Di tengah pusaran globalisasi yang tak pernah berhenti, fenomena yang disebut intermestik (intermestic) muncul sebagai konsep kunci untuk memahami dinamika politik dan kebijakan kontemporer. Konsep ini merujuk pada meleburnya garis pemisah yang sebelumnya dianggap tegas antara isu-isu domestik (internal) dan isu-isu internasional (eksternal). Batasan kedaulatan, yang secara tradisional diinterpretasikan sebagai dinding pertahanan terhadap campur tangan luar, kini menjadi semakin porus dan tidak relevan dalam menghadapi tantangan yang melintasi batas geografis.
Dahulu kala, para pembuat kebijakan dapat dengan nyaman memisahkan agenda internal—seperti reformasi pajak, pendidikan, atau pembangunan infrastruktur—dari agenda luar negeri yang berfokus pada diplomasi, perjanjian dagang, atau konflik antarnegara. Namun, di era konektivitas digital, rantai pasok global yang rumit, dan ancaman non-tradisional yang bersifat transnasional, setiap keputusan domestik memiliki resonansi global, dan setiap peristiwa global secara cepat memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di dalam negeri.
Artikel ini akan mengupas tuntas hakikat dari intermestik, menggali akar teoretisnya, menganalisis bagaimana mekanisme ini beroperasi di berbagai sektor, serta mengevaluasi implikasi dan tantangan spesifik yang ditimbulkannya bagi tata kelola negara, khususnya dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Pemahaman mendalam tentang intermestik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan bagi siapa pun yang terlibat dalam perumusan kebijakan di abad ke-21.
Meskipun praktik interaksi antara domestik dan global telah ada sejak lama, formalisasi konsep intermestik mendapatkan momentum kuat pasca-Perang Dingin dan semakin dipercepat oleh gelombang globalisasi ketiga. Untuk memahami kedalaman konsep ini, penting untuk menelusuri landasan teoretis yang mendukungnya, terutama dari studi Hubungan Internasional (HI) dan Ilmu Politik komparatif.
Salah satu kontributor teoretis terpenting dalam kerangka intermestik adalah karya Robert Putnam mengenai “Permainan Dua Tingkat” (Two-Level Games). Diformulasikan awalnya untuk menganalisis negosiasi internasional, teori ini menyatakan bahwa kepala negara atau negosiator harus beroperasi secara simultan di dua arena:
Dalam konteks intermestik yang lebih luas, "Permainan Dua Tingkat" menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan luar negeri bergantung pada penerimaan domestik, dan sebaliknya, kebijakan domestik sering kali harus diselaraskan agar sesuai dengan komitmen internasional. Kebutuhan untuk mengelola ‘jendela kemenangan’ (win-set) di kedua tingkat secara serentak mendefinisikan tantangan utama dari intermestik.
Globalisasi bukan sekadar fenomena ekonomi; ia adalah katalis yang mengubah struktur politik dan sosial. Arus modal yang cepat, migrasi tenaga kerja, dan penyebaran informasi melalui internet telah menciptakan jaringan transnasional yang beroperasi di luar kendali eksklusif negara-bangsa. Organisasi Non-Pemerintah Internasional (INGO), perusahaan multinasional (MNC), dan bahkan individu (melalui media sosial) kini memiliki kapasitas untuk memengaruhi kebijakan domestik.
Misalnya, keputusan perusahaan teknologi besar di Silicon Valley mengenai privasi data atau algoritma moderasi konten akan secara langsung memengaruhi kebebasan berbicara, keamanan data, dan bahkan stabilitas politik di Jakarta atau Manila. Ini adalah bukti nyata bahwa kekuatan eksternal tidak lagi terbatas pada aktor negara, tetapi juga mencakup aktor non-negara yang beroperasi melintasi batas-batas tradisional, memaksa pemerintah untuk merespons isu-isu global sebagai isu domestik.
Sebelumnya, keamanan diartikan sebagai perlindungan batas negara dari invasi militer. Dalam era intermestik, ancaman telah beralih ke dimensi yang lebih cair: terorisme transnasional, kejahatan siber, pencucian uang, hingga pandemi global. Ancaman-ancaman ini tidak dapat ditangani hanya dengan kekuatan militer atau diplomasi bilateral; mereka memerlukan respons domestik yang kuat—seperti penguatan sistem kesehatan, regulasi teknologi keuangan, dan reformasi hukum anti-terorisme—yang diintegrasikan dengan kerja sama internasional.
Inti dari intermestik adalah pengakuan bahwa isolasionisme tidak lagi memungkinkan. Kesejahteraan dan keamanan domestik adalah fungsi dari keterlibatan global yang cermat dan terkelola. Negara yang mencoba menutup diri dari arus global akan menemukan bahwa masalah global, seperti perubahan iklim atau inflasi impor, tetap akan menembus batas-batas mereka.
Fenomena intermestik tidak hanya bersifat abstrak; ia terwujud dalam cara kerja praktis berbagai sektor kebijakan. Integrasi antara kebijakan dalam negeri dan luar negeri terlihat paling jelas dalam empat domain utama: ekonomi, keamanan, lingkungan, dan kesehatan.
Globalisasi ekonomi adalah mesin utama intermestik. Tidak ada kebijakan ekonomi domestik yang dapat diimplementasikan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pasar global, demikian pula sebaliknya.
Ketergantungan suatu negara pada rantai pasok global menciptakan kerentanan intermestik yang signifikan. Ketika terjadi gangguan geopolitik (seperti konflik di Laut Merah atau perang dagang AS-China) atau bencana alam di negara produsen utama, dampaknya langsung terasa di tingkat domestik berupa inflasi, kelangkaan bahan baku, dan PHK di sektor industri hilir. Pemerintah domestik dipaksa untuk menyusun strategi ketahanan pasok (supply chain resilience) yang secara inheren adalah kebijakan luar negeri (diversifikasi mitra dagang) sekaligus kebijakan domestik (insentif produksi lokal).
Contoh klasik adalah industri semikonduktor. Keputusan beberapa negara untuk membatasi ekspor teknologi chip tertentu adalah kebijakan luar negeri, tetapi konsekuensinya langsung menghantam industri otomotif, elektronik, dan bahkan militer di negara-negara yang bergantung pada impor chip tersebut. Ini memaksa negara-negara pengimpor untuk mengalokasikan triliunan dana domestik untuk membangun fasilitas manufaktur chip, sebuah respons domestik terhadap kebijakan luar negeri pihak lain.
Isu pajak dan regulasi keuangan dulunya dianggap murni domain domestik. Namun, dengan munculnya perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah pajak lintas batas, isu ini telah menjadi masalah intermestik akut. Inisiatif internasional seperti kerangka kerja OECD untuk Pilar Satu dan Pilar Dua (pajak minimum global) memaksa negara-negara, termasuk Indonesia, untuk mereformasi total Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mereka. Keputusan mengenai tarif pajak domestik kini ditentukan oleh standar global, bukan hanya oleh kebutuhan anggaran internal.
Demikian pula, regulasi Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF) memaksa perbankan dan lembaga keuangan domestik untuk mengadopsi standar internasional. Kegagalan mematuhi standar ini dapat mengakibatkan suatu negara dimasukkan dalam daftar ‘abu-abu’ atau ‘hitam’, yang secara instan menghambat investasi asing dan perdagangan domestik.
Perbatasan negara semakin tidak relevan untuk menghentikan ancaman keamanan modern. Keamanan intermestik melibatkan pengelolaan ancaman yang berasal dari luar tetapi bermanifestasi di dalam.
Serangan siber terhadap infrastruktur vital—seperti bank, jaringan listrik, atau sistem kesehatan—sering kali dilancarkan oleh aktor non-negara yang didukung oleh negara asing (APT - Advanced Persistent Threats). Ini adalah tindakan eksternal, tetapi kerusakannya bersifat murni domestik. Respons terhadap ancaman siber harus mencakup diplomasi siber, berbagi intelijen internasional, sekaligus penguatan regulasi proteksi data dan investasi besar dalam kapabilitas pertahanan siber domestik.
Isu kedaulatan data menjadi sangat intermestik. Di mana data warga negara disimpan? Siapa yang memiliki akses? Regulasi perlindungan data pribadi (seperti GDPR di Eropa atau UU PDP di Indonesia) adalah kebijakan domestik, tetapi penerapannya harus menjangkau perusahaan teknologi asing yang mengumpulkan data warga negara tersebut, memaksa adanya kerja sama hukum lintas batas.
Kelompok teroris global memanfaatkan ideologi dan jaringan keuangan yang melintasi batas. Rekrutmen dilakukan melalui internet, pendanaan bergerak melalui sistem keuangan yang kompleks, dan pelatihan dilakukan di luar negeri. Ketika seorang warga negara kembali setelah terpapar ideologi ekstremis di luar negeri, ancamannya menjadi murni domestik. Kebijakan kontra-terorisme harus menggabungkan kerja sama intelijen internasional, perjanjian ekstradisi, dan pada saat yang sama, program deradikalisasi dan kontra-narasi di tingkat komunitas domestik. Kasus WNI yang bergabung dengan jaringan di Timur Tengah adalah manifestasi nyata dari perpaduan ancaman ini.
Kerusakan lingkungan tidak mengenal batas negara, menjadikan isu ini salah satu bidang intermestik paling sensitif.
Komitmen iklim yang disepakati secara internasional (misalnya, di bawah Perjanjian Paris) bukan hanya janji diplomatik; komitmen tersebut diterjemahkan menjadi kebijakan energi domestik, regulasi industri, target emisi kendaraan, dan insentif energi terbarukan. Ketika negara-negara maju menetapkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM), ini adalah kebijakan luar negeri mereka yang secara langsung memengaruhi ekspor dan daya saing industri domestik di negara berkembang, memaksa perusahaan di dalam negeri untuk segera bertransformasi.
Kenaikan permukaan air laut, meskipun disebabkan oleh emisi global, adalah masalah domestik bagi negara kepulauan. Kebijakan tata ruang, migrasi internal, dan pembangunan infrastruktur domestik harus diselaraskan dengan hasil negosiasi iklim di forum PBB.
Kasus asap lintas batas (haze) yang sering melanda Asia Tenggara akibat kebakaran hutan di Indonesia adalah contoh intermestik yang akut. Kebakaran tersebut berakar pada praktik domestik (penggunaan lahan, penegakan hukum lokal), tetapi dampaknya—gangguan kesehatan, pariwisata, dan diplomatik—dirasakan di seluruh kawasan. Penanganan masalah ini memerlukan reformasi agraria domestik yang ketat, sekaligus kerja sama regional (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) dan investasi dari pihak asing untuk pencegahan.
Pandemi COVID-19 memberikan studi kasus paling dramatis mengenai intermestik. Virus yang muncul di satu lokasi dapat dengan cepat melumpuhkan ekonomi dan sistem kesehatan di seluruh dunia.
Kebijakan kesehatan domestik—mulai dari ketersediaan vaksin, pengadaan alat medis, hingga kebijakan karantina dan perbatasan—sepenuhnya ditentukan oleh dinamika global (WHO, perjanjian pembelian vaksin, diplomasi farmasi). Kebutuhan untuk mengelola pandemi memaksa pemerintah domestik untuk mengalihkan sumber daya besar-besaran, yang merupakan implikasi langsung dari kegagalan tata kelola kesehatan di tempat lain. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan kesehatan tidak dapat dipertahankan tanpa solidaritas dan koordinasi global yang efektif.
Sebagai negara demokrasi besar di Asia Tenggara, anggota G20, dan pemain kunci dalam ASEAN, Indonesia adalah laboratorium ideal untuk mengamati fenomena intermestik. Prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang "Bebas Aktif" kini diuji dalam lingkungan global di mana batasan antara kemerdekaan bertindak (bebas) dan kepentingan domestik (aktif) terus-menerus dipertanyakan oleh kekuatan global dan tuntutan internal.
Program pembangunan infrastruktur besar-besaran Indonesia, seperti proyek kereta cepat atau pengembangan smelter nikel, sangat bergantung pada pendanaan dan teknologi asing, khususnya dari Tiongkok (melalui inisiatif Belt and Road). Ketergantungan ini menciptakan dilema intermestik. Keputusan untuk menerima investasi besar adalah kebijakan domestik yang ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi (manfaat internal), tetapi ia membawa konsekuensi eksternal berupa ketergantungan utang dan pengaruh geopolitik.
Secara domestik, proyek-proyek ini menimbulkan isu lingkungan, pembebasan lahan, dan tenaga kerja asing. Namun, secara internasional, isu-isu ini dapat dieksploitasi oleh kekuatan asing yang bersaing atau oleh kelompok kepentingan yang menentang proyek tersebut. Pemerintah Indonesia harus menavigasi kepentingan investor asing sambil memastikan bahwa kedaulatan ekonomi dan sosial domestik tidak terkompromikan.
Isu-isu di kawasan tertentu, khususnya Papua, telah bertransformasi dari masalah keamanan domestik menjadi isu yang mendapat perhatian luas di forum-forum internasional, termasuk PBB, Uni Eropa, dan forum negara-negara Pasifik. Aktivis dan media global mengangkat isu hak asasi manusia dan konflik, memberikan tekanan diplomatik yang signifikan kepada Jakarta.
Indonesia mempertahankan sikap bahwa ini adalah masalah kedaulatan domestik (non-intervensi). Namun, dalam era intermestik, kedaulatan tidak lagi berarti kekebalan mutlak dari pengawasan global. Penanganan konflik di dalam negeri harus memperhitungkan resonansi global yang ditimbulkannya. Kegagalan dalam menjamin transparansi dan akuntabilitas domestik dapat secara langsung merusak citra internasional Indonesia, memengaruhi hubungan dagang, dan bahkan memengaruhi keanggotaan dalam organisasi internasional.
Jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bekerja di luar negeri, menghasilkan devisa yang vital bagi perekonomian domestik. Namun, perlindungan TKI menjadi salah satu tantangan intermestik paling mendesak. Masalah-masalah yang dihadapi TKI—mulai dari upah yang tidak layak, kekerasan, hingga masalah hukum—adalah masalah domestik (kesejahteraan warga) yang terjadi di yurisdiksi asing.
Untuk melindungi warga, Indonesia harus menggunakan instrumen kebijakan luar negeri (diplomasi bilateral, perjanjian MoU, dan penempatan atase tenaga kerja) yang kemudian harus ditegakkan melalui reformasi sistem perekrutan dan pengawasan di tingkat domestik. Kegagalan satu negara mitra dalam memberikan perlindungan akan memicu protes domestik di Indonesia, menunjukkan interaksi erat antara kebijakan migrasi bilateral dan stabilitas politik internal.
Indonesia memiliki populasi pengguna internet yang masif. Konflik narasi domestik, mulai dari pemilihan umum hingga isu sensitif agama dan etnis, kini dimainkan di platform media sosial yang dimiliki oleh perusahaan asing. Propaganda asing, berita palsu (hoaks), dan upaya disinformasi dapat dengan mudah masuk dan mengganggu proses demokrasi domestik.
Pemerintah dihadapkan pada dilema: bagaimana melindungi ruang informasi domestik tanpa melanggar kebebasan berekspresi. Regulasi domestik (seperti UU ITE) harus bersaing dengan standar kebebasan global dan kebijakan moderasi konten yang ditetapkan oleh perusahaan teknologi di luar negeri. Pengelolaan krisis di era intermestik seringkali dimulai di ruang digital global dan memerlukan respons yang terkoordinasi antara kementerian domestik dan perwakilan diplomatik.
Integrasi domestik-global menciptakan kebutuhan akan model tata kelola yang berbeda dari sistem birokrasi tradisional yang terpartisi. Intermestik menantang struktur kementerian, legitimasi politik, dan kapasitas administratif negara.
Struktur birokrasi tradisional seringkali memisahkan kementerian luar negeri (Kemenlu) dari kementerian domestik (Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, dsb.). Di era intermestik, pemisahan ini menjadi penghalang. Sebuah perjanjian perdagangan yang dinegosiasikan oleh Kemenlu dan Kementerian Perdagangan memiliki implikasi langsung terhadap standar tenaga kerja (Kementerian Ketenagakerjaan), perlindungan lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup), dan harga pangan domestik (Kementerian Pertanian).
Tantangan utama adalah koordinasi horizontal. Keputusan yang diambil di satu kementerian harus diperhitungkan dampaknya di arena internasional, dan sebaliknya, posisi negosiasi di luar negeri harus mencerminkan kepentingan seluruh sektor domestik. Kegagalan koordinasi intermestik seringkali menyebabkan kebijakan yang tumpang tindih, kontradiksi pesan diplomatik, dan pemborosan sumber daya.
Banyak keputusan intermestik diambil melalui forum multilateral atau perjanjian bilateral oleh eksekutif, jauh dari pengawasan publik atau proses legislatif yang transparan. Ketika negara meratifikasi perjanjian internasional mengenai iklim, pajak, atau perdagangan, keputusan ini seringkali memerlukan perubahan hukum domestik yang mendasar, tetapi proses pengambilan keputusannya terasa asing bagi warga negara.
Hal ini menimbulkan apa yang disebut ‘defisit demokratis’ intermestik. Warga merasa bahwa nasib mereka ditentukan oleh birokrat anonim di Jenewa atau New York, bukan oleh wakil yang mereka pilih. Respons terhadap defisit ini menuntut peningkatan transparansi, konsultasi publik yang lebih ekstensif sebelum meratifikasi perjanjian, dan peran yang lebih besar bagi parlemen dalam mengawasi implikasi kebijakan luar negeri.
Birokrat di era intermestik tidak lagi bisa menjadi spesialis murni di domain domestik atau internasional. Mereka harus menjadi ‘birokrat hibrida’—individu yang memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu teknis domestik (misalnya, mekanisme pasar karbon atau regulasi fintech) dan pada saat yang sama mampu bernegosiasi dan berkomunikasi secara efektif dalam bahasa diplomasi global.
Peningkatan kapasitas ini memerlukan investasi besar dalam pelatihan, pertukaran staf antara Kemenlu dan kementerian teknis, serta penggunaan lembaga think tank dan akademisi untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan antara arena domestik dan internasional. Tanpa kapasitas ini, negara berisiko membuat kesalahan mahal yang merugikan kepentingan nasional.
Menghadapi realitas intermestik, negara harus mengembangkan strategi adaptasi yang proaktif dan berkelanjutan. Strategi ini harus fokus pada penguatan internal sambil memaksimalkan pengaruh di arena global.
Langkah paling fundamental adalah membongkar sekat-sekat antar kementerian. Perlu dibentuk mekanisme koordinasi tingkat tinggi yang bersifat permanen, mungkin di bawah Kantor Presiden atau lembaga koordinasi khusus, yang bertugas memetakan implikasi global dari setiap kebijakan domestik yang penting (international impact assessment) dan sebaliknya, memastikan posisi negosiasi luar negeri sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.
Pendekatan ini harus diinstitusionalisasikan. Misalnya, sebelum Kemenlu bernegosiasi mengenai isu lingkungan di PBB, mereka harus mendapatkan masukan terperinci dari kementerian teknis mengenai kapasitas implementasi domestik, kendala anggaran daerah, dan penerimaan politik lokal. Ini adalah strategi untuk menjamin bahwa kebijakan luar negeri adalah cerminan dari kebijakan domestik yang matang, bukan sekadar respons diplomatik yang terisolasi.
Dalam konteks intermestik, warga negara di luar negeri (diaspora) adalah aset intermestik yang vital. Mereka tidak hanya mengirimkan remitansi (isu ekonomi domestik), tetapi juga berfungsi sebagai jembatan budaya, diplomat tak resmi, dan sumber daya lobi. Negara yang cerdas akan memberdayakan diaspora untuk memengaruhi opini publik di negara tempat mereka tinggal dan memberikan informasi balik yang berharga mengenai persepsi global terhadap kebijakan domestik.
Indonesia dapat memanfaatkan soft power-nya—budaya, kuliner, dan peran dalam perdamaian regional—untuk membangun modal diplomatik. Modal ini kemudian dapat digunakan untuk meredam kritik atas isu-isu domestik sensitif atau memfasilitasi akses pasar bagi produk-produk nasional. Diplomasi publik menjadi senjata intermestik yang sama pentingnya dengan diplomasi tradisional.
Alih-alih menunggu tekanan internasional untuk melakukan reformasi, negara harus secara proaktif mengadopsi standar global terbaik di sektor-sektor kunci. Misalnya, mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, and Governance) atau regulasi anti-korupsi yang ketat. Dengan secara sukarela menyelaraskan diri dengan standar global, suatu negara tidak hanya meningkatkan daya saing industri domestik di pasar internasional, tetapi juga mengurangi kerentanan terhadap kritik internasional dan sanksi perdagangan.
Penguatan regulasi domestik ini juga berfungsi sebagai pertahanan terhadap eksternalitas negatif. Contohnya, regulasi yang kuat mengenai impor produk tertentu (misalnya, terkait standar kesehatan atau keamanan pangan) adalah kebijakan domestik, tetapi berfungsi melindungi konsumen dari produk yang mungkin diproduksi dengan standar longgar di luar negeri.
Kebijakan luar negeri harus diorientasikan untuk secara langsung mendukung kepentingan ekonomi domestik, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Diplomasi ekonomi intermestik berarti bahwa perwakilan di luar negeri (kedutaan besar dan konsulat) tidak hanya fokus pada hubungan antar-negara, tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator bisnis dan promotor produk UMKM di pasar global. Mereka harus mampu mengidentifikasi hambatan perdagangan di negara akreditasi dan memberikan informasi intelijen pasar yang spesifik kembali ke sektor bisnis domestik.
Lanskap intermestik diprediksi akan menjadi semakin kompleks. Ketegangan geopolitik antara kekuatan besar, disrupsi teknologi (kecerdasan buatan, mata uang digital), dan ancaman eksistensial seperti krisis iklim akan terus mempercepat fusi antara isu domestik dan global.
Beberapa analis berpendapat bahwa kita memasuki era deglobalisasi, ditandai dengan proteksionisme dan penarikan rantai pasok. Namun, bahkan fragmentasi global sekalipun akan menjadi fenomena intermestik. Ketika negara-negara membentuk blok dagang tertutup (misalnya, regionalisasi atau friend-shoring), kebijakan domestik suatu negara harus dengan cepat menyesuaikan diri untuk memastikan ia tetap berada di dalam blok yang menguntungkan. Pemutusan hubungan ekonomi dengan satu blok (sebuah keputusan luar negeri) akan memerlukan realokasi modal, pelatihan ulang tenaga kerja, dan perubahan regulasi di dalam negeri (respons domestik yang besar).
Masa depan tidak menjanjikan kemudahan. Pemerintah harus siap mengelola simultanitas antara kerja sama global (untuk isu iklim dan pandemi) dan persaingan geopolitik yang intens (untuk teknologi dan sumber daya).
Kedaulatan di abad intermestik tidak hanya tentang kontrol atas teritori fisik, tetapi juga kontrol atas lingkungan informasi domestik—yang sering disebut kedaulatan kognitif. Negara harus mengembangkan kemampuan untuk mendeteksi dan melawan kampanye disinformasi yang disalurkan dari luar, yang bertujuan memecah belah masyarakat domestik. Ini memerlukan investasi besar dalam literasi digital masyarakat, penguatan media domestik, dan kemampuan analisis intelijen terbuka.
Strategi terbaik dalam menghadapi dunia intermestik yang tidak stabil adalah membangun resiliensi domestik yang tinggi. Ini mencakup diversifikasi ekonomi, penguatan sistem pangan dan energi nasional, serta pembangunan modal sosial yang kuat. Semakin kuat dan mandiri suatu negara di dalam negeri, semakin besar kemampuannya untuk bernegosiasi di tingkat internasional dan semakin kecil kemungkinannya untuk dipaksa berkompromi oleh tekanan global.
Resiliensi nasional adalah fondasi yang memungkinkan suatu negara untuk mengubah kerentanan intermestik menjadi peluang. Negara yang mampu menstabilkan mata uangnya, menyediakan lapangan kerja yang memadai, dan menjaga keharmonisan sosial akan berada di posisi yang lebih kuat untuk menghadapi badai finansial global, konflik geopolitik regional, atau ancaman kesehatan publik.
Pada akhirnya, intermestik mengajarkan satu pelajaran fundamental: kebijakan yang efektif harus selalu beroperasi di dua arah. Ia harus mampu menerjemahkan tuntutan global ke dalam tindakan domestik yang pragmatis, sambil memastikan bahwa kepentingan dan nilai-nilai domestik terwakili secara kuat di meja perundingan internasional. Kegagalan untuk mengakui dan mengelola fusi ini akan mengakibatkan ketidakmampuan negara untuk menjamin kesejahteraan dan keamanan warganya di tengah kompleksitas abad ke-21.
Pergeseran ini menuntut evolusi mentalitas dari semua pihak: birokrat, diplomat, anggota parlemen, dan warga negara. Memahami intermestik adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa kedaulatan negara tetap relevan, adaptif, dan berkelanjutan dalam menghadapi arus global yang tak terhindarkan. Tata kelola modern memerlukan sinergi, bukan sekat, antara yang di dalam dan yang di luar.
Salah satu arena di mana intermestik menunjukkan kekuatannya secara paling jelas adalah dalam sektor energi. Keputusan mengenai sumber energi, harga, dan regulasi tidak dapat dipisahkan dari dinamika geopolitik, krisis lingkungan, dan stabilitas domestik.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi dilema intermestik dalam transisi energi. Secara internasional, ada tekanan kuat untuk beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan (sejalan dengan komitmen iklim). Namun, secara domestik, batubara dan minyak masih menjadi tulang punggung perekonomian, sumber lapangan kerja, dan penyedia energi murah untuk subsidi masyarakat.
Keputusan untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah kebijakan domestik, tetapi implikasinya finansialnya (utang, kompensasi karyawan) sangat bergantung pada skema pendanaan internasional, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Skema JETP sendiri adalah perjanjian luar negeri yang secara langsung mendikte kecepatan reformasi sektor energi domestik dan penggunaan anggaran nasional. Ini adalah kasus buku teks: agenda lingkungan global menjadi tuas untuk mendikte kebijakan pembangunan domestik.
Selain itu, pengembangan energi terbarukan—seperti mobil listrik—menciptakan ketergantungan baru. Meskipun mengurangi emisi domestik, transisi ini meningkatkan ketergantungan pada pasokan mineral kritis (lithium, kobalt, nikel) yang sering dikuasai oleh segelintir negara atau perusahaan multinasional. Kebijakan domestik mengenai hilirisasi nikel (misalnya, larangan ekspor bijih mentah di Indonesia) adalah upaya mempertahankan kedaulatan sumber daya, tetapi segera memicu sengketa dagang internasional (WTO) dan ketegangan diplomatik, membuktikan bahwa kebijakan sumber daya alam adalah inti dari perdebatan intermestik.
Indonesia, sebagai net importer minyak, sangat rentan terhadap fluktuasi harga energi global. Ketika harga minyak internasional naik akibat konflik geopolitik di Timur Tengah atau pemotongan produksi OPEC+, dampaknya langsung terasa pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) domestik dan anggaran negara. Kenaikan harga global memaksa pemerintah domestik mengambil keputusan politik yang sulit: menaikkan harga BBM (yang memicu protes dan inflasi) atau memperbesar subsidi (yang menguras kas negara dan menghambat alokasi dana untuk sektor vital lain seperti pendidikan dan kesehatan).
Keputusan domestik mengenai penyesuaian harga BBM adalah keputusan politik intermestik yang paling sensitif. Ia adalah reaksi langsung terhadap kondisi pasar global, tetapi pelaksanaannya menentukan stabilitas sosial dan politik di dalam negeri. Koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan BUMN seperti Pertamina menjadi sangat penting dalam menyerap guncangan eksternal ini.
Fenomena intermestik tidak hanya terjadi di tingkat negara (nasional), tetapi juga merembes hingga ke tingkat sub-nasional, seperti provinsi dan kota. Otonomi daerah kini menghadapi serangkaian tantangan global yang memerlukan respons lokal.
Kota-kota besar di Indonesia (seperti Jakarta, Surabaya, Bandung) seringkali memiliki hubungan langsung dengan kota-kota di negara lain melalui program sister city, jaringan iklim global (C40), atau kerja sama ekonomi. Wali kota kini bertindak sebagai "diplomat" yang mengamankan investasi, meminjam teknologi hijau, atau bahkan menarik pariwisata. Ini disebut diplomasi kota atau diplomasi sub-nasional.
Ketika sebuah kota menandatangani perjanjian untuk mengurangi emisi karbon atau mengadopsi standar transportasi cerdas, ini adalah komitmen internasional yang harus diimplementasikan melalui kebijakan tata ruang, regulasi transportasi lokal, dan alokasi anggaran daerah. Ini menciptakan ketegangan dengan birokrasi nasional, karena komitmen global yang diambil oleh kota harus sesuai dengan kerangka hukum domestik yang berlaku.
Urbanisasi masif di Indonesia didorong oleh faktor domestik (kemiskinan pedesaan), tetapi juga faktor internasional (kepulangan TKI, migrasi antarnegara di ASEAN). Kota-kota harus menanggung beban sosial dan infrastruktur dari peningkatan populasi ini. Kebijakan domestik mengenai perizinan tinggal, penyediaan layanan publik, dan integrasi sosial migran harus selaras dengan perjanjian internasional tentang hak asasi migran dan prinsip-prinsip inklusivitas.
Banyak produk yang dihasilkan di daerah, seperti kopi, rempah-rempah, atau kerajinan tangan, harus memenuhi standar sertifikasi internasional (misalnya, sertifikasi organik, fair trade, atau standar keamanan produk Eropa) agar dapat diekspor. Proses untuk mendapatkan sertifikasi ini diatur oleh lembaga internasional atau asing, tetapi pelaksanaannya dan pengawasannya harus dilakukan oleh pemerintah daerah dan otoritas domestik. Kegagalan di tingkat lokal untuk memenuhi standar global ini dapat menutup akses pasar internasional, secara langsung merugikan petani dan produsen di daerah tersebut. Ini menunjukkan bagaimana standar global memaksakan reformasi manajemen mutu di tingkat lokal.
Untuk mengelola intermestik, hukum dan institusi negara harus berevolusi. Ketaatan terhadap hukum internasional kini menjadi urusan domestik yang mendesak.
Tantangan terbesar di tingkat hukum adalah memastikan sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan nasional dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional. Ketika suatu negara meratifikasi sebuah konvensi (misalnya, UNCLOS untuk hukum laut, atau konvensi ILO untuk ketenagakerjaan), maka seluruh hierarki hukum domestik, dari undang-undang hingga peraturan daerah, harus disesuaikan.
Seringkali terjadi ‘gap implementasi’ di mana perjanjian internasional telah diratifikasi, tetapi penegakan dan perubahannya di tingkat domestik berjalan lambat atau setengah-setengah. Gap ini menciptakan kerentanan intermestik, karena negara dapat dituduh melanggar komitmen internasional oleh mitra dagang atau organisasi global, meskipun niat domestik untuk mematuhi sudah ada.
Lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi (MK), semakin terlibat dalam isu intermestik. MK sering diminta untuk meninjau apakah undang-undang domestik bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau apakah perjanjian internasional itu sendiri bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK dalam kasus-kasus terkait perdagangan, investasi, atau hak asasi manusia dapat memiliki implikasi geopolitik yang sangat besar, secara efektif membatalkan atau mengubah kebijakan luar negeri yang telah dinegosiasikan oleh eksekutif.
Keterlibatan peradilan ini menunjukkan bahwa intermestik bukan hanya arena eksekutif dan legislatif, tetapi juga arena yudikatif, yang bertindak sebagai penjaga kedaulatan hukum di hadapan tekanan global. Penguatan independensi peradilan menjadi prasyarat untuk pengelolaan intermestik yang adil dan stabil.
Pembahasan ekstensif mengenai konsep intermestik ini menegaskan bahwa kita telah melewati batas pemisah tradisional antara yang ‘dalam’ dan yang ‘luar’. Realitas modern adalah bahwa setiap kebijakan publik adalah intermestik. Baik itu inflasi di pasar sayur, kualitas udara di perkotaan, keamanan data perbankan, atau stabilitas politik, semua dipengaruhi oleh kekuatan yang beroperasi di luar batas negara tetapi bermanifestasi secara internal.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang memegang peran sentral di Asia Tenggara dan berjuang mencapai status negara maju, pengelolaan intermestik adalah kunci keberhasilan. Hal ini menuntut bukan hanya respons yang cerdas dari para pemimpin, tetapi juga reformasi struktural yang mendalam:
Intermestik bukan sekadar teori akademis; ia adalah peta operasional untuk tata kelola kontemporer. Negara yang berhasil menavigasi kompleksitas fusi ini akan menjadi negara yang makmur dan aman. Negara yang gagal, akan menemukan bahwa kedaulatannya terkikis bukan oleh invasi militer, melainkan oleh kekuatan tak terlihat dari pasar global, arus informasi, dan standar etika internasional.
Pemahaman ini mendorong kesimpulan bahwa kedaulatan sejati di era intermestik bukanlah kemampuan untuk menutup diri, melainkan kapasitas untuk terlibat secara strategis dan efektif di dunia yang saling terhubung.