Kata 'idiot' sering kali terlontar dalam percakapan sehari-hari, baik sebagai ekspresi frustrasi, cemoohan, atau bahkan lelucon. Namun, di balik penggunaannya yang tampak biasa, tersimpan sejarah panjang dan makna yang mendalam serta sering kali menyakitkan. Lebih dari sekadar label yang merendahkan, kata ini menyentuh inti bagaimana kita memahami kecerdasan, perbedaan kognitif, dan empati antar sesama manusia. Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami kompleksitas di balik istilah 'idiot', menelusuri akar sejarahnya, implikasi psikologis dan sosialnya, serta bagaimana kita dapat bergerak melampaui pelabelan yang merugikan menuju pemahaman yang lebih kaya dan inklusif.
Kita hidup di dunia yang semakin kompleks, di mana informasi mengalir tanpa henti dan tuntutan untuk memahami berbagai hal terasa semakin berat. Dalam konteks ini, ketika seseorang kesulitan memahami konsep tertentu, melakukan kesalahan berulang, atau menunjukkan perilaku yang dianggap tidak logis, sering kali respons spontan adalah melabeli mereka sebagai 'idiot'. Namun, apakah pelabelan semacam itu benar-benar akurat? Apakah itu membantu kita memahami akar permasalahan? Atau justru menghalangi kita untuk melihat gambaran yang lebih besar tentang keragaman cara berpikir dan belajar manusia?
Tujuan utama dari tulisan ini bukanlah untuk mengadvokasi penggunaan kata 'idiot' secara lebih positif — karena secara inheren ia membawa konotasi negatif — melainkan untuk membongkar dan menganalisis mengapa kita menggunakan kata ini, apa yang sebenarnya kita maksud saat mengucapkannya, dan bagaimana kita bisa mengganti kecenderungan melabeli dengan sikap yang lebih reflektif, empatik, dan konstruktif. Kita akan menjelajahi berbagai perspektif, mulai dari etimologi kuno hingga penemuan modern dalam psikologi kognitif, untuk memahami bahwa yang sering kali kita sebut 'idiot' mungkin hanyalah manifestasi dari sesuatu yang jauh lebih kompleks: perbedaan kognitif, bias pikiran, kurangnya informasi, atau bahkan kondisi neurodiversitas.
Mari kita mulai perjalanan ini dengan menjelajahi bagaimana kata 'idiot' muncul dan berevolusi, dan bagaimana penggunaannya telah membentuk persepsi kita tentang kecerdasan dan kemampuan manusia sepanjang sejarah.
Untuk benar-benar memahami dampak dan makna 'idiot' di zaman modern, penting untuk menelusuri akarnya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu 'idiōtēs' (ἰδιώτης). Namun, makna aslinya sangat berbeda dari konotasi negatif yang kita kenal sekarang. Dalam konteks Yunani kuno, 'idiōtēs' merujuk pada 'orang pribadi', 'warga negara biasa', atau 'orang awam'. Ini adalah seseorang yang tidak terlibat dalam urusan publik atau politik, tidak memiliki keahlian profesional tertentu, dan lebih fokus pada kehidupan pribadinya.
Konotasi negatif mulai muncul seiring waktu. Di Roma Kuno, kata 'idiota' digunakan untuk merujuk pada seseorang yang tidak terpelajar atau tidak memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Meskipun belum sepenuhnya menghina, ini menandai pergeseran dari sekadar 'orang pribadi' menjadi 'orang yang kurang pengetahuan'. Selama Abad Pertengahan dan periode selanjutnya, maknanya terus bergeser. Kata ini mulai dikaitkan dengan seseorang yang kurang akal atau kecerdasan, terutama dalam konteks formal dan medis.
