Menyelami Makna dan Implementasi Rukun Terpenting dalam Akad Nikah
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sebuah institusi yang sangat mulia, bukan sekadar kontrak sosial atau kesepakatan hidup bersama. Ia merupakan sebuah perjanjian agung, yang dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai Mithaqan Ghalizhan (perjanjian yang kuat dan kokoh). Fondasi utama dari perjanjian suci ini adalah prosesi yang dikenal sebagai Ijab dan Kabul (Ijab Nikah).
Ijab Nikah adalah momen krusial di mana dua individu, melalui perwakilan dan saksi yang sah, menyatakan kesediaan mereka untuk menerima dan menjalani kewajiban pernikahan di hadapan Allah SWT. Tanpa Ijab Nikah yang sah dan memenuhi seluruh rukunnya, suatu ikatan pernikahan tidak akan diakui secara syariat, meskipun telah didaftarkan secara hukum negara.
Artikel ini hadir sebagai panduan komprehensif untuk memahami secara mendalam seluk-beluk Ijab Nikah. Kita akan mengupas tuntas landasan syariahnya, rukun-rukun yang harus dipenuhi, variasi pandangan fiqh di antara empat mazhab besar, hingga implementasi prosedural dan aspek psikososial dari perjanjian agung ini. Pemahaman yang menyeluruh akan memastikan bahwa setiap langkah menuju mahligai rumah tangga dibangun di atas fondasi keimanan dan kepatuhan syariat yang kokoh.
Kewajiban dan tata cara pernikahan telah ditetapkan secara gamblang dalam sumber-sumber hukum Islam utama: Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Pengakuan terhadap pernikahan sebagai ibadah dan akad harus diucapkan (shighat) menunjukkan betapa pentingnya kejelasan niat dan kesaksian publik.
Meskipun Al-Qur’an tidak merinci lafadz Ijab Kabul secara spesifik, ia meletakkan dasar hukum perlunya akad dan mahar. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa’ ayat 4:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
Ayat ini menyiratkan adanya transfer tanggung jawab dan status melalui sebuah ‘pemberian’ (akad), yang merupakan konsekuensi langsung dari Ijab dan Kabul. Selain itu, konsep "mempergauli dengan ma'ruf" (Surah Al-Baqarah: 229) dan larangan perzinaan menunjukkan bahwa hubungan suami istri harus dilandasi oleh akad yang sah.
Nabi Muhammad SAW memberikan contoh praktis mengenai pentingnya rukun dan kejelasan akad. Hadits yang paling sering dijadikan landasan adalah mengenai rukun-rukun pernikahan, termasuk adanya wali dan saksi.
Hadits dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hadits ini menegaskan bahwa Ijab Kabul bukanlah proses yang dilakukan secara rahasia antara kedua belah pihak, melainkan harus memenuhi syarat formalitas, termasuk pengucapan shighat (Ijab Kabul) yang didengar dan disaksikan oleh pihak-pihak yang berwenang, menjadikannya terikat secara hukum dan syariat.
Rukun adalah elemen fundamental yang tanpanya akad nikah dianggap batal atau tidak sah. Dalam konteks Ijab Nikah, ada lima rukun utama yang harus dipenuhi. Pemenuhan rukun ini tidak dapat ditawar-tawar dan menjadi penentu keabsahan seluruh ikatan.
Syarat mutlak bagi calon suami adalah ia harus beragama Islam (bagi pernikahan yang sah secara mutlak), berakal sehat (tidak gila), baligh, tidak sedang ihram (haji atau umrah), dan bukan mahram bagi calon istri. Selain itu, ia harus mengetahui siapa yang dinikahinya, serta menerima pernikahan tersebut secara sukarela dan jelas, tanpa paksaan atau keraguan. Kerelaan ini diwujudkan melalui pengucapan Kabul.
Syarat bagi calon istri meliputi beragama Islam (atau ahli kitab, meskipun ada perbedaan mazhab), tidak sedang berada dalam masa iddah (penantian setelah cerai atau kematian suami), bukan mahram bagi calon suami, dan jelas identitasnya. Ia juga harus ridha (setuju) atas pernikahan tersebut. Meskipun ridha sering diwakilkan oleh wali, persetujuan dan kerelaan mempelai wanita adalah syarat syar'i yang tidak terpisahkan, bahkan jika ia hanya diwakilkan dengan diamnya ketika walinya memintanya.
