ILO: Keadilan Sosial dan Pekerjaan Layak Global

Pengantar: Pilar Keadilan Sosial Dunia

Dalam lanskap kompleks hubungan kerja global, di mana dinamika ekonomi, sosial, dan politik terus berubah, peran Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tetap krusial dan tak tergantikan. Didirikan pada sebagai bagian dari Perjanjian Versailles pada tahun 1919, setelah kehancuran Perang Dunia Pertama, ILO muncul dari pengakuan mendalam bahwa ketidakadilan sosial di tempat kerja adalah ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas global. Para pendiri ILO percaya teguh bahwa pembangunan ekonomi harus berjalan seiring dengan kemajuan sosial, dan bahwa hak-hak pekerja bukanlah sekadar komoditas yang dapat diperjualbelikan, melainkan hak asasi manusia fundamental yang harus dihormati dan dilindungi. Prinsip dasar ini tetap menjadi inti dari setiap tindakan dan kebijakan yang diemban oleh organisasi ini hingga kini.

Sebagai salah satu badan khusus tertua di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan yang pertama di antara badan-badan PBB yang bergabung setelah pembentukannya pasca-Perang Dunia Kedua, ILO memiliki keunikan yang membedakannya dari organisasi internasional lainnya: struktur tripartitnya. Ini berarti bahwa keputusan dan kebijakan ILO tidak hanya dibentuk oleh perwakilan pemerintah, tetapi juga oleh perwakilan dari organisasi pekerja (serikat buruh) dan organisasi pengusaha. Pendekatan inklusif ini memastikan bahwa suara dan perspektif dari semua pemangku kepentingan utama di dunia kerja didengar dan dipertimbangkan, menghasilkan solusi yang lebih relevan, berkelanjutan, dan diterima secara luas. Model tripartit ini adalah fondasi yang kokoh bagi legitimasi dan efektivitas kerja ILO dalam skala global.

Selama lebih dari satu abad keberadaannya, ILO telah menjadi garda terdepan dalam merumuskan dan mempromosikan "Pekerjaan Layak" (Decent Work) sebagai tujuan utama pembangunan. Konsep Pekerjaan Layak ini jauh melampaui sekadar memiliki pekerjaan; ia mencakup hak-hak dasar di tempat kerja, kesempatan kerja yang produktif dengan upah yang adil, keamanan di tempat kerja, perlindungan sosial, serta kebebasan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan kerja mereka. Ini adalah visi holistik yang mengakui martabat intrinsik setiap individu pekerja dan kontribusi vital mereka terhadap masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, mandat ILO terus berkembang untuk mengatasi tantangan-tantangan baru yang muncul dalam dunia kerja yang semakin kompleks dan saling terhubung. Dari isu-isu klasik seperti upah minimum dan jam kerja, hingga masalah kontemporer seperti dampak teknologi digital, migrasi tenaga kerja, ekonomi informal, perubahan iklim, dan pekerjaan paksa modern, ILO terus beradaptasi dan berinovasi. Melalui instrumen-instrumennya—konvensi dan rekomendasi internasional—serta program-program kerja sama teknis, riset, dan advokasi, ILO berupaya menciptakan kerangka kerja global yang adil dan manusiawi bagi semua pekerja, di mana pun mereka berada. Artikel ini akan menjelajahi secara mendalam sejarah, struktur, prinsip, program, serta relevansi ILO dalam membentuk masa depan pekerjaan yang lebih baik.

Sejarah dan Evolusi Organisasi Perburuhan Internasional

Sejarah ILO adalah cerminan dari evolusi pemikiran tentang hubungan antara ekonomi, masyarakat, dan keadilan sosial. Akar pendiriannya terletak pada pergolakan sosial dan politik awal abad ke-20, yang ditandai oleh industrialisasi pesat, kondisi kerja yang seringkali brutal, dan meningkatnya kesadaran akan kebutuhan perlindungan pekerja.

A. Kelahiran di Tengah Perang dan Gejolak Sosial (1919)

Ide untuk sebuah organisasi buruh internasional sebenarnya sudah muncul jauh sebelum tahun 1919. Para pemikir sosial dan aktivis buruh di abad ke-19 sudah mulai menyuarakan perlunya standar kerja internasional untuk mencegah "perlombaan menuju titik terendah" (race to the bottom), di mana negara-negara bersaing dengan menurunkan standar upah dan kondisi kerja untuk menarik investasi. Namun, baru setelah Perang Dunia Pertama, ide ini mendapatkan momentum politik yang kuat.

Perang Dunia Pertama (1914-1918) mengungkap secara gamblang kerapuhan tatanan internasional dan korelasi antara ketidakadilan sosial dengan konflik. Jutaan orang kehilangan nyawa, dan mereka yang selamat seringkali dihadapkan pada kondisi kemiskinan dan eksploitasi. Di tengah keinginan kuat untuk membangun perdamaian abadi, para pemimpin dunia menyadari bahwa perdamaian politik tidak akan lestari tanpa perdamaian sosial. Perjanjian Versailles, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia Pertama pada tahun 1919, bukan hanya mengatur batas-batas negara dan reparasi perang, tetapi juga mencakup bagian penting tentang Organisasi Perburuhan Internasional.

Prakata pada Konstitusi ILO, yang merupakan bagian XIII dari Perjanjian Versailles, menyatakan dengan jelas: "Whereas universal and lasting peace can be established only if it is based upon social justice" (Mengingat perdamaian universal dan abadi hanya dapat dibangun jika didasarkan pada keadilan sosial). Pernyataan ini menjadi landasan filosofis dan moral bagi keberadaan ILO. Konstitusi ILO tidak hanya menetapkan tujuannya tetapi juga struktur tripartitnya yang unik, yang merupakan inovasi revolusioner pada saat itu.

B. Masa Antar Perang dan Kontribusi Awal (1919-1939)

Pada dekade-dekade awalnya, ILO di bawah kepemimpinan direktur jenderal pertamanya, Albert Thomas, seorang sosialis Prancis yang bersemangat, dengan cepat membangun reputasinya sebagai organisasi yang aktif dan efektif. Meskipun beroperasi di tengah ketidakstabilan politik dan ekonomi global, termasuk Depresi Hebat pada tahun 1930-an, ILO berhasil mengadopsi sejumlah besar konvensi dan rekomendasi yang membahas isu-isu krusial seperti jam kerja, perlindungan maternitas, kompensasi pekerja, dan larangan kerja anak.

Konvensi Jam Kerja (Industri) tahun 1919 (Konvensi No. 1), yang menetapkan standar 8 jam kerja sehari dan 48 jam seminggu, adalah salah satu pencapaian awal yang paling signifikan. Ini menunjukkan komitmen ILO untuk secara langsung memengaruhi kondisi kerja di negara-negara anggotanya. Selama periode ini, ILO juga mulai mengembangkan keahliannya dalam pengumpulan data dan analisis statistik tentang kondisi kerja, yang menjadi dasar penting bagi pembuatan kebijakan berbasis bukti. Meskipun AS baru bergabung pada tahun 1934, ILO terus tumbuh, memperluas jangkauan geografis dan tematiknya. Pada tahun 1969, ILO dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas kerja kerasnya dalam mempromosikan perdamaian di antara bangsa-bangsa dengan menciptakan keadilan sosial bagi para pekerja.

C. Deklarasi Philadelphia dan Era Pasca-Perang Dunia Kedua

Perang Dunia Kedua kembali mengguncang dunia dan menimbulkan pertanyaan tentang masa depan tatanan global. Untuk menegaskan kembali relevansi dan visi ILO di tengah perubahan lanskap geopolitik, Konferensi Perburuhan Internasional mengadopsi Deklarasi Philadelphia pada tahun 1944. Deklarasi ini, yang kemudian menjadi lampiran konstitusi ILO, bukan hanya menegaskan kembali prinsip-prinsip pendirian ILO tetapi juga memperluas dan memodernisasi mandatnya.

Deklarasi Philadelphia menyatakan bahwa:

• Buruh bukanlah komoditas.
• Kebebasan berekspresi dan berserikat sangat penting untuk kemajuan yang berkelanjutan.
• Kemiskinan di mana pun merupakan ancaman bagi kemakmuran di mana-mana.
• Perang melawan kekurangan harus dilakukan dengan semangat tanpa henti dalam setiap bangsa dan dengan upaya internasional yang berkelanjutan dan terkoordinasi.
• Semua manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan, atau jenis kelamin, memiliki hak untuk mengejar kesejahteraan material dan perkembangan spiritual mereka dalam kondisi kebebasan dan martabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang setara.

Deklarasi ini secara fundamental mengukuhkan hak asasi manusia sebagai inti dari misi ILO dan memperluas fokusnya dari "kondisi kerja" menjadi "kesejahteraan umum." Setelah pembentukan PBB pada tahun 1945, ILO menjadi badan khusus pertama yang berafiliasi dengannya, menjembatani visinya dengan agenda global yang lebih luas untuk pembangunan dan perdamaian.

D. Dekade Pasca-Kolonial dan Globalisasi

Sejak pertengahan abad ke-20, gelombang dekolonisasi melihat banyak negara baru bergabung dengan ILO, membawa perspektif dan prioritas pembangunan yang berbeda. ILO merespons dengan memperluas program kerja sama teknisnya, membantu negara-negara berkembang dalam membangun lembaga-lembaga ketenagakerjaan, melatih tenaga kerja, dan mengembangkan sistem perlindungan sosial.

