Jejak Sejarah dan Filosofi Gorontalo Kuno
Hulontalangi adalah sebuah nomenklatur yang jauh melampaui sekadar nama geografis. Ia adalah terminologi kuno yang merefleksikan keseluruhan peradaban, sistem politik, dan kerangka spiritual yang membentuk entitas Gorontalo, yang kini dikenal sebagai salah satu provinsi di Sulawesi. Memahami Hulontalangi berarti menyelami lapisan-lapisan sejarah maritim, adat istiadat yang rigid, dan filosofi hidup yang berpusat pada kedaulatan rakyat dan kearifan lokal.
Dalam konteks historiografi lokal, Hulontalangi sering diterjemahkan sebagai 'Tanah Para Bangsawan' atau 'Negeri yang Ditinggikan'. Interpretasi ini sangat relevan mengingat struktur sosial Gorontalo di masa lampau yang sangat hierarkis, namun tetap menjunjung tinggi prinsip musyawarah melalui sistem yang dikenal sebagai Limo Lo Pohala’a.
Konsep Hulontalangi menjadi landasan filosofis Gorontalo, yang secara historis terbagi menjadi lima kerajaan adat utama, menaungi segala aspek kehidupan, mulai dari tata kelola pemerintahan, hukum pidana, hingga etika pergaulan sehari-hari.
Analisis etimologis terhadap kata Hulontalangi memberikan petunjuk mendalam mengenai bagaimana masyarakat kuno Gorontalo memandang diri mereka dan wilayahnya. Kata ini dipercayai terbentuk dari dua komponen utama dalam bahasa Gorontalo Tua:
Komponen pertama, Hulon, memiliki beberapa interpretasi yang saling terkait:
Komponen kedua, Talangi, sering kali memiliki konotasi yang lebih spiritual atau hierarkis:
Secara keseluruhan, Hulontalangi dapat diartikan sebagai "Tanah Para Bangsawan yang Ditinggikan" atau "Pusat Peradaban yang Didirikan di Atas Pondasi Adat yang Kuat." Konsep ini membentuk kerangka identitas yang mendasari seluruh sistem kerajaan di wilayah tersebut sebelum kolonialisme datang.
Inti dari sistem politik dan sosial Hulontalangi adalah konsep Limo Lo Pohala'a, atau Lima Kerajaan Adat. Sistem ini bukan sekadar pembagian wilayah, melainkan representasi dari kesatuan spiritual dan politik yang dikelola berdasarkan musyawarah mufakat (Mona'o Mo'opohalaa).
Kelima Pohala'a (Kerajaan Adat) yang membentuk kesatuan Gorontalo adalah:
Merupakan Pohala’a terbesar dan sering dianggap sebagai pusat spiritual dan politik. Secara geografis, ia mencakup wilayah yang kini menjadi Kota Gorontalo dan sekitarnya. Pohala’a Gorontalo dikenal dengan tradisi hukum dan administrasinya yang paling kompleks. Di sini, sistem Tinemolingo (hukum adat) diterapkan dengan sangat ketat, menjadikannya rujukan utama bagi Pohala’a lainnya.
Terletak di sekitar Danau Limboto, Pohala’a ini memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama perikanan dan pertanian. Secara historis, Limboto sering menjadi mitra strategis Gorontalo dalam urusan militer dan perdagangan. Mereka dikenal memiliki tradisi maritim dan pertanian yang sangat kuat, mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan ekosistem danau.
Limboto bertanggung jawab atas ketahanan pangan kolektif Hulontalangi. Pengelolaan air dan tanah diatur melalui sistem Mololambu (pembagian hasil pertanian) yang ketat, memastikan tidak ada kelaparan di wilayah tersebut.
Pohala’a Suwawa terletak di daerah pegunungan dan kaya akan sumber daya mineral, meskipun pada masa kuno fokusnya lebih pada hasil hutan dan perkebunan. Suwawa dikenal sebagai wilayah yang gigih dalam mempertahankan tradisi kuno, sering kali menjadi penjaga batas utara wilayah Gorontalo.