Wali adalah pihak yang memiliki hak (dan kewajiban) untuk menikahkan mempelai wanita. Keberadaan wali adalah syarat sah yang mutlak, berdasarkan hadits yang disebutkan sebelumnya. Wali berfungsi sebagai pelindung hak-hak wanita dan menjamin bahwa pernikahan dilakukan sesuai syariat.
Urutan wali sangat ketat dan harus didahulukan yang paling dekat hubungannya (asabah) sesuai urutan fiqh Syafi'i: Ayah kandung, Kakek dari pihak Ayah, Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan), Paman dari pihak Ayah, Anak laki-laki Paman dari pihak Ayah, dst. Jika semua wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat, barulah digunakan Wali Hakim (Wali Adhal).
Kasus Wali Adhal (Enggan): Jika wali nasab yang sah menolak menikahkan wanita tanpa alasan syar’i yang jelas, hak perwalian dapat dipindahkan kepada Wali Hakim (Sultan/Pemerintah), yang di Indonesia diwakili oleh Kepala KUA atau petugas yang ditunjuk.
Saksi berfungsi mengesahkan dan mempublikasikan akad. Tanpa saksi, akad dianggap rahasia dan tidak sah. Saksi harus memenuhi syarat-syarat ketat:
Shighat adalah ungkapan atau lafadz yang diucapkan oleh wali (atau wakilnya) dan calon suami (atau wakilnya). Ini adalah rukun yang paling tampak dalam prosesi Ijab Nikah.
Diucapkan oleh wali (atau wakilnya). Lafadznya harus menggunakan kata-kata yang jelas bermakna penikahan (seperti: "Aku nikahkan engkau..." atau "Aku kawinkan engkau..."). Kalimat Ijab harus tegas, tunai (tidak digantungkan pada syarat lain), dan merujuk pada calon suami yang spesifik.
Diucapkan oleh calon suami. Lafadznya harus sesuai dan menerima Ijab yang telah diucapkan. Misalnya: "Aku terima nikahnya..." atau "Aku terima perkawinannya...". Kabul harus segera diucapkan setelah Ijab tanpa jeda yang lama (kesinambungan/ittishal) dan harus menggunakan lafadz yang menunjukkan penerimaan secara mutlak.
Meskipun semua mazhab sepakat tentang lima rukun di atas, terdapat perbedaan yang signifikan dalam menentukan lafadz (shighat) yang dianggap sah, terutama menyangkut penggunaan kata, bahasa, dan syarat tambahan yang melingkupinya. Perbedaan ini memberikan kekayaan interpretasi dalam hukum Islam, namun di Indonesia umumnya mengacu pada Mazhab Syafi'i.
Mazhab Hanafi cenderung lebih longgar dalam hal lafadz shighat. Mereka membolehkan penggunaan kata-kata selain 'nikah' dan 'kawin' selama kata tersebut secara jelas menunjukkan tujuan pemilikan atau perizinan dalam konteks pernikahan. Misalnya, kata "menjual" atau "memberikan" dapat sah jika disertai niat pernikahan dan disaksikan.
Mazhab Maliki sangat menekankan pada niat dan kerelaan, tetapi dalam shighat, mereka memiliki pandangan yang ketat. Mereka mensyaratkan penggunaan lafadz yang secara eksplisit merujuk pada tujuan akad (yaitu, nikah atau kawin) untuk menghindari kerancuan dengan transaksi jual beli atau hibah.
Mazhab Syafi'i memiliki pandangan yang paling ketat mengenai shighat. Mereka mensyaratkan lafadz yang sangat spesifik dan menghindari penggunaan kata kiasan (kinayah) yang bisa disalahartikan.
Mazhab Hanbali berada di antara Hanafi dan Syafi'i. Mereka memperbolehkan penggunaan lafadz yang jelas merujuk pada pernikahan (seperti 'Hibah' atau 'Jual Beli') jika disertai niat yang jelas, tetapi lebih memilih penggunaan kata 'Nikah' atau 'Kawin'.
