Dalam khazanah peradaban Islam klasik, studi mengenai tubuh manusia menduduki posisi sentral, tidak hanya sebagai cabang ilmu kedokteran semata, tetapi juga sebagai pintu gerbang menuju pemahaman filosofis tentang penciptaan dan kesempurnaan alam semesta. Disiplin ilmu yang bertanggung jawab atas studi mendalam tentang struktur tubuh ini dikenal dengan istilah Ilmu Tasrih. Secara etimologis, kata 'Tasrih' (تشريح) berasal dari bahasa Arab yang bermakna 'membedah' atau 'mengurai secara terperinci'. Oleh karena itu, Ilmu Tasrih adalah sinonim historis dari ilmu anatomi, yakni studi tentang struktur dan organisasi makhluk hidup.
Ilmu Tasrih tidak sekadar deskriptif; ia adalah fondasi esensial (al-asas al-dharuriyyah) bagi setiap praktisi medis (tabib). Tanpa pemahaman yang kokoh tentang letak, bentuk, dan hubungan antar organ, mustahil seorang dokter dapat melakukan diagnosis yang akurat (tashkhis) atau merancang terapi bedah (jiraha) yang efektif. Para sarjana Muslim klasik, seperti Ibnu Sina (Avicenna), Al-Razi (Rhazes), dan Ibn Zuhr (Avenzoar), secara tegas menyatakan bahwa Tasrih adalah tiang utama kedokteran (tibb). Pengetahuan ini memungkinkan mereka mengaitkan fungsi (fisiologi, atau manfa'at al-a'da') dengan struktur (anatomi, atau tasrih).
Penting untuk memahami bahwa Tasrih dalam tradisi Islam memiliki corak yang khas. Meskipun sangat dipengaruhi oleh karya-karya Yunani, terutama Galen, metodologi Tasrih berkembang melalui dua jalur utama: jalur teoretis dan jalur observasi. Jalur teoretis melibatkan interpretasi dan sintesis ulang teks-teks Galenik dan Hippokratean yang telah diterjemahkan secara masif selama masa kejayaan Baitul Hikmah di Baghdad. Sementara jalur observasi, meskipun sering kali dibatasi oleh norma sosial dan agama terkait pembedahan mayat manusia, tetap dilakukan, terutama melalui pembedahan hewan (seperti monyet atau babi, yang struktur anatominya dianggap mirip manusia) dan melalui pengamatan klinis terhadap luka, trauma, atau prosedur bedah yang masih mungkin dilakukan.
Kedudukan Tasrih diperkuat oleh pandangan teologis bahwa memahami seluk-beluk tubuh adalah cara untuk mengagumi kebesaran Sang Pencipta. Kesempurnaan sistem organ, presisi penempatan tulang, dan keteraturan jaringan dipandang sebagai bukti nyata (ayatul-i'jaz) dari kebijaksanaan ilahi. Oleh karena itu, studi anatomi tidak hanya bermanfaat untuk penyembuhan, tetapi juga merupakan bentuk ibadah dan refleksi filosofis yang mendalam.
Sejarah Ilmu Tasrih dalam peradaban Islam dimulai jauh sebelum munculnya tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina. Ia berakar kuat pada gerakan penerjemahan besar-besaran (abad ke-8 hingga ke-10 Masehi) yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah utama dunia. Sumber utama Tasrih adalah karya-karya para dokter Yunani kuno.
Dokter paling berpengaruh dalam Tasrih adalah Claudius Galenus (Galen) dari Pergamon. Meskipun Tasrih Galen banyak didasarkan pada pembedahan hewan (karena ia juga dilarang membedah manusia di Roma), karyanya memberikan kerangka sistematis yang luar biasa. Kitab-kitab Galen, terutama De Anatomicis Administrationibus, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan menjadi kurikulum standar di sekolah-sekolah medis (madrasah ath-thibb). Para penerjemah terkemuka seperti Hunayn bin Ishaq dan Qusta ibn Luqa memainkan peran krusial dalam menyerap dan memurnikan terminologi Tasrih Yunani ke dalam konteks bahasa Arab.
Namun, para sarjana Muslim tidak hanya menelan mentah-mentah. Mereka melakukan kritik dan perbaikan (tahqiq). Misalnya, meskipun Ibnu Sina dalam Al-Qanun fi al-Tibb banyak merujuk Galen, ia juga sering membandingkan dan mengontraskan pandangan tersebut dengan pengamatan empiris yang tersedia pada masanya. Beberapa ahli bedah Andalusia, seperti Abulcasis (Abu al-Qasim al-Zahrawi), dalam kitabnya Al-Tasrif li-man 'Ajiza 'an al-Ta'lif, menyajikan deskripsi anatomi yang sangat praktis, berkaitan langsung dengan prosedur bedah yang ia lakukan, terutama dalam konteks patah tulang dan cedera.
Gambar I: Representasi Skematis Jantung (Al-Qalb) dan Pembuluh Utama, Fokus Studi Tasrih al-'Uruq (Sistem Vaskular).
Bagian pertama dan paling fundamental dalam Tasrih adalah studi tentang sistem tulang (Tasrih al-Azm) dan persendian (Tasrih al-Mafasil). Tulang dianggap sebagai tiang penyangga (al-awamid) yang menentukan bentuk tubuh (al-shakl) dan melindungi organ vital (hifz al-a’da’ al-ra’isiyyah).