Era globalisasi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 menghadirkan tantangan baru, termasuk persaingan global yang meningkat, munculnya rantai pasokan global, dan tekanan untuk deregulasi tenaga kerja. ILO menanggapi ini dengan Deklarasi ILO tentang Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja pada tahun 1998, yang menegaskan kembali hak-hak inti pekerja terlepas dari status ekonomi atau tingkat pembangunan suatu negara. Deklarasi ini menjadi panduan penting dalam menghadapi tantangan etika dan sosial globalisasi.

E. Abad ke-21: Menghadapi Masa Depan Pekerjaan

Di abad ke-21, ILO terus berjuang dengan isu-isu baru dan berkembang seperti dampak Revolusi Industri Keempat, pekerjaan platform, ekonomi gig, migrasi tenaga kerja massal, perubahan iklim, dan pandemi global seperti COVID-19. Organisasi ini telah meluncurkan inisiatif seperti "Future of Work Initiative" untuk menganalisis dan merumuskan respons kebijakan terhadap megatren ini, memastikan bahwa visi Pekerjaan Layak tetap relevan dan dapat dicapai di era yang semakin kompleks. Sejarah ILO adalah kisah tentang adaptasi yang konstan, komitmen tak tergoyahkan terhadap keadilan sosial, dan pengakuan yang terus-menerus akan nilai fundamental kerja yang bermartabat bagi semua.

Struktur dan Tata Kelola Unik ILO: Fondasi Tripartit

Salah satu aspek paling fundamental dan inovatif dari ILO adalah struktur tata kelolanya yang unik, yang dikenal sebagai tripartisme. Model ini adalah kunci keberhasilan ILO dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan global, memastikan bahwa kebijakan dan program yang dirumuskan relevan, seimbang, dan dapat diterapkan.

A. Prinsip Tripartisme

Tripartisme di ILO berarti bahwa keputusan dan kebijakan organisasi dibentuk melalui dialog dan konsensus antara tiga kelompok pemangku kepentingan utama:

1. Pemerintah: Diwakili oleh delegasi dari kementerian tenaga kerja atau lembaga pemerintah terkait dari negara-negara anggota. Peran mereka adalah memastikan bahwa kebijakan ILO sejalan dengan kerangka hukum dan kebijakan nasional.
2. Pekerja: Diwakili oleh delegasi dari organisasi serikat buruh atau federasi pekerja. Mereka menyuarakan hak-hak dan kepentingan pekerja, berjuang untuk kondisi kerja yang lebih baik, upah yang adil, dan perlindungan sosial yang komprehensif.
3. Pengusaha: Diwakili oleh delegasi dari organisasi pengusaha atau asosiasi industri. Mereka membawa perspektif dunia usaha, menyoroti tantangan ekonomi dan kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan bisnis dan penciptaan lapangan kerja.

Sistem tripartit ini memastikan bahwa kebijakan ILO mempertimbangkan beragam perspektif dan kepentingan yang seringkali bertentangan, yang pada akhirnya menghasilkan standar dan solusi yang lebih kuat dan dapat diterima secara luas. Ini adalah model dialog sosial yang memfasilitasi kompromi dan kerja sama, daripada konfrontasi.

B. Organ Utama ILO

ILO menjalankan kegiatannya melalui tiga organ utama, yang semuanya beroperasi berdasarkan prinsip tripartit:

1. Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference - ILC)

ILC adalah badan pembuat keputusan tertinggi ILO dan sering disebut sebagai "parlemen perburuhan global". ILC bersidang setiap setiap tahun di Jenewa, Swiss, biasanya pada bulan Juni. Setiap negara anggota diwakili oleh delegasi tripartit yang terdiri dari dua wakil pemerintah, satu wakil pekerja, dan satu wakil pengusaha, ditambah penasihat mereka. Artinya, setiap negara mengirimkan empat delegasi utama yang memiliki hak suara independen.

Fungsi utama ILC adalah:

• Merumuskan dan mengadopsi standar ketenagakerjaan internasional: Ini dilakukan dalam bentuk Konvensi (yang merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya) dan Rekomendasi (yang memberikan panduan kebijakan non-mengikat). Proses ini melibatkan pembahasan mendalam dan negosiasi tripartit yang seringkali memakan waktu beberapa tahun.
• Mengawasi penerapan standar: ILC meninjau laporan yang diajukan oleh negara-negara anggota mengenai bagaimana mereka menerapkan konvensi dan rekomendasi ILO yang telah mereka ratifikasi. Ini adalah mekanisme akuntabilitas yang penting.
• Membahas masalah-masalah sosial dan ketenagakerjaan yang relevan: Setiap tahun, ILC memiliki agenda untuk membahas isu-isu tematik penting yang memengaruhi dunia kerja, seperti Pekerjaan Layak, migrasi tenaga kerja, ekonomi hijau, atau masa depan pekerjaan.
• Mengadopsi resolusi dan kesimpulan: Untuk memberikan panduan dan arah bagi kebijakan ILO di masa depan.
• Memilih anggota Dewan Pengurus: Setiap tiga tahun, ILC memilih anggota non-pemerintah dari Dewan Pengurus.
• Mengadopsi anggaran ILO: ILC memiliki wewenang untuk menyetujui anggaran dan laporan keuangan ILO.

2. Dewan Pengurus (Governing Body - GB)

Dewan Pengurus adalah badan eksekutif ILO. Ia bersidang tiga kali setahun (Maret, Juni, dan November) di Jenewa. GB bertanggung jawab untuk menentukan kebijakan ILO, menyusun agenda Konferensi Perburuhan Internasional, mengawasi pekerjaan Biro Perburuhan Internasional (Kantor ILO), dan menyetujui program kerja serta anggaran sebelum diajukan ke ILC.

Komposisi Dewan Pengurus juga tripartit, terdiri dari 56 anggota utama (28 pemerintah, 14 pengusaha, 14 pekerja) dan 66 anggota pengganti. Dari 28 kursi pemerintah utama, 10 di antaranya secara permanen dipegang oleh negara-negara industri utama (Brasil, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat), sedangkan 18 lainnya dipilih oleh ILC. Perwakilan pekerja dan pengusaha dipilih oleh kelompok masing-masing di ILC.

Peran Dewan Pengurus sangat vital dalam menjaga kelangsungan operasional dan strategis organisasi, memastikan bahwa pekerjaan ILO responsif terhadap kebutuhan negara-negara anggota dan perubahan dinamika global.

3. Biro Perburuhan Internasional (International Labour Office - ILO Office)

Biro Perburuhan Internasional adalah sekretariat permanen ILO dan pusat penelitian, dokumentasi, dan kegiatan operasional organisasi. Dipimpin oleh Direktur Jenderal, saat ini Gilbert F. Houngbo, Biro ini berlokasi di Jenewa dengan jaringan kantor lapangan dan kantor-kantor perwakilan di seluruh dunia.

Tugas-tugas utama Biro Perburuhan Internasional meliputi:

• Persiapan laporan dan dokumen: Untuk Konferensi Perburuhan Internasional dan Dewan Pengurus, termasuk rancangan konvensi dan rekomendasi.
• Pelaksanaan program kerja: Mengimplementasikan keputusan ILC dan Dewan Pengurus, termasuk program kerja sama teknis di negara-negara anggota.
• Penelitian dan publikasi: Melakukan penelitian tentang isu-isu ketenagakerjaan, mengumpulkan data statistik, dan mempublikasikan laporan dan analisis.
• Pemberian keahlian dan bantuan teknis: Memberikan saran dan dukungan kepada negara-negara anggota dalam mengembangkan kebijakan ketenagakerjaan, memperkuat institusi, dan melatih staf.
• Penyebaran informasi: Berperan sebagai pusat informasi global tentang dunia kerja.

Direktur Jenderal dipilih oleh Dewan Pengurus untuk masa jabatan lima tahun, dan memimpin staf internasional yang terdiri dari para ahli di berbagai bidang ketenagakerjaan. Efisiensi dan objektivitas Biro sangat penting untuk mendukung fungsi tripartit ILO secara keseluruhan.

C. Komite dan Komisi Lainnya

Selain organ-organ utama ini, ILO juga memiliki sejumlah komite ahli, komisi, dan pertemuan tripartit sektoral yang lebih kecil. Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (CEACR) adalah salah satu yang paling penting, terdiri dari para ahli hukum independen yang meninjau laporan negara anggota tentang penerapan standar ILO. Mereka memberikan penilaian objektif dan tidak memihak, yang menjadi dasar bagi diskusi di ILC.

Struktur tata kelola ILO, dengan inti tripartitnya, adalah model yang telah teruji dalam waktu. Ia memungkinkan organisasi untuk secara efektif mengatasi tantangan yang kompleks dan seringkali kontroversial di dunia kerja, memastikan bahwa suara dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja sama-sama didengar dan dihargai dalam upaya bersama untuk membangun keadilan sosial.

Mandat dan Prinsip Utama ILO

Mandat ILO, yang berakar pada konstitusinya tahun 1919 dan diperkuat oleh Deklarasi Philadelphia tahun 1944, adalah untuk mempromosikan keadilan sosial di dunia kerja. Mandat ini diwujudkan melalui serangkaian prinsip inti yang membimbing semua kegiatan organisasi.

