Istijmar: Panduan Lengkap Kebersihan dalam Islam

Pengantar: Pentingnya Kebersihan dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kebersihan, baik kebersihan lahiriah maupun batiniah. Konsep "thaharah" atau bersuci merupakan pilar fundamental dalam praktik ibadah seorang Muslim. Tanpa thaharah, banyak ibadah utama seperti salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur'an tidak sah. Thaharah tidak hanya berarti membersihkan diri dari hadas (hadas kecil atau hadas besar) dan najis (kotoran), tetapi juga melibatkan kebersihan lingkungan, pakaian, dan niat hati. Dalam spektrum kebersihan ini, terdapat dua metode utama untuk membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil, yaitu istinja dengan air dan istijmar dengan benda padat.

Meskipun air merupakan media utama dan paling sempurna untuk bersuci, syariat Islam yang penuh kemudahan juga menyediakan alternatif bagi umatnya ketika air tidak tersedia atau sulit dijangkau. Alternatif inilah yang dikenal dengan istilah "Istijmar." Istijmar merupakan salah satu bentuk rukhsah (keringanan) yang menunjukkan fleksibilitas dan kepraktisan ajaran Islam, memastikan bahwa seorang Muslim tetap dapat menjaga kebersihan dan melaksanakan ibadahnya dalam berbagai kondisi, termasuk saat bepergian, di padang pasir, atau di tempat-tempat yang minim pasokan air.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk istijmar, mulai dari definisinya, dasar hukumnya dalam Al-Qur'an dan Hadis, syarat-syarat yang harus dipenuhi, benda-benda yang boleh dan tidak boleh digunakan, hingga hikmah di balik pensyariatannya. Kita juga akan membahas perbandingannya dengan istinja, tata cara pelaksanaannya, pandangan dari empat mazhab fiqh utama, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Pemahaman yang komprehensif tentang istijmar akan memperkaya pengetahuan kita tentang keindahan dan kemudahan syariat Islam dalam menjaga kebersihan seorang Muslim.

Definisi Istijmar dan Istinja

Untuk memahami istijmar dengan baik, penting untuk membedakannya dengan istinja serta memahami konteks yang lebih luas dari thaharah.

Thaharah (Bersuci)

Thaharah secara bahasa berarti bersih atau suci. Dalam terminologi syariat, thaharah adalah menghilangkan hadas dan najis. Hadas adalah kondisi tidak suci yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah tertentu (seperti salat), dan dapat dibagi menjadi hadas kecil (membutuhkan wudhu) dan hadas besar (membutuhkan mandi wajib). Najis adalah kotoran atau materi yang dianggap tidak suci menurut syariat, seperti kotoran manusia atau hewan, darah, atau bangkai.

Istinja

Istinja secara bahasa berarti membersihkan diri dari kotoran atau menghilangkan najis. Dalam syariat, istinja adalah membersihkan kemaluan dari sisa-sisa buang air besar (ghait) atau buang air kecil (baul) dengan menggunakan air. Ini adalah metode yang paling utama dan afdal (lebih utama) karena air dianggap sebagai pembersih yang paling sempurna, mampu menghilangkan zat najis, bau, dan warnanya. Air mampu membasuh dan membersihkan secara menyeluruh, sehingga tidak meninggalkan bekas najis sedikit pun. Oleh karena itu, jika air tersedia dan memungkinkan untuk digunakan, maka istinja dengan air adalah pilihan yang sangat dianjurkan dan lebih baik daripada istijmar.

Keutamaan istinja dengan air ditegaskan dalam banyak dalil, termasuk ayat Al-Qur'an yang memuji penduduk Quba karena kebiasaan mereka bersuci dengan air setelah buang hajat. Allah SWT berfirman: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." (QS. At-Taubah: 108). Para mufasir dan ulama menafsirkan ayat ini merujuk pada kebiasaan penduduk Quba yang selalu menggunakan air untuk bersuci setelah buang air, sebuah praktik yang sangat dihargai oleh Rasulullah SAW.

Istinja dengan air memastikan bahwa sisa-sisa kotoran tidak hanya terhapus secara fisik, tetapi juga dibersihkan hingga tidak ada jejak yang tersisa, baik berupa bau, warna, maupun materi najis. Ini memberikan tingkat kebersihan yang paripurna dan ketenangan hati bagi seorang Muslim dalam melaksanakan ibadahnya.