Secara tradisional, Suwawa memiliki peran militer yang signifikan, menyediakan prajurit (Balango) yang terampil dalam perang di daratan. Filosofi kepahlawanan mereka tercermin dalam tarian perang Tidi Lo Polopalo.
Pohala’a Bolango, yang kini terletak di perbatasan selatan, memiliki sejarah interaksi yang intensif dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dan Selatan. Bolango berperan sebagai gerbang ekonomi dan militer di wilayah selatan, menjadikannya titik sensitif dalam politik regional.
Bolango sering menjadi duta Hulontalangi dalam negosiasi dengan kerajaan luar, seperti Bolaang Mongondow. Struktur sosial mereka sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan budaya tetangga.
Atinggola terletak di wilayah utara yang berbatasan langsung dengan laut Sulawesi. Pohala’a ini adalah yang paling kecil populasinya namun memiliki peran krusial sebagai penjaga perairan utara. Atinggola dikenal dengan kearifan maritimnya dan sistem navigasi tradisional yang handal.
Fungsi utama Atinggola adalah menjaga keamanan laut, melakukan pengawasan terhadap kapal asing, dan memastikan kelancaran jalur pelayaran antar pulau. Mereka adalah pewaris pengetahuan kelautan tertua di Gorontalo.
Sistem Limo Lo Pohala'a tidak dioperasikan secara hierarkis seperti kerajaan tunggal, melainkan melalui prinsip kesetaraan dalam musyawarah. Jika Raja Gorontalo ingin membuat kebijakan besar, ia harus mendapatkan persetujuan dari Bate (Dewan Adat) dari keempat Pohala’a lainnya. Prinsip utama yang dipegang teguh adalah:
Adat Bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah.
Filosofi ini memastikan bahwa segala keputusan politik dan sosial harus berakar pada adat istiadat yang telah disempurnakan oleh nilai-nilai Islam, menunjukkan sinkretisme budaya yang unik dan mendalam.
Tata kelola Hulontalangi diikat oleh serangkaian prinsip moral dan etika yang diwariskan secara lisan dan tertulis. Prinsip-prinsip ini, yang sering disebut sebagai Tolotoli’a (Petunjuk Hidup), membentuk karakter kepemimpinan dan menjamin keadilan bagi rakyat.
Meskipun Gorontalo memiliki 17 prinsip (lihat sub-seksi berikutnya), ada tujuh prinsip fundamental yang menjadi pegangan utama bagi para pemimpin, yang memastikan kedaulatan moral di atas kedaulatan politik:
Sistem ini memastikan checks and balances. U Duluwo Lo Adati (Tiga Tungku Adat) adalah pembagian kekuasaan fungsional yang terdiri dari:
Keseimbangan antara ketiga unsur ini (Raja, Adat, dan Syariat) adalah kunci kestabilan Hulontalangi. Jika salah satu unsur pincang, sistem akan goyah. Ini adalah model pemerintahan trias politika kuno yang sangat matang.
Selain tujuh prinsip inti, terdapat 17 prinsip lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan dan hubungan Raja dengan rakyatnya. Prinsip-prinsip ini seringkali dihafalkan dan dilantunkan dalam upacara-upacara besar. Ke-17 prinsip ini menekankan bahwa kekuasaan datang dari rakyat, bukan hak ilahi semata:
Kompleksitas prinsip ini menunjukkan betapa Gorontalo kuno bukanlah masyarakat yang diatur secara otoriter, melainkan sebuah republik adat yang sangat terstruktur, di mana Raja adalah 'pelayan' Adat, dan Adat adalah pelayan Syariat.
Warisan budaya Hulontalangi merupakan cerminan visual dan auditori dari filosofi ketuhanan, kepahlawanan, dan kebersamaan. Seni tradisional Gorontalo sangat erat kaitannya dengan ritual adat dan siklus kehidupan.