A. Keadilan Sosial sebagai Fondasi Perdamaian

Prinsip sentral dan paling mendasar dari ILO adalah bahwa "perdamaian universal dan abadi hanya dapat dibangun jika didasarkan pada keadilan sosial." Keadilan sosial di sini dipahami sebagai upaya untuk memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang setara untuk meraih kesejahteraan ekonomi dan sosial, mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, terutama di dunia kerja. Ini bukan hanya tentang mendistribusikan kekayaan secara adil, tetapi juga tentang memastikan perlakuan yang setara, tanpa diskriminasi, dan perlindungan bagi yang paling rentan.

Keadilan sosial dalam konteks ketenagakerjaan mencakup banyak aspek, termasuk:

• Pekerjaan yang produktif dan aman: Setiap orang harus memiliki kesempatan untuk pekerjaan yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar dan berkembang.
• Upah yang adil dan layak: Upah harus mencukupi untuk kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya.
• Kondisi kerja yang manusiawi: Lingkungan kerja yang aman, sehat, dan menghormati martabat pekerja.
• Perlindungan sosial: Akses ke jaminan sosial seperti tunjangan pengangguran, pensiun, dan perawatan kesehatan.
• Kebebasan berserikat dan bernegosiasi secara kolektif: Hak pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pilihan mereka, dan untuk bernegosiasi dengan pengusaha mereka.
• Tidak adanya diskriminasi: Kesempatan yang sama bagi semua, terlepas dari jenis kelamin, ras, agama, kebangsaan, atau karakteristik pribadi lainnya.

B. Deklarasi Philadelphia (1944)

Deklarasi Philadelphia secara signifikan memperluas dan memperkuat mandat asli ILO. Empat prinsip inti yang diabadikan dalam Deklarasi ini menjadi pilar filosofi ILO:

1. Buruh bukanlah komoditas (Labour is not a commodity): Ini adalah penegasan fundamental bahwa manusia bukanlah sekadar faktor produksi yang dapat diperlakukan seperti barang atau jasa. Nilai kerja manusia jauh melampaui biaya ekonominya; ia melibatkan martabat, hak, dan kesejahteraan individu. Prinsip ini menentang segala bentuk eksploitasi dan dehumanisasi di tempat kerja.
2. Kebebasan berekspresi dan berserikat sangat penting untuk kemajuan yang berkelanjutan (Freedom of expression and of association are essential to sustained progress): Hak untuk bersuara dan hak untuk membentuk serta bergabung dengan organisasi pekerja atau pengusaha pilihan seseorang adalah prasyarat untuk dialog sosial yang efektif. Tanpa kebebasan ini, pekerja tidak dapat secara efektif melindungi hak dan kepentingan mereka, dan pengusaha tidak dapat menyampaikan pandangan mereka secara kolektif.
3. Kemiskinan di mana pun merupakan ancaman bagi kemakmuran di mana-mana (Poverty anywhere constitutes a danger to prosperity everywhere): Prinsip ini menekankan saling ketergantungan ekonomi dan sosial global. Kemiskinan di satu wilayah atau negara tidak hanya merugikan penduduk setempat, tetapi juga dapat memicu masalah migrasi, ketidakstabilan politik, dan bahkan menurunkan standar kerja di tempat lain melalui persaingan yang tidak sehat. Ini menyerukan solidaritas global dalam upaya pengentasan kemiskinan.
4. Semua manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan, atau jenis kelamin, memiliki hak untuk mengejar kesejahteraan material dan perkembangan spiritual mereka dalam kondisi kebebasan dan martabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang setara (All human beings, irrespective of race, creed or sex, have the right to pursue both their material well-being and their spiritual development in conditions of freedom and dignity, of economic security and equal opportunity): Ini adalah pernyataan kuat tentang universalitas hak asasi manusia dan kebutuhan untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat, aman secara ekonomi, dan bebas dari diskriminasi. Prinsip ini menjadi dasar bagi banyak konvensi ILO yang menangani diskriminasi dan kesetaraan.

Deklarasi Philadelphia telah menjadi dokumen seminal, mengarahkan kerja ILO jauh melampaui regulasi sederhana menuju visi yang lebih luas tentang keadilan sosial dan pembangunan manusia.

C. Deklarasi ILO tentang Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja (1998)

Pada tahun 1998, ILO mengadopsi Deklarasi tentang Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja (Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work). Deklarasi ini merupakan tonggak penting karena menegaskan bahwa delapan Konvensi ILO tertentu, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, dianggap sebagai hak fundamental yang berlaku untuk semua negara anggota ILO, terlepas dari apakah mereka telah meratifikasi konvensi-konvensi tersebut atau tidak. Ini adalah ekspresi dari konsensus global yang mendalam mengenai hak-hak dasar yang harus dihormati di dunia kerja.

Empat kategori prinsip dan hak fundamental tersebut adalah:

1. Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berunding Bersama (Freedom of Association and the Right to Collective Bargaining):
   • Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat (1948)
   • Konvensi No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (1949)

   Hak-hak ini adalah prasyarat bagi pekerja dan pengusaha untuk dapat secara efektif menyuarakan kepentingan mereka, menegosiasikan kondisi kerja, dan berpartisipasi dalam dialog sosial.

2. Penghapusan Segala Bentuk Kerja Paksa atau Wajib (Elimination of All Forms of Forced or Compulsory Labour):
   • Konvensi No. 29 tentang Kerja Paksa (1930)
   • Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (1957)

   Mencegah perbudakan modern, perdagangan manusia, dan bentuk-bentuk eksploitasi di mana orang dipaksa bekerja di bawah ancaman hukuman atau penahanan, atau dalam kondisi yang tidak mereka setujui secara bebas.

3. Penghapusan Kerja Anak yang Efektif (Effective Abolition of Child Labour):
   • Konvensi No. 138 tentang Usia Minimum (1973)
   • Konvensi No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (1999)

   Berjuang untuk menghapus pekerjaan yang merampas masa kecil anak, potensi mereka, dan martabat mereka, serta pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka.

4. Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (Elimination of Discrimination in Respect of Employment and Occupation):
   • Konvensi No. 100 tentang Kesetaraan Remunerasi (1951)
   • Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) (1958)

   Memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk pekerjaan yang layak, dan bahwa tidak ada seorang pun yang didiskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan nasional, atau asal usul sosial.

Deklarasi 1998 ini menunjukkan komitmen ILO untuk memastikan bahwa hak-hak dasar ini dihormati secara universal sebagai dasar bagi pembangunan sosial-ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Meskipun negara anggota tidak harus meratifikasi konvensi-konvensi ini, mereka memiliki kewajiban untuk menghormati, mempromosikan, dan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.

Melalui mandat dan prinsip-prinsip ini, ILO terus berupaya menjadi katalisator perubahan, mendorong negara-negara, pengusaha, dan pekerja untuk bersama-sama membangun dunia kerja yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan bagi semua.

Konvensi dan Rekomendasi ILO: Instrumen Keadilan Sosial

Instrumen utama ILO untuk mempromosikan keadilan sosial dan pekerjaan layak adalah Konvensi dan Rekomendasi. Ini adalah standar ketenagakerjaan internasional yang dirumuskan secara tripartit dan menjadi landasan bagi undang-undang dan kebijakan ketenagakerjaan di seluruh dunia.

A. Perbedaan Antara Konvensi dan Rekomendasi

Meskipun keduanya adalah hasil dari proses tripartit di Konferensi Perburuhan Internasional, ada perbedaan mendasar antara Konvensi dan Rekomendasi:

• Konvensi (Conventions): Adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum. Ketika sebuah negara anggota meratifikasi sebuah Konvensi, negara tersebut secara hukum terikat untuk menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut dalam undang-undang dan praktik nasionalnya. Negara-negara yang meratifikasi wajib secara teratur melaporkan kepada ILO tentang langkah-langkah yang telah mereka ambil untuk melaksanakan Konvensi. ILO memiliki mekanisme pengawasan yang kuat untuk memantau kepatuhan ini.
• Rekomendasi (Recommendations): Adalah instrumen non-mengikat yang memberikan panduan kebijakan, saran praktis, dan pedoman untuk undang-undang dan praktik nasional. Rekomendasi seringkali melengkapi Konvensi, memberikan detail lebih lanjut tentang bagaimana prinsip-prinsip Konvensi dapat diterapkan, atau menawarkan panduan di bidang-bidang yang belum siap untuk regulasi mengikat. Negara anggota tidak memiliki kewajiban hukum untuk menerapkan Rekomendasi, tetapi mereka diharapkan untuk mempertimbangkannya dalam pengembangan kebijakan mereka.

Konvensi dan Rekomendasi seringkali diadopsi secara berpasangan, dengan Konvensi menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengikat dan Rekomendasi memberikan rincian dan fleksibilitas lebih lanjut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi 190 Konvensi dan 206 Rekomendasi (per data terbaru).

B. Konvensi Fundamental (Core Conventions)

Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi ILO tentang Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja (1998), ada delapan Konvensi inti yang dianggap sebagai fundamental karena mencakup hak-hak asasi manusia dasar di tempat kerja. Konvensi ini berlaku untuk semua negara anggota ILO, terlepas dari apakah mereka telah meratifikasinya, berdasarkan keanggotaan mereka di ILO.

Mari kita bahas beberapa Konvensi fundamental secara lebih rinci, serta beberapa Konvensi penting lainnya:

1. Konvensi No. 87: Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat (1948)

• Tujuan: Melindungi hak pekerja dan pengusaha untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi pilihan mereka tanpa campur tangan dari otoritas publik.
• Cakupan: Menjamin hak untuk membentuk organisasi, membuat anggaran dasar, memilih perwakilan secara bebas, merumuskan program, dan melaksanakan kegiatan tanpa pembubaran atau penangguhan oleh otoritas administratif. Ini adalah fondasi dari setiap sistem dialog sosial yang demokratis.
• Pentingnya: Tanpa kebebasan berserikat, pekerja tidak dapat secara kolektif menyuarakan kepentingan mereka, dan kekuatan tawar-menawar antara pekerja dan pengusaha akan sangat tidak seimbang.