Istijmar

Istijmar berasal dari kata "jamar" (جَمَرَ) yang berarti mengumpulkan batu kerikil atau membakar dupa. Dalam konteks fiqh, istijmar adalah membersihkan kemaluan dari sisa-sisa buang air besar atau kecil dengan menggunakan benda padat yang suci dan kasar, seperti batu, kerikil, tisu, daun kering, atau benda sejenisnya, ketika air tidak tersedia atau sulit digunakan. Kata 'istijmar' secara harfiah merujuk pada penggunaan 'jimarah' (batu kecil) atau 'jamarat' (batu-batu kecil), yang secara historis merupakan benda yang paling umum digunakan untuk tujuan ini di lingkungan Arab pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Istijmar merupakan alternatif yang sah dan diizinkan dalam Islam, tetapi hanya jika air tidak ada, atau ada namun penggunaannya akan menimbulkan kesulitan, seperti saat air sangat sedikit dan dibutuhkan untuk minum atau wudhu, atau saat cuaca sangat dingin sehingga penggunaan air bisa membahayakan kesehatan. Tujuan istijmar adalah untuk menghilangkan ainun najasah (zat najis) hingga batas yang mungkin dengan benda padat, meskipun tidak sempurna seperti air. Namun, istijmar tetap dianggap sah untuk mengangkat hadas dan memungkinkan seseorang untuk shalat.

Perbedaan mendasar antara istinja dan istijmar terletak pada media pembersihnya. Istinja menggunakan air, sementara istijmar menggunakan benda padat. Keduanya memiliki tujuan yang sama: membersihkan diri dari najis setelah buang hajat, namun dengan tingkat kesempurnaan dan kondisi penggunaan yang berbeda.

Dalil-Dalil Syar'i tentang Istijmar

Pensyariatan istijmar didasarkan pada Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang sahih. Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa istijmar adalah praktik yang diizinkan dan diajarkan langsung oleh beliau sebagai bentuk keringanan bagi umatnya.

Hadis-hadis Utama

1. Hadis Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu

   Diriwayatkan dari Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang di antara kalian beristinja dengan kurang dari tiga batu, dan janganlah beristinja dengan kotoran hewan atau tulang." (HR. Muslim).

   Hadis ini merupakan dalil yang sangat eksplisit tentang istijmar. Beberapa poin penting dari Hadis ini:

   • Minimum Tiga Batu: Menetapkan jumlah minimal tiga batu sebagai syarat sah istijmar. Ini bukan sekadar rekomendasi, tetapi sebuah ketentuan syariat yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat kebersihan minimal yang disyariatkan. Penggunaan kurang dari tiga batu tidak akan dianggap memadai dan kebersihan tidak tercapai sesuai standar syariat.
   • Larangan Penggunaan Kotoran Hewan dan Tulang: Secara jelas melarang penggunaan dua jenis benda ini. Larangan ini memiliki hikmah yang mendalam. Kotoran hewan itu sendiri najis dan bisa menularkan kuman, sehingga menggunakannya untuk bersuci justru akan menambah najis. Tulang, di sisi lain, dianggap sebagai makanan bagi jin dan hewan peliharaan jin Muslim, sehingga menggunakannya untuk membersihkan kotoran adalah bentuk penghinaan dan tidak pantas.

2. Hadis Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu

   Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang hajat, hendaklah ia membawa tiga batu untuk membersihkan diri dengannya, karena sesungguhnya tiga batu itu sudah cukup baginya." (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i).

   Hadis ini semakin menguatkan Hadis Salman tentang jumlah minimal tiga batu. Frasa "sudah cukup baginya" (فإنها تجزئ عنه) menunjukkan bahwa istijmar dengan tiga batu sudah memadai untuk mengangkat hadas dan menjadikan seseorang suci secara syariat untuk beribadah.

3. Hadis Aisyah Radhiyallahu 'anha

   Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian buang air besar, hendaklah ia membersihkan dirinya dengan tiga batu." (HR. Ahmad).

   Hadis ini serupa dengan Hadis-hadis sebelumnya, menggarisbawahi pentingnya jumlah minimal tiga batu dalam praktik istijmar.

4. Hadis Jabir Radhiyallahu 'anhu

   Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi SAW melarang beristinja dengan tulang atau kotoran hewan. (HR. Muslim).

   Hadis ini mengkonfirmasi larangan penggunaan benda-benda tertentu untuk istijmar, memperkuat ajaran Nabi SAW tentang standar kebersihan dan penghormatan terhadap makhluk lain.