Tari ini adalah tari kepahlawanan yang paling terkenal dari Gorontalo. Tidi berarti tarian, dan Polopalo adalah alat musik pukul tradisional yang terbuat dari bambu. Tari ini menceritakan kisah keberanian prajurit dalam mempertahankan wilayah Pohala’a dari serangan musuh. Gerakannya tegas, cepat, dan penuh energi, melambangkan semangat juang tanpa gentar. Dalam konteks Hulontalangi, tarian ini juga berfungsi sebagai pendidikan moral bagi generasi muda mengenai pentingnya pertahanan diri dan kedaulatan.
Berbeda dengan Tidi Lo Polopalo, Dana-Dana adalah tari pergaulan yang lebih riang dan sering ditarikan pada acara-acara gembira seperti pernikahan atau panen. Meskipun ringan, tarian ini tetap memiliki unsur pendidikan etika pergaulan, terutama antara pria dan wanita yang dilakukan secara sopan dan terhormat sesuai norma adat.
Sastra lisan memegang peranan vital dalam transmisi pengetahuan sejarah Hulontalangi. Sebagian besar hukum adat dan kisah kepahlawanan Raja-raja disampaikan melalui Tanggu (puisi berirama) dan Tolotoli (cerita rakyat).
Talombo adalah bentuk puisi yang digunakan secara formal dalam upacara adat, pelantikan Raja, atau musyawarah besar. Isinya selalu merujuk pada prinsip Adat Bersendi Syara dan kisah kepemimpinan masa lampau, berfungsi sebagai pengingat akan sumpah jabatan dan tanggung jawab moral seorang pemimpin.
Bili’u adalah salah satu ritual adat Gorontalo yang paling sakral, khususnya dalam pernikahan. Ritual ini tidak hanya melibatkan upacara fisik, tetapi juga pertukaran pantun (sejenis Tanggu) yang mengandung nasihat kehidupan, pengajaran agama, dan silsilah keluarga, memastikan bahwa pasangan baru memahami posisi mereka dalam struktur sosial Hulontalangi.
Pakaian adat Gorontalo kaya akan simbolisme warna dan motif, yang mencerminkan status sosial dan peran fungsional pemakainya dalam sistem Pohala’a.
Rumah adat Gorontalo, yang disebut Dulohupa, adalah manifestasi fisik dari filosofi musyawarah. Arsitektur panggungnya didukung oleh tiang-tiang kokoh, yang melambangkan pilar-pilar adat. Dulohupa berfungsi sebagai balai musyawarah atau istana raja, tempat di mana Raja, Bate, dan Sarani bertemu untuk memutuskan perkara penting berdasarkan prinsip Po'oyalu.
Bentuk atapnya yang melengkung melambangkan perahu, mengingatkan pada identitas maritim Hulontalangi. Seluruh konstruksi rumah adat ini adalah pengingat visual bahwa masyarakat dibangun atas dasar kerjasama dan dukungan kolektif.
Sistem hukum di Hulontalangi didasarkan pada integrasi antara hukum adat (Tolotoli'a), hukum Islam (Syara), dan hukum kerajaan (Tinomolingo). Integrasi ini dikenal sebagai tiga serangkai yang tidak terpisahkan, menjamin keadilan yang bersifat duniawi dan akhirat.
Tinomolingo adalah kitab hukum adat yang mengatur sanksi dan hukuman terhadap pelanggaran sosial dan kriminal. Hukuman cenderung bersifat restoratif, bertujuan untuk mengembalikan harmoni sosial, meskipun hukuman berat (seperti pengasingan atau bahkan hukuman mati, yang harus disetujui ketiga tungku adat) juga ada untuk kasus pengkhianatan terhadap Pohala’a.
Bate bukan hanya penasihat Raja, tetapi juga mahkamah tertinggi. Mereka terdiri dari individu-individu yang sangat paham Adat dan Syariat. Keputusan Bate selalu final dalam perkara adat. Mekanisme pengambilan keputusan mereka bersifat kolektif, mencerminkan kedaulatan musyawarah di atas kehendak individu.