2. Konvensi No. 98: Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (1949)

• Tujuan: Memberikan perlindungan terhadap tindakan anti-serikat pekerja dan mempromosikan hak untuk berunding bersama (collective bargaining).
• Cakupan: Melindungi pekerja dari tindakan diskriminasi karena keanggotaan serikat pekerja, melarang campur tangan pengusaha dalam pembentukan atau fungsi organisasi pekerja, dan mendorong pengembangan mekanisme perundingan bersama.
• Pentingnya: Melengkapi Konvensi No. 87 dengan memastikan bahwa organisasi pekerja dan pengusaha dapat berfungsi secara efektif dan terlibat dalam dialog yang konstruktif untuk menentukan kondisi kerja.

3. Konvensi No. 29: Kerja Paksa (1930)

• Tujuan: Menghapus kerja paksa atau wajib dalam segala bentuknya.
• Cakupan: Mendefinisikan kerja paksa sebagai "semua pekerjaan atau jasa yang dipungut dari seseorang di bawah ancaman hukuman dan untuk mana orang tersebut belum menawarkan dirinya secara sukarela." Ini mencakup perbudakan utang, kerja paksa untuk pembangunan infrastruktur (kecuali dalam keadaan darurat), dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
• Pentingnya: Salah satu konvensi tertua, namun tetap relevan karena kerja paksa terus ada dalam berbagai bentuk modern seperti perdagangan manusia, perbudakan utang, dan eksploitasi migran.

4. Konvensi No. 105: Penghapusan Kerja Paksa (1957)

• Tujuan: Melarang penggunaan kerja paksa sebagai alat koersi politik, mobilisasi tenaga kerja, disiplin kerja, hukuman atas partisipasi dalam pemogokan, atau diskriminasi ras, sosial, nasional, atau agama.
• Cakupan: Menargetkan bentuk-bentuk kerja paksa yang lebih spesifik yang seringkali memiliki motif politik atau diskriminatif.
• Pentingnya: Memperkuat Konvensi No. 29 dengan mengatasi praktik-praktik kerja paksa yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik.

5. Konvensi No. 138: Usia Minimum (1973)

• Tujuan: Menetapkan usia minimum untuk masuk kerja dan memastikan penghapusan kerja anak yang efektif.
• Cakupan: Mengharuskan negara anggota untuk menetapkan usia minimum untuk pekerjaan yang tidak boleh lebih rendah dari usia wajib belajar, dan dalam hal apapun tidak boleh kurang dari 15 tahun (atau 14 tahun untuk negara berkembang tertentu). Untuk pekerjaan yang berbahaya, usia minimum yang lebih tinggi (minimal 18 tahun) ditetapkan.
• Pentingnya: Berusaha melindungi anak-anak dari eksploitasi, memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang memadai, dan memungkinkan mereka berkembang secara fisik dan mental.

6. Konvensi No. 182: Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (1999)

• Tujuan: Menuntut tindakan segera untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
• Cakupan: Mendefinisikan "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" sebagai:
  • Semua bentuk perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, perbudakan utang dan serfdom, serta kerja paksa atau wajib.
  • Pemanfaatan, perekrutan, atau penawaran anak untuk prostitusi, produksi pornografi, atau pertunjukan pornografi.
  • Pemanfaatan, perekrutan, atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan narkoba.
  • Pekerjaan yang, menurut sifatnya atau kondisi pelaksanaannya, kemungkinan akan membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
• Pentingnya: Konvensi ini adalah instrumen ILO yang paling cepat diratifikasi dalam sejarah, menunjukkan konsensus global yang kuat untuk menghapus bentuk-bentuk eksploitasi anak yang paling parah.

7. Konvensi No. 100: Kesetaraan Remunerasi (1951)

• Tujuan: Mempromosikan prinsip "upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama" bagi laki-laki dan perempuan.
• Cakupan: Mewajibkan negara anggota untuk menjamin penerapan prinsip ini melalui undang-undang nasional, perjanjian kolektif, atau kombinasi keduanya.
• Pentingnya: Menangani diskriminasi upah berbasis gender, yang merupakan masalah perburuhan yang meluas dan menghalangi kesetaraan ekonomi perempuan.

8. Konvensi No. 111: Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) (1958)

• Tujuan: Menghapus diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
• Cakupan: Melarang diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan nasional, atau asal usul sosial. Konvensi ini juga memungkinkan negara untuk memperluas daftar ini jika diperlukan.
• Pentingnya: Berusaha menciptakan kesempatan yang setara bagi semua orang di pasar kerja, mempromosikan keberagaman, dan mencegah perlakuan tidak adil yang menghambat potensi individu.

C. Konvensi Penting Lainnya

Selain delapan Konvensi fundamental, ada banyak Konvensi lain yang juga sangat penting dan relevan:

• Konvensi No. 122: Kebijakan Ketenagakerjaan (1964): Menyerukan negara anggota untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan ketenagakerjaan aktif yang bertujuan untuk mempromosikan lapangan kerja penuh, produktif, dan bebas pilihan.
• Konvensi No. 144: Konsultasi Tripartit (Standar Ketenagakerjaan Internasional) (1976): Mendorong konsultasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan standar ketenagakerjaan internasional.
• Konvensi No. 155: Keselamatan dan Kesehatan Kerja (1981): Mengharuskan negara anggota untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan nasional yang komprehensif tentang keselamatan dan kesehatan kerja, dengan tujuan untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
• Konvensi No. 183: Perlindungan Maternitas (2000): Merevisi Konvensi sebelumnya, menetapkan standar modern untuk perlindungan ibu hamil dan pascamelahirkan, termasuk cuti melahirkan, tunjangan maternitas, perlindungan pekerjaan, dan hak menyusui.
• Konvensi No. 189: Pekerja Rumah Tangga (2011): Memberikan hak-hak dasar bagi jutaan pekerja rumah tangga di seluruh dunia, termasuk jam kerja yang wajar, upah minimum, istirahat mingguan, dan jaminan sosial.

D. Mekanisme Pengawasan Standar

ILO memiliki sistem pengawasan yang komprehensif untuk memastikan bahwa negara-negara anggota memenuhi kewajiban mereka sehubungan dengan Konvensi yang telah mereka ratifikasi. Mekanisme ini terdiri dari:

• Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (CEACR): Terdiri dari para ahli hukum independen yang meninjau laporan teknis yang diajukan oleh pemerintah tentang langkah-langkah yang mereka ambil untuk menerapkan Konvensi. CEACR menerbitkan laporan tahunan dengan observasi dan permintaan langsung kepada pemerintah.
• Komite Konferensi tentang Penerapan Standar (CAS): Sebuah komite tripartit yang bertemu selama ILC setiap tahun untuk membahas kasus-kasus pelanggaran standar yang paling serius dan untuk meninjau laporan CEACR. CAS seringkali mengeluarkan kesimpulan yang kuat yang mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan korektif.
• Prosedur Representasi dan Pengaduan: Organisasi pekerja atau pengusaha dapat mengajukan representasi kepada Dewan Pengurus jika mereka percaya bahwa sebuah negara anggota tidak mematuhi Konvensi yang telah diratifikasinya. Negara anggota juga dapat mengajukan pengaduan terhadap negara lain.

Melalui Konvensi, Rekomendasi, dan mekanisme pengawasan yang ketat, ILO terus berupaya untuk meningkatkan kondisi kerja dan melindungi hak-hak pekerja di seluruh dunia, mewujudkan visi keadilan sosial yang menjadi inti keberadaannya. Instrumen-instrumen ini bukan hanya dokumen hukum, tetapi juga alat hidup yang membentuk masa depan pekerjaan bagi jutaan orang.

Agenda Pekerjaan Layak (Decent Work Agenda): Visi ILO Abad ke-21

Pada tahun 1999, ILO secara resmi meluncurkan Agenda Pekerjaan Layak (Decent Work Agenda) sebagai visi dan misi sentralnya untuk abad ke-21. Ini bukan sekadar program, melainkan sebuah kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai tujuan dan kebijakan ILO ke dalam satu visi kohesif: memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang produktif dalam kondisi kebebasan, kesetaraan, keamanan, dan martabat manusia. Agenda Pekerjaan Layak telah diakui secara internasional sebagai elemen kunci dari pembangunan berkelanjutan, terintegrasi ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, khususnya SDG 8 tentang "Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi."

A. Definisi Pekerjaan Layak

Pekerjaan Layak adalah konsep multi-dimensi yang mencerminkan aspirasi orang-orang dalam kehidupan kerja mereka. Ini bukan hanya tentang memiliki pekerjaan, tetapi tentang kualitas pekerjaan tersebut. Pekerjaan Layak adalah pekerjaan yang:

• Produktif: Memberikan kontribusi nyata bagi ekonomi dan masyarakat.
• Memberikan upah yang adil dan penghasilan yang layak: Memungkinkan pekerja dan keluarganya untuk hidup dengan martabat.
• Aman dan sehat: Menjamin lingkungan kerja yang bebas dari risiko dan bahaya yang tidak perlu.
• Menjamin kebebasan dan martabat: Melindungi pekerja dari eksploitasi, diskriminasi, dan pelecehan.
• Memberikan perlindungan sosial: Menjamin akses ke jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, pensiun, dan tunjangan pengangguran.
• Memungkinkan hak untuk bersuara: Memberi pekerja hak untuk berserikat, bernegosiasi secara kolektif, dan berpartisipasi dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan kerja mereka.
• Memberikan kesempatan yang sama: Bagi semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, atau karakteristik lainnya.