Implikasi Dalil-Dalil

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa istijmar adalah sebuah sunnah Nabi SAW yang dibenarkan dan memiliki kaidah-kaidah yang jelas. Pensyariatan istijmar bukan hanya bentuk keringanan, tetapi juga menunjukkan kesempurnaan Islam yang mengatur setiap aspek kehidupan, termasuk kebersihan pribadi dalam kondisi apapun. Hal ini memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga kesucian diri, bahkan ketika berada di tempat atau situasi yang tidak memungkinkan penggunaan air secara leluasa.

Dalil-dalil ini juga mengajarkan prinsip-prinsip penting dalam thaharah: pertama, kebersihan adalah inti; kedua, ada batasan minimal untuk mencapai kebersihan yang syar'i; dan ketiga, ada batasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh digunakan, yang semuanya memiliki hikmah tersendiri baik dari segi kebersihan fisik maupun aspek spiritual.

Dengan adanya dalil-dalil ini, seorang Muslim dapat dengan yakin melaksanakan istijmar sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tanpa merasa ragu akan keabsahan kebersihannya.

Syarat-Syarat Istijmar yang Sah

Agar istijmar dianggap sah dan dapat membersihkan najis sesuai syariat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini telah ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW dan ijtihad para ulama.

1. Menggunakan Minimal Tiga Batu atau Benda Padat

Ini adalah syarat yang paling sering ditekankan dalam Hadis. Jumlah minimal tiga batu atau sapuan dengan benda padat. Menggunakan kurang dari tiga tidak dianggap cukup. Jika tiga sapuan belum membersihkan, seseorang wajib menambah hingga benar-benar bersih, dengan anjuran untuk mengakhiri dengan jumlah ganjil (misalnya 5 atau 7), tetapi minimal tetap tiga.

• Hikmah: Angka tiga dianggap sebagai batas minimal yang efektif untuk menghilangkan sebagian besar kotoran. Anjuran ganjil (witran) adalah bagian dari sunnah Nabi dalam banyak hal, seperti jumlah rakaat shalat witir atau jumlah batu yang digunakan dalam melempar jumrah.
• Penerapan: Setiap sapuan harus mengenai area yang berbeda atau membersihkan bagian baru dari kotoran. Tidak cukup hanya menyapu satu kali dengan tiga sisi batu. Idealnya, sapuan pertama untuk menghilangkan najis yang paling banyak, sapuan kedua untuk membersihkan sisa, dan sapuan ketiga untuk memastikan kebersihan.

2. Benda yang Digunakan Harus Suci

Benda yang digunakan untuk istijmar tidak boleh najis. Misalnya, tidak boleh menggunakan kotoran hewan yang sudah kering, karena kotoran itu sendiri adalah najis. Menggunakan benda najis untuk membersihkan najis tentu tidak akan menghasilkan kesucian, melainkan akan menambah najis. Kebersihan dari benda yang digunakan adalah prasyarat mutlak untuk efektivitas istijmar.

• Pengecualian: Benda yang asalnya bersih tetapi terkena najis sebelum digunakan (misalnya batu bersih yang jatuh ke kotoran) juga tidak boleh digunakan.
• Contoh: Batu yang bersih, kertas tisu yang tidak bekas pakai, daun kering yang tidak najis, kayu, kain kering yang bersih.

3. Benda yang Digunakan Harus Padat dan Kasar (Tidak Licin)

Tujuannya adalah untuk menghilangkan zat najis melalui gesekan. Oleh karena itu, benda yang terlalu licin (seperti kaca atau plastik licin) atau terlalu halus (seperti daun yang sangat lembut) tidak akan efektif dalam mengangkat najis. Benda tersebut harus memiliki permukaan yang cukup kasar untuk "mengikis" dan mengangkat kotoran.

• Hikmah: Efektivitas pembersihan tergantung pada kemampuan benda untuk mengangkat partikel kotoran. Permukaan kasar lebih efektif daripada permukaan licin.
• Contoh: Batu kerikil yang berpori, pecahan genteng, kayu kasar, kertas tisu (memiliki serat yang efektif).

4. Najis Belum Mengering Total dan Belum Berpindah dari Tempat Keluarnya

Istijmar efektif jika najis masih basah atau setengah kering dan belum menyebar luas dari tempat keluarnya. Jika najis sudah menyebar ke area di luar lubang buang air (misalnya ke paha atau pakaian) atau sudah mengering dan membentuk kerak, maka istijmar saja tidak cukup. Dalam kondisi seperti itu, air wajib digunakan untuk membersihkan area yang terkena najis.

• Hikmah: Istijmar bertujuan untuk membersihkan area inti keluarnya najis. Jika sudah menyebar, cakupan pembersihan istijmar tidak memadai, dan air menjadi keharusan untuk memastikan najis tidak melekat di area lain.
• Penerapan: Batasan penyebaran najis ini biasanya diartikan sebagai najis yang tidak melebihi tempat keluarnya secara signifikan.

5. Najis Belum Tercampur dengan Benda Lain

Jika najis yang keluar bercampur dengan zat lain, seperti darah haid yang bercampur dengan kotoran, atau jika seseorang buang air besar sambil muntah dan muntahannya mengenai area najis, maka istijmar tidak lagi cukup. Air menjadi wajib karena campuran najis tersebut dianggap lebih sulit dibersihkan hanya dengan benda padat. Ini menunjukkan bahwa istijmar dimaksudkan untuk najis murni yang keluar dari saluran pembuangan.

• Hikmah: Campuran najis dapat mengubah sifat atau konsistensi najis, membuatnya lebih sulit dihilangkan dengan gesekan semata.

6. Benda yang Digunakan Bukan Termasuk yang Dilarang

Ada beberapa jenis benda yang secara spesifik dilarang untuk digunakan beristijmar. Ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya, tetapi secara umum meliputi tulang, kotoran hewan, makanan, dan benda-benda mulia atau terhormat.

• Pentingnya: Larangan ini bukan hanya tentang kebersihan, tetapi juga tentang etika, penghormatan, dan syariat.

Mematuhi semua syarat ini memastikan bahwa istijmar yang dilakukan sah di mata syariat dan dapat mengangkat hadas, sehingga seorang Muslim dapat melanjutkan ibadahnya dengan tenang dan yakin akan kesucian dirinya.

Benda yang Dilarang Digunakan untuk Istijmar

Meskipun istijmar memberikan kemudahan dalam bersuci, syariat Islam juga menetapkan batasan yang jelas mengenai benda-benda yang tidak boleh digunakan. Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan didasari oleh hikmah dan prinsip-prinsip syariat yang mendalam.

1. Tulang

Penggunaan tulang untuk istijmar dilarang secara tegas dalam beberapa Hadis, salah satunya dari Salman Al-Farisi yang disebutkan sebelumnya. Larangan ini memiliki dua alasan utama:

• Makanan Jin Muslim: Dalam sebuah riwayat sahih, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Janganlah kalian beristinja dengan tulang, karena itu adalah bekal makanan saudara-saudara kalian dari kalangan jin." (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa tulang memiliki kedudukan khusus dalam pandangan syariat sebagai rezeki bagi makhluk Allah yang lain, yaitu jin Muslim. Menggunakannya untuk membersihkan kotoran dianggap sebagai tindakan yang tidak menghormati dan tidak pantas.
• Kesehatan dan Kebersihan: Tulang, terutama yang masih basah atau memiliki sisa daging, bisa menjadi media penularan penyakit atau bahkan memiliki unsur najis dari sisa-sisa hewan yang tidak disembelih secara syar'i.

Larangan ini berlaku untuk semua jenis tulang, baik tulang hewan yang halal maupun haram, karena alasan penghormatan kepada jin Muslim yang disebutkan dalam Hadis.

2. Kotoran Hewan (Kering Maupun Basah)

Seperti tulang, penggunaan kotoran hewan juga dilarang keras untuk istijmar. Alasannya adalah:

• Najis: Kotoran hewan, baik yang halal dimakan dagingnya maupun tidak, secara syariat dianggap najis. Menggunakan najis untuk membersihkan najis tentu tidak akan mencapai kesucian, melainkan justru akan menambah najis. Prinsip dasar thaharah adalah menghilangkan najis dengan sesuatu yang suci.
• Sumber Penyakit: Kotoran hewan mengandung berbagai bakteri, virus, dan parasit yang berbahaya bagi kesehatan. Menggunakannya untuk membersihkan organ intim dapat menyebabkan infeksi serius.
• Makanan Hewan: Mirip dengan tulang, kotoran hewan juga dianggap sebagai makanan bagi hewan-hewan tertentu, terutama bagi hewan ternak. Menggunakannya untuk istijmar dianggap tidak pantas dan merampas hak makanan hewan.

Larangan ini berlaku untuk semua jenis kotoran hewan, termasuk kotoran unta, sapi, kambing, dan lain-lain, bahkan yang sudah mengering sekalipun.

3. Makanan (Manusia atau Hewan)

Benda-benda yang ditujukan untuk dimakan oleh manusia atau hewan juga dilarang untuk istijmar. Ini mencakup buah-buahan, roti, gandum, jagung, atau pakan ternak. Alasannya adalah:

• Penghormatan terhadap Rezeki Allah: Makanan adalah rezeki dari Allah SWT yang harus dihormati dan tidak boleh diperlakukan dengan cara yang merendahkan, apalagi digunakan untuk membersihkan kotoran. Membuang-buang makanan atau menggunakannya untuk tujuan yang tidak layak adalah tindakan yang dibenci dalam Islam.
• Kebersihan: Meskipun beberapa jenis makanan mungkin padat, penggunaannya untuk istijmar adalah pemborosan dan tidak higienis.

Larangan ini menegaskan pentingnya menjaga kehormatan rezeki dan tidak menyia-nyiakannya.

4. Benda Mulia atau Terhormat

Ini adalah kategori yang lebih luas dan mencakup benda-benda yang memiliki nilai atau kehormatan tertentu, seperti:

• Kitab Suci atau Tulisan Agama: Menggunakan kertas yang terdapat ayat Al-Qur'an, Hadis, nama Allah, atau tulisan agama lainnya untuk istijmar adalah haram dan dosa besar. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap kalamullah dan hal-hal yang disucikan dalam Islam.
• Uang Kertas: Meskipun uang kertas modern tidak memiliki tulisan agama secara eksplisit, uang memiliki nilai ekonomi dan kehormatan tersendiri sebagai alat tukar. Menggunakannya untuk membersihkan kotoran adalah bentuk penghinaan terhadap harta dan pemborosan.
• Pakaian yang Layak Pakai: Meskipun kadang darurat, menggunakan pakaian yang masih layak pakai untuk istijmar umumnya dilarang karena termasuk pemborosan dan mengotori pakaian yang seharusnya bersih. Namun, dalam kondisi sangat terpaksa dan tidak ada alternatif lain, ulama mungkin membolehkan dengan catatan pakaian tersebut kemudian dicuci bersih.

Prinsip di balik larangan ini adalah untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan hal-hal yang layak dihormati, serta menghindari pemborosan.

5. Benda yang Licin atau Halus Sekali

Meskipun tidak najis, benda yang terlalu licin (misalnya kaca atau plastik murni) atau terlalu halus (seperti daun yang sangat lembut dan licin) tidak efektif dalam mengangkat najis. Tujuan istijmar adalah menghilangkan zat najis melalui gesekan dan penyerapan, dan benda-benda ini tidak memenuhi fungsi tersebut. Mereka hanya akan menyebarkan kotoran, bukan membersihkannya.

Dengan memahami benda-benda yang dilarang ini, seorang Muslim dapat memastikan bahwa praktik istijmar yang dilakukannya tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga selaras dengan etika dan nilai-nilai Islam yang menghargai kebersihan, kehormatan, dan keberkahan rezeki.

Hikmah dan Filosofi di Balik Pensyariatan Istijmar

Setiap syariat dalam Islam pasti mengandung hikmah dan manfaat, baik yang dapat langsung dipahami oleh akal manusia maupun yang memerlukan perenungan mendalam. Demikian pula dengan istijmar. Pensyariatan istijmar bukan sekadar formalitas, melainkan mengandung filosofi yang luhur dan manfaat praktis yang sangat relevan.

1. Kemudahan dan Keringanan (Taisir)

Ini adalah hikmah yang paling jelas. Islam adalah agama yang memudahkan, bukan menyulitkan. Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185). Dalam konteks bersuci, tidak selamanya air tersedia melimpah ruah, terutama di daerah gurun atau saat bepergian (musafir). Dengan adanya istijmar, seorang Muslim tidak terhalang untuk menjaga kebersihan dan melaksanakan salatnya hanya karena ketiadaan air. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya syariat Islam dalam mengakomodasi berbagai kondisi kehidupan umat manusia.

Keringanan ini sangat berarti bagi para musafir, penggembala, atau siapa pun yang berada di tempat yang sulit menemukan air. Mereka tetap dapat menjaga kesucian dan melaksanakan kewajiban ibadah tanpa merasa terbebani. Ini adalah manifestasi nyata dari sifat rahmat Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.

2. Menjaga Kebersihan dan Kesehatan

Meskipun tidak sesempurna air, istijmar tetap efektif dalam menghilangkan sebagian besar zat najis yang keluar. Membersihkan sisa-sisa kotoran segera setelah buang air sangat penting untuk mencegah penumpukan bakteri, mengurangi bau tidak sedap, dan menghindari risiko infeksi pada area genital. Penyakit yang berhubungan dengan kebersihan yang buruk di area ini bisa sangat serius.

Pada zaman Nabi SAW, pemahaman tentang mikroba dan penyakit mungkin belum sekompleks sekarang, tetapi prinsip kebersihan fisik sudah ditekankan secara kuat. Istijmar adalah langkah praktis untuk menjaga kebersihan minimal yang diperlukan untuk kesehatan dan kenyamanan, terutama di lingkungan yang menantang seperti padang pasir.

3. Aspek Lingkungan dan Konservasi Air

Di daerah yang kekurangan air, penggunaan air secara berlebihan untuk istinja bisa menjadi masalah serius. Istijmar menjadi solusi yang ramah lingkungan karena tidak memerlukan air sama sekali. Ini mengajarkan umat Islam untuk bijak dalam menggunakan sumber daya alam, termasuk air. Ketika air terbatas, prioritas diberikan untuk minum, wudhu, atau keperluan yang lebih mendesak.

Prinsip konservasi air ini sangat relevan dalam isu-isu lingkungan global saat ini, di mana banyak wilayah di dunia menghadapi krisis air bersih. Islam, melalui ajaran seperti istijmar, telah lama mengajarkan pentingnya penggunaan sumber daya secara bertanggung jawab.

4. Pengajaran Akhlak dan Etika

Larangan menggunakan benda-benda tertentu (seperti tulang, kotoran, atau makanan) untuk istijmar mengandung pelajaran etika yang mendalam:

• Penghormatan terhadap Makhluk Allah: Tulang dianggap makanan jin Muslim, kotoran makanan hewan. Melarang penggunaannya mengajarkan penghormatan terhadap makhluk lain, bahkan yang tidak terlihat seperti jin, dan menunjukkan bahwa setiap makhluk memiliki hak dan rezekinya sendiri yang tidak boleh dirusak atau dihinakan.
• Penghormatan terhadap Rezeki Allah: Larangan menggunakan makanan menegaskan pentingnya menghargai nikmat Allah dan tidak menyia-nyiakannya. Makanan adalah sumber kehidupan, dan menggunakannya untuk membersihkan kotoran adalah bentuk ketidaksyukuran.
• Menjaga Kehormatan: Larangan menggunakan benda-benda mulia atau tulisan agama mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan simbol-simbol keagamaan dan hal-hal yang disucikan.

Ini semua membentuk karakter Muslim yang beradab, peduli, dan menghormati segala ciptaan Allah SWT.

5. Penegasan Pentingnya Niat dan Kesungguhan

Istijmar mungkin tidak memberikan "rasa bersih" yang sama seperti air, tetapi dengan memenuhi syarat-syaratnya, ia tetap sah secara syariat. Ini mengajarkan bahwa dalam ibadah, niat dan kesungguhan untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya adalah yang utama. Meskipun fasilitas terbatas, seorang Muslim berusaha maksimal untuk memenuhi tuntutan syariat, dan usahanya dihargai oleh Allah SWT.

Dalam kondisi darurat, istijmar adalah bukti bahwa Islam tidak membebani umatnya di luar batas kemampuan mereka, namun tetap menuntut upaya terbaik dalam menjaga kesucian sebagai kunci ibadah.

Dengan demikian, pensyariatan istijmar adalah sebuah manifestasi dari kesempurnaan syariat Islam yang holistik, yang tidak hanya memperhatikan aspek ritual, tetapi juga kesehatan, lingkungan, etika, dan kemudahan bagi umatnya.

Perbandingan Istijmar dengan Istinja dan Kombinasinya

Memahami perbedaan antara istijmar dan istinja, serta bagaimana keduanya dapat dikombinasikan, sangat penting untuk praktik thaharah yang benar dalam Islam.

Perbedaan Utama

1. Media Pembersih

   • Istinja: Menggunakan air suci dan menyucikan. Air adalah pembersih paling sempurna yang mampu menghilangkan zat, bau, dan warna najis secara tuntas.
   • Istijmar: Menggunakan benda padat, suci, dan kasar (seperti batu, tisu, daun kering). Benda padat hanya mampu menghilangkan zat najis secara fisik melalui gesekan, tetapi tidak menghilangkan bau atau warna najis secara sempurna.

2. Tingkat Kesempurnaan Kebersihan

   • Istinja: Memberikan kebersihan yang sempurna (kamal) dan menghilangkan najis secara menyeluruh. Oleh karena itu, istinja dengan air adalah yang paling utama (afdal) jika air tersedia.
   • Istijmar: Memberikan kebersihan yang memadai (mujzi') untuk sahnya ibadah, tetapi tidak mencapai tingkat kesempurnaan seperti air. Ini adalah bentuk rukhsah (keringanan) dalam kondisi darurat atau ketiadaan air.