Salah satu aspek hukum yang paling rinci adalah Wulele, atau hukum waris. Meskipun Gorontalo telah mengadopsi Syariat Islam, praktik pembagian waris tetap disinkretiskan dengan tradisi lokal. Wulele mengatur pembagian harta benda, gelar, dan tanah pusaka. Aturan ini sangat penting untuk menjaga garis keturunan (Marga) para bangsawan di kelima Pohala’a agar tidak punah atau bercampur aduk secara tidak teratur.
Contoh penerapan Wulele:
Jika seorang bangsawan meninggal, pembagian gelarnya tidak otomatis jatuh kepada anak sulung, tetapi harus diputuskan oleh Bate berdasarkan kualitas moral (Po'oti'o) dan penguasaan Adat (Tolotoli'a) sang pewaris, bukan hanya berdasarkan garis darah.
Bagi masyarakat Hulontalangi, geografi bukanlah sekadar peta, tetapi sebuah wadah spiritual yang membentuk karakter budaya. Tiga elemen geografis utama—Gunung, Danau, dan Laut—memiliki peran penting dalam ritual dan mitologi.
Danau Limboto adalah jantung Hulontalangi, secara harfiah disebut 'Duluwo Lo Hulon' (Mata Air Tanah). Danau ini adalah simbol kemakmuran dan siklus kehidupan. Ritual-ritual kesuburan, seperti upacara panen ikan (Modutu), selalu berpusat di danau ini. Status Limboto sebagai salah satu Pohala’a menunjukkan betapa pentingnya sumber air dalam peradaban Gorontalo kuno.
Gunung, atau Huidu, adalah tempat tinggal para roh leluhur dan simbol ketinggian moral. Gunung Tilongkabila, khususnya, adalah tempat di mana Raja-raja kuno sering melakukan meditasi atau ritual untuk meminta petunjuk spiritual sebelum mengambil keputusan penting. Ketinggiannya melambangkan visi yang luas dan murni yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Meskipun Gorontalo sering dilihat sebagai budaya daratan, identitas maritimnya sangat kuat, terutama melalui Pohala’a Atinggola. Posisi Gorontalo di Teluk Tomini dan Laut Sulawesi menjadikannya simpul perdagangan penting. Konsep navigasi tradisional (Talanga Lo Lauti) adalah pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun, memungkinkan pelaut Gorontalo berlayar hingga ke Filipina selatan dan Kepulauan Maluku.
Kekuatan maritim Hulontalangi bukan hanya untuk perdagangan, tetapi juga pertahanan, yang diatur dalam perjanjian militer antara Atinggola dan Suwawa.
Meskipun sistem Limo Lo Pohala'a sebagai entitas politik independen telah berakhir dengan masuknya kolonialisme, semangat Hulontalangi tidak pernah padam. Kini, konsep Hulontalangi menjadi fondasi bagi otonomi daerah dan identitas kultural masyarakat Gorontalo modern.
Prinsip Adat Bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah tetap relevan, bahkan dalam konteks pemerintahan provinsi. Prinsip ini digunakan sebagai pijakan dalam perumusan kebijakan daerah, memastikan bahwa pembangunan fisik selaras dengan pembangunan moral dan spiritual masyarakat.
Institusi adat seperti Dewan Adat (yang merupakan penerus Bate) masih berfungsi sebagai penasihat moral bagi pemerintah daerah, memastikan bahwa para pemimpin modern tetap menjunjung tinggi Pitu Tolotoli’a dalam menjalankan tugas mereka.
Hulontalangi bukan hanya tentang nama sebuah kerajaan lama, melainkan manifestasi dari cara pandang Gorontalo terhadap kekuasaan, keadilan, dan kemanusiaan. Dari kompleksitas 17 prinsip kepemimpinan hingga keindahan tarian kepahlawanan Tidi Lo Polopalo, setiap aspek budaya adalah pengingat bahwa jati diri sebuah bangsa diukur dari sejauh mana mereka menghormati pondasi sejarah mereka sendiri.
Dengan demikian, Hulontalangi berdiri sebagai monumen peradaban Nusantara Utara yang kaya, sebuah bukti bahwa sistem politik yang didasarkan pada musyawarah dan integritas spiritual dapat bertahan melampaui perubahan zaman.