Intinya, Pekerjaan Layak adalah tentang menciptakan kondisi di mana pekerjaan tidak hanya menjadi sarana untuk mencari nafkah, tetapi juga sarana untuk pengembangan diri, partisipasi sosial, dan martabat.

B. Empat Pilar Pekerjaan Layak

Agenda Pekerjaan Layak diorganisir di sekitar empat pilar strategis, yang saling terkait dan saling menguatkan. Keempat pilar ini adalah fondasi yang harus dibangun secara bersamaan untuk mencapai tujuan Pekerjaan Layak secara menyeluruh.

1. Mempromosikan Hak di Tempat Kerja (Promoting Rights at Work)

Pilar ini berpusat pada universalitas hak asasi manusia di dunia kerja. Ini berarti memastikan penghormatan terhadap delapan Konvensi Fundamental ILO yang telah dibahas sebelumnya, yaitu:

• Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berunding Bersama: Memberi pekerja dan pengusaha kekuatan untuk bersuara dan bernegosiasi secara kolektif. Tanpa hak-hak ini, pilar-pilar lain akan sulit dicapai karena pekerja tidak memiliki sarana untuk memperjuangkan kepentingan mereka. ILO mendukung negara-negara dalam meratifikasi dan menerapkan Konvensi 87 dan 98, serta memberikan bantuan teknis untuk membangun kapasitas serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
• Penghapusan Kerja Paksa: Menghilangkan segala bentuk eksploitasi di mana orang dipaksa bekerja di bawah ancaman hukuman. Ini mencakup kampanye global melawan perdagangan manusia, perbudakan utang, dan praktik-praktik kerja paksa modern. ILO bekerja dengan pemerintah dan mitra untuk memperkuat undang-undang, meningkatkan penegakan hukum, dan memberikan rehabilitasi kepada korban.
• Penghapusan Kerja Anak: Berusaha untuk mengakhiri eksploitasi anak-anak dalam pekerjaan yang merampas masa kecil, pendidikan, dan kesehatan mereka. ILO, melalui Konvensi 138 dan 182, berupaya meningkatkan usia minimum kerja, melarang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dan mendukung program pendidikan serta perlindungan sosial bagi anak-anak rentan.
• Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan: Memastikan kesempatan yang setara bagi semua orang tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama, asal usul sosial, atau karakteristik lainnya. ILO membantu negara-negara merumuskan kebijakan antidiskriminasi, mempromosikan kesetaraan gender di tempat kerja, dan mengatasi stereotip yang merugikan. Ini juga mencakup advokasi untuk kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan dengan nilai yang sama.

Pilar ini adalah landasan etis dan hukum dari seluruh agenda, memastikan bahwa martabat dan hak asasi manusia pekerja selalu di garis depan.

2. Menciptakan Kesempatan Kerja (Creating Employment Opportunities)

Pilar ini berfokus pada pentingnya menciptakan kondisi bagi pekerjaan yang produktif dan berkelanjutan bagi semua yang ingin bekerja. Ini bukan hanya tentang kuantitas pekerjaan, tetapi juga kualitasnya. ILO berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi haruslah inklusif dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja.

• Kebijakan Makroekonomi untuk Penciptaan Lapangan Kerja: ILO bekerja dengan pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi, fiskal, dan moneter mendukung penciptaan lapangan kerja, investasi yang bertanggung jawab, dan pembangunan usaha berkelanjutan.
• Pengembangan Keterampilan dan Pendidikan Vokasi: Memastikan bahwa tenaga kerja memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja yang berkembang. ILO mendukung program pelatihan kejuruan, pendidikan teknis, dan pengembangan keterampilan seumur hidup untuk meningkatkan kemampuan kerja individu.
• Promosi Usaha Berkelanjutan: Mengakui peran krusial sektor swasta dalam menciptakan lapangan kerja. ILO mempromosikan lingkungan bisnis yang kondusif, mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta mempromosikan praktik bisnis yang bertanggung jawab.
• Pekerjaan Hijau dan Ekonomi Digital: Mengatasi dampak perubahan iklim dan transformasi digital terhadap pasar kerja. ILO mendukung transisi menuju ekonomi hijau yang menciptakan pekerjaan baru dan mempromosikan adaptasi keterampilan untuk pekerjaan masa depan. Ini juga mencakup upaya untuk memahami dan membentuk masa depan pekerjaan dalam ekonomi digital dan platform.

Pilar ini menyoroti hubungan erat antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan ketenagakerjaan, dan pembangunan keterampilan dalam menciptakan masyarakat yang lebih makmur.

3. Memperluas Perlindungan Sosial (Extending Social Protection)

Perlindungan sosial adalah jaring pengaman yang penting bagi pekerja dan keluarga mereka, melindungi mereka dari risiko-risiko kehidupan seperti penyakit, pengangguran, cedera kerja, maternitas, dan usia tua. Pilar ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap perlindungan sosial yang komprehensif.

• Jaminan Sosial: Mempromosikan sistem jaminan sosial yang komprehensif, termasuk pensiun, tunjangan kesehatan, tunjangan pengangguran, tunjangan keluarga, dan tunjangan maternitas. ILO mendukung pengembangan lantai perlindungan sosial nasional (national social protection floors) yang menjamin akses ke layanan kesehatan dasar, pendapatan dasar bagi anak-anak dan orang tua, serta dukungan dasar untuk orang dewasa yang tidak dapat bekerja.
• Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3): Memastikan lingkungan kerja yang aman dan sehat. ILO mengembangkan standar K3 (seperti Konvensi 155 dan 187), memberikan bantuan teknis untuk meningkatkan inspeksi kerja, dan mempromosikan budaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
• Perlindungan Tenaga Kerja: Ini mencakup regulasi jam kerja, upah minimum, kondisi kerja, dan perlindungan bagi pekerja rentan. ILO membantu negara-negara untuk memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan untuk melindungi pekerja, termasuk mereka yang berada di ekonomi informal.
• Perlindungan Pekerja Migran: Mengembangkan kebijakan dan program untuk melindungi hak-hak pekerja migran dari eksploitasi, diskriminasi, dan pelecehan.

Pilar ini memastikan bahwa pekerja tidak dibiarkan rentan terhadap gejolak ekonomi atau risiko pribadi, memberikan keamanan yang memungkinkan mereka untuk hidup dan bekerja dengan damai.

4. Menguatkan Dialog Sosial (Strengthening Social Dialogue)

Pilar ini adalah fondasi metodologis dari seluruh agenda Pekerjaan Layak dan merupakan ciri khas ILO. Dialog sosial adalah semua jenis negosiasi, konsultasi, atau pertukaran informasi antara atau di antara perwakilan pemerintah, pengusaha, dan pekerja mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan sosial.

• Promosi Tripartisme: Mendorong peran dan kapasitas organisasi pekerja dan pengusaha sebagai mitra sosial yang setara dalam dialog dengan pemerintah. ILO memberikan pelatihan dan dukungan kepada serikat pekerja dan organisasi pengusaha untuk memperkuat kemampuan mereka dalam bernegosiasi dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
• Perundingan Bersama: Mendukung pengembangan dan penggunaan perundingan bersama antara pengusaha dan serikat pekerja sebagai mekanisme utama untuk menentukan upah dan kondisi kerja.
• Konsultasi dan Partisipasi: Mendorong pemerintah untuk berkonsultasi dengan mitra sosial dalam perumusan dan implementasi kebijakan ketenagakerjaan dan sosial. Ini dapat terjadi di tingkat nasional, sektoral, atau perusahaan.
• Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan: Mempromosikan mekanisme yang efektif untuk penyelesaian sengketa antara pengusaha dan pekerja, seperti mediasi dan arbitrase, untuk mempromosikan perdamaian industrial.

Pilar dialog sosial memastikan bahwa solusi-solusi yang ditemukan untuk tantangan-tantangan dunia kerja bersifat inklusif, legitimatif, dan berkelanjutan, karena didasarkan pada partisipasi dan persetujuan dari mereka yang paling terpengaruh.

Secara keseluruhan, Agenda Pekerjaan Layak adalah kerangka kerja yang kuat dan relevan untuk membentuk masa depan pekerjaan. Dengan mengintegrasikan keempat pilarnya, ILO berupaya menciptakan dunia di mana pekerjaan adalah sumber martabat, kesempatan, dan keamanan bagi semua.

Bidang-bidang Prioritas dan Program Utama ILO

Untuk mewujudkan Agenda Pekerjaan Layak, ILO melaksanakan berbagai program dan inisiatif di berbagai bidang prioritas, yang mencerminkan tantangan dan peluang dalam dunia kerja global. Bidang-bidang ini terus berkembang seiring dengan perubahan ekonomi dan sosial.