Perbedaan-perbedaan di atas menunjukkan bahwa inti dari Ijab Nikah adalah kejelasan niat, kepublikasian (disaksikan), dan pemenuhan rukun. Penggunaan lafadz yang baku (seperti yang disyaratkan Syafi'i) bertujuan untuk menghilangkan ambiguitas dan memastikan bahwa akad yang terjadi adalah ikatan pernikahan yang sah menurut syariat.
Pelaksanaan Ijab Nikah bukan hanya ritual, tetapi sebuah prosedur hukum syariah yang harus diikuti langkah demi langkah. Kerapian dan ketepatan dalam pelaksanaan ini sangat penting agar akad tidak diragukan keabsahannya.
Sebelum Ijab Kabul dilaksanakan, beberapa hal harus dipastikan:
Setelah pembukaan dan khutbah nikah singkat oleh petugas atau ulama, prosesi Ijab Kabul inti dimulai:
Contoh Ijab (Versi Indonesia/Syafi'i): "Ananda [Nama Calon Suami] bin [Nama Ayah Suami], saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak kandung/perwalian saya yang bernama [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Istri], dengan maskawin [Jenis dan Jumlah Mahar] tunai."
Contoh Kabul: "Saya terima nikahnya dan perkawinannya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Istri] dengan maskawin tersebut tunai."
Bagaimana jika wali atau calon suami tidak dapat hadir?
Wakil Wali: Jika wali nasab berhalangan hadir (misalnya karena jarak, sakit, atau urusan penting), ia dapat mewakilkan hak Ijab kepada orang lain (seperti penghulu, kiai, atau kerabat lain) melalui surat kuasa (taukil) yang sah. Wakil ini bertindak atas nama wali dan mengucapkan Ijab seolah-olah wali itu sendiri.
Wakil Suami: Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, calon suami juga dapat mewakilkan Kabulnya kepada orang lain. Namun, ini sangat tidak disarankan dan biasanya dihindari karena Kabul adalah inti dari komitmen pribadi pria. Jika terpaksa, perwakilan harus jelas dan Kabul harus diucapkan atas nama calon suami.
Di Indonesia, Ijab Nikah tidak hanya terikat pada hukum syariat (Fiqh) tetapi juga pada hukum positif negara, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum negara bertujuan untuk menjamin ketertiban administrasi, hak-hak sipil, dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dan keturunan mereka.
Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1/1974, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi umat Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Pencatatan ini adalah formalitas yang memastikan akad syar’i memiliki kekuatan hukum di mata negara (administrasi).
Meskipun akad syar’i (Ijab Kabul) adalah penentu sah atau tidaknya pernikahan di mata agama, pencatatan adalah penentu di mata negara. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan disebut nikah siri (di bawah tangan) dan menimbulkan konsekuensi hukum yang rumit, terutama terkait warisan, hak anak, dan perceraian.
Pejabat KUA (Penghulu) memiliki peran ganda dalam proses Ijab Nikah:
Meskipun idealnya Ijab Kabul diucapkan dalam Bahasa Arab atau terjemahan baku, di Indonesia, jika salah satu pihak (terutama calon suami saat Kabul) mengalami kesulitan bicara atau gagap parah saat mengucapkan shighat, KUA biasanya memiliki prosedur toleransi. Selama niat jelas dan maknanya tersampaikan serta disahkan oleh saksi, akad dapat dianggap sah, sesuai dengan prinsip fiqh yang memudahkan selama tidak melanggar rukun inti.
Ijab Nikah bukan sekadar formalitas lisan; ia adalah titik balik psikologis dan spiritual. Setelah Ijab Kabul, status dua individu berubah drastis, dari orang asing yang diharamkan berinteraksi menjadi pasangan yang halal dan berkewajiban membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Konsep Mithaqan Ghalizhan menekankan bahwa pernikahan adalah janji kepada Allah. Pria yang menerima Ijab Kabul mengambil alih tanggung jawab besar yang sebelumnya diemban oleh ayah atau wali wanita. Ini adalah janji untuk menjaga, menafkahi, melindungi, dan membimbing istri menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Tanggung jawab spiritual ini jauh melampaui kewajiban materi. Ia mencakup pendidikan agama, pengendalian emosi, dan kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tangga. Kesadaran akan bobot janji ini harus tertanam kuat saat pengucapan Kabul.