Untuk memahami kedalaman peradaban Hulontalangi, perlu dipahami bagaimana setiap detail hukum adat diimplementasikan secara praktis, jauh melampaui sekadar teori. Hukum adat ini tidak statis, melainkan adaptif terhadap kebutuhan sosial, namun terikat pada prinsip dasar Tolotoli'a.
Pernikahan di kalangan bangsawan Hulontalangi bukan hanya urusan pribadi, melainkan mekanisme politik yang vital untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar Limo Lo Pohala’a. Terdapat tiga jenis pernikahan utama yang diakui:
Peranan Walima (hantaran adat) sangat kompleks, melambangkan bukan hanya mahar, tetapi juga janji kesetiaan dari Pohala’a pihak pria kepada Pohala’a pihak wanita, menjamin keamanan dan kehormatan mempelai wanita.
Kepemilikan tanah di Hulontalangi diatur secara kolektif, meskipun ada hak milik pribadi. Konsep Duluwo Lo Hulon menegaskan bahwa tanah adalah milik Tuhan dan harus dikelola untuk kemaslahatan bersama. Raja (Olongia) bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik mutlak.
Perselisihan tanah adalah salah satu kasus paling sering dibawa ke hadapan Bate. Penyelesaiannya selalu berpedoman pada prinsip keadilan sosial, memastikan rakyat kecil tidak kehilangan mata pencaharian mereka demi kepentingan bangsawan.
Karena Gorontalo merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dan emas (terutama di Suwawa), etika berdagang sangat ditekankan. Konsep Po’opato Lo Tiangalo (Prinsip Empat Mata Dagang) mengatur agar perdagangan dilakukan secara jujur dan tidak merugikan masyarakat.
Pedagang asing harus mematuhi hukum adat dan diwajibkan membayar pajak (Pajeko) yang hasilnya digunakan untuk kesejahteraan Pohala’a. Penipuan dalam timbangan atau kualitas barang dapat dikenakan hukuman adat yang berat, bahkan hingga pengusiran dari wilayah Hulontalangi.
Meskipun Gorontalo dikenal dengan sistem musyawarahnya yang egaliter, struktur sosial Hulontalangi di masa lalu adalah sistem kasta yang jelas, di mana setiap lapisan memiliki tanggung jawab adatnya masing-masing. Hierarki ini berfungsi sebagai pembagian tugas fungsional, bukan semata-mata penindasan.
Masyarakat Hulontalangi terbagi menjadi tiga kasta utama:
Proses pengangkatan Olongia (Raja) adalah puncak dari manifestasi kedaulatan adat. Ritual ini sangat panjang dan sakral, melambangkan perpindahan kekuasaan dari leluhur ke pemimpin baru, selalu diselenggarakan di Dulohupa.
Filosofi hidup Gorontalo, Po'opo'ohelo (Saling Menghormati), merupakan kunci keharmonisan sosial. Dalam bahasa sehari-hari, ini diwujudkan melalui:
1. Polahi: Merujuk pada kelompok masyarakat yang menolak struktur adat dan memilih hidup terpencil di hutan. Meskipun demikian, adat Gorontalo memiliki mekanisme untuk menghormati otonomi kelompok Polahi, asalkan mereka tidak mengganggu wilayah Pohala’a yang telah diatur.
2. Mo'opato Lo Tilamuta: Etika dalam bertamu. Tamu harus dihormati melebihi anggota keluarga sendiri, mencerminkan keramahan yang mendalam dan pentingnya menjalin hubungan diplomatik dan sosial.
Hulontalangi tidak berdiri dalam isolasi. Sejarahnya erat terjalin dengan jaringan perdagangan dan politik regional di Nusantara, menjadikannya pemain kunci dalam dinamika Sulawesi Utara.