Dalam pandangan Tasrih klasik, tulang tersusun dari unsur tanah yang dominan, menjadikannya bagian tubuh yang paling keras dan dingin. Mereka menghitung total jumlah tulang, meskipun angkanya sedikit bervariasi tergantung pada interpretasi Galenik dan penambahan tulang kecil (seperti tulang jari). Ibnu Sina, dalam Kanon, memberikan deskripsi rinci tentang sifat tulang yang keras namun berongga, rongga tersebut (sumsum) berfungsi sebagai tempat produksi humor (cairan tubuh).
Tengkorak (al-jumjumah) adalah wadah bagi organ paling mulia, otak (al-dima’). Para ahli Tasrih sangat detail dalam menggambarkan jahitan (sutur) yang menghubungkan tulang-tulang tengkorak. Jahitan ini, yang disebut darz, dijelaskan memiliki bentuk yang saling mengunci seperti gigi gergaji (terutama pada orang dewasa) untuk memberikan kekuatan maksimal dan stabilitas.
Mereka membagi tengkorak menjadi beberapa tulang utama, menekankan tulang-tulang yang membentuk wajah ('Azm al-Wajh) dan rongga mata (Hajar al-Ayn). Perlindungan yang diberikan oleh tulang tengkorak dianggap sebagai manifestasi kebijaksanaan ilahi, memastikan organ pengatur utama tubuh terlindungi dari benturan luar yang fatal. Studi ini erat kaitannya dengan Tasrih al-A'sab (sistem saraf), karena berbagai foramen (lubang) di dasar tengkorak adalah jalur keluarnya saraf dan pembuluh darah menuju wajah dan tubuh.
Tulang belakang dianggap sebagai 'tulang sumbu' (al-mihwar) tubuh. Ia harus kuat untuk menopang beban kepala dan tubuh, tetapi juga fleksibel untuk memungkinkan gerakan. Tasrih menjelaskan bahwa tulang belakang terdiri dari serangkaian ruas tulang (faqarat) yang tersusun rapi. Masing-masing ruas ini dipisahkan oleh 'bantalan lunak' (yang kita kenal sebagai diskus intervertebralis), memungkinkan fleksi, ekstensi, dan rotasi.
Tulang belakang dibagi menjadi tiga wilayah utama: faqarat al-'unuq (servikal/leher), faqarat al-sadr (toraks/dada), dan faqarat al-qatan (lumbal/pinggang). Para ahli Tasrih mencatat bahwa ruas servikal adalah yang paling mobile, sedangkan ruas toraks lebih kaku karena terhubung dengan tulang rusuk (al-adhla’), yang membentuk sangkar pelindung. Studi tentang kanal di dalam tulang belakang sangat penting karena ia melindungi sumsum tulang belakang (nukha' al-shawk), yang merupakan perpanjangan langsung dari otak dan sumber saraf motorik dan sensorik.
Tulang Rusuk (al-Adhla') dan Tulang Dada (Al-Qass, Sternum) membentuk sangkar toraks. Tasrih mengidentifikasi bahwa beberapa rusuk terhubung langsung ke sternum (rusuk sejati), sementara yang lain terhubung secara tidak langsung atau melayang (rusuk palsu). Fungsi utama sangkar ini adalah melindungi organ vital (jantung dan paru-paru) dan membantu mekanisme pernapasan.
Tasrih Pelvis (Al-Houd) atau tulang panggul digambarkan sebagai struktur besar yang kuat, berfungsi sebagai basis penopang tubuh bagian atas dan menghubungkan kaki. Perbedaan antara pelvis laki-laki dan perempuan juga dicatat, di mana pelvis perempuan cenderung lebih lebar dan dangkal, sebuah adaptasi untuk kehamilan dan persalinan (al-wiladah).
Anggota Gerak (Al-A'da' Al-Harakiyyah) – tangan dan kaki – dijelaskan dengan detail mengenai tulang-tulang panjang (seperti al-'adud - humerus, dan al-fakhidh - femur) serta kompleksitas tulang pergelangan tangan (al-rusgh) dan kaki (al-kā'ab). Pentingnya persendian (mafasil) dijelaskan melalui mekanisme gerakan yang memungkinkan manusia melakukan aktivitas kompleks.
Gambar II: Struktur Tasrih Al-Amud Al-Faqariy (Tulang Belakang) sebagai pusat penopang tubuh.
Tasrih al-Adalat (Anatomi Otot) adalah studi tentang mesin penggerak tubuh. Otot (al-adalah) dianggap sebagai alat yang menggerakkan tulang melalui perintah yang diterima dari otak melalui saraf (al-a'sab). Dalam kedokteran klasik, otot dilihat sebagai organ yang dominan panas dan lembab, berfungsi untuk menarik (jarr) dan mendorong (dafa').
Para ahli Tasrih membedakan dua jenis utama pergerakan: gerakan sadar (harakah iradiyyah), yang dikendalikan oleh kehendak dan otak, dan gerakan tidak sadar (harakah ghayr iradiyyah), yang otomatis, seperti detak jantung atau peristaltik usus. Otot yang menggerakkan anggota gerak termasuk dalam kategori pertama dan memiliki struktur bergaris (walaupun ini adalah deskripsi makroskopis).
Tendon (al-awtar) digambarkan sebagai tali-tali yang keras dan putih, yang merupakan perpanjangan dari serat otot yang menyatukannya ke tulang. Tasrih menekankan bahwa tendon harus kuat karena mereka menahan ketegangan besar. Jika tendon putus atau cedera, gerakan anggota tubuh yang dikendalikan oleh otot terkait akan terhenti total. Ilmu bedah klasik memberikan perhatian besar pada perbaikan tendon karena implikasinya yang langsung pada fungsi vital.
