Inflasi Daerah: Analisis Mendalam, Dampak, dan Strategi Kendali Integral

Inflasi, sebagai indikator kunci stabilitas makroekonomi, seringkali dilihat sebagai fenomena nasional. Namun, akar masalah dan dampak riil fluktuasi harga sangat terasa di tingkat daerah. Pengendalian inflasi daerah merupakan prasyarat mutlak untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga, kemiskinan menurun, dan pertumbuhan ekonomi berjalan inklusif. Tekanan harga di setiap wilayah memiliki karakteristik unik, dipengaruhi oleh geografi, struktur pasar lokal, efisiensi logistik, hingga kebijakan pangan dan energi spesifik regional.

Artikel komprehensif ini akan mengupas tuntas anatomi inflasi di berbagai daerah, menganalisis sumber-sumber utama tekanan, serta merinci strategi kebijakan yang harus diimplementasikan secara terintegrasi dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah, bank sentral, dan seluruh pemangku kepentingan terkait.

Anatomi Inflasi Daerah dan Sumber Tekanan Harga

Inflasi daerah di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pergerakan harga komoditas yang dikelompokkan dalam kategori Volatile Food (makanan bergejolak). Kategori ini sangat rentan terhadap gangguan pasokan musiman, cuaca ekstrem, dan inefisiensi rantai distribusi.

Faktor Pendorong Utama Inflasi Berbasis Regional

1. Volatilitas Harga Komoditas Pangan (Volatile Food)

Komponen makanan bergejolak menjadi penyumbang terbesar dan paling sering memicu lonjakan inflasi di daerah. Kontribusi ini disebabkan oleh karakteristik produksi komoditas pertanian yang sangat bergantung pada siklus alam dan musim panen. Ketika terjadi gagal panen akibat banjir, kekeringan, atau serangan hama, pasokan seketika berkurang, mendorong harga naik tajam di pasar lokal.

Komoditas Kritis Regional: Setiap daerah memiliki komoditas pendorong inflasi yang berbeda. Di wilayah Jawa, beras dan bawang merah sering menjadi isu sentral. Di daerah kepulauan atau Indonesia Timur, ikan, cabai, dan minyak goreng sering mendominasi. Ketergantungan terhadap suplai dari luar daerah memperparah kondisi ini. Jika daerah produksi utama mengalami kendala, daerah konsumen akan merasakan dampaknya secara eksponensial karena biaya transportasi dan risiko yang ditanggung distributor.

Pengelolaan stok dan ketersediaan pasokan, terutama saat menjelang hari besar keagamaan nasional atau periode puncak konsumsi, memerlukan koordinasi stok pangan yang sangat presisi. Ketidakpastian mengenai kapan pasokan akan kembali normal menyebabkan spekulasi, yang turut memicu kenaikan harga yang tidak wajar di tingkat pengecer. Upaya stabilisasi harga pangan di tingkat daerah harus menyentuh hulu (produksi) hingga hilir (distribusi).

2. Inefisiensi Rantai Pasok dan Logistik

Struktur geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menimbulkan tantangan logistik yang monumental. Biaya transportasi antar-pulau atau bahkan dari sentra produksi ke sentra konsumsi di pulau yang sama seringkali sangat tinggi. Biaya logistik ini secara langsung ditransfer ke harga akhir barang yang dibeli oleh masyarakat.

Dampak Infrastruktur: Kualitas jalan, pelabuhan, dan fasilitas penyimpanan (cold storage) yang tidak memadai di daerah-daerah terpencil menciptakan bottleneck distribusi. Waktu tunggu yang lama, kerusakan barang (khususnya produk segar), dan biaya bongkar muat yang tinggi menjadi penyumbang signifikan terhadap inflasi. Daerah-daerah yang memiliki infrastruktur logistik yang buruk cenderung memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dan lebih volatil dibandingkan daerah yang terintegrasi dengan baik.