Pengucapan Ijab Kabul seringkali menjadi momen yang sangat menegangkan (tegang). Ketegangan ini bukan hanya disebabkan oleh hafalan lafadz, tetapi oleh kesadaran implisit akan perubahan besar yang akan terjadi. Kesiapan mental meliputi:
Mahar adalah simbol penghormatan dan pengakuan terhadap wanita. Walaupun seringkali dianggap sebagai 'pembayaran', mahar adalah penanda keseriusan dan niat tulus pria untuk memikul tanggung jawab. Ketika mahar disebutkan dan diterima (baik tunai maupun hutang), ia melengkapi rukun shighat dan memperkuat dimensi finansial dari akad.
Di Indonesia, setelah Ijab Kabul selesai dan dinyatakan sah, seringkali dilanjutkan dengan pembacaan Sighat Taklik Talak. Ini adalah sumpah tambahan yang diucapkan oleh suami, di mana ia menggantungkan jatuhnya talak (cerai) pada syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan pelanggaran hak istri.
Taklik Talak adalah perjanjian yang bukan merupakan bagian dari rukun pernikahan, tetapi merupakan bagian dari hukum positif di Indonesia yang bertujuan melindungi hak-hak istri, terutama jika suami melalaikan kewajiban dasarnya. Taklik Talak hanya berlaku setelah Ijab Kabul sah terjadi.
Meskipun lafadznya bisa bervariasi, inti dari Taklik Talak biasanya mencakup janji suami untuk:
Jika suami melanggar salah satu poin di atas dan istri tidak ridha (mengadukan kepada pengadilan), maka istri dapat mengajukan gugatan cerai (khulu’) berdasarkan alasan yang disepakati dalam Taklik Talak tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa Ijab Kabul adalah penentu sah atau tidaknya pernikahan secara syariat. Taklik Talak hanyalah ikatan tambahan yang berfungsi sebagai alat pengaman hukum di kemudian hari. Tanpa Taklik Talak, pernikahan tetap sah, namun dengan Taklik Talak, hak istri untuk menuntut cerai jika terjadi pelanggaran hak dasar menjadi lebih terjamin secara hukum negara.
Mengapa Islam menetapkan rukun-rukun yang begitu ketat dan lafadz yang harus jelas dalam Ijab Nikah? Kekakuan ini bukan untuk mempersulit, melainkan untuk menjaga kemuliaan dan kepastian hukum dari ikatan suci ini.
Kejelasan lafadz dan kesinambungan Ijab Kabul memastikan tidak ada keraguan sedikit pun (syak) mengenai niat para pihak. Pernikahan adalah akad permanen; ketegasan dalam pengucapan memastikan akad ini kokoh dari awal.
Dengan adanya saksi dan wali, Ijab Nikah menjadi peristiwa yang diketahui publik, menghilangkan sifat rahasia yang menyerupai perzinaan. Publikasi adalah syarat penting dalam Islam untuk membedakan nikah dari perbuatan haram.
Ijab Nikah adalah momen transfer legal dan syar’i dari tanggung jawab perwalian ayah kepada tanggung jawab suami. Proses yang ketat memastikan transisi kewajiban ini diterima dengan sadar oleh calon suami.
Setiap rukun yang dipenuhi, dari kerelaan istri, keadilan saksi, hingga keabsahan wali, mengingatkan para pihak bahwa mereka sedang memasuki gerbang kehidupan yang diatur oleh hukum Allah. Proses Ijab Nikah adalah gerbang pertama menuju ibadah terpanjang dalam hidup seorang Muslim.
Ijab Nikah adalah inti sari dari upacara pernikahan Muslim. Ia adalah ikrar suci yang merangkum ketaatan syariah, janji pribadi, dan penerimaan tanggung jawab besar di hadapan Allah SWT dan seluruh manusia. Pemahaman yang mendalam mengenai rukun dan syarat sahnya Ijab Nikah adalah hal yang wajib dimiliki oleh setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.
Dengan terpenuhinya setiap rukun, serta pemenuhan persyaratan hukum negara, sebuah pernikahan akan berdiri kokoh di atas dua kaki: sah secara syariat dan diakui secara hukum. Kesadaran akan agungnya perjanjian Mithaqan Ghalizhan ini akan menjadi bekal utama bagi pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga, penuh dengan ketenangan, cinta, dan rahmat dari Sang Pencipta.