Ibnu Sina secara sistematis menggambarkan ratusan otot, mengelompokkannya berdasarkan fungsi (fleksor atau ekstensor) dan lokasinya. Deskripsinya mencakup:
Tasrih al-Adalat juga mencakup studi tentang fasia dan ligamen (al-arbita), yang merupakan jaringan ikat yang menahan organ dan tulang pada tempatnya. Tanpa Tasrih yang tepat tentang jaringan ikat ini, pemahaman tentang stabilitas sendi tidak mungkin tercapai. Stabilitas sendi, terutama sendi bahu dan pinggul, dikaitkan dengan kombinasi tulang yang saling mengunci dan kekuatan ligamen penopang di sekitarnya.
Jantung (al-Qalb) adalah organ vital (al-ra'is al-awwal) yang merupakan sumber dari 'panas bawaan' (al-hararah al-ghariziyyah) dan pabrik 'Roh Vital' (al-ruh al-hayawani). Tasrih sistem ini, yang disebut Tasrih al-'Uruq, berfokus pada arteri (al-sharayin), vena (al-awridah), dan jantung.
Para ahli Tasrih menggambarkan jantung sebagai organ berotot yang terletak di dada, sedikit miring ke kiri. Jantung memiliki dua sisi utama: sisi kanan yang menampung darah vena (darah nutrisi) dan sisi kiri yang menampung Roh Vital yang dihasilkan dari percampuran darah dan udara (ruh).
Dalam deskripsi Tasrih Galenik yang dominan, darah diperkirakan mengalir dari sisi kanan ke sisi kiri melalui pori-pori kecil yang tak terlihat (masammat ghayr mar'iyyah) di sekat (septum) jantung. Namun, seperti yang telah disebutkan, Ibn al-Nafis kemudian melakukan koreksi monumental.
Ibn al-Nafis menentang konsep pori-pori di septum jantung. Ia berargumen bahwa tidak ada pori-pori yang dapat dilewati darah, dan oleh karena itu, darah dari ventrikel kanan harus mengalir ke paru-paru (melalui arteri paru-paru, shiryan al-ri’ah). Di paru-paru, darah ini bercampur dengan udara (nafas) dan menjadi Roh Vital, kemudian kembali ke ventrikel kiri melalui vena paru-paru (warid al-ri’ah). Ini adalah deskripsi Tasrih pertama mengenai sirkulasi pulmonal (peredaran darah kecil), yang sepenuhnya memperbaiki kesalahan Tasrih yang dianut selama lebih dari seribu tahun.
Al-Sharayin (Arteri): Dideskripsikan sebagai pembuluh yang lebih tebal dan elastis dibandingkan vena, karena mereka membawa Roh Vital yang panas dan berdenyut. Pembuluh utama adalah Aorta (disebut Al-Shiryān al-'Aẓam), yang berasal dari sisi kiri jantung dan mendistribusikan Roh Vital ke seluruh tubuh. Denyut nadi (al-nabdh) yang terasa pada arteri adalah manifestasi langsung dari gerakan jantung dan sangat penting dalam diagnosis (tashkhis) penyakit.
Al-Awridah (Vena): Pembuluh yang lebih tipis dan lembut, bertugas membawa darah nutrisi (darah dari hati/liver) ke seluruh jaringan tubuh. Vena utama adalah Vena Kava, yang dalam tradisi Tasrih disebut al-Wārid al-'Aẓam atau Al-Warid al-Kabidiyyah, karena secara tradisional dipercaya berasal dari hati, pabrik darah.
Pentingnya Tasrih pembuluh darah juga terlihat dalam praktik flebotomi (bekam atau fashd). Pengetahuan yang tepat tentang lokasi vena adalah wajib, karena kesalahan dalam pembedahan vena dapat menyebabkan pendarahan yang tidak terkontrol atau kerusakan saraf di dekatnya.
Organ dalam (al-ahsha) adalah unit fungsional utama yang mengolah materi, menghasilkan nutrisi, dan menyaring limbah. Tasrih tentang organ-organ ini sangat ditekankan karena kegagalan pada salah satu organ vital dapat menyebabkan kematian atau penyakit kronis.
Hati (al-Kabid) dianggap sebagai organ paling penting kedua setelah jantung, karena ia adalah 'pabrik darah' (masna' al-damm) dan produsen humor nutrisi. Hati digambarkan sebagai organ besar, berat, dan lembab, terletak di kuadran kanan atas abdomen, di bawah diafragma.
Tasrih klasik mencatat bahwa hati menerima darah dari usus melalui sistem portal (warid al-bab). Di hati, darah ini diubah menjadi empat humor dasar (darah, empedu kuning, empedu hitam, dan lendir) dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui vena. Para ahli Tasrih juga mencatat adanya beberapa lobus pada hati dan koneksinya yang erat dengan kandung empedu (al-marārah).
Lambung (al-Mi'dah) adalah pusat pencernaan pertama (al-hadd al-awwal). Tasrih lambung menggambarkan organ ini sebagai kantung berotot yang mampu berkontraksi kuat. Ibnu Sina mendeskripsikan tiga lapisan utama lambung: lapisan dalam (mukosa) yang lembut untuk kontak dengan makanan, lapisan tengah (otot) untuk gerakan peristaltik, dan lapisan luar (serosa) untuk perlindungan.