Selain itu, panjangnya rantai distribusi (dari petani ke pedagang besar, ke pengepul lokal, ke distributor regional, hingga ke pengecer) menambah margin keuntungan di setiap tingkatan, yang semakin memperbesar disparitas harga antara harga jual petani dan harga beli konsumen. Upaya memangkas rantai pasok melalui pengembangan pasar induk modern dan penggunaan teknologi informasi menjadi krusial.

3. Kebijakan Harga yang Diatur (Administered Prices)

Meskipun ditetapkan di tingkat pusat, penyesuaian harga komoditas yang diatur pemerintah (seperti Tarif Dasar Listrik, Bahan Bakar Minyak, tarif air, atau tarif angkutan umum) memiliki dampak inflasi yang sangat spesifik dan langsung di tingkat daerah. Ketika tarif angkutan umum dinaikkan, dampaknya tidak hanya terasa pada biaya transportasi individu, tetapi juga meningkatkan biaya distribusi barang dan jasa secara keseluruhan, memicu inflasi lanjutan (second round effect).

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengelola dampak psikologis dan riil dari penyesuaian harga ini, misalnya melalui subsidi spesifik transportasi publik lokal atau koordinasi dengan pelaku usaha untuk mencegah kenaikan harga barang yang tidak proporsional.

4. Permintaan Regional dan Peristiwa Khusus

Lonjakan permintaan temporer sering terjadi di daerah-daerah yang merayakan hari besar keagamaan, di daerah tujuan wisata musiman, atau daerah yang baru saja mengalami ekspansi proyek besar (misalnya, pembangunan smelter atau kawasan industri baru). Peningkatan drastis terhadap permintaan jasa dan barang pokok lokal yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi atau suplai yang cepat akan menghasilkan tekanan inflasi berbasis permintaan (demand-pull inflation).

Contoh nyata adalah daerah yang menjadi lokasi mudik. Tuntutan akan jasa akomodasi, makanan, dan transportasi meningkat tajam dalam waktu singkat, menyebabkan inflasi lokal melonjak, bahkan jika inflasi nasional relatif stabil. Pemahaman terhadap kalender ekonomi dan sosial regional menjadi kunci untuk memitigasi lonjakan harga ini.

Ilustrasi: Rantai Pasok dan Fluktuasi Harga

Dampak Multidimensional Inflasi Daerah

Inflasi bukanlah sekadar angka statistik; ia adalah representasi dari erosi daya beli yang mempengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat di daerah. Dampaknya bersifat multidimensional dan memiliki implikasi jangka panjang.

1. Erosi Daya Beli dan Peningkatan Kemiskinan

Dampak paling langsung dari inflasi, terutama inflasi pangan, adalah menurunnya daya beli rumah tangga, khususnya kelompok berpendapatan rendah. Pendapatan mereka cenderung tetap (rigid), sementara porsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok (makanan) sangat besar. Ketika harga beras, minyak, atau cabai naik, kemampuan mereka untuk membeli kebutuhan non-pangan (seperti pendidikan, kesehatan, atau sandang) akan tertekan.

Ketidaksetaraan Regional: Inflasi pangan yang tinggi di suatu daerah dapat mendorong lebih banyak rumah tangga jatuh kembali ke bawah garis kemiskinan. Data menunjukkan bahwa inflasi di daerah perkotaan besar mungkin berbeda signifikan dengan inflasi di daerah pedesaan, menciptakan ketidaksetaraan dalam dampak ekonomi yang dirasakan. Daerah yang sangat bergantung pada komoditas tunggal akan mengalami kerentanan yang lebih besar.

Upaya penanggulangan kemiskinan di daerah menjadi sia-sia jika inflasi tidak terkendali. Kenaikan upah minimum regional (UMR) yang dilakukan untuk menyeimbangkan inflasi seringkali hanya mengejar ketertinggalan harga, bukan meningkatkan kesejahteraan riil.

2. Gangguan Stabilitas Investasi dan Kegiatan Bisnis

Inflasi yang tinggi dan tidak stabil di daerah menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha. Perusahaan kesulitan merencanakan biaya produksi, menentukan harga jual, atau melakukan investasi jangka panjang. Risiko fluktuasi biaya bahan baku dan upah yang tidak terprediksi dapat menunda atau membatalkan investasi yang seharusnya menciptakan lapangan kerja di daerah tersebut.

Inflasi biaya produksi (cost-push inflation) di tingkat daerah, yang sering dipicu oleh kenaikan tarif logistik lokal atau biaya perizinan yang tidak efisien, dapat menggerus margin keuntungan bisnis. Hal ini berpotensi menyebabkan relokasi industri ke daerah yang dianggap memiliki iklim stabilitas harga yang lebih baik, merugikan ekonomi daerah yang ditinggalkan.

3. Ketegangan Sosial dan Politik Lokal

Kenaikan harga kebutuhan pokok secara drastis, terutama menjelang atau saat periode politik, dapat memicu keresahan dan ketidakpuasan sosial. Masyarakat menuntut pemerintah daerah untuk segera bertindak. Kegagalan dalam merespons gejolak harga secara cepat dan efektif dapat merusak kepercayaan publik terhadap otoritas lokal.

Isu inflasi seringkali diangkat menjadi isu politik lokal, menekan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan populis yang mungkin tidak berkelanjutan, seperti intervensi pasar yang tidak terencana atau pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi fiskal daerah.

Mekanisme Transmisi Inflasi Antar-Daerah

Inflasi di Indonesia tidak terjadi secara terisolasi. Terdapat mekanisme transmisi yang kuat, di mana tekanan harga di satu wilayah dapat menyebar dengan cepat ke wilayah lain. Pemahaman terhadap mekanisme ini sangat penting dalam merancang strategi pengendalian yang terkoordinasi.

1. Transmisi Melalui Jalur Perdagangan Komoditas

Inflasi di daerah produksi utama (misalnya, sentra padi di Jawa atau sentra cabai di Sumatera) akan ditransmisikan ke daerah konsumsi non-produksi (misalnya, daerah perkotaan besar atau daerah kepulauan yang impor pangan). Kenaikan harga di sumber akan disebarkan melalui jaringan distributor nasional dan regional.

Peran Pasar Induk Regional: Pasar induk besar sering berfungsi sebagai hub distribusi. Jika pasar induk di Jakarta atau Surabaya mengalami lonjakan harga, pedagang regional yang mengambil pasokan dari hub tersebut akan menaikkan harga di daerah mereka, bahkan jika pasokan lokal mereka relatif aman.

2. Transmisi Melalui Jalur Angkutan dan Energi

Setiap penyesuaian tarif energi atau transportasi di salah satu pulau besar akan segera merambat ke daerah-daerah lain. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar solar di Jawa dapat menaikkan biaya pengiriman kontainer ke Kalimantan, yang pada gilirannya menaikkan harga semua barang yang diangkut, mulai dari semen hingga mi instan, di pasar lokal Kalimantan.

Daerah-daerah yang sangat bergantung pada konektivitas laut atau udara (misalnya, Maluku atau Papua) memiliki koefisien transmisi inflasi logistik yang sangat tinggi. Di wilayah ini, biaya transportasi bisa mencapai 30% hingga 50% dari harga jual produk, menjadikan inflasi sangat sensitif terhadap perubahan biaya logistik.

3. Transmisi Ekspektasi Harga

Pengumuman kenaikan harga di media nasional atau regional dapat secara cepat membentuk ekspektasi inflasi di kalangan pedagang dan konsumen di daerah lain. Jika masyarakat di Bandung mendengar bahwa harga daging di Jakarta naik, mereka mungkin berasumsi bahwa kenaikan serupa akan segera terjadi di pasar lokal mereka, mendorong pedagang menahan stok atau menaikkan harga lebih awal (self-fulfilling prophecy).

Instrumen dan Strategi Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

Pengendalian inflasi daerah dikoordinasikan secara sentral melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). TPID berfungsi sebagai forum lintas sektor yang melibatkan pemerintah daerah, Bank Indonesia, BPS, dan lembaga terkait lainnya. Strategi utama TPID berlandaskan pada kerangka 4K: Ketersediaan Pasokan, Keterjangkauan Harga, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif.

1. Ketersediaan Pasokan (Supply Availability)

Fokus utama Ketersediaan Pasokan adalah memastikan bahwa jumlah barang, terutama komoditas pangan, mencukupi permintaan sepanjang waktu. Upaya ini bersifat struktural dan memerlukan perencanaan jangka panjang.

A. Pengembangan Klaster Ketahanan Pangan

Pemerintah daerah harus mengidentifikasi dan mengembangkan klaster produksi untuk komoditas strategis. Pengembangan klaster tidak hanya berfokus pada peningkatan kuantitas, tetapi juga kualitas dan kontinuitas pasokan. Ini mencakup investasi dalam irigasi modern, penggunaan bibit unggul, dan penerapan teknologi pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim.

B. Pengelolaan Stok dan Cadangan Pangan

Meningkatkan kapasitas penyimpanan lokal, seperti cold storage untuk produk hortikultura dan ikan, serta gudang penyimpanan gabah yang memadai, sangat penting. Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) harus dikelola secara dinamis, siap diintervensi saat terjadi kekurangan pasokan mendadak akibat bencana alam atau gangguan logistik.

C. Optimalisasi Lahan dan Peningkatan Produktivitas

Daerah perlu menggalakkan program intensifikasi pertanian di lahan yang sudah ada, serta mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada satu komoditas saja, misalnya dengan mempromosikan pangan lokal non-beras atau komoditas unggulan regional yang belum dimanfaatkan secara optimal.

2. Keterjangkauan Harga (Price Affordability)

Keterjangkauan harga berfokus pada intervensi jangka pendek untuk menahan laju kenaikan harga dan memastikan harga di tingkat konsumen tetap wajar, terutama menjelang momentum tekanan harga.

A. Operasi Pasar dan Pasar Murah

TPID harus responsif dalam melaksanakan operasi pasar bersubsidi di lokasi yang mengalami lonjakan harga ekstrem atau di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Operasi pasar harus dilakukan secara terukur, menggunakan stok yang dikelola oleh BUMN pangan atau CPPD, dan harus segera dihentikan ketika harga pasar kembali normal untuk menghindari distorsi pasar.

B. Pengawasan dan Penegakan Hukum

Melakukan pengawasan ketat terhadap praktik penimbunan (hoarding) atau praktik kartel oleh distributor yang bertujuan memanipulasi harga. Koordinasi antara Dinas Perdagangan, Satpol PP, dan Kepolisian sangat penting untuk menindak tegas pelaku usaha yang merugikan masyarakat melalui kenaikan harga yang tidak wajar.

C. Fasilitasi Kerja Sama Antar Daerah (KAD)

KAD adalah strategi kunci untuk mengatasi defisit pasokan di satu daerah. Daerah yang surplus produksi harus difasilitasi untuk menjual langsung ke daerah yang defisit, mengurangi peran perantara yang terlalu banyak. Pemerintah daerah harus memberikan insentif logistik (misalnya, subsidi biaya angkut) agar KAD menjadi lebih menarik daripada jalur distribusi konvensional.

3. Kelancaran Distribusi (Distribution Smoothness)

Tantangan logistik di Indonesia Timur atau daerah terpencil memerlukan fokus yang lebih besar pada efisiensi distribusi. Kelancaran distribusi adalah upaya struktural untuk menekan biaya logistik.

A. Peningkatan Infrastruktur Logistik Lokal

Investasi dalam perbaikan jalan penghubung sentra produksi dan pasar, pembangunan gudang yang terintegrasi dengan moda transportasi (misalnya dekat pelabuhan atau stasiun), serta penggunaan teknologi informasi untuk pelacakan barang (tracking system) adalah prioritas. Daerah perlu memetakan titik-titik rawan macet atau rawan bencana yang dapat mengganggu distribusi.

B. Optimasi Moda Transportasi

Penggunaan kapal laut kargo yang efisien (Tol Laut) dan pengembangan transportasi darat yang terintegrasi (Trucking System) dapat menekan biaya angkut per unit barang. Pemerintah daerah dapat memberikan kemudahan perizinan atau diskon tarif retribusi bagi perusahaan logistik yang berkomitmen menjaga stabilitas harga distribusi.

C. Simplifikasi Perizinan dan Retribusi

Banyak daerah masih menerapkan retribusi dan pungutan yang memberatkan jalur distribusi. TPID harus bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan Satuan Kerja lainnya untuk mengidentifikasi dan menghapus biaya-biaya ilegal (pungutan liar) atau retribusi resmi yang tidak efisien, yang pada akhirnya dibebankan kepada harga konsumen.

4. Komunikasi Efektif (Effective Communication)

Komunikasi publik yang efektif dan transparan memegang peran penting dalam mengelola ekspektasi masyarakat dan mencegah kepanikan (panic buying) yang dapat memperburuk inflasi.

A. Transparansi Data Harga dan Stok

Masyarakat harus mendapatkan akses real-time terhadap data harga dan stok komoditas strategis di pasar utama. Platform informasi harga (misalnya melalui aplikasi ponsel atau papan informasi di pasar) membantu konsumen membuat keputusan pembelian yang rasional dan mencegah pedagang menaikkan harga berdasarkan informasi yang tidak akurat.

B. Edukasi Publik Mengenai Tren Harga

Bank Indonesia dan Pemda harus aktif mengedukasi masyarakat mengenai faktor-faktor musiman yang mempengaruhi harga (misalnya, kenaikan harga cabai saat musim hujan). Pemahaman yang lebih baik tentang tren harga dapat meredam ekspektasi inflasi yang berlebihan.

C. Koordinasi Kebijakan yang Konsisten

Pesan kebijakan dari TPID, Gubernur, dan Walikota/Bupati harus selaras. Inkonsistensi komunikasi mengenai intervensi pasar atau ketersediaan stok dapat menimbulkan kebingungan dan spekulasi di kalangan pelaku pasar.

Tantangan Khusus Pengendalian Inflasi di Berbagai Tipe Daerah

Strategi pengendalian tidak bisa disamaratakan. Indonesia memiliki beragam tipe daerah dengan tantangan inflasi yang spesifik.

1. Daerah Perkotaan Metropolis

Tantangan utama di kota besar adalah tekanan inflasi berbasis jasa dan perumahan, selain inflasi pangan. Biaya hidup yang tinggi, upah minimum yang terus naik, dan permintaan yang padat (demand-pull) adalah pemicu utama. Solusinya memerlukan fokus pada efisiensi transportasi publik, penyediaan perumahan yang terjangkau, dan pengelolaan ekspektasi upah.

2. Daerah Kepulauan dan Terpencil

Daerah seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Papua sangat rentan terhadap inflasi biaya transportasi. Biaya logistik jauh mendominasi dibandingkan biaya produksi. Strategi utama di sini adalah memastikan keberlanjutan program Tol Laut, optimalisasi pelabuhan perintis, dan pembangunan pusat distribusi regional untuk meminimalkan ketergantungan pada pengiriman tunggal dari Jawa.

3. Daerah Sentra Produksi Pangan

Ironisnya, daerah penghasil pangan sering mengalami inflasi tinggi saat panen raya tiba, bukan karena harga naik, melainkan karena harga input produksi (pupuk, benih, sewa alat) melonjak, atau karena infrastruktur pasca-panen yang buruk. Solusi di sini harus fokus pada stabilisasi harga input bagi petani dan peningkatan kapasitas pengolahan dan penyimpanan di tingkat hulu.

4. Daerah Perbatasan

Daerah yang berbatasan dengan negara tetangga (misalnya di Kalimantan atau Nusa Tenggara) menghadapi inflasi lintas batas (border inflation). Harga barang dan jasa di negara tetangga dapat mempengaruhi harga di pasar lokal Indonesia, terutama jika selisih harga komoditas strategis (seperti BBM atau gula) terlalu besar. Pengendalian memerlukan penguatan pengawasan jalur perdagangan resmi dan informal.

Sinergi Kebijakan Fiskal dan Moneter Daerah

Pengendalian inflasi yang efektif memerlukan sinergi yang kuat antara kebijakan yang dipegang oleh Bank Indonesia (aspek moneter dan stabilitas) dan kebijakan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah (aspek fiskal dan riil).

1. Peran Kebijakan Fiskal Daerah dalam Inflasi

Pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai instrumen fiskal. Penggunaan APBD harus diarahkan untuk mendukung pengendalian inflasi, bukan sebaliknya.

• Belanja Produktif dan Infrastruktur: Prioritas belanja harus dialokasikan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang secara langsung menekan biaya logistik, seperti jalan tani, irigasi, dan pasar tradisional yang higienis.
• Insentif dan Disinsentif Pajak/Retribusi: Pemerintah daerah dapat memberikan keringanan retribusi bagi komoditas yang harganya sedang bergejolak, atau memberikan insentif pajak bagi pelaku usaha yang berinvestasi di sektor pasca-panen (gudang pendingin).
• Pengelolaan Anggaran Belanja Tak Terduga (BTT): BTT harus siap digunakan secara cepat untuk mendanai intervensi pasar mendadak atau subsidi transportasi saat terjadi lonjakan harga yang ekstrem.

2. Peran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Regional

Bank Indonesia (BI) melalui kantor perwakilannya di daerah memainkan peran vital dalam mendeteksi dan merespons tekanan inflasi lokal.

• Survei dan Pemantauan Cepat: BI melakukan survei harga dan ekspektasi inflasi secara rutin, memberikan data dini kepada TPID untuk tindakan preventif.
• Fasilitasi Hubungan Bank dan Petani: BI memfasilitasi akses pembiayaan yang lebih mudah dan murah (kredit usaha rakyat atau skema pembiayaan khusus) bagi kelompok tani atau UMKM di sektor pangan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penyimpanan, sehingga mengurangi risiko gagal panen.
• Pengembangan Ekosistem Digitalisasi Pembayaran: Mendorong penggunaan transaksi non-tunai di pasar tradisional dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya penanganan uang tunai, dan menyediakan data yang lebih akurat mengenai volume perdagangan regional.

Masa Depan Pengendalian Inflasi Daerah: Ketahanan Iklim dan Digitalisasi

Tantangan inflasi di masa depan semakin kompleks, terutama dengan ancaman perubahan iklim global yang berdampak langsung pada sektor pertanian lokal dan percepatan digitalisasi ekonomi.

1. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang sulit diprediksi, meningkatkan frekuensi bencana alam, dan mengganggu musim tanam. Daerah harus mengintegrasikan kebijakan ketahanan iklim ke dalam strategi pengendalian inflasi.

• Pertanian Berbasis Iklim (Climate-Smart Agriculture): Mendorong penggunaan varietas tanaman yang tahan kekeringan atau banjir, serta sistem peringatan dini (early warning system) cuaca ekstrem di tingkat desa.
• Asuransi Pertanian: Pemerintah daerah perlu mendorong petani untuk berpartisipasi dalam skema asuransi pertanian untuk memitigasi kerugian finansial akibat gagal panen, yang jika dibiarkan dapat mengurangi pasokan masa depan dan memicu inflasi.

2. Pemanfaatan Teknologi Digital dan Big Data

Digitalisasi menawarkan solusi untuk mengatasi inefisiensi logistik dan asimetri informasi, yang merupakan akar masalah inflasi daerah.

• Platform Pertanian Digital (E-Tani): Membangun platform yang menghubungkan langsung petani dengan distributor atau konsumen besar, memangkas rantai pasok yang panjang. Platform ini juga dapat menyediakan informasi harga input secara transparan.
• Prediksi Inflasi Berbasis AI: Penggunaan big data dan kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi potensi lonjakan harga di pasar-pasar spesifik berdasarkan data cuaca, pergerakan barang, dan sentimen media sosial, memungkinkan intervensi TPID yang lebih proaktif, bukan reaktif.

Pengendalian inflasi daerah adalah perlombaan jangka panjang yang menuntut disiplin, koordinasi multi-pihak, dan inovasi berkelanjutan. Hanya dengan strategi yang terintegrasi dan responsif terhadap karakteristik lokal, stabilitas harga dapat dipertahankan, memastikan pertumbuhan ekonomi daerah yang kuat dan berkelanjutan.