A. Promosi Hak di Tempat Kerja

Ini adalah inti dari mandat ILO, berfokus pada implementasi dan penegakan delapan Konvensi Fundamental yang dibahas sebelumnya. Program-program di bawah prioritas ini meliputi:

• Kampanye Ratifikasi Konvensi Fundamental: ILO secara aktif mendorong negara-negara anggota untuk meratifikasi dan menerapkan Konvensi-konvensi hak fundamental. Meskipun delapan konvensi tersebut mengikat secara prinsipil bagi semua anggota, ratifikasi formal memberikan kekuatan hukum tambahan di tingkat nasional.
• Bantuan Teknis untuk Legislasi: Memberikan dukungan kepada negara-negara dalam merevisi atau menyusun undang-undang ketenagakerjaan mereka agar sesuai dengan standar ILO. Ini mencakup saran ahli tentang kebebasan berserikat, kerja paksa, kerja anak, dan diskriminasi.
• Penguatan Mekanisme Pengawasan: Mendukung lembaga-lembaga nasional seperti inspektorat ketenagakerjaan, pengadilan perburuhan, dan dewan tripartit untuk menegakkan hak-hak pekerja secara efektif. Ini melibatkan pelatihan inspektur, pengembangan kapasitas untuk hakim dan arbiter, serta peningkatan sistem pengaduan.
• Melawan Kerja Paksa dan Perdagangan Manusia: ILO adalah pemain kunci dalam koalisi global untuk memerangi kerja paksa dan perdagangan manusia. Program-programnya meliputi identifikasi korban, pencegahan melalui kesadaran publik dan pendidikan, serta dukungan untuk pemulihan dan reintegrasi korban. Inisiatif seperti "50 for Freedom" telah menggalang dukungan global untuk mengakhiri perbudakan modern.
• Menghapus Kerja Anak: Melalui program-program seperti IPEC (International Programme on the Elimination of Child Labour), ILO bekerja untuk mengidentifikasi anak-anak yang bekerja, menarik mereka dari pekerjaan berbahaya, dan menyediakannya dengan pendidikan atau pelatihan. Fokusnya juga pada mengatasi akar penyebab kerja anak, seperti kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan.
• Promosi Kesetaraan Gender dan Non-Diskriminasi: Program-program ini berupaya mengatasi kesenjangan gender di pasar kerja, mempromosikan upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama, memerangi pelecehan di tempat kerja, dan mendorong partisipasi perempuan dalam posisi kepemimpinan. Ini juga mencakup upaya untuk memastikan non-diskriminasi berdasarkan usia, disabilitas, orientasi seksual, atau HIV/AIDS.

B. Penciptaan Kesempatan Kerja yang Produktif

Prioritas ini berkaitan dengan bagaimana menciptakan pekerjaan yang memadai secara kuantitas dan kualitas, yang dapat diakses oleh semua segmen populasi.

• Kebijakan Ketenagakerjaan Nasional: ILO memberikan dukungan kepada pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan ketenagakerjaan yang komprehensif, yang mengintegrasikan aspek makroekonomi, sektoral, dan lokal untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja.
• Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM): Mengakui UMKM sebagai motor utama penciptaan lapangan kerja. ILO menyediakan pelatihan kewirausahaan, akses ke keuangan, dan dukungan pengembangan bisnis untuk membantu UMKM tumbuh dan menciptakan pekerjaan yang layak.
• Keterampilan untuk Pekerjaan: Menanggulangi ketidakcocokan keterampilan (skills mismatch) melalui program pelatihan vokasi, pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar, dan promosi pembelajaran seumur hidup. ILO juga membantu negara-negara mengantisipasi kebutuhan keterampilan masa depan yang didorong oleh perubahan teknologi dan demografi.
• Pekerjaan Hijau (Green Jobs): Mendorong transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui penciptaan pekerjaan yang berkontribusi pada perlindungan lingkungan. Ini meliputi pekerjaan di sektor energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan pertanian berkelanjutan. ILO mengidentifikasi potensi pekerjaan hijau dan membantu mengembangkan kebijakan untuk mewujudkannya.
• Infrastruktur Publik dan Pekerjaan Intensif: Mendukung investasi dalam proyek-proyek infrastruktur yang intensif tenaga kerja (labour-intensive public works) sebagai cara untuk menciptakan pekerjaan skala besar, terutama di daerah pedesaan dan bagi pekerja yang kurang terampil, sambil membangun aset publik yang berguna.

C. Perluasan Perlindungan Sosial

Memastikan bahwa semua pekerja memiliki akses ke jaminan sosial dan kondisi kerja yang aman.

• Lantai Perlindungan Sosial Nasional (National Social Protection Floors): ILO mempromosikan konsep lantai perlindungan sosial yang menjamin akses universal ke jaminan sosial dasar bagi semua orang. Ini mencakup jaminan pendapatan untuk anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas, serta akses ke layanan kesehatan esensial.
• Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3): ILO bekerja untuk mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja melalui pengembangan standar K3, promosi budaya pencegahan, peningkatan kapasitas inspeksi kerja, dan kampanye kesadaran. Program Vision Zero adalah salah satu inisiatif global yang bertujuan untuk mencapai nol kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
• Perlindungan Tenaga Kerja dan Upah Minimum: Memberikan dukungan teknis untuk perumusan dan implementasi kebijakan upah minimum yang adil, regulasi jam kerja, dan kondisi kerja yang layak. ILO juga terlibat dalam upaya untuk menanggulangi pekerjaan informal dengan memperluas perlindungan sosial dan hak-hak pekerja ke sektor ini.
• Perlindungan Maternitas: Mendorong implementasi Konvensi No. 183 yang melindungi ibu hamil dan menyusui, termasuk cuti berbayar, perlindungan pekerjaan, dan fasilitas menyusui di tempat kerja.

D. Penguatan Dialog Sosial

Pilar ini adalah cara kerja ILO dan merupakan alat penting untuk mencapai tujuan-tujuan lain.

• Pengembangan Kapasitas Mitra Sosial: ILO memberikan dukungan kepada serikat pekerja dan organisasi pengusaha untuk memperkuat kapasitas mereka dalam negosiasi, analisis kebijakan, dan representasi anggotanya. Ini penting untuk memastikan bahwa mereka dapat berpartisipasi secara efektif dalam dialog sosial.
• Promosi Perundingan Bersama: Mendorong penggunaan perundingan bersama sebagai mekanisme utama untuk menentukan upah dan kondisi kerja, baik di tingkat perusahaan, sektoral, maupun nasional.
• Membentuk Institusi Dialog Sosial: Membantu negara-negara dalam membentuk dan memperkuat institusi tripartit seperti dewan ketenagakerjaan nasional, komite K3, dan badan-badan konsultasi lainnya.
• Penyelesaian Sengketa Industrial: Memberikan dukungan dalam pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan damai, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase, untuk mencegah dan menyelesaikan konflik perburuhan.

E. Isu-isu Lintas Sektor dan Inisiatif Global

Selain empat pilar strategis, ILO juga memiliki program-program yang menangani isu-isu lintas sektor yang kompleks:

• Migrasi Tenaga Kerja: ILO bekerja untuk memastikan tata kelola migrasi tenaga kerja yang adil dan efektif, melindungi hak-hak pekerja migran, memerangi eksploitasi, dan mempromosikan kontribusi positif migrasi terhadap pembangunan. Konvensi ILO No. 97 dan 143 adalah instrumen kunci dalam bidang ini.
• Ekonomi Informal: Mengingat sebagian besar pekerja di negara berkembang berada di ekonomi informal, ILO berupaya memperluas perlindungan sosial, mempromosikan transisi ke formalitas, dan memastikan hak-hak dasar bagi pekerja informal. Rekomendasi 204 tentang Transisi dari Ekonomi Informal ke Ekonomi Formal adalah panduan penting.
• Kerja dan Iklim: Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap pekerjaan dan mata pencaharian, serta mempromosikan kebijakan transisi yang adil (just transition) untuk pekerja dan komunitas yang terpengaruh oleh dekarbonisasi ekonomi.
• Masa Depan Pekerjaan: Menanggapi megatren seperti teknologi digital (AI, otomatisasi), demografi, globalisasi, dan perubahan iklim, ILO meluncurkan "Global Commission on the Future of Work" yang menghasilkan laporan seminal pada tahun 2019. Rekomendasi-nya membentuk dasar bagi inisiatif ILO untuk mempersiapkan dunia kerja menghadapi tantangan abad ke-21.
• Respons Krisis: ILO mengembangkan kapasitas untuk merespons krisis kemanusiaan dan ekonomi, seperti konflik, bencana alam, dan pandemi. Ini termasuk program penciptaan lapangan kerja darurat, dukungan mata pencarian, dan rehabilitasi pasca-krisis.

Melalui beragam program ini, ILO tidak hanya menetapkan standar, tetapi juga secara aktif bekerja di lapangan untuk membantu negara-negara anggota mewujudkan visi Pekerjaan Layak bagi setiap individu, di setiap sudut dunia. Ini adalah upaya berkelanjutan yang memerlukan komitmen, inovasi, dan kerja sama dari semua mitra sosial.

Tantangan dan Masa Depan Pekerjaan

Dunia kerja terus-menerus berubah, didorong oleh kekuatan global yang kompleks dan saling terkait. ILO, sebagai organisasi yang berdedikasi untuk keadilan sosial di dunia kerja, menghadapi serangkaian tantangan signifikan yang membentuk agenda dan prioritasnya untuk masa depan. Pemahaman tentang tantangan ini adalah kunci untuk merumuskan respons kebijakan yang relevan dan efektif.