Usus (al-A'ma') dijelaskan sebagai tabung yang panjang dan berliku-liku (al-mustadīrah) yang berfungsi melanjutkan proses pencernaan dan penyerapan nutrisi. Tasrih membedakan usus halus dan usus besar. Usus halus (al-amā' al-daqīqah) ditekankan karena permukaannya yang luas (walaupun mereka tidak memiliki konsep vili seperti modern), yang memaksimalkan penyerapan sari makanan (al-kīlūs) yang kemudian dikirim ke hati.
Ginjal (al-Kulliyat) adalah organ penyaring yang berfungsi memisahkan kelebihan cairan dan limbah (al-fudhūlāt) dari darah. Tasrih menggambarkan ginjal sebagai dua organ berbentuk kacang yang terletak di belakang perut (retroperitoneal), dilindungi oleh lemak.
Fungsi Tasrih ginjal sangat terkait dengan pemahaman tentang urine (al-bawl). Urea (saluran yang membawa urine dari ginjal ke kandung kemih) dijelaskan dengan detail. Kandung Kemih (al-Mathanah) adalah kantung berotot yang berfungsi menampung urine sementara waktu. Pengetahuan Tasrih tentang kandung kemih sangat penting bagi ahli bedah yang menangani batu kandung kemih (ḥaṣāt al-mathānah), sebuah prosedur bedah yang cukup umum pada masa itu.
Jika jantung adalah sumber Roh Vital, maka Otak (al-Dima’) adalah sumber dari Roh Psikis (al-ruh al-nafsani), pusat pikiran, memori, dan sensasi. Tasrih al-A'sab (Anatomi Saraf) berfokus pada otak dan jaringan saraf yang tersebar di seluruh tubuh.
Otak digambarkan sebagai organ yang sangat lunak, lembab, dan dingin, dilindungi oleh tulang tengkorak dan selaput (ghisha’, meninges). Tasrih klasik membagi otak menjadi tiga ventrikel (rongga) yang diyakini menampung dan mengolah berbagai fungsi mental dan spiritual (Teori Ventrikel):
Meskipun pemahaman ini bersifat lebih filosofis daripada struktural modern, deskripsi Ibnu Sina tentang otak besar (al-dima’ al-kabir, cerebrum) dan otak kecil (al-dima’ al-saghir, cerebellum) cukup akurat. Ia juga mencatat adanya dua jenis pembuluh darah utama di otak yang memastikan nutrisi dan pembuangan limbah.
Saraf (al-A'sab) adalah saluran yang membawa perintah motorik dan sensasi. Mereka diyakini berasal dari otak (saraf kranial) dan sumsum tulang belakang (saraf spinal). Tasrih mengidentifikasi pasangan-pasangan saraf yang keluar dari dasar otak dan tengkorak, yang bertugas mengatur indera dan gerakan wajah.
Saraf dibagi menjadi dua fungsi utama: sensorik (membawa rasa sakit, sentuhan, suhu, disebut al-a’sab al-hissiyyah) dan motorik (membawa perintah gerakan ke otot, disebut al-a’sab al-harakiyyah). Kerusakan pada saraf ini langsung dikaitkan dengan kelumpuhan (shalal) atau hilangnya sensasi.
Anatomi mata (al-Ayn) adalah salah satu bagian Tasrih yang paling detail dan dipelajari dengan serius. Para ahli Tasrih, terutama Hunayn bin Ishaq dalam karyanya Sepuluh Traktat tentang Mata, memberikan deskripsi rinci tentang lapisan (tunica) dan humor (cairan) mata.
Mereka mengidentifikasi tiga humor (lensa kristalin, humor aqueous, dan humor vitreous) dan tujuh lapisan yang membentuk mata. Lensa kristalin (al-Jalīdiyah) dianggap sebagai bagian penerima penglihatan yang utama. Tasrih mata ini menjadi basis bagi pengembangan oftalmologi Islam, yang unggul dalam diagnosis dan pengobatan katarak (al-mā’ al-abyadh) melalui prosedur bedah yang canggih (suction method).
Studi tentang Saraf Optik (al-A'sab al-Bashariyya) sangat ditekankan, karena saraf ini adalah penghubung langsung antara mata dan ventrikel anterior otak, memungkinkan persepsi visual. Kesalahan Tasrih yang umum, yang bertahan hingga abad ke-16, adalah keyakinan bahwa lensa terletak di pusat bola mata.
Tasrih al-Tanasul (Anatomi Reproduksi) adalah studi tentang organ yang bertanggung jawab untuk prokreasi (al-nasl). Studi ini membedakan secara ketat antara organ pria dan wanita, dan sangat penting bagi bidang obstetri (qabilah) dan urologi.
Tasrih Pria (Tasrih al-Dhakur) fokus pada testis (al-khusyatayn) sebagai pabrik sperma dan Roh Generatif (al-ruh al-nasliy). Skrotum (al-kīs) digambarkan sebagai kantung pelindung yang terletak di luar tubuh untuk menjaga testis pada suhu yang lebih rendah, sebuah pengamatan fungsional yang akurat. Para ahli Tasrih juga menjelaskan saluran vas deferens dan uretra sebagai jalur yang menghubungkan organ dalam dengan organ luar. Pemahaman Tasrih ini menjadi krusial dalam prosedur bedah hernia dan penyakit saluran kemih.
Organ reproduksi wanita (Tasrih al-Untha) berpusat pada rahim (al-Rahm), yang disebut sebagai 'wadah kehidupan'. Rahim digambarkan sebagai organ berotot dan sangat vaskular (penuh pembuluh darah), yang mampu meregang selama kehamilan (al-haml).