Pergeseran ini mencerminkan perubahan nilai-nilai sosial di mana keterlibatan publik dan pengetahuan formal menjadi semakin dihargai. Seseorang yang tetap 'pribadi' atau 'awam' dalam masyarakat yang menghargai kontribusi intelektual atau politik mungkin mulai dipandang sebagai seseorang yang kurang dalam aspek-aspek tersebut.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, 'idiot' bahkan digunakan sebagai istilah teknis dalam klasifikasi medis untuk menggambarkan tingkat paling parah dari apa yang saat itu disebut 'retardasi mental' atau 'defisiensi mental'. Skala klasifikasi ini, yang juga mencakup 'imbesil' dan 'moron', didasarkan pada tes IQ dan dianggap sebagai indikator permanen dari kemampuan kognitif seseorang. Seseorang yang diklasifikasikan sebagai 'idiot' dianggap memiliki IQ di bawah 20 atau 25, yang berarti mereka memerlukan perawatan dan pengawasan terus-menerus dan dianggap tidak mampu belajar berbicara atau melakukan tugas-tugas dasar.
Pandangan ini sangat deterministik, mengabaikan potensi perkembangan dan dukungan lingkungan. Anak-anak dan orang dewasa yang diklasifikasikan dengan istilah ini sering kali ditempatkan di institusi, dipisahkan dari keluarga dan masyarakat, dengan sedikit kesempatan untuk pendidikan atau integrasi sosial. Mereka hidup dalam bayang-bayang label yang secara efektif menghilangkan kemanusiaan dan martabat mereka.
Penting untuk ditekankan bahwa klasifikasi ini sekarang sudah usang dan dianggap sangat bermasalah. Istilah-istilah tersebut tidak hanya menghina dan merendahkan, tetapi juga mencerminkan pemahaman yang sangat terbatas dan sering kali bias tentang kecerdasan dan disabilitas. Banyak individu yang pada masa itu diklasifikasikan dengan istilah-istilah ini sebenarnya menderita kondisi yang sekarang kita pahami sebagai bagian dari spektrum neurodiversitas atau disabilitas intelektual yang memerlukan pendekatan yang jauh lebih nuansa dan suportif.
Tragisnya, gerakan eugenika, yang populer di awal abad ke-20, menggunakan klasifikasi ini untuk membenarkan praktik-praktik diskriminatif yang mengerikan, seperti sterilisasi paksa dan segregasi, dengan dalih 'meningkatkan' genetik populasi. Keyakinan bahwa 'kecerdasan' adalah sifat tunggal yang diwariskan dan dapat 'dimurnikan' menyebabkan penderitaan yang tak terhitung bagi jutaan orang. Sejarah kelam ini menunjukkan betapa berbahayanya melabeli individu berdasarkan pemahaman yang dangkal tentang kecerdasan, dan bagaimana kata-kata bisa digunakan untuk melegitimasi penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sejak pertengahan abad ke-20, komunitas medis dan psikologi telah meninggalkan istilah-istilah ini sepenuhnya, menggantinya dengan istilah yang lebih tepat dan manusiawi seperti 'disabilitas intelektual' atau 'perkembangan atipikal'. Pergeseran ini bukan hanya tentang perubahan terminologi, tetapi juga tentang perubahan filosofi: dari pandangan yang berfokus pada 'kekurangan' menjadi pandangan yang lebih menghargai keragaman manusia dan fokus pada dukungan serta potensi individu. Ini adalah pengingat yang kuat tentang bagaimana bahasa dapat membentuk realitas sosial dan pentingnya memilih kata-kata yang memberdayakan, bukan merendahkan.
Salah satu alasan mengapa label 'idiot' sangat problematis adalah karena ia menyederhanakan konsep kecerdasan yang sangat kompleks. Selama bertahun-tahun, tes IQ dianggap sebagai standar emas untuk mengukur kecerdasan, seolah-olah kecerdasan hanyalah satu angka yang statis dan dapat menentukan seluruh potensi seseorang. Namun, pandangan ini kini telah banyak ditentang oleh penelitian dan teori modern, yang menunjukkan bahwa kecerdasan adalah fenomena multi-dimensi dan dinamis.
Psikolog Howard Gardner adalah salah satu tokoh yang paling vokal dalam menentang pandangan sempit tentang kecerdasan. Dalam teorinya tentang Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences), Gardner mengusulkan bahwa kecerdasan tidaklah tunggal, melainkan terdiri dari beberapa jenis yang independen. Ini termasuk:
Teori Gardner menunjukkan bahwa seseorang mungkin "lemah" dalam satu jenis kecerdasan (misalnya, matematika) tetapi sangat kuat dalam jenis lain (misalnya, musik atau interpersonal). Jika kita hanya melihat kelemahan melalui lensa yang sempit, kita mungkin salah melabeli seseorang sebagai 'idiot', padahal mereka mungkin memiliki bakat luar biasa di area lain yang tidak diakomodasi oleh definisi kecerdasan yang sempit yang berfokus pada kemampuan akademis tradisional.