Gorontalo adalah pemasok utama hasil hutan (kayu hitam, damar) dan emas dari Suwawa. Ini menarik perhatian pedagang dari Melayu, Cina, hingga Eropa (khususnya VOC). Interaksi dengan VOC, yang dimulai secara sporadis dan kemudian menjadi konflik, pada akhirnya mengubah struktur Limo Lo Pohala'a. Meskipun Belanda berusaha menerapkan sistem pemerintahan tunggal, mereka kesulitan karena prinsip Mona'o Mo'opohalaa yang menyebar kekuasaan secara merata di antara lima kerajaan.
Islam masuk ke Hulontalangi diperkirakan sejak abad ke-16, dibawa oleh pedagang dari Ternate dan Arab. Proses Islamisasi berjalan damai dan menyatu dengan adat, melahirkan konsep Adat Bersendi Syara. Ulama (Sarani) memegang kekuasaan moral yang setara dengan Raja. Mereka bertindak sebagai penjaga kemurnian ajaran agama dan etika politik. Tokoh-tokoh ulama besar seringkali dinobatkan sebagai anggota Bate, menjamin integrasi hukum Islam ke dalam Tinomolingo.
Bahkan dalam arsitektur Dulohupa modern, terdapat simbol-simbol yang mewakili rukun Islam dan rukun Iman, menunjukkan bahwa identitas Gorontalo telah menjadi identitas Islam-adat secara fundamental.
Kisah Hulontalangi adalah kisah tentang ketahanan. Ia adalah narasi tentang bagaimana sebuah masyarakat di kepulauan yang strategis berhasil membangun sistem politik yang kompleks, didasarkan pada kedaulatan musyawarah, dan dilindungi oleh kode etik moral yang rigid. Walaupun bentuk kerajaan telah usang, esensi Hulontalangi—prinsip Limo Lo Pohala’a dan Adat Bersendi Syara—terus menjadi fondasi yang kokoh, mengalir dalam setiap napas budaya Gorontalo hingga hari ini.
Melalui warisan ini, masyarakat Gorontalo memastikan bahwa identitas mereka, yang telah "ditinggikan" oleh sejarah dan spiritualitas, akan terus lestari.
Salah satu fitur paling revolusioner dari sistem Hulontalangi adalah kemampuan Dewan Bate untuk menanggalkan kekuasaan seorang Raja (Olongia) jika terbukti melanggar 17 prinsip Tolotoli'a. Ini menjamin bahwa kekuasaan tidak absolut dan Raja bertanggung jawab sepenuhnya kepada Adat.
Proses ini, yang dikenal sebagai Mohutulu Lo Olongia (Menurunkan Raja), memiliki tahapan yang sangat formal:
Mekanisme ini menunjukkan bahwa di Hulontalangi, kedaulatan tertinggi berada di tangan sistem (Adat), bukan pada individu (Raja). Hal ini sangat kontras dengan banyak sistem monarki kontemporer di Asia Tenggara pada masa itu.
Hukum adat juga mengatur secara ketat pemisahan antara harta pribadi Raja dan harta negara (Pohala’a). Raja diwajibkan memberikan laporan keuangan secara periodik kepada Bate. Pelanggaran terhadap prinsip Po'oti'o (kejujuran) dalam pengelolaan keuangan negara dianggap sebagai pengkhianatan serius terhadap sumpah suci yang telah diucapkan.
Dana kas negara (sering didapat dari Pajeko dan hasil tambang Suwawa) digunakan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan irigasi di Limboto, bantuan pangan, dan pertahanan Atinggola dan Suwawa.
Kesenian di Hulontalangi memiliki fungsi ganda: estetika dan ritualistik. Setiap gerakan tari atau melodi musik membawa pesan historis dan filosofis yang mendalam.
Tari Bilo adalah tarian penyembuhan (eksorsisme) yang sangat sakral, dilakukan oleh para penari perempuan yang dianggap memiliki kekuatan spiritual. Tarian ini dilakukan ketika terjadi wabah penyakit atau bencana alam besar yang diyakini disebabkan oleh ketidakseimbangan kosmis.