Tasrih klasik sangat fokus pada posisi rahim dan saluran yang menghubungkannya ke ovarium (walaupun fungsi ovarium belum sepenuhnya dipahami seperti modern) dan vagina. Dalam banyak teks, rahim dijelaskan memiliki beberapa 'kantong' atau ruang, yang digunakan untuk menjelaskan kehamilan kembar atau ganda. Pengetahuan mendalam tentang rahim sangat penting untuk memahami siklus menstruasi (al-hayd) dan komplikasi selama persalinan.
Tasrih al-Tanasul memiliki implikasi sosial dan hukum yang besar. Pemahaman tentang Tasrih janin (Tasrih al-Janin) melalui embriologi yang dipengaruhi oleh Galen dan Al-Qur'an (tahapan penciptaan janin) juga menjadi bagian integral dari disiplin ilmu ini. Para ahli Tasrih berusaha memetakan bagaimana organ-organ utama terbentuk dari substansi cairan (nuthfah) dan humor tubuh.
Inti dari Tasrih dalam Kedokteran Islam adalah konsep bahwa tidak ada struktur yang diciptakan tanpa tujuan. Setiap detail anatomi (Tasrih) harus memiliki manfaat fungsional (Manfa'at al-A'da'). Keterkaitan ini adalah kunci untuk memahami penyakit (maradh).
Tasrih memberikan kerangka struktural bagi Teori Humor (al-Akhlat al-Arba'a): Darah (al-dam), Lendir (al-balgham), Empedu Kuning (al-safra'), dan Empedu Hitam (al-sawda'). Setiap organ memiliki peran Tasrih yang spesifik dalam memproduksi, memproses, atau menyimpan humor ini:
Gangguan pada keseimbangan humor (ikhtilāṭ al-mizāj) diyakini disebabkan oleh kerusakan Tasrih, seperti penyumbatan (suddah) pada saluran yang menyebabkan humor menumpuk, atau perubahan bentuk organ yang mengganggu fungsinya. Misalnya, Tasrih ginjal yang menyempit dapat mencegah pembuangan lendir yang berlebihan, menyebabkan penyakit tertentu.
Untuk ahli bedah (jirahi), Tasrih adalah pedoman hidup dan mati. Abulcasis, dalam karyanya, menguraikan bahwa bedah yang berhasil membutuhkan pengetahuan Tasrih yang sempurna mengenai kedalaman sayatan (al-'umq al-qath'), lokasi pembuluh darah utama yang harus dihindari (tawajjuh al-'uruq), dan jalur saraf.
Prosedur Tasrih terapan meliputi:
Pada puncaknya, Ilmu Tasrih melampaui deskripsi semata; ia menjadi disiplin interpretatif yang menghubungkan manifestasi fisik (struktur) dengan kesehatan spiritual dan humoral. Kedalaman studi ini mencerminkan komitmen para sarjana Muslim untuk mencapai kesempurnaan dalam memahami mikrokosmos (tubuh manusia) sebagai cerminan makrokosmos (alam semesta).
Untuk lebih memahami Tasrih dalam konteks Islam klasik, kita harus melihat bagaimana deskripsi struktural (fisik) selalu disandingkan dengan deskripsi temperament (mizaj). Setiap organ memiliki Tasrih struktural yang mendukung temperamentnya.
Paru-paru (al-ri'ah) digambarkan sebagai organ yang sangat ringan, berongga (ismaghi), dan spons. Tasrih menjelaskan sifatnya yang unik: tidak memiliki tulang dan sebagian besar terdiri dari pembuluh dan saluran udara. Temperamen paru-paru dianggap dingin dan lembab, berfungsi untuk mendinginkan ‘Roh Vital’ yang panas dari jantung dan menyediakan udara segar (al-nafas) yang murni. Tasrih strukturnya yang berongga memungkinkan penyerapan dan pendinginan udara ini. Ibnu Sina menekankan Tasrih tentang bronkus (saluran udara) yang bercabang-cabang seperti pohon (shajarat al-nafas) dan koneksi kapiler (meski secara makroskopis) ke jantung melalui sirkulasi paru-paru. Kerusakan Tasrih paru-paru, seperti pengerasan (fibrosis) atau penumpukan lendir (pleurisi), secara langsung mengganggu kemampuan organ untuk melakukan pendinginan, yang dianggap fatal bagi tubuh.
Limpa (al-Tihal) adalah organ yang misterius dalam Tasrih klasik, tetapi penting dalam teori humor. Secara Tasrih, ia terletak di kuadran kiri atas abdomen. Fungsinya adalah menarik sisa Empedu Hitam (al-sawda’) yang berat dari darah yang diproses di hati. Dengan demikian, limpa dianggap sebagai 'filter' untuk humor yang paling berat. Tasrih strukturnya menunjukkan organ yang padat, kehitaman, dan sangat vaskular. Kegagalan limpa untuk menyerap empedu hitam yang cukup akan menyebabkan melankolia (al-malikhulya) atau penyakit kronis lainnya. Karena hubungannya dengan sisa-sisa humor, Tasrih limpa juga dikaitkan dengan darah menstruasi dan pembekuan darah.