Selain Gardner, para peneliti lain seperti Daniel Goleman telah menyoroti pentingnya kecerdasan emosional (EQ), yang melibatkan kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan informasi emosional untuk memandu pemikiran dan tindakan. Seseorang dengan EQ tinggi mungkin sangat sukses dalam kehidupan pribadi dan profesional, mampu membangun hubungan yang kuat, menyelesaikan konflik, dan menginspirasi orang lain, meskipun skor IQ mereka tidak luar biasa. Mereka mungkin menunjukkan empati yang tinggi, kemampuan beradaptasi, dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Demikian pula, kecerdasan praktis, yaitu kemampuan untuk menemukan solusi efektif untuk masalah sehari-hari di dunia nyata, sering kali tidak tertangkap oleh tes IQ standar. Ini adalah kecerdasan jalanan (street smarts) atau kemampuan untuk "berpikir cepat" dalam situasi tak terduga. Seseorang yang sangat cerdas secara praktis mungkin mampu menavigasi tantangan hidup yang kompleks, memperbaiki masalah yang tidak terduga, atau bernegosiasi dalam situasi sulit, bahkan jika mereka tidak unggul dalam tes akademik. Ini adalah jenis kecerdasan yang sangat berharga dalam kehidupan sehari-hari dan di banyak profesi.
Konsep-konsep ini menegaskan bahwa ada banyak jalan menuju kesuksesan dan pemahaman. Melabeli seseorang 'idiot' tidak hanya tidak adil dan merusak, tetapi juga buta terhadap kekayaan dan keragaman potensi manusia. Ini menghalangi kita untuk melihat dan menghargai nilai unik yang dibawa setiap individu ke dunia. Mengakui spektrum kecerdasan yang luas ini adalah langkah pertama menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai martabat setiap orang.
Dunia modern semakin memahami bahwa otak manusia beroperasi dengan cara yang sangat beragam. Konsep neurodiversitas adalah pengakuan bahwa kondisi seperti Autisme Spektrum, ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder), Disleksia, dan Dispraksia, bukanlah 'kekurangan' atau 'penyakit' yang perlu disembuhkan, melainkan variasi alami dalam neurobiologi manusia. Individu neurodivergen memproses informasi, berinteraksi dengan dunia, dan belajar dengan cara yang mungkin berbeda dari mayoritas (neurotipikal), tetapi perbedaan ini sering kali membawa kekuatan unik dan perspektif yang berharga.
Sebagai contoh, mari kita lihat beberapa kondisi neurodivergent:
Ketika kita menghadapi seseorang yang belajar dengan cara yang tidak konvensional, kesulitan dalam tugas tertentu, atau menunjukkan perilaku yang tampak 'aneh' menurut norma sosial, sangat mudah untuk melabeli mereka dengan istilah yang merendahkan seperti 'idiot'. Namun, seringkali, apa yang kita lihat sebagai 'kesalahan' atau 'kebodohan' sebenarnya adalah manifestasi dari cara otak mereka bekerja secara berbeda. Mereka tidak 'tidak mampu', melainkan 'mampu secara berbeda'.
Kurangnya pemahaman tentang neurodiversitas dapat menyebabkan diskriminasi, pengucilan, dan kegagalan sistem pendidikan dan pekerjaan untuk mengakomodasi kebutuhan individu. Lingkungan yang dirancang hanya untuk neurotipikal dapat menjadi hambatan besar bagi individu neurodivergen untuk menunjukkan potensi penuh mereka. Ini bukan masalah individu, melainkan masalah sistem yang tidak adaptif.
Memahami neurodiversitas adalah langkah krusial dalam meninggalkan mentalitas pelabelan. Ini mendorong kita untuk melihat melampaui permukaan dan mencari tahu bagaimana kita dapat mendukung dan berinteraksi secara efektif dengan semua orang, menghargai kontribusi unik yang dibawa oleh setiap individu, tanpa memandang cara kerja otak mereka. Ini adalah tentang menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif, di mana setiap bentuk kecerdasan dan cara berpikir dihargai.