A. Globalisasi dan Rantai Pasok Global

Globalisasi telah menghubungkan ekonomi di seluruh dunia, menciptakan peluang baru tetapi juga menghadirkan tantangan besar bagi hak-hak pekerja. Rantai pasok global yang semakin kompleks seringkali melibatkan banyak negara dan perusahaan, membuat penelusuran tanggung jawab atas kondisi kerja yang buruk menjadi sulit.

• "Race to the Bottom": Persaingan global yang intens dapat mendorong perusahaan dan negara untuk menekan upah dan standar kerja demi menjaga daya saing, menciptakan "perlombaan menuju titik terendah" yang merugikan pekerja.
• Pekerjaan yang Tidak Terlihat: Jutaan pekerja di rantai pasok global, terutama di negara berkembang, bekerja dalam kondisi yang tidak transparan dan rentan terhadap eksploitasi, termasuk kerja paksa dan kerja anak. Konsumen seringkali tidak menyadari kondisi di balik produk yang mereka beli.
• Tata Kelola Global yang Lemah: Kurangnya kerangka kerja tata kelola global yang kuat untuk memastikan penghormatan terhadap standar ketenagakerjaan di seluruh rantai pasok global.

ILO berupaya mengatasi tantangan ini melalui promosi standar ketenagakerjaan internasional, kampanye untuk transparansi rantai pasok, dan dialog dengan perusahaan multinasional untuk mempromosikan praktik bisnis yang bertanggung jawab.

B. Revolusi Industri Keempat dan Transformasi Digital

Kemajuan pesat dalam teknologi—seperti kecerdasan buatan (AI), otomatisasi, robotika, dan platform digital—sedang mengubah secara fundamental sifat pekerjaan. Ini membawa potensi besar untuk peningkatan produktivitas dan penciptaan pekerjaan baru, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran serius.

• Otomatisasi Pekerjaan: Banyak pekerjaan rutin dan berulang berisiko digantikan oleh mesin dan algoritma, berpotensi menyebabkan pengangguran struktural. Pekerja dengan keterampilan rendah atau menengah paling rentan.
• Ekonomi Gig dan Pekerjaan Platform: Munculnya ekonomi gig, di mana pekerjaan seringkali bersifat sementara, berbasis tugas, dan diatur melalui platform digital, menimbulkan pertanyaan tentang status ketenagakerjaan (apakah pekerja adalah karyawan atau kontraktor independen), hak-hak pekerja, dan perlindungan sosial.
• Kesenjangan Keterampilan: Tenaga kerja harus terus-menerus memperbarui keterampilan mereka untuk tetap relevan di pasar kerja yang berubah. Ada risiko kesenjangan keterampilan yang melebar antara mereka yang memiliki akses ke pendidikan dan pelatihan canggih dan mereka yang tidak.
• Privasi Data dan Pengawasan di Tempat Kerja: Penggunaan teknologi untuk memantau kinerja pekerja dapat menimbulkan masalah privasi dan etika.

ILO telah merespons dengan meluncurkan "Future of Work Initiative," yang berfokus pada investasi dalam kemampuan manusia, lembaga-lembaga kerja, dan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan, memastikan transisi yang adil ke ekonomi digital.

C. Perubahan Iklim dan Transisi yang Adil (Just Transition)

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan paling mendesak di abad ini, dan dampaknya terhadap dunia kerja sangat besar.

• Kehilangan Pekerjaan di Sektor Rentan: Industri-industri yang padat karbon, seperti bahan bakar fosil, dapat mengalami kehilangan pekerjaan besar-besaran seiring dengan upaya dekarbonisasi ekonomi.
• Pekerjaan Hijau: Meskipun ada potensi penciptaan "pekerjaan hijau" di sektor energi terbarukan, efisiensi energi, dan pertanian berkelanjutan, transisi ini tidak otomatis dan memerlukan perencanaan yang cermat.
• Dampak pada Kesehatan dan Produktivitas: Peningkatan suhu, peristiwa cuaca ekstrem, dan perubahan pola pertanian dapat memengaruhi kesehatan pekerja, mengurangi produktivitas, dan bahkan mengancam mata pencarian, terutama di sektor pertanian dan konstruksi.
• Migrasi Iklim: Perubahan iklim dapat menyebabkan perpindahan populasi dalam skala besar, menciptakan tantangan migrasi tenaga kerja dan kebutuhan akan pekerjaan di tempat-tempat baru.

ILO mempromosikan konsep "transisi yang adil" (just transition), yang memastikan bahwa upaya mitigasi dan adaptasi iklim dilakukan dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ketenagakerjaan, serta menyediakan dukungan bagi pekerja yang terkena dampak, seperti pelatihan ulang dan perlindungan sosial.

D. Pekerjaan Informal dan Ekonomi Non-Standar

Di banyak negara berkembang, mayoritas pekerja masih berada di sektor informal, tanpa akses ke perlindungan sosial, hak-hak pekerja, atau kondisi kerja yang layak.

• Kurangnya Perlindungan: Pekerja informal seringkali tidak memiliki kontrak kerja, upah minimum, jaminan sosial, atau perlindungan K3. Mereka rentan terhadap eksploitasi dan kemiskinan.
• Sulit Diatur: Sifat pekerjaan informal yang beragam dan tersebar membuat sulit bagi pemerintah untuk mengatur dan memberikan perlindungan.
• Tren Pekerjaan Non-Standar: Bahkan di negara maju, ada peningkatan pekerjaan non-standar (pekerjaan paruh waktu, kontrak sementara, pekerja lepas) yang mungkin tidak menyediakan perlindungan yang sama dengan pekerjaan tradisional.

ILO mengadvokasi transisi dari ekonomi informal ke ekonomi formal melalui Rekomendasi 204, yang mengusulkan strategi komprehensif untuk memperluas cakupan perlindungan sosial, mempromosikan hak-hak pekerja, dan mendukung formalisasi usaha kecil.

E. Ketidaksetaraan dan Inklusi

Ketidaksetaraan, baik di dalam negara maupun antar negara, terus menjadi tantangan besar yang memengaruhi akses terhadap pekerjaan layak.

• Kesenjangan Gender: Perempuan masih menghadapi diskriminasi dalam akses ke pekerjaan, upah yang lebih rendah, dan representasi yang tidak memadai di posisi kepemimpinan.
• Diskriminasi: Kelompok-kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, minoritas etnis, dan pekerja migran seringkali menghadapi hambatan sistemik dan diskriminasi di pasar kerja.
• Ketidaksetaraan Pendapatan: Kesenjangan pendapatan antara pekerja berupah tinggi dan rendah terus melebar di banyak negara, mengancam kohesi sosial dan meningkatkan ketidakpuasan.

ILO terus memperjuangkan kesetaraan dan inklusi melalui Konvensi 100 dan 111, serta program-program khusus yang menargetkan kelompok-kelompok rentan dan mempromosikan keragaman di tempat kerja.

F. Tata Kelola Ketenagakerjaan dan Dialog Sosial yang Efektif

Kemampuan negara untuk merespons tantangan-tantangan di atas sangat bergantung pada kekuatan institusi ketenagakerjaan dan efektivitas dialog sosialnya.

• Kelemahan Institusi: Di banyak negara, inspektorat ketenagakerjaan lemah, sistem peradilan perburuhan tidak efisien, dan kapasitas mitra sosial (serikat pekerja dan organisasi pengusaha) terbatas.
• Penolakan Dialog Sosial: Beberapa pemerintah atau pengusaha mungkin enggan untuk terlibat dalam dialog sosial yang tulus, melemahkan kemampuan untuk mencapai konsensus dan solusi berkelanjutan.
• Peran Negara: Keseimbangan antara peran negara sebagai regulator, fasilitator, dan penyedia layanan ketenagakerjaan harus terus-menerus dievaluasi dan disesuaikan.

ILO secara aktif mendukung pembangunan kapasitas institusi ketenagakerjaan, mempromosikan Konvensi 144 tentang konsultasi tripartit, dan membela kebebasan berserikat dan hak untuk berunding bersama sebagai prasyarat penting untuk tata kelola yang baik.

Menghadapi tantangan-tantangan ini, ILO terus beradaptasi dan berinovasi. Dengan berlandaskan pada prinsip tripartitnya yang unik dan komitmen terhadap keadilan sosial, ILO bertujuan untuk memastikan bahwa transformasi dunia kerja menghasilkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih adil bagi semua, bukan hanya bagi sebagian kecil. Ini adalah tugas monumental yang memerlukan kerja sama berkelanjutan dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja di seluruh dunia.

Dampak dan Relevansi ILO di Abad Ini

Selama lebih dari satu abad keberadaannya, ILO telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam membentuk dunia kerja. Dampaknya terasa di setiap sudut planet ini, memengaruhi undang-undang, kebijakan, dan praktik ketenagakerjaan, serta kehidupan jutaan pekerja. Relevansi ILO tidak hanya terletak pada sejarahnya yang panjang, tetapi juga pada kemampuannya untuk terus beradaptasi dan mengatasi tantangan-tantangan kontemporer.

A. Kontribusi Nyata terhadap Hak dan Perlindungan Pekerja

Salah satu dampak paling signifikan dari ILO adalah melalui pengembangan dan promosi standar ketenagakerjaan internasional. Lebih dari 190 Konvensi dan 200 Rekomendasi telah menjadi acuan global yang tak ternilai.