Kulit (al-Jald) adalah batas Tasrih tubuh dengan dunia luar. Ia bukan hanya penutup, tetapi organ yang aktif. Tasrih kulit membaginya menjadi lapisan-lapisan (epidermis, dermis). Fungsi Tasrih utamanya adalah sebagai perlindungan (hifz), regulasi suhu (melalui keringat/'araq), dan organ sensorik (melalui saraf). Studi Tasrih kulit juga meliputi rambut (al-sha'r) dan kuku (al-azfār). Sifat Tasrih kulit yang elastis dan pori-pori yang dimilikinya dijelaskan sebagai mekanisme untuk bernapas (kulit bernapas secara halus) dan mengeluarkan uap internal tubuh. Perbedaan Tasrih warna dan tekstur kulit diyakini mencerminkan temperament internal individu (misalnya, kulit kemerahan menunjukkan dominasi darah/panas).
Kelenjar (al-Ghidda), meskipun tidak dipahami secara endokrinologis seperti sekarang, dikenal sebagai struktur penghasil cairan. Kelenjar air liur (ghidda al-li'abiyyah) dan kelenjar getah bening (yang disebut sebagai massa jaringan lunak) dijelaskan Tasrihnya. Kelenjar getah bening yang membengkak dianggap sebagai penanda akumulasi lendir (balgham) atau humor yang terinfeksi. Kelenjar yang paling sering dijelaskan Tasrihnya adalah tiroid dan kelenjar di daerah leher dan ketiak, yang penting dalam diagnosis penyakit seperti skrofula (pembengkakan kelenjar).
Meskipun Tasrih adalah ilmu yang wajib, metode pemerolehannya selalu menjadi subjek perdebatan etika dan agama dalam sejarah Islam.
Para siswa kedokteran memperoleh Tasrih terutama melalui:
Pembedahan mayat manusia (Tasrih al-Mayyit) secara umum dilarang di sebagian besar wilayah Islam karena penghormatan terhadap jenazah dan larangan mencemarkan tubuh. Larangan ini adalah alasan utama mengapa Tasrih Galen (yang didasarkan pada hewan) bertahan begitu lama, bahkan ketika terdapat ketidakakuratan.
Namun, larangan ini tidak bersifat mutlak di semua waktu dan tempat. Ada bukti Tasrih yang dilakukan di daerah tertentu di Persia dan Mesir, sering kali dalam konteks forensik atau setelah hukuman mati. Kasus paling terkenal adalah keberanian Tasrih Ibn al-Nafis. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia membedah manusia, deskripsi Tasrih sirkulasi paru-parunya sangat akurat sehingga hampir mustahil dicapai hanya melalui pembedahan hewan atau spekulasi. Hal ini mengindikasikan adanya praktik Tasrih langsung yang dilakukan oleh beberapa inovator, meskipun berisiko menghadapi penolakan sosial.
Kontroversi ini memunculkan paradoks: Ilmu Tasrih sangat dihormati sebagai fondasi kedokteran, namun metode empirisnya (pembedahan mayat) dibatasi. Inilah yang mendorong para sarjana Muslim untuk mengembangkan Tasrih teoretis yang kuat dan sistematis, melatih kemampuan berpikir deduktif dari teks ke praktik klinis.
Indera pendengaran dan penciuman memiliki Tasrih yang kompleks, yang menghubungkan organ luar dengan otak melalui saraf kranial.
Telinga dibagi menjadi tiga bagian utama. Tasrih klasik menjelaskan telinga luar (al-udhn al-kharijiyyah) sebagai corong yang mengumpulkan suara. Telinga tengah (al-udhn al-mutawassitah) digambarkan mengandung serangkaian tulang kecil yang berfungsi mentransmisikan getaran ke organ internal. Meskipun mereka belum memiliki istilah modern (malleus, incus, stapes), konsep Tasrih tentang mekanisme transmisi suara sudah ada. Telinga dalam, pusat pendengaran sejati, terhubung langsung ke saraf pendengaran yang menuju ke belakang otak. Kerusakan Tasrih pada gendang telinga (ghisha' al-tabl) atau penumpukan kotoran dianggap sebagai penyebab utama tuli.
Hidung (al-khashm) adalah pintu gerbang Tasrih untuk penciuman (al-shamma) dan pernapasan. Struktur tulang hidung dan kartilago yang membentuknya dijelaskan untuk memahami estetika wajah serta fungsi perlindungan. Saraf penciuman (yang mereka kenal sebagai cabang saraf kranial pertama) dideskripsikan sebagai jalur langsung dari rongga hidung ke bagian depan otak. Pentingnya Tasrih lendir hidung ditekankan, karena cairan ini dianggap sebagai limbah (fudhul) otak yang dikeluarkan untuk menjaga keseimbangan humoral di kepala.
Ilmu Tasrih, dalam kerangka kedokteran Islam klasik, adalah bukti nyata bahwa upaya manusia untuk memahami tubuh tidak pernah terpisah dari upaya untuk memahami hakikat diri dan alam semesta. Dari pembedahan yang terbatas hingga kritik cerdas terhadap Galen, para ahli Tasrih menyumbangkan fondasi keilmuan yang tak terhapuskan.
Karya-karya Tasrih, terutama Al-Qanun, bukan hanya menjadi buku teks di Timur, tetapi juga di terjemahkan ke Latin (sebagai Canon Medicinae) dan digunakan sebagai kurikulum di universitas-universitas Eropa, seperti Montpellier dan Padua, hingga abad ke-17. Hal ini menunjukkan universalitas dan kedalaman analisis Tasrih yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim.
Warisan Tasrih mendorong pendekatan holistik, di mana struktur fisik bukanlah entitas mati, melainkan bagian dari sistem yang hidup, yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan dan roh. Keindahan Tasrih bukan terletak pada detail mikroskopis, melainkan pada kemampuan untuk menyusun narasi besar tentang keteraturan, tujuan, dan kesempurnaan tubuh manusia.
Dengan demikian, studi tentang Tasrih bukan hanya pelajaran sejarah anatomi, tetapi merupakan penghargaan terhadap tradisi ilmiah yang melihat tubuh sebagai buku teks ilahi, yang setiap halamannya—setiap tulang, setiap pembuluh, dan setiap serat—menceritakan kisah tentang struktur dan fungsi yang dirancang dengan penuh kearifan. Ilmu Tasrih tetap relevan sebagai studi historis yang mengingatkan kita bahwa pemahaman mendalam tentang struktur adalah langkah pertama menuju penyembuhan yang sejati dan menyeluruh.
Penelitian dan penemuan yang dimulai oleh para pelopor Tasrih, terutama koreksi sirkulasi oleh Ibn al-Nafis, membuka jalan bagi revolusi dalam ilmu kedokteran. Walaupun teknologi modern telah melampaui metode observasi mereka, penghargaan terhadap Tasrih sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif, yang mengintegrasikan filsafat, teologi, dan empirisme yang tersedia, adalah penting. Tasrih adalah disiplin yang mulia, mendidik dokter dan filosofi untuk menghormati kerumitan dan keajaiban tubuh manusia. Setiap bagian dari Tasrih, mulai dari tulang yang paling keras hingga urat yang paling halus, berfungsi sebagai bukti dari prinsip dasar kedokteran: bahwa tubuh adalah suatu sistem yang saling terkait, di mana kesehatan tergantung pada harmoni struktural dan fungsional.
Kontinuitas Tasrih dalam sejarah membuktikan bahwa pencarian pengetahuan tentang anatomi adalah perjalanan tanpa akhir, sebuah upaya untuk menyingkap tabir keajaiban penciptaan yang tersembunyi di balik kulit dan daging. Studi tentang organ vital (hati, jantung, otak) dan organ non-vital, serta interaksi mereka melalui sistem vaskular dan saraf, memberikan panduan praktis yang bertahan selama berabad-abad. Ilmu Tasrih, dengan segala keterbatasan historisnya, tetap menjadi tonggak penting yang menjembatani kedokteran kuno dan modern.
Deskripsi Tasrih yang dilakukan oleh Al-Razi dan Ibnu Sina, yang mencakup bukan hanya organ-organ besar tetapi juga detail Tasrih gigi (al-asnan), kuku, dan rambut, menunjukkan tingkat ketelitian yang luar biasa. Gigi, misalnya, dikelompokkan berdasarkan fungsi Tasrihnya (pemotong, penghancur, penggerus) dan dikaitkan dengan humor tertentu—penyakit gigi sering dianggap sebagai manifestasi dari kelebihan lendir (balgham) di kepala. Pemahaman Tasrih ini memungkinkan perkembangan praktik kedokteran gigi yang canggih pada masanya.
Secara keseluruhan, Ilmu Tasrih adalah permata intelektual dari peradaban Islam, sebuah disiplin yang menuntut ketelitian, observasi yang tajam, dan pemikiran filosofis yang mendalam. Ia adalah warisan abadi yang terus memberikan inspirasi, menunjukkan bahwa pengetahuan struktural adalah prasyarat untuk setiap usaha penyembuhan dan pemeliharaan kehidupan.
Meskipun sistem limfatik modern tidak sepenuhnya dipahami oleh Tasrih klasik, para dokter Muslim memiliki konsep tentang 'saluran putih' atau 'pembuluh malamih' (al-malamih) yang membawa cairan bening. Pembuluh ini sering disalahartikan sebagai bagian dari sistem vena atau saluran nutrisi halus, namun Tasrih mereka mencatat keberadaan jaringan pembuluh yang terpisah dari darah utama. Ibn Sina menyebutnya sebagai ‘saluran nutrisi yang sangat halus’ yang bertanggung jawab untuk membawa sisa cairan dari jaringan kembali ke sirkulasi darah.
Pentingnya Tasrih saluran ini terletak pada pemahaman mereka tentang edema (bengkak air) dan akumulasi cairan. Ketika Tasrih malamih tersumbat, humor air (lendir) akan menumpuk di ekstremitas. Pengamatan ini, meskipun kurang detail dalam Tasrih mikroskopis, menunjukkan kecermatan mereka dalam memetakan sirkulasi cairan tubuh di luar sistem vaskular utama. Kelenjar getah bening (yang mereka anggap sebagai benjolan jaringan) juga dipahami berfungsi sebagai filter untuk akumulasi cairan ini.
Diafragma (al-Ḥājiz) adalah struktur Tasrih yang sangat penting, dipandang sebagai ‘pemisah besar’ antara organ vital bagian atas (jantung dan paru-paru) dan organ pencernaan bagian bawah. Secara Tasrih, diafragma adalah lembaran otot yang melekat pada tulang rusuk dan tulang belakang.
Fungsi Tasrih utamanya adalah sebagai pendorong utama pernapasan. Ibnu Sina menggambarkan gerakan diafragma ke bawah saat menarik napas (inspirasi) dan ke atas saat menghembuskan napas (ekspirasi). Tasrih diafragma juga dikaitkan dengan emosi dan tekanan internal. Kejang pada diafragma (yang kita kenal sebagai cegukan) dianggap sebagai gangguan serius pada gerakan Roh Vital. Pemahaman Tasrih tentang lokasi dan fungsi diafragma sangat krusial dalam bedah perut dan dada. Cedera Tasrih pada diafragma sering kali fatal karena mengganggu mekanisme pernapasan dan memungkinkan isi perut masuk ke rongga dada.
Tasrih janin (embriologi) dalam tradisi klasik menggabungkan pengamatan praktis dengan teks teologis dan filosofis. Tali Pusat (al-Sirr atau al-Habl al-Surri) adalah fokus Tasrih yang penting.
Tasrih menjelaskan tali pusat sebagai jembatan yang menghubungkan janin dengan ibu, memungkinkan transfer nutrisi. Mereka secara akurat mengidentifikasi pembuluh darah di dalamnya (vena dan arteri) yang bertugas membawa darah 'murni' dari ibu dan mengembalikan darah 'limbah' dari janin. Setelah kelahiran, Tasrih proses pemotongan dan pengikatan tali pusat dijelaskan sebagai prosedur penting yang harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah pendarahan dan infeksi. Konsep Tasrih mengenai perkembangan organ janin mengikuti prinsip organogenesis: jantung dan hati dianggap terbentuk pertama, diikuti oleh otak, dan kemudian anggota gerak.
Ilmu Tasrih melayani tujuan ganda: praktis dan kontemplatif. Di ranah praktis, ia menyediakan peta jalan yang harus diikuti oleh tabib untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit. Di ranah kontemplatif, Tasrih adalah studi tentang 'kebijaksanaan ciptaan' (al-hikmah al-khalqiyyah). Setiap tendon, setiap ligamen, dan setiap rongga memiliki fungsi Tasrih yang harmonis, menunjukkan desain yang sempurna (itqān al-ṣun').
Ketika Tasrih tulang memungkinkan kekuatan, Tasrih otot memungkinkan gerakan, Tasrih saraf memungkinkan sensasi, dan Tasrih organ internal memastikan pemeliharaan Roh dan Humor. Kerangka Tasrih yang komprehensif ini memastikan bahwa kedokteran Islam bukanlah kumpulan pengobatan sporadis, tetapi sistem holistik berdasarkan pemahaman mendalam tentang struktur internal tubuh. Meskipun modernitas telah membawa detail yang tak terbayangkan melalui mikroskop, penghormatan terhadap Tasrih sebagai sistem pengetahuan yang koheren dari masa keemasan tetaplah penting. Ilmu Tasrih adalah cerminan dari kecemerlangan intelektual yang menghargai tubuh sebagai teater agung kehidupan dan kesadaran.
Keunggulan Tasrih dalam tradisi Islam juga ditunjukkan melalui studi yang sangat detail mengenai Tasrih sendi (mafāṣil). Mereka membedakan sendi yang tidak bergerak (seperti sutur tengkorak), sendi bergerak terbatas (vertebrae), dan sendi yang sangat bergerak (bahu dan panggul). Deskripsi Tasrih mengenai kapsul sendi dan cairan sendi (synovial fluid, yang mereka kenal sebagai cairan pelumas) menjadi dasar bagi ortopedi (perawatan tulang dan persendian) klasik. Tanpa pemahaman Tasrih yang tepat tentang mekanisme sendi, reposisi patah tulang atau dislokasi tidak mungkin dilakukan secara aman.
Tasrih juga memberikan wawasan tentang perbedaan konstitusional antar individu, yang terwujud dalam perbedaan fisik (struktur tubuh). Seseorang dengan Tasrih tubuh yang besar dan padat dianggap memiliki konstitusi yang lebih dingin dan lembab (dominasi lendir), sementara individu yang kurus dan lincah dianggap lebih panas dan kering (dominasi empedu kuning). Hal ini menghubungkan Tasrih fisik dengan teori temperament yang memandu seluruh keputusan pengobatan. Pemahaman Tasrih yang mendalam ini memastikan bahwa pengobatan tidak hanya bersifat simptomatik, tetapi juga disesuaikan dengan konstitusi Tasrih individu.
Selain itu, Tasrih tentang sistem pernapasan (al-tanaffus) lebih jauh diperluas dengan studi Tasrih pada trakea (al-qasbah al-hawā’iyyah) dan laring (al-ḥanjara). Trakea digambarkan sebagai pipa tulang rawan (kartilago) yang mencegah penyempitan dan memungkinkan aliran udara yang konstan ke paru-paru. Tasrih laring, yang terletak di bagian atas trakea, dipahami sebagai alat untuk menghasilkan suara (al-ṣawt), dengan deskripsi tentang pita suara (walaupun terminologinya berbeda) yang bergerak karena perintah dari saraf. Ini adalah contoh sempurna bagaimana Tasrih, ilmu struktur, memberikan dasar bagi ilmu fungsi (fisiologi suara dan napas).
Penguasaan Tasrih adalah lambang dari seorang tabib yang berpengetahuan luas. Tanpa Tasrih, kedokteran hanyalah tebak-tebakan. Dengan Tasrih, ia menjadi seni yang rasional dan ilmiah. Warisan ilmu Tasrih yang ditinggalkan oleh para sarjana klasik adalah harta karun yang tak ternilai, sebuah testimoni terhadap kecerdasan perintis mereka dalam menghadapi kompleksitas tubuh manusia dengan keterbatasan alat dan etika yang ada pada zamannya. Upaya mereka untuk mencatat, mengkritik, dan memperbaiki pengetahuan anatomi Yunani membentuk tulang punggung kedokteran global selama lebih dari enam abad.