Salah satu ironi terbesar dalam melabeli orang lain sebagai 'idiot' adalah bahwa bahkan orang yang paling cerdas pun rentan terhadap bias kognitif. Bias kognitif adalah pola pikir sistematis yang menyimpang dari rasionalitas atau penilaian objektif, yang sering kali mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak akurat, tidak logis, atau irasional. Ini adalah 'jalan pintas' mental (heuristik) yang digunakan otak kita untuk memproses informasi dengan cepat dan efisien, namun kadang kala menyebabkan kita membuat kesalahan yang terkadang terlihat "bodoh" dari luar.
Penting untuk memahami bahwa bias kognitif bukanlah tanda kekurangan intelektual, melainkan bagian inheren dari cara kerja otak manusia. Mereka adalah hasil evolusi yang membantu kita membuat keputusan cepat di lingkungan yang kompleks, meskipun kadang-kadang mengorbankan akurasi. Ini berarti semua manusia, tanpa kecuali, dapat menunjukkan perilaku yang bias, bahkan para ahli di bidang mereka.
Beberapa bias kognitif yang relevan meliputi:
Ini hanyalah beberapa contoh dari puluhan bias kognitif yang memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak setiap hari. Penting untuk disadari bahwa bias ini tidak eksklusif untuk orang-orang tertentu; semua manusia, tanpa terkecuali, rentan terhadapnya. Ketika kita melihat seseorang membuat keputusan yang "bodoh" atau tidak logis, sering kali bias kognitif sedang bekerja, bukan kurangnya kecerdasan secara fundamental.
Kesadaran akan bias kognitif adalah langkah penting untuk mengembangkan pemikiran kritis. Ini mengajarkan kita kerendahan hati intelektual – bahwa kita semua memiliki batasan dalam cara kita memproses informasi, dan bahwa kita harus selalu waspada terhadap potensi kesalahan dalam penilaian kita sendiri dan orang lain. Ini adalah pengingat bahwa tidak ada yang sempurna, dan kemampuan untuk mengakui kesalahan serta belajar darinya adalah tanda kecerdasan yang sebenarnya, bukan 'kebodohan'. Ini juga mendorong kita untuk memberikan kelonggaran kepada orang lain, memahami bahwa mereka mungkin juga terperangkap dalam perangkap mental yang sama seperti kita.
Pelabelan seseorang sebagai 'idiot' atau istilah merendahkan lainnya memiliki konsekuensi yang jauh lebih dalam daripada sekadar ucapan singkat. Kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa; mereka dapat membangun atau menghancurkan. Label negatif, terutama yang berkaitan dengan kecerdasan dan kemampuan, dapat meninggalkan bekas luka emosional dan psikologis yang bertahan lama, baik pada individu yang dilabeli maupun pada lingkungan sosial secara keseluruhan. Dampak-dampak ini seringkali tidak terlihat di permukaan, namun mengikis kesejahteraan individu dan kohesi masyarakat.
Singkatnya, pelabelan adalah bentuk kekerasan verbal yang merugikan semua pihak. Ia tidak hanya merusak individu, tetapi juga meracuni hubungan dan menciptakan masyarakat yang kurang empatik dan inklusif. Untuk membangun dunia yang lebih baik, kita harus secara sadar melawan godaan untuk melabeli dan sebaliknya memilih jalur pemahaman, kesabaran, dan dukungan. Ini adalah investasi pada kemanusiaan kita bersama.
Meninggalkan kebiasaan melabeli seseorang sebagai 'idiot' membutuhkan perubahan pola pikir yang mendalam dan pendekatan yang lebih sadar terhadap setiap interaksi kita. Ini adalah sebuah perjalanan yang berkelanjutan menuju empati yang lebih besar, pemahaman yang lebih dalam, dan kerendahan hati intelektual. Dibutuhkan upaya yang konsisten untuk mengubah kebiasaan berbahasa dan pola pikir yang mungkin sudah mendarah daging.