• Pembentukan Hukum Nasional: Banyak negara telah mengintegrasikan Konvensi dan Rekomendasi ILO ke dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional mereka. Misalnya, konsep upah minimum, batas jam kerja, hak cuti berbayar, perlindungan maternitas, dan larangan kerja anak seringkali berakar pada standar ILO.
• Peningkatan Kondisi Kerja: Melalui mekanisme pengawasannya, ILO telah berhasil mendorong banyak negara untuk memperbaiki kondisi kerja, menghapus praktik-praktik eksploitatif, dan memperluas perlindungan bagi pekerja. Kasus-kasus spesifik di mana ILO telah campur tangan dalam isu-isu seperti kerja paksa di industri perikanan atau kerja anak di sektor pertanian telah menunjukkan dampak langsung pada kehidupan individu.
• Pemberdayaan Mitra Sosial: ILO secara konsisten mendukung penguatan serikat pekerja dan organisasi pengusaha, yang merupakan aktor kunci dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan mempromosikan dialog sosial. Tanpa dukungan ILO, banyak organisasi ini mungkin tidak memiliki kapasitas atau platform untuk beroperasi secara efektif.
• Peningkatan Kesadaran Global: ILO telah berperan penting dalam meningkatkan kesadaran publik dan politik tentang isu-isu ketenagakerjaan yang krusial, seperti kerja anak, kerja paksa, dan diskriminasi, mendorong komunitas internasional untuk mengambil tindakan kolektif.

B. Peran dalam Pembangunan Berkelanjutan Global

Visi ILO tentang Pekerjaan Layak telah terintegrasi erat dengan agenda pembangunan global yang lebih luas.

• Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Pekerjaan Layak adalah jantung dari SDG 8 ("Mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan berkelanjutan, pekerjaan penuh dan produktif dan pekerjaan layak untuk semua"). Ini menunjukkan pengakuan universal bahwa pekerjaan yang adil dan bermartabat adalah prasyarat untuk pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan. ILO adalah badan pengawal untuk SDG 8.
• Pemberantasan Kemiskinan: Dengan mempromosikan pekerjaan produktif dengan upah yang adil, ILO secara langsung berkontribusi pada upaya pemberantasan kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan (SDG 1 dan SDG 10).
• Kesetaraan Gender: Upaya ILO untuk menghapus diskriminasi gender dan mempromosikan kesetaraan upah adalah kunci untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (SDG 5).

C. Adaptasi dan Inovasi dalam Menghadapi Krisis

Relevansi ILO juga terlihat dari kemampuannya untuk merespons krisis global dan mengusulkan solusi.

• Krisis Keuangan Global (2008): Selama krisis keuangan 2008, ILO mengadvokasi "Global Jobs Pact," sebuah kerangka kebijakan yang mendorong respons berbasis pekerjaan untuk memitigasi dampak krisis, menekankan perlindungan sosial dan dialog sosial. Ini membantu meminimalkan kehilangan pekerjaan dan mempercepat pemulihan di banyak negara.
• Pandemi COVID-19: Selama pandemi COVID-19, ILO menjadi suara penting dalam analisis dampak pandemi terhadap dunia kerja, menyoroti hilangnya pekerjaan, gangguan mata pencarian, dan risiko kesehatan di tempat kerja. ILO mengembangkan kerangka kerja respons yang berfokus pada melindungi pekerja di tempat kerja, mendukung pekerjaan dan pendapatan, merangsang ekonomi, dan mengandalkan dialog sosial.
• Perubahan Iklim: ILO telah menjadi pemimpin dalam mempromosikan "transisi yang adil" (just transition) untuk pekerja dan komunitas yang terpengaruh oleh perubahan iklim, memastikan bahwa upaya menuju ekonomi hijau tidak meninggalkan siapa pun.

D. Mengatasi Tantangan Masa Depan Pekerjaan

Melalui inisiatif seperti Global Commission on the Future of Work, ILO telah secara proaktif menganalisis megatren yang membentuk masa depan pekerjaan, termasuk transformasi digital, perubahan demografi, dan globalisasi.

• Panduan Kebijakan: Laporan dan analisis ILO memberikan panduan berharga bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam menavigasi kompleksitas ekonomi gig, otomatisasi, dan kebutuhan akan keterampilan baru.
• Dialog Global: ILO menyediakan platform unik bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk membahas dan mencapai konsensus tentang bagaimana membentuk masa depan pekerjaan yang manusiawi dan adil. Ini penting untuk mencegah fragmentasi dan memastikan pendekatan yang koheren.

E. Peran sebagai Pusat Pengetahuan Global

ILO tidak hanya organisasi pembuat standar, tetapi juga pusat penelitian dan pengetahuan terkemuka tentang dunia kerja.

• Statistik Ketenagakerjaan: ILO mengumpulkan dan mempublikasikan data statistik ketenagakerjaan yang komprehensif, yang menjadi dasar bagi analisis ekonomi dan perumusan kebijakan di seluruh dunia.
• Riset dan Publikasi: Publikasi ILO, seperti World Employment and Social Outlook, memberikan analisis mendalam tentang tren global dan tantangan ketenagakerjaan, menawarkan solusi berbasis bukti.
• Bantuan Teknis: Dengan jaringan kantor lapangan dan tim ahli globalnya, ILO memberikan bantuan teknis yang disesuaikan kepada negara-negara anggota untuk membantu mereka membangun kapasitas kelembagaan, mengembangkan kebijakan, dan mengimplementasikan program-program yang mendukung Pekerjaan Layak.

Singkatnya, ILO tetap menjadi kekuatan pendorong di balik upaya global untuk mencapai keadilan sosial di dunia kerja. Dengan struktur tripartitnya yang unik, komitmen terhadap standar internasional, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, ILO terus relevan sebagai mercusuar harapan bagi jutaan pekerja di seluruh dunia, memastikan bahwa pekerjaan adalah sumber martabat dan bukan eksploitasi. Dampak kolektif dari kerja ILO adalah fondasi yang lebih kuat untuk perdamaian, kemakmuran, dan keadilan global.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan Pekerjaan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan

Sejak didirikan di tengah reruntuhan Perang Dunia Pertama, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah menjadi saksi dan pelaku utama dalam evolusi dunia kerja. Dengan mandatnya yang berakar pada prinsip bahwa "perdamaian universal dan abadi hanya dapat dibangun jika didasarkan pada keadilan sosial," ILO telah secara konsisten berjuang untuk menciptakan kondisi di mana pekerjaan adalah sumber martabat, keamanan, dan kesempatan bagi semua. Model tripartitnya yang unik—menyatukan pemerintah, pengusaha, dan pekerja—tidak hanya merupakan fondasi tata kelolanya tetapi juga resep keberhasilannya dalam merumuskan standar dan kebijakan yang relevan dan berkelanjutan.

Selama lebih dari satu abad, ILO telah mengembangkan serangkaian instrumen yang kuat—Konvensi dan Rekomendasi—yang membentuk kerangka kerja hukum dan etika bagi perlindungan hak-hak pekerja di seluruh dunia. Dari kebebasan berserikat dan penghapusan kerja paksa serta kerja anak, hingga non-diskriminasi dan kesetaraan upah, standar-standar fundamental ini telah menjadi pilar universal yang membimbing negara-negara dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih adil. Mekanisme pengawasan ILO, meskipun non-sanksi, memberikan tekanan moral dan politik yang signifikan, mendorong negara-negara untuk memenuhi komitmen mereka.

Agenda Pekerjaan Layak, yang menjadi visi sentral ILO di abad ke-21, memberikan kerangka kerja komprehensif untuk mengatasi kompleksitas dunia kerja. Keempat pilarnya—mempromosikan hak di tempat kerja, menciptakan kesempatan kerja, memperluas perlindungan sosial, dan menguatkan dialog sosial—mengakui bahwa pekerjaan yang berkualitas tidak hanya tentang upah, tetapi juga tentang keamanan, martabat, dan kemampuan untuk bersuara. Integrasi agenda ini ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB menegaskan relevansinya sebagai prasyarat bagi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan secara global.

Namun, perjalanan menuju pekerjaan layak masih panjang dan penuh tantangan. Globalisasi, revolusi teknologi, perubahan iklim, pekerjaan informal yang meluas, dan ketidaksetaraan yang terus-menerus menghadirkan dinamika baru yang menuntut adaptasi dan inovasi berkelanjutan dari ILO dan mitra-mitranya. Otomatisasi pekerjaan, ekonomi gig, dan kebutuhan akan transisi yang adil bagi pekerja di tengah perubahan iklim adalah beberapa dari banyak isu yang mendesak perhatian.

Dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti ini, peran ILO tetap krusial. Sebagai forum tripartit yang unik, ILO menyediakan platform yang tak tergantikan bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk bersama-sama mendiskusikan, merundingkan, dan merumuskan solusi. Lebih dari sebelumnya, dialog sosial yang kuat dan institusi ketenagakerjaan yang efektif adalah kunci untuk menavigasi transformasi ini dengan cara yang adil dan manusiawi.

Pada akhirnya, ILO adalah pengingat konstan bahwa nilai intrinsik manusia dalam pekerjaan harus selalu diutamakan. Ini adalah perjuangan berkelanjutan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam perlombaan menuju kemajuan, dan bahwa pekerjaan, dalam segala bentuknya, adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang bermartabat dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih adil dan damai. Dengan komitmen yang teguh dan kerja sama yang terus-menerus dari semua pihak, visi ILO tentang keadilan sosial dan pekerjaan layak untuk semua dapat diwujudkan, membangun fondasi yang lebih kokoh untuk masa depan global yang berkelanjutan dan berkeadilan.