Gerakan Bilo bersifat repetitif dan hipnotis, diiringi oleh mantra dan musik yang minimalis. Tujuannya adalah memohon campur tangan spiritual dan membersihkan wilayah Pohala’a dari pengaruh buruk. Keunikan Bilo adalah ia menunjukkan sinkretisme antara kepercayaan animisme kuno dan nilai-nilai Islam, di mana proses penyembuhan tetap diakhiri dengan doa-doa Islami.
Alat musik utama Gorontalo meliputi Gambus (alat petik yang dipengaruhi budaya Arab/Melayu) dan Polopalo (alat pukul bambu asli Gorontalo).
Seni ukir dan tenun (khususnya Karawo) adalah cerminan kekayaan visual Hulontalangi. Karawo adalah teknik sulaman khas yang membutuhkan ketelitian ekstrem. Motif Karawo seringkali tidak hanya berupa pola geometris, tetapi juga merepresentasikan simbol-simbol adat, seperti motif Payango (mahkota) atau Dulohupa (rumah adat).
Pakaian adat yang menggunakan Karawo adalah penanda status sosial dan kekayaan. Sehelai kain Karawo yang sempurna bisa memakan waktu pengerjaan berbulan-bulan, mencerminkan nilai kesabaran (Monango) yang dijunjung tinggi dalam filosofi Hulontalangi.
Bahasa Gorontalo (Basa Gorontalo) adalah bahasa Austronesia yang kaya, dan memiliki variasi dialek yang mencerminkan keragaman Limo Lo Pohala’a. Meskipun saling memahami, setiap Pohala’a memiliki kekhasan linguistik yang menjadi penanda identitas mereka.
Kekuatan bahasa adalah sebagai alat pemersatu. Dalam sidang Bate, meskipun dialek berbeda, komunikasi selalu dilakukan dengan bahasa Gorontalo murni untuk menegaskan kedaulatan budaya mereka.
Meskipun sebagian besar pengetahuan diwariskan secara lisan (Tanggu), Hulontalangi juga memiliki tradisi penulisan. Beberapa catatan sejarah kuno ditulis menggunakan adaptasi aksara Lontara (Sulawesi Selatan), yang dimodifikasi sesuai fonologi Gorontalo. Aksara ini digunakan untuk mencatat silsilah raja (Tarsila) dan naskah hukum (Tinomolingo) yang sangat penting bagi Dewan Bate.
Setelah kemerdekaan Indonesia dan terutama setelah pembentukan Provinsi Gorontalo, warisan Hulontalangi mengalami revitalisasi. Konsep-konsep kuno diintegrasikan ke dalam tata kelola modern.
Pembagian wilayah administrasi modern (kabupaten/kota) sering kali merefleksikan batas-batas historis Limo Lo Pohala'a. Meskipun batasnya tidak identik, semangat desentralisasi yang dianut oleh pemerintah daerah sangat sesuai dengan prinsip Mona'o Mo'opohalaa (Musyawarah Antar Pohala’a) kuno. Setiap wilayah otonom didorong untuk mempertahankan identitas kultural Pohala’a asalnya.
Pemerintah daerah Gorontalo menjadikan pelestarian Hulontalangi sebagai prioritas. Bahasa Gorontalo wajib diajarkan di sekolah, dan kurikulum lokal mencakup pengenalan mendalam terhadap Pitu Tolotoli’a dan sejarah para Olongia. Ini adalah upaya sadar untuk memastikan bahwa generasi baru memahami bahwa identitas mereka berakar pada kedaulatan adat yang telah berusia berabad-abad.
Kini, Hulontalangi berfungsi sebagai simbol kesatuan. Ia mewakili masa keemasan di mana Gorontalo menjadi kekuatan regional yang disegani, diatur bukan oleh tirani, tetapi oleh musyawarah mufakat yang berlandaskan spiritualitas dan kejujuran. Hal ini memberikan Gorontalo rasa bangga historis yang unik di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Sistem Hulontalangi adalah warisan yang tak ternilai harganya, sebuah model peradaban yang menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi fondasi bagi tata kelola negara yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat.