Dalam lanskap komunikasi modern yang didominasi oleh layar, sebuah fenomena psikologis yang halus namun kuat telah membentuk cara kita berhubungan dengan figur publik: Interaksi Parasosial (IPS). Konsep ini, yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald Horton dan R. Richard Wohl, mendeskripsikan pengalaman ilusi hubungan tatap muka, persahabatan, atau keintiman yang dirasakan oleh penonton terhadap figur media. Interaksi ini bersifat 'satu arah'—figur media tidak menyadari adanya individu penonton, tetapi bagi penonton, hubungan tersebut terasa nyata dan personal. IPS bukan sekadar menonton; ia adalah partisipasi emosional yang intensif, suatu keterlibatan kognitif yang menciptakan 'ikatan' seolah-olah figur tersebut adalah teman dekat atau kenalan yang dihormati.
Fenomena parasosial telah berevolusi secara dramatis. Berawal dari komunikasi massa yang pasif seperti radio dan televisi, kini ia menemukan lahan subur di media digital interaktif. Influencer, VTuber, dan kreator konten digital yang kini menyiarkan kehidupan mereka secara real-time telah memperkuat intensitas dan frekuensi IPS hingga pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Memahami mekanismenya—bagaimana otak kita mengisi kekosongan balasan, dan konsekuensi psikologis dari keintiman yang tidak terbalas ini—adalah kunci untuk menavigasi era digital yang semakin personal dan terfragmentasi.
Interaksi Parasosial (IPS) dicirikan oleh aliran emosi yang kuat dan searah dari penonton kepada figur media.
Konsep IPS lahir pada tahun 1956, jauh sebelum internet atau streaming. Horton dan Wohl mengamati bagaimana audiens televisi dan radio mengembangkan hubungan sepihak dengan pembawa berita, aktor, atau tokoh talk show. Mereka menggunakan analogi interaksi sosial sehari-hari—kita bersikap sopan, mendengarkan, dan merespons (meskipun secara non-verbal) kepada orang yang kita lihat di layar, seolah-olah mereka ada di ruangan yang sama. Inilah yang mereka sebut sebagai 'ilusi tatap muka.'
Perbedaan fundamental antara IPS dan hubungan sosial nyata (Interaksi Sosial atau IS) terletak pada timbal balik. Dalam IS, terdapat pertukaran informasi, pengaruh, dan validasi yang setara. Sebaliknya, IPS bersifat asimetris. Penonton dapat memperoleh manfaat psikologis dari IPS—misalnya, hiburan, rasa memiliki, atau bahkan pemodelan perilaku—namun figur media tidak secara langsung atau individual merespons kebutuhan penonton tersebut. Meskipun demikian, secara psikologis, mekanisme yang memicu emosi, keterikatan, dan bahkan duka dalam IPS sangat mirip dengan yang terjadi dalam IS.
Horton dan Wohl menyoroti peran teknik produksi media dalam memfasilitasi ilusi ini. Penggunaan kamera yang berfokus pada wajah (close-up), nada bicara yang ramah, dan penggunaan kata ganti orang kedua ('Anda' atau 'kita') secara langsung menarik penonton ke dalam percakapan. Teknik-teknik ini dirancang untuk meniru ciri-ciri interaksi sosial yang intim, mengurangi jarak psikologis antara presenter dan pemirsa, bahkan ketika secara fisik jaraknya ribuan mil.
Otak manusia secara otomatis menerapkan skema sosial (pola perilaku dan ekspektasi sosial) yang kita gunakan dalam dunia nyata ke dalam interaksi dengan media. Kita cenderung memproses informasi tentang figur media seolah-olah mereka adalah orang sungguhan dalam lingkaran sosial kita. Ketika seorang influencer membagikan rahasia atau pengalaman pribadi, skema persahabatan kita terpicu, dan kita merespons dengan empati atau dukungan, memperkuat perasaan bahwa kita adalah bagian dari lingkaran kepercayaan mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kebutuhan seseorang akan afiliasi sosial, semakin rentan mereka untuk membentuk IPS yang kuat. IPS berfungsi sebagai pengganti yang aman, menyediakan interaksi tanpa risiko penolakan atau kerumitan yang melekat pada hubungan nyata. Dalam isolasi sosial, IPS dapat menjadi sumber dukungan emosional yang vital, walaupun ilusi.
Untuk memahami mengapa IPS bisa terasa begitu kuat—hingga membuat penonton berduka saat figur media pensiun atau meninggal—kita perlu menggali teori psikologis yang mendukung pembentukannya. IPS bukan hanya hasil dari media yang menarik; ia adalah refleksi dari kebutuhan mendalam manusia akan koneksi dan struktur sosial.
Teori Keterikatan, yang awalnya dikembangkan oleh John Bowlby untuk menjelaskan hubungan anak-orang tua, telah disesuaikan untuk menjelaskan keterikatan penonton terhadap figur media. Figur media dapat berfungsi sebagai 'tokoh keterikatan' pengganti, terutama bagi individu yang mungkin memiliki gaya keterikatan cemas atau menghindari dalam kehidupan nyata. Figur media memberikan rasa aman, prediktabilitas, dan kehadiran yang stabil (terutama jika mereka sering memproduksi konten).
Kedalaman koneksi ini seringkali tidak proporsional dengan pengetahuan aktual yang dimiliki penonton tentang figur tersebut. Penonton percaya bahwa mereka 'mengenal' kepribadian inti figur tersebut, padahal yang mereka kenal hanyalah persona yang dikonstruksi atau yang diizinkan untuk dilihat oleh publik.
Aspek paling signifikan dalam memicu IPS yang kuat di era digital adalah pengungkapan diri oleh figur media. Ketika kreator konten membagikan cerita pribadi, kesulitan finansial, masalah kesehatan mental, atau rincian kehidupan rumah tangga, ini menciptakan ilusi kejujuran dan kerentanan yang mendalam.
Pengungkapan diri memicu prinsip timbal balik kognitif: kita merasa bahwa karena figur media telah berbagi begitu banyak hal pribadi dengan kita, kita berutang perhatian, dukungan, dan kesetiaan kepada mereka. Ini adalah pemicu kuat untuk keintiman, meskipun dalam konteks parasosial, balasan ini hanya terjadi secara emosional di pihak penonton.
Ilusi tatap muka dan pengungkapan diri yang disengaja oleh figur media telah menjadi mata uang utama dalam ekonomi perhatian, mengubah penonton pasif menjadi 'teman' yang loyal.
Teori Disposisi menjelaskan bagaimana kita bereaksi terhadap figur media berdasarkan penilaian moral kita terhadap mereka. Jika kita menyukai atau mengagumi karakter atau influencer (disposisi positif), kita akan mencari lebih banyak kontak parasosial, merasa senang dengan keberhasilan mereka, dan berduka atas kesulitan mereka. Jika disposisi kita negatif, kita mungkin masih menonton, tetapi motivasinya adalah antagonisme parasosial atau kebutuhan untuk mengkritik.
Dalam konteks IPS, disposisi positif ini mendorong investasi waktu dan emosional yang jauh lebih besar, karena keberhasilan figur media secara implisit terasa seperti kemenangan pribadi bagi penonton, memvalidasi pilihan mereka untuk mendukung figur tersebut.
Jika media tradisional hanya menawarkan hubungan parasosial satu arah yang murni, platform digital telah memperkenalkan 'ilusi interaktivitas' yang memperkuat IPS hingga batas yang kabur dengan hubungan sosial nyata. Evolusi ini ditandai dengan perubahan dari konsumsi pasif menjadi partisipasi yang sangat aktif.
Di masa lalu, penonton hanya bisa 'berbicara kembali' kepada TV mereka. Kini, komentar, *Super Chat* saat live streaming, direct messages, dan reaksi media sosial menciptakan mekanisme 'umpan balik' yang meyakinkan penonton bahwa suara mereka didengar, bahkan jika figur media hanya dapat merespons sebagian kecil dari interaksi tersebut.
Platform seperti YouTube, TikTok, dan Twitch dirancang untuk mengoptimalkan IPS. Fitur-fitur seperti:
Berbeda dengan aktor atau penyanyi tradisional yang menjual fantasi, influencer menjual kehidupan mereka yang 'otentik' dan 'relatable.' Jenis IPS yang berkembang di sini jauh lebih intens karena figurnya tampak mudah dijangkau (accessible).
Figur digital ini seringkali memiliki keahlian dalam menciptakan Persona Media yang Sempurna—yaitu citra yang dikurasi, di mana kelemahan kecil diakui untuk meningkatkan keintiman, tetapi kegagalan besar atau detail yang tidak menarik dihilangkan. Kreator konten yang paling berhasil adalah mereka yang paling mahir dalam memproyeksikan ilusi bahwa mereka adalah 'teman lama' yang kebetulan terkenal.
VTuber, yang menggunakan avatar digital dan identitas fiksi, merupakan kasus studi yang menarik. Meskipun penonton menyadari bahwa figur tersebut adalah karakter yang dimainkan, IPS yang terbentuk tetap sangat kuat. Ini menunjukkan bahwa IPS tidak sepenuhnya bergantung pada realitas fisik figur, tetapi lebih pada konsistensi persona, kehadiran, dan emosi yang diproyeksikan. Penonton berinteraksi dengan karakter fiksi seolah-olah mereka adalah teman nyata, menginvestasikan waktu dan uang pada karakter digital.
Meskipun sering disorot karena aspek negatifnya, Interaksi Parasosial juga memiliki manfaat fungsional yang penting bagi psikologi individu, terutama dalam masyarakat modern yang seringkali mengalami atomisasi sosial dan kesepian.
Bagi individu yang terisolasi atau mereka yang kesulitan membangun koneksi interpersonal, IPS dapat bertindak sebagai pengganti sosial. Kehadiran suara atau wajah yang familiar di layar memberikan rasa kebersamaan yang mengurangi perasaan hampa atau kesepian. Ini sangat relevan untuk kaum muda yang sering merasa terasing atau lansia yang memiliki mobilitas terbatas.
Figur parasosial dapat mengisi kekosongan jaringan sosial dan memberikan pengalaman 'hubungan' yang menenangkan tanpa risiko tuntutan sosial, seperti kebutuhan untuk membalas budi atau mengatasi konflik.
IPS yang terbentuk dengan figur pendidik, ahli, atau figur yang berhasil dapat menjadi saluran pembelajaran yang efektif. Penonton tidak hanya menyerap informasi yang disampaikan, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai dan perilaku yang ditunjukkan oleh figur tersebut. Ini dikenal sebagai ‘pemodelan’ dalam psikologi sosial.
Misalnya, IPS dengan seorang atlet dapat memotivasi penonton untuk berolahraga, atau IPS dengan seorang akademisi dapat menginspirasi minat pada bidang ilmu tertentu. Karena adanya ikatan parasosial, pesan yang disampaikan cenderung lebih persuasif daripada jika disampaikan oleh sumber yang tidak dikenal atau tidak disukai.
Hubungan parasosial yang kuat seringkali memicu terciptanya komunitas penggemar nyata (Interaksi Sosial atau IS yang didorong oleh PSI). Penggemar berkumpul secara daring atau luring berdasarkan figur yang mereka idolakan. IPS di sini berfungsi sebagai titik fokus bersama, memungkinkan individu untuk merasa menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar.
Rasa memiliki yang didapat dari komunitas ini dapat memberikan dukungan identitas yang signifikan. Ketika seseorang mengidentifikasi diri sebagai 'penggemar' atau 'anggota komunitas' tertentu, ini berkontribusi pada harga diri dan struktur sosial mereka.
Menonton konten dari figur parasosial sering digunakan sebagai strategi regulasi suasana hati. Ketika merasa stres atau cemas, penonton dapat beralih ke konten yang familiar dan menghibur untuk meredakan emosi negatif. Karena IPS bersifat konsisten dan bebas dari kejutan negatif yang sering muncul dalam hubungan nyata, ini menawarkan mekanisme pelarian yang dapat diandalkan.
Meskipun IPS dapat memberikan manfaat, ketika hubungan sepihak ini menjadi terlalu intensif atau menggantikan koneksi dunia nyata, ia dapat mengarah pada sejumlah konsekuensi psikologis yang negatif atau maladaptif.
Keterikatan parasosial menjadi masalah ketika ia mulai menggantikan investasi waktu dan emosional dalam hubungan interpersonal nyata. Individu yang merasa takut akan keintiman atau rentan terhadap penolakan mungkin secara sadar atau tidak sadar memilih IPS karena sifatnya yang 'aman.'
Ini menciptakan lingkaran setan: semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk IPS, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan koneksi nyata, yang pada akhirnya memperkuat ketergantungan pada hubungan digital sepihak sebagai sumber validasi.
Salah satu risiko terbesar di era digital adalah munculnya ‘parasocial entitlement’ atau rasa kepemilikan. Karena figur media sering membagikan detail intim (atau ilusi detail intim), penonton tertentu merasa bahwa mereka berhak atas informasi lebih lanjut, perhatian individual, atau kontrol atas keputusan figur media tersebut.
Ini bermanifestasi dalam:
Ketika figur parasosial menghilang, baik karena pensiun, perubahan platform, atau bahkan kematian, penonton dapat mengalami 'duka parasosial' yang nyata. Meskipun figur tersebut tidak pernah hadir secara fisik dalam kehidupan mereka, hilangnya kehadiran rutin menciptakan kekosongan sosial.
Duka ini bisa sama intensnya dengan hilangnya seorang kenalan, karena secara psikologis, otak memprosesnya sebagai hilangnya sumber dukungan dan stabilitas emosional. Dalam kasus perubahan persona atau kontroversi, penonton juga bisa mengalami perasaan dikhianati atau ditipu, seolah-olah seorang teman telah berbohong kepada mereka.
Hubungan parasosial yang kuat menciptakan jalur langsung untuk persuasi. Figur media yang telah membangun kepercayaan yang tinggi dapat dengan mudah menjual produk, ideologi, atau bahkan pandangan politik kepada audiens mereka.
Dalam konteks pemasaran, ini dieksploitasi melalui 'pemasaran influencer.' Penonton membeli produk yang direkomendasikan bukan karena kualitasnya, melainkan karena didorong oleh dorongan parasosial untuk mendukung figur yang mereka sukai, atau untuk meniru gaya hidup intim yang dipamerkan oleh figur tersebut.
Untuk benar-benar memahami jangkauan IPS, penting untuk melihat penerapannya melintasi berbagai medium dan figur yang berbeda. Masing-masing platform membawa ‘affordances’ unik yang membentuk cara IPS berkembang.
IPS tidak terbatas pada figur non-fiksi. Penonton serial televisi atau film seringkali membentuk ikatan parasosial yang kuat dengan karakter fiksi. Hubungan ini memungkinkan penonton untuk mengeksplorasi emosi dan situasi sosial yang kompleks dalam lingkungan yang aman.
Karakter fiksi menawarkan keuntungan unik: mereka tidak pernah berubah tanpa izin penulis, dan mereka selalu konsisten dalam sifat mereka. Ini memberikan stabilitas emosional yang tinggi, membuat karakter fiksi menjadi sumber IPS yang sangat andal.
Dalam studi tentang seri yang panjang, peneliti menemukan bahwa penonton mengembangkan 'perceived connectedness' yang mendalam. Mereka merasa terikat oleh sejarah bersama dengan karakter tersebut. Akhir dari sebuah serial atau kematian karakter yang dicintai dapat memicu reaksi emosional yang signifikan, seperti kesedihan atau bahkan kemarahan publik (misalnya, reaksi terhadap akhir cerita Game of Thrones atau karakter tertentu di serial opera sabun).
Seiring kemajuan teknologi, batas antara hubungan nyata dan parasosial semakin kabur. Munculnya chatbot canggih, asisten virtual, dan *digital companion* berbasis AI menawarkan bentuk IPS baru yang lebih interaktif.
Chatbot AI dirancang untuk memberikan balasan yang disesuaikan dan personal, menciptakan ilusi timbal balik. Meskipun pengguna tahu bahwa mereka berinteraksi dengan program, kemampuan AI untuk mengingat percakapan sebelumnya, menunjukkan 'empati' yang diprogram, dan tersedia 24/7, menciptakan hubungan yang secara fungsi memenuhi beberapa kebutuhan IPS—seperti mengurangi kesepian dan memberikan ruang untuk pengungkapan diri tanpa takut dihakimi.
Tantangan etika muncul: jika AI dapat memicu perasaan keterikatan yang kuat dan bahkan cinta, apa batasan psikologis dari hubungan yang benar-benar tidak memiliki subjek nyata di sisi lain?
Para peneliti menggunakan berbagai metode untuk mengukur kekuatan dan kualitas Interaksi Parasosial. Ini penting untuk membedakan antara IPS yang sehat (sebagai bentuk hiburan dan pelarian) dan IPS yang obsesif (yang bersifat maladaptif).
Instrumen paling umum adalah Skala Interaksi Parasosial, yang biasanya mengukur dua dimensi utama IPS:
Skala ini membantu menunjukkan bahwa IPS eksis dalam sebuah spektrum. Di satu ujung terdapat ketertarikan ringan yang umum, sementara di ujung lainnya terdapat ‘worship’ atau obsesi yang mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari (terkait dengan fenomena ‘celebrity worship syndrome’).
Pendekatan yang lebih modern adalah melihat Kualitas Hubungan Parasosial (QPR), yang menilai IPS berdasarkan tiga pilar yang mirip dengan hubungan nyata:
Semakin tinggi skor QPR, semakin besar potensi dampak, baik positif (motivasi) maupun negatif (ketergantungan emosional).
Seiring platform media terus berevolusi, batasan antara konsumen dan kreator menjadi semakin kabur. Hal ini memunculkan serangkaian masalah etika dan tantangan yang perlu dipertimbangkan untuk masa depan.
Figur media, terutama influencer, didorong untuk terus membagikan detail kehidupan pribadi mereka karena pengungkapan diri adalah 'bahan bakar' IPS. Praktik ini dikenal sebagai *affective labor*—pekerjaan emosional yang dilakukan untuk menghasilkan nilai. Ada risiko eksploitasi di mana kreator merasa tertekan untuk terus membuka diri, melanggar batas pribadi demi mempertahankan hubungan parasosial yang menguntungkan secara finansial.
Konsumen juga perlu menyadari bahwa konten yang disajikan, betapapun intimnya, tetap merupakan produk yang dikurasi, dan bahwa keterikatan emosional mereka digunakan sebagai model bisnis.
Ketika IPS berubah menjadi IS (misalnya, di grup Discord penggemar), masalah etika menjadi lebih kompleks. Para penggemar seringkali merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan mental figur media. Upaya untuk 'membantu' atau 'memperbaiki' kehidupan figur media dapat dengan cepat melintasi batas-batas yang tidak etis, seperti pengiriman hadiah yang tidak diminta, permintaan kontak langsung, atau bahkan konfrontasi publik terhadap orang-orang di sekitar figur tersebut.
Dengan perkembangan dunia virtual seperti Metaverse, IPS akan mengambil dimensi baru. Pengalaman imersif (mendalam) di mana penonton dapat hadir secara virtual di samping avatar figur media akan memperkuat ilusi kehadiran dan timbal balik. Interaksi tidak lagi terbatas pada visual dua dimensi, tetapi melibatkan ruang bersama dan interaksi spasial yang jauh lebih meyakinkan.
Hal ini dapat meningkatkan manfaat IPS (pengalaman sosial yang lebih kaya), tetapi juga meningkatkan risiko maladaptif, di mana batas antara realitas dan fiksi menjadi nyaris tidak dapat dibedakan, menyebabkan disorientasi sosial yang lebih besar.
Tantangan terbesar di masa depan adalah mengembangkan literasi media parasosial. Kita harus mengajarkan individu—mulai dari usia dini—untuk membedakan antara keintiman yang dirasakan di layar dan keintiman yang memerlukan timbal balik dalam kehidupan nyata.
Literasi ini melibatkan pemahaman bahwa:
Interaksi Parasosial adalah fenomena inheren manusia yang mencerminkan kebutuhan kita yang tak terpuaskan akan koneksi dan cerita. Ia adalah hasil alami dari otak kita yang berevolusi untuk berinteraksi dan membentuk ikatan, kini diproyeksikan ke media yang semakin canggih dan personal.
Dari pembawa berita radio hingga VTuber yang berbicara langsung kepada kita melalui headset, IPS adalah pedang bermata dua. Ia menawarkan kenyamanan, mengurangi kesepian, dan menyediakan model peran yang kuat. Namun, jika tidak diatur, ia dapat mengarah pada obsesi, ekspektasi yang tidak realistis terhadap keintiman, dan pengabaian terhadap hubungan yang secara fundamental diperlukan untuk kesehatan psikologis jangka panjang—yaitu hubungan yang memerlukan timbal balik, konflik, dan pertumbuhan bersama.
Dalam labirin media digital yang memikat ini, di mana keintiman mudah dipalsukan dan koneksi terasa hanya dengan satu klik, tugas kita adalah menghargai kenyamanan yang ditawarkan oleh IPS sambil secara sadar memprioritaskan investasi kita dalam realitas sosial yang tak tergantikan. Kita harus menikmati ilusi, tetapi tidak membiarkannya mendikte kenyataan kita.
Kesadaran akan mekanisme parasosial adalah langkah pertama menuju navigasi yang lebih sehat di lanskap digital, memungkinkan kita untuk menjadi penonton yang bijak dan bukan hanya peserta yang terperangkap dalam jaring keintiman satu arah.