3. Kondisi Penggunaan

   • Istinja: Dianjurkan dan wajib jika air tersedia dan tidak ada halangan syar'i lainnya.
   • Istijmar: Diizinkan hanya ketika air tidak tersedia, air sangat sedikit sehingga harus diprioritaskan untuk minum atau wudhu, atau penggunaan air dapat membahayakan (misalnya cuaca sangat dingin).

4. Persyaratan Tambahan

   • Istinja: Cukup memastikan air mengalir dan membersihkan najis. Tidak ada batasan jumlah 'sapuan' yang ketat selain memastikan bersih.
   • Istijmar: Memiliki syarat ketat mengenai jumlah (minimal 3 sapuan), jenis benda yang digunakan (padat, suci, kasar), dan kondisi najis (belum menyebar, belum mengering, belum bercampur).

Kombinasi Istijmar dan Istinja

Yang paling utama dan dianjurkan adalah menggabungkan istijmar dengan istinja. Ini berarti seseorang pertama-tama membersihkan najis dengan benda padat (istijmar) untuk menghilangkan sebagian besar kotoran, lalu diikuti dengan membersihkan area tersebut dengan air (istinja) untuk mencapai kesucian yang sempurna. Praktik ini dikenal sebagai "al-jam'u bainal hijaroh wal ma'" (menggabungkan antara batu dan air).

Mengapa kombinasi ini dianjurkan?

• Kebersihan Maksimal: Dengan menghilangkan sebagian besar najis secara fisik terlebih dahulu dengan benda padat, penggunaan air selanjutnya akan jauh lebih efektif dan sedikit. Ini memastikan kebersihan yang optimal dengan penggunaan air yang efisien.
• Mengikuti Sunnah: Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat terkadang menggabungkan kedua metode ini, terutama di tempat yang airnya terbatas namun tetap tersedia sedikit. Mereka membersihkan terlebih dahulu dengan batu, kemudian menyempurnakannya dengan air.
• Efisiensi Air: Terutama di daerah yang airnya terbatas, menggunakan benda padat terlebih dahulu akan mengurangi jumlah air yang diperlukan untuk mencapai kebersihan yang memuaskan. Ini adalah pendekatan yang bijaksana dalam penggunaan sumber daya.
• Penghilangan Bau dan Warna: Istijmar saja tidak dapat menghilangkan bau dan warna najis secara sempurna. Dengan menambahkan air, kebersihan menjadi paripurna, menghilangkan sisa-sisa bau dan warna yang mungkin tertinggal.

Ketika seseorang memiliki akses penuh ke air yang cukup, maka cukup istinja dengan air saja. Namun, jika ingin mencapai tingkat kebersihan yang sangat tinggi, atau jika air sedikit dan ingin menghemat, kombinasi ini adalah pilihan terbaik. Dalam kondisi darurat total tanpa air, istijmar saja sudah cukup untuk membersihkan diri secara syar'i dan sah untuk melakukan ibadah.

Pilihan antara istinja, istijmar, atau kombinasinya menunjukkan betapa Islam memberikan solusi praktis dan realistis untuk setiap situasi, selalu mengutamakan kemudahan tanpa mengabaikan prinsip kebersihan yang esensial.

Tata Cara Pelaksanaan Istijmar

Melaksanakan istijmar dengan benar adalah kunci agar kebersihannya diakui secara syariat. Berikut adalah langkah-langkah tata cara istijmar yang sesuai dengan sunnah dan ajaran ulama:

1. Siapkan Benda Pembersih

• Jumlah: Siapkan minimal tiga buah batu atau benda padat lain yang memenuhi syarat. Lebih baik jika Anda menyiapkan lebih dari tiga, untuk berjaga-jaga jika tiga sapuan belum cukup bersih, dan untuk mengakhiri dengan jumlah ganjil.
• Jenis: Pastikan benda-benda tersebut suci, padat, kasar (tidak licin), dan bukan termasuk benda yang dilarang (bukan tulang, kotoran, makanan, atau benda mulia). Contoh yang baik adalah batu kerikil, pecahan genteng, kerikil, atau kertas tisu yang tebal.
• Ukuran: Pilih benda yang nyaman digenggam dan cukup besar untuk membersihkan area yang diperlukan, tetapi tidak terlalu besar sehingga sulit digunakan.

2. Lakukan di Tempat Tersembunyi

Sebagaimana buang hajat adalah privasi, istijmar juga harus dilakukan di tempat yang tersembunyi dari pandangan orang lain untuk menjaga aurat dan adab.

3. Bersihkan dengan Tangan Kiri

Dalam Islam, tangan kiri digunakan untuk membersihkan kotoran dan najis, sedangkan tangan kanan digunakan untuk makan, minum, atau aktivitas yang mulia. Oleh karena itu, gunakan tangan kiri untuk memegang benda pembersih dan membersihkan kemaluan.

4. Tata Cara Penyapuan

1. Sapuan Pertama: Ambil satu batu atau benda padat. Mulailah membersihkan dari depan ke belakang untuk kotoran besar (buang air besar), atau dari pangkal hingga ujung untuk buang air kecil. Tekan lembut dan sapukan hingga kotoran yang paling banyak terangkat. Buang batu tersebut.
2. Sapuan Kedua: Ambil batu kedua. Sapukan lagi dengan cara yang sama untuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang mungkin masih tertinggal. Pastikan Anda membersihkan area yang sama tetapi dengan sapuan yang lebih intensif. Buang batu tersebut.
3. Sapuan Ketiga: Ambil batu ketiga. Sapukan sekali lagi untuk memastikan kebersihan. Jika setelah sapuan ketiga dirasa belum bersih sempurna (masih ada najis), maka lanjutkan dengan batu keempat, kelima, dan seterusnya hingga dirasa bersih.

Penting: Para ulama menganjurkan untuk mengakhiri sapuan dengan jumlah ganjil (witran), seperti 3, 5, atau 7 kali, jika memungkinkan. Jika sudah bersih pada sapuan genap (misalnya ke-4), maka dianjurkan untuk menambah satu sapuan lagi agar menjadi ganjil.

Arah Sapuan:

• Untuk buang air besar: Sapukan dari depan ke belakang, atau dari bagian depan lubang anus ke arah belakang. Ini membantu mencegah najis menyebar ke area depan (kemaluan).
• Untuk buang air kecil: Sapukan dari pangkal kemaluan ke arah ujung untuk pria. Untuk wanita, sapukan dari depan ke belakang.

5. Pastikan Bersih dari Zat Najis

Tujuan utama istijmar adalah menghilangkan zat najis hingga tidak ada materi yang tersisa. Meskipun bau dan warna mungkin tidak sepenuhnya hilang seperti dengan air, yang terpenting adalah tidak ada lagi zat kotoran yang menempel dan terlihat.

6. Buang Benda Bekas Pakai di Tempat yang Sesuai

Setelah digunakan, benda-benda tersebut menjadi najis dan harus dibuang di tempat yang layak dan tidak akan mengganggu orang lain, misalnya dikubur atau dibuang ke tempat sampah yang tertutup. Jangan biarkan berserakan di tempat terbuka.

7. Dianjurkan Menggabungkan dengan Air (Jika Tersedia)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jika air tersedia setelah istijmar dengan batu atau tisu, sangat dianjurkan untuk menyempurnakannya dengan membasuh area tersebut dengan air. Ini akan memberikan kebersihan yang paling sempurna dan menghilangkan bau serta warna yang mungkin masih tersisa.

8. Niat

Meskipun tidak diucapkan secara lisan, niat dalam hati untuk bersuci (thaharah) dengan istijmar adalah penting. Niat ini membedakan tindakan kebersihan biasa dengan ibadah.

Dengan mengikuti tata cara ini, seorang Muslim dapat memastikan bahwa istijmar yang dilakukannya sah dan diterima di sisi Allah SWT, sehingga ia dapat melanjutkan ibadahnya dalam keadaan suci.

Pandangan Empat Mazhab Fiqih Mengenai Istijmar

Meskipun prinsip dasar istijmar disepakati oleh seluruh mazhab fiqih Sunni, terdapat beberapa perbedaan kecil dalam rincian dan penekanan di antara mereka. Memahami perbedaan ini dapat memberikan wawasan yang lebih kaya tentang fleksibilitas dan kedalaman hukum Islam.

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi dikenal dengan pendekatannya yang rasional dan seringkali mendahulukan kemudahan. Dalam masalah istijmar, mereka memiliki beberapa pandangan khas:

• Air Lebih Utama: Seperti mazhab lain, Hanafi sepakat bahwa istinja dengan air adalah yang paling afdal (utama) jika memungkinkan.
• Jumlah Batu: