The Area harus dilakukan untuk kepentingan seluruh umat manusia, sesuai dengan Bagian XIII dan Bagian XI (tentang The Area) UNCLOS. Otorita Dasar Laut Internasional (ISA) memiliki peran untuk mempromosikan dan mendorong MSR di The Area, dan semua data dan hasil harus tersedia untuk umum.

Kewajiban Negara yang Melakukan Penelitian

Negara yang melakukan MSR di ZEE atau landas kontinen negara pantai yang lain memiliki beberapa kewajiban, antara lain:

• Memberikan informasi lengkap tentang proyek penelitian kepada negara pantai.
• Memastikan hak negara pantai untuk berpartisipasi dalam proyek.
• Memberikan akses kepada negara pantai terhadap semua data dan sampel yang diperoleh dari proyek.
• Menyediakan hasil penilaian awal sesegera mungkin.
• Memastikan bahwa hasil penelitian tersedia secara internasional.
• Mencabut semua instalasi dan peralatan penelitian setelah penelitian selesai.

Memfasilitasi dan Mempromosikan MSR

Selain mengatur persetujuan, UNCLOS juga menekankan kewajiban negara-negara untuk mempromosikan MSR dan memfasilitasi kerja sama internasional dalam bidang ini. Ini mencakup:

• Kerja Sama Internasional: Mendorong MSR melalui perjanjian bilateral atau multilateral, dan melalui organisasi internasional.
• Transfer Teknologi Kelautan: Bagian XIV UNCLOS secara khusus membahas pengembangan dan transfer teknologi kelautan, mengakui bahwa ini penting untuk memungkinkan semua negara, terutama negara berkembang, untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari MSR dan pemanfaatan sumber daya laut.
• Penyebarluasan Informasi: Mendorong penyebarluasan hasil penelitian ilmiah kelautan secara luas.

Tantangan dan Pentingnya MSR

Meskipun rezim persetujuan bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan, kadang-kadang ia dapat menimbulkan hambatan bagi MSR, terutama jika prosedur perizinan terlalu birokratis atau memakan waktu. Namun, MSR tetap menjadi alat yang sangat penting untuk:

• Memahami perubahan iklim dan dampaknya terhadap lautan.
• Mengidentifikasi dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.
• Melindungi keanekaragaman hayati laut.
• Mengembangkan teknologi baru untuk pemanfaatan laut.
• Memperkuat kapasitas ilmiah negara-negara berkembang.

Oleh karena itu, implementasi ketentuan MSR UNCLOS yang seimbang dan kooperatif sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan kelautan global dan untuk memastikan bahwa pemahaman kita tentang samudra terus berkembang demi kebaikan seluruh umat manusia.

Penyelesaian Sengketa di Bawah UNCLOS

Mengingat kompleksitas dan luasnya cakupan UNCLOS, sengketa mengenai interpretasi atau implementasinya tidak dapat dihindari. Untuk itu, Konvensi ini menyediakan kerangka kerja yang komprehensif dan inovatif untuk penyelesaian sengketa secara damai, yang merupakan salah satu kekuatan utamanya. Bagian XV UNCLOS (Pasal 279-299) mengatur mekanisme-mekanisme ini, yang dirancang untuk bersifat wajib dan mengikat, dengan tujuan mencegah konflik dan menjaga stabilitas hukum di lautan.

Kewajiban Umum untuk Menyelesaikan Sengketa secara Damai

Pasal 279 menegaskan kewajiban umum bagi semua negara anggota untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai, sesuai dengan Pasal 2 Piagam PBB. Pasal 280-285 mendorong negara-negara untuk terlebih dahulu mencari solusi melalui cara-cara damai pilihan mereka sendiri, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau melalui organisasi regional.

Prosedur Wajib yang Mengikat (Compulsory Procedures Entailing Binding Decisions)

Jika sengketa tidak dapat diselesaikan melalui cara-cara damai yang dipilih oleh para pihak, UNCLOS menyediakan prosedur wajib yang mengikat, yang dapat diinisiasi oleh salah satu pihak sengketa. Pasal 287 memungkinkan negara-negara untuk memilih satu atau lebih dari empat prosedur berikut saat meratifikasi atau mengaksesi Konvensi:

1. Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea – ITLOS):

   ITLOS adalah badan yudisial independen yang didirikan oleh UNCLOS, berkedudukan di Hamburg, Jerman. Mahkamah ini terdiri dari 21 hakim independen yang dipilih dari daftar orang-orang dengan reputasi tertinggi di bidang hukum laut. ITLOS memiliki yurisdiksi atas semua sengketa yang diajukan kepadanya sesuai dengan UNCLOS dan dapat memberikan opini nasihat. Kasus-kasus yang ditangani ITLOS seringkali berkaitan dengan penangkapan ikan ilegal, penahanan kapal, dan interpretasi ketentuan Konvensi. Salah satu fungsinya yang unik adalah kemampuannya untuk mengambil keputusan cepat dalam kasus-kasus pembebasan kapal dan awak (Pasal 292).

2. Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ):

   ICJ adalah organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berkedudukan di Den Haag. Jika negara-negara memilihnya, ICJ dapat menyelesaikan sengketa yang timbul dari UNCLOS. ICJ memiliki yurisdiksi yang lebih luas dari ITLOS, mencakup berbagai aspek hukum internasional, tetapi kasus-kasus hukum laut juga sering diajukan ke Mahkamah ini.

3. Arbitrase (Arbitration):

   Ini adalah prosedur yang paling sering dipilih. Arbitrase dilakukan oleh sebuah majelis arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa tertentu. Prosedur arbitrase UNCLOS diatur dalam Lampiran VII Konvensi, yang menetapkan aturan untuk pembentukan majelis (biasanya lima arbiter) dan tata cara persidangan. Keputusan arbitrase bersifat mengikat bagi para pihak.

4. Arbitrase Khusus (Special Arbitration):

   Prosedur ini digunakan untuk jenis sengketa tertentu yang berkaitan dengan perikanan, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah kelautan, atau navigasi. Majelis arbitrase khusus dibentuk dari daftar ahli di bidang-bidang tersebut, dan aturannya ditetapkan dalam Lampiran VIII Konvensi.

Jika negara-negara yang bersengketa belum membuat pilihan atau telah memilih prosedur yang berbeda, sengketa akan diajukan ke arbitrase berdasarkan Lampiran VII (Pasal 287(3) dan (5)).

Pengecualian dari Prosedur Wajib

Meskipun UNCLOS menyediakan prosedur penyelesaian sengketa yang wajib, Pasal 298 memungkinkan negara-negara untuk menyatakan pengecualian terhadap prosedur tersebut untuk jenis sengketa tertentu. Pengecualian ini meliputi sengketa mengenai:

• Penetapan atau interpretasi batas-batas maritim (meskipun prosedur konsiliasi wajib masih berlaku).
• Kegiatan militer dan penegakan hukum (termasuk kegiatan kapal perang dan pesawat udara pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-komersial).
• Sengketa di mana Dewan Keamanan PBB sedang menjalankan fungsi yang dipercayakan kepadanya oleh Piagam PBB.
• Aktivitas penangkapan ikan di ZEE, di mana negara pantai memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya hayati.
• Penelitian ilmiah kelautan, di mana negara pantai memiliki hak untuk menolak atau menghentikan proyek.

Pengecualian ini mencerminkan sensitivitas politik dari isu-isu tersebut dan memberikan fleksibilitas kepada negara-negara dalam menyeimbangkan kepentingan kedaulatan mereka dengan prinsip penyelesaian sengketa yang mengikat.

Pentingnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Mekanisme penyelesaian sengketa UNCLOS sangat krusial karena:

• Mencegah Konflik: Mereka menyediakan jalur hukum dan damai untuk menyelesaikan perselisihan, mengurangi kemungkinan eskalasi menjadi konflik bersenjata.
• Memperjelas Hukum: Keputusan dan putusan dari badan-badan peradilan ini membantu mengklarifikasi interpretasi dan penerapan ketentuan UNCLOS, yang pada gilirannya memperkuat hukum laut internasional.
• Meningkatkan Kepastian Hukum: Dengan adanya prosedur yang jelas, negara-negara memiliki kepastian tentang bagaimana sengketa akan diselesaikan, mendorong kepatuhan terhadap Konvensi.

Sejak berlakunya UNCLOS, berbagai sengketa maritim telah berhasil diselesaikan melalui prosedur-prosedur ini, termasuk kasus-kasus penetapan batas maritim, hak lintas, dan isu-isu penangkapan ikan. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam memastikan semua negara mematuhi putusan yang mengikat dan dalam menangani sengketa di wilayah yang sensitif secara politik.

Tantangan dan Masa Depan Hukum Laut

Meskipun UNCLOS 1982 telah menyediakan kerangka hukum yang kokoh untuk tata kelola lautan global, dunia terus berubah, membawa serta tantangan-tantangan baru yang menguji relevansi dan adaptabilitas hukum laut. Masa depan hukum laut akan sangat ditentukan oleh bagaimana komunitas internasional menanggapi isu-isu kompleks ini.

1. Perubahan Iklim dan Kenaikan Permukaan Air Laut

Salah satu tantangan terbesar adalah dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut mengancam eksistensi negara-negara pulau dataran rendah dan menyebabkan ketidakpastian mengenai batas-batas maritim yang didasarkan pada garis pantai. Jika garis pantai bergeser karena naiknya air laut, apakah batas laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen juga bergeser? Apakah negara-negara kecil akan kehilangan sebagian besar wilayah lautnya? UNCLOS tidak secara spesifik membahas skenario ini, dan diperlukan konsensus internasional untuk mengatasi implikasi hukum dari fenomena ini.

Pengasaman laut akibat penyerapan karbon dioksida juga merupakan ancaman serius bagi ekosistem laut, yang mungkin memerlukan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang lebih kuat dari yang saat ini diatur dalam UNCLOS.

2. Eksploitasi Sumber Daya Laut Dalam (Deep Seabed Mining)

Permintaan akan mineral berharga (seperti kobalt, nikel, tembaga, mangan) yang terkandung di dasar laut dalam terus meningkat, memicu minat pada penambangan dasar laut (deep seabed mining) di The Area. Meskipun UNCLOS dan Otorita Dasar Laut Internasional (ISA) telah menetapkan kerangka untuk kegiatan ini, pengembangan regulasi rinci untuk eksplorasi dan eksploitasi komersial masih berlangsung.

Tantangannya meliputi:

• Dampak Lingkungan: Potensi kerusakan ekosistem dasar laut yang rapuh dan belum sepenuhnya dipahami.
• Pembagian Keuntungan: Memastikan pembagian keuntungan yang adil sebagai "warisan bersama umat manusia," terutama bagi negara-negara berkembang.
• Transparansi dan Akuntabilitas: Memastikan bahwa proses pengambilan keputusan oleh ISA transparan dan akuntabel.

3. Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing)

Penangkapan ikan IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) adalah masalah global yang serius, mengikis upaya konservasi, mengancam keberlanjutan stok ikan, dan merugikan ekonomi negara-negara pantai. Meskipun UNCLOS menetapkan kerangka pengelolaan perikanan, penegakan hukum di laut lepas tetap sulit. Kerja sama internasional, penguatan yurisdiksi negara pelabuhan, dan penggunaan teknologi pengawasan menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.

4. Keamanan Maritim dan Tantangan Non-Tradisional

Ancaman terhadap keamanan maritim telah berkembang melampaui pembajakan tradisional. Ini termasuk terorisme maritim, kejahatan transnasional terorganisir (seperti penyelundupan narkoba, senjata, dan manusia), serta penggunaan laut untuk tujuan cyber warfare atau spionase bawah laut. Hukum laut perlu beradaptasi untuk menghadapi bentuk-bentuk ancaman baru ini, menyeimbangkan hak kedaulatan dengan kewajiban kerja sama internasional.

5. Teknologi Baru dan Otomasi

Pengembangan teknologi baru seperti kapal otonom (Maritime Autonomous Surface Ships – MASS), drone bawah laut, dan sensor canggih menimbulkan pertanyaan hukum baru. Bagaimana UNCLOS akan mengatur navigasi dan tanggung jawab kapal tanpa awak? Bagaimana regulasi akan diterapkan pada data yang dikumpulkan oleh platform otonom di berbagai zona maritim?

6. Isu-isu di Kutub (Arktik dan Antarktika)

Mencairnya es di Kutub Utara (Arktik) membuka jalur pelayaran baru dan akses ke sumber daya, memicu klaim teritorial dan yurisdiksi yang tumpang tindih dari negara-negara pesisir Arktik. Meskipun UNCLOS berlaku di Arktik, interpretasinya dalam konteks es laut yang dinamis dan klaim yang bersaing menimbulkan tantangan. Di sisi lain, Antarktika diatur oleh Sistem Traktat Antarktika yang secara khusus menangguhkan klaim kedaulatan dan mempromosikan penelitian ilmiah.

7. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ)

Di luar ZEE suatu negara, yaitu di laut lepas dan The Area, terdapat keanekaragaman hayati yang melimpah dan belum sepenuhnya dipahami. UNCLOS hanya memiliki ketentuan umum tentang konservasi keanekaragaman hayati. Saat ini, perundingan sedang berlangsung di PBB untuk mengembangkan instrumen internasional baru yang mengikat mengenai konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction – BBNJ). Instrumen ini akan menjadi "UNCLOS Plus" di bidang lingkungan.

Masa Depan: Adaptasi dan Kerja Sama

Masa depan hukum laut akan sangat bergantung pada kemampuan negara-negara untuk beradaptasi, berinovasi, dan bekerja sama. UNCLOS adalah dokumen yang hidup, dan meskipun kerangka dasarnya kuat, penerapannya harus terus disesuaikan dengan realitas baru. Ini akan memerlukan:

• Penguatan Kerjasama Internasional: Melalui organisasi seperti PBB, IMO, FAO, dan ISA.
• Pengembangan Perjanjian Sektoral Baru: Untuk mengisi celah dalam UNCLOS (misalnya, BBNJ, penanganan sampah plastik).
• Pemanfaatan Teknologi: Untuk pemantauan, penegakan hukum, dan penelitian.
• Diplomasi dan Penyelesaian Sengketa: Terus mengandalkan jalur damai untuk menyelesaikan perselisihan.

Hukum laut tetap menjadi pilar penting untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan keberlanjutan di lautan global, namun ia harus terus berevolusi untuk menghadapi tantangan abad ke-21.

Kesimpulan: Menjaga Lautan, Menjaga Masa Depan

Hukum laut, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, telah memainkan peran yang tak ternilai dalam membentuk tatanan maritim global. Dari konsep kuno kebebasan laut hingga kerangka hukum yang komprehensif yang mengatur setiap inci samudra, perkembangannya mencerminkan upaya kolektif umat manusia untuk mengelola ruang bersama yang vital ini. UNCLOS telah berhasil menyeimbangkan hak kedaulatan negara pantai dengan kepentingan komunitas internasional yang lebih luas dalam kebebasan navigasi, perlindungan lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya yang adil.

Dengan menetapkan zona-zona maritim yang jelas seperti perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen, serta mengakui rezim khusus untuk laut lepas dan Dasar Laut Internasional, UNCLOS telah memberikan kejelasan yurisdiksional yang sebelumnya tidak ada. Ini memungkinkan negara-negara untuk mengklaim dan mengelola sumber daya, melindungi lingkungan mereka, dan menjamin keamanan, sementara juga menjaga jalur komunikasi dan perdagangan vital tetap terbuka bagi semua.

Namun, seperti halnya hukum yang dinamis, UNCLOS tidaklah statis. Tantangan-tantangan global yang muncul seperti perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, eksploitasi sumber daya laut dalam, penangkapan ikan ilegal, dan ancaman keamanan maritim yang berkembang terus menguji adaptabilitasnya. Masa depan hukum laut akan memerlukan kerja sama yang lebih erat antarnegara, inovasi dalam teknologi, dan kesediaan untuk mengembangkan instrumen hukum tambahan yang melengkapi kerangka UNCLOS yang ada. Hanya dengan pendekatan kolektif dan bertanggung jawab, komunitas internasional dapat memastikan bahwa lautan, sebagai warisan bersama kita, tetap sehat, produktif, dan menjadi sumber perdamaian serta kemakmuran untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum laut adalah langkah pertama menuju pengelolaan samudra yang berkelanjutan dan adil.