Kunci pertama adalah mengakui bahwa kita semua memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan pemahaman. Tidak ada yang tahu segalanya, dan setiap orang membuat kesalahan, termasuk kita. Mengembangkan 'pola pikir berkembang' (growth mindset) berarti percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan melalui dedikasi, kerja keras, dan pembelajaran, bukan sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah. Ini kontras dengan 'pola pikir tetap' (fixed mindset) yang percaya bahwa kecerdasan adalah bawaan dan tidak dapat diubah.
Ketika Anda berhadapan dengan sesuatu yang Anda anggap "bodoh" atau tidak masuk akal, alih-alih melabeli, paksakan diri Anda untuk mengajukan pertanyaan. Ini akan membantu Anda memahami konteks, alasan, dan perspektif orang lain, yang seringkali jauh lebih kompleks dari yang terlihat di permukaan.
Pendekatan ini membuka ruang untuk dialog, bukan konfrontasi. Ini menunjukkan rasa hormat dan keinginan untuk memahami, dan seringkali mengungkapkan bahwa ada alasan yang valid di balik tindakan atau pemikiran seseorang, meskipun itu berbeda dari Anda atau mungkin tidak sempurna.
Seringkali, apa yang tampak seperti "kebodohan" dari luar sebenarnya adalah hasil dari kurangnya informasi, pengalaman yang berbeda, tekanan situasional yang ekstrem, atau bahkan kondisi internal yang tidak terlihat. Luangkan waktu untuk mencari tahu gambaran lengkapnya.
Bagian penting dari menghindari pelabelan adalah belajar berkomunikasi dengan cara yang dapat dimengerti oleh berbagai jenis orang dan gaya belajar. Ini berarti menjadi komunikator yang sadar dan adaptif.
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain. Coba letakkan diri Anda pada posisi mereka. Bayangkan bagaimana rasanya berada dalam situasi mereka, dengan pengetahuan, pengalaman, sumber daya, dan tantangan yang mereka miliki.
Empati adalah jembatan yang paling kuat menuju pemahaman dan toleransi. Ini membantu kita melihat orang lain sebagai manusia seutuhnya, dengan kerentanan dan kekuatan, bukan hanya kumpulan kekurangan atau kesalahan.
Daripada membuang energi untuk menyalahkan individu atas 'kebodohan' mereka, fokuskan energi pada menemukan solusi untuk masalah yang ada atau untuk memperbaiki sistem yang mungkin gagal. Jika seseorang kesulitan dengan suatu tugas atau konsep, pikirkan pertanyaan-pertanyaan ini:
Pendekatan ini menggeser fokus dari 'siapa yang salah' menjadi 'bagaimana kita bisa memperbaiki ini dan memastikan keberhasilan di masa depan'. Ini adalah pendekatan yang jauh lebih produktif, inklusif, dan pada akhirnya, lebih cerdas.
Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten, kita tidak hanya akan mengurangi penggunaan label-label yang merendahkan, tetapi juga membangun hubungan yang lebih kuat, komunitas yang lebih suportif, dan masyarakat yang lebih cerdas dan berempati secara keseluruhan. Ini adalah investasi pada kemanusiaan kita bersama.
Pendidikan dan media memainkan peran krusial dalam membentuk bagaimana masyarakat memandang kecerdasan, perbedaan, dan penggunaan bahasa. Keduanya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memperkuat stereotip negatif atau, sebaliknya, mempromosikan pemahaman yang lebih dalam, inklusivitas, dan penghargaan terhadap keragaman kognitif manusia. Cara kita dididik dan informasi yang kita konsumsi secara masif memengaruhi cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia.
Sistem pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi agen perubahan yang positif. Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, nilai-nilai, dan cara berpikir siswa.
Ketika pendidikan gagal melakukan hal-hal ini, ia berisiko menghasilkan individu yang cepat menghakimi, kurang empatik, dan tidak siap menghadapi keragaman kognitif di dunia nyata. Ini juga dapat memperpetuasi siklus pelabelan dan diskriminasi.
Media massa, termasuk film, televisi, berita, platform digital, dan media sosial, memiliki dampak yang sangat besar pada opini publik dan pembentukan norma-norma sosial. Apa yang kita lihat, dengar, dan baca secara terus-menerus membentuk pandangan kita tentang dunia dan orang-orang di dalamnya. Sayangnya, seringkali media:
Namun, media juga memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan kebaikan dengan:
Sebagai konsumen media, kita juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi kritis terhadap informasi yang kita terima, mempertanyakan narasi yang disajikan, dan menuntut representasi serta penggunaan bahasa yang lebih baik dari media. Dengan kolaborasi antara pendidikan, media, dan kesadaran publik, kita dapat secara bertahap mengikis penggunaan label yang merugikan dan membangun masyarakat yang lebih cerdas, empatik, dan inklusif.
Sejak zaman kuno, para filsuf telah merenungkan sifat kebijaksanaan, pengetahuan, dan kebodohan. Pemahaman mereka memberikan perspektif yang berharga tentang mengapa melabeli seseorang sebagai 'idiot' adalah tindakan yang dangkal, seringkali tidak akurat, dan tidak produktif. Filsafat mengajak kita untuk menggali lebih dalam makna-makna di balik kata-kata dan konsep-konsep yang kita gunakan sehari-hari.
Salah satu pernyataan paling terkenal dari filsuf Yunani kuno Socrates adalah, "Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak tahu apa-apa." Ini adalah inti dari kerendahan hati intelektual. Socrates, melalui metode tanya jawabnya (dialektika), sering kali menunjukkan bahwa orang-orang yang mengklaim tahu segalanya sebenarnya adalah yang paling bodoh, karena keangkuhan mereka mencegah mereka untuk belajar, mempertanyakan, atau melihat keterbatasan pengetahuan mereka sendiri.
Sebaliknya, orang yang mengakui batas pengetahuannya adalah orang yang bijaksana, karena mereka terbuka untuk inquiry, pertanyaan, dan pertumbuhan. Mereka selalu ingin belajar lebih banyak. Dalam konteks ini, seseorang yang cepat melabeli orang lain sebagai 'idiot' mungkin justru menunjukkan bentuk 'kebodohan' mereka sendiri – yaitu, keengganan untuk mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak mereka pahami, bahwa orang lain mungkin memiliki perspektif yang valid meskipun berbeda, atau bahwa kompleksitas dunia seringkali melampaui pemahaman tunggal.
Filosofi Socrates mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan bukanlah tentang memiliki semua jawaban, tetapi tentang memiliki keberanian untuk bertanya, keinginan untuk memahami, dan kerendahan hati untuk mengakui ketidaktahuan. Orang yang melabeli dengan mudah sering kali menganggap mereka memiliki jawaban, menutup diri dari potensi pembelajaran.
Penting untuk membedakan antara ketidaktahuan (ignorance) dan kebodohan (stupidity). Ketidaktahuan adalah kondisi sementara; seseorang dapat belajar dan mengisi kesenjangan pengetahuan. Ini adalah kurangnya informasi atau pengalaman tentang topik tertentu. Misalnya, seseorang mungkin tidak tahu cara kerja mesin kuantum, tetapi itu tidak membuatnya 'bodoh'. Dengan pendidikan dan upaya, mereka bisa mempelajarinya.
Kebodohan, jika diartikan sebagai ketidakmampuan fundamental untuk belajar atau memahami, adalah konsep yang jauh lebih sulit dan seringkali tidak akurat, terutama dengan pemahaman kita saat ini tentang neuroplastisitas otak dan berbagai bentuk kecerdasan. Seringkali, apa yang kita sebut 'kebodohan' dalam percakapan sehari-hari sebenarnya adalah ketidaktahuan yang dapat diperbaiki, atau manifestasi dari cara berpikir yang berbeda, bukan kurangnya kapasitas intelektual bawaan.
Filsuf seperti Bertrand Russell berpendapat bahwa masalah dunia seringkali bukan karena orang itu bodoh, melainkan karena mereka yakin mereka tahu sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui. Ini mengarah pada dogmatisme dan intoleransi.
Dogmatisme, yaitu kecenderungan untuk memaksakan pendapat atau keyakinan sebagai kebenaran mutlak tanpa mempertimbangkan bukti atau argumen lain, seringkali merupakan akar dari pelabelan 'idiot'. Ketika seseorang dogmatis, mereka menganggap bahwa siapa pun yang tidak setuju dengan mereka pasti salah atau bodoh, karena pandangan mereka adalah satu-satunya yang benar. Ini menutup pintu untuk dialog, diskusi, dan penemuan kebenaran yang lebih kompleks, dan menghentikan proses pembelajaran.
Para filsuf telah lama memperingatkan bahaya pikiran tertutup. Kebijaksanaan sejati terletak pada keterbukaan terhadap ide-ide baru, kesediaan untuk mengubah pikiran berdasarkan bukti, dan kemampuan untuk berdiskusi secara konstruktif dengan mereka yang berbeda pandangan. Ini adalah proses reflektif yang berkelanjutan, bukan status statis yang telah dicapai.
Merenungkan ini, kita menyadari bahwa label 'idiot' adalah tanda kemalasan intelektual. Ia menghindari pekerjaan keras untuk memahami, menyelidiki, dan berempati. Ia mengabaikan kedalaman dan keragaman pengalaman manusia, menggantinya dengan penilaian yang dangkal. Filsafat mendorong kita untuk bergerak melampaui penilaian permukaan dan mencari pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan orang lain.
Perjalanan kita melalui sejarah, psikologi, sosiologi, dan filsafat tentang kata 'idiot' telah menunjukkan satu hal yang sangat jelas: ia adalah label yang dangkal, menyesatkan, dan merugikan. Dari akar etimologisnya yang netral sebagai 'orang pribadi' hingga penggunaannya yang merendahkan dalam klasifikasi medis yang usang dan kejam, dan hingga penggunaannya sehari-hari sebagai cemoohan, kata ini telah menyebabkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan. Ia menyempitkan pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, membatasi potensi individu, dan meracuni interaksi sosial.
Kita telah belajar bahwa kecerdasan bukanlah entitas tunggal yang dapat diukur dengan satu angka. Ia adalah spektrum yang kaya dan beragam, meliputi berbagai jenis kemampuan kognitif, emosional, praktis, dan eksistensial. Pengakuan terhadap neurodiversitas mengajarkan kita bahwa perbedaan dalam cara otak berfungsi adalah variasi alami manusia, bukan kekurangan yang harus dihina atau disembunyikan. Sebaliknya, perbedaan ini seringkali membawa perspektif dan kekuatan unik yang memperkaya masyarakat kita.
Kita juga telah menyadari bahwa bahkan orang yang paling cerdas pun rentan terhadap bias kognitif, yang dapat menyebabkan kesalahan dan penilaian yang salah dalam berbagai situasi. Ini adalah pengingat penting bahwa tidak ada seorang pun yang kebal dari membuat keputusan yang "tidak logis" pada waktu-waktu tertentu. Kesadaran ini harus menumbuhkan kerendahan hati intelektual dalam diri kita, menyadarkan kita bahwa kita semua adalah pelajar seumur hidup.
Dampak pelabelan sangat merusak. Ia menghancurkan harga diri, menghambat pembelajaran, menciptakan isolasi sosial, dan meracuni lingkungan sosial dengan ketidakpercayaan dan ketidakpahaman. Label menutup pintu bagi empati dan pemahaman, menggantikannya dengan prasangka dan penghakiman cepat. Oleh karena itu, tugas kita adalah secara sadar melawan godaan untuk menggunakan label-label semacam itu, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
Membangun dunia yang lebih baik, di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk berkembang, berarti membangun dunia yang lebih empatik dan inklusif. Ini dimulai dengan perubahan pada tingkat individu dan diperluas melalui pendidikan dan media yang bertanggung jawab. Mari kita secara kolektif mengadopsi prinsip-prinsip berikut:
Mari kita hapus kata 'idiot' dari kosakata kita sebagai label yang merendahkan dan menggantinya dengan keinginan tulus untuk memahami, mendukung, dan menghargai keragaman cara berpikir setiap individu. Hanya dengan begitu kita dapat benar-benar tumbuh sebagai individu dan sebagai masyarakat yang lebih cerdas, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi. Ini adalah pilihan yang akan membentuk masa depan interaksi kita, membangun jembatan daripada tembok, dan merayakan kekayaan spektrum kognitif yang menjadikan kita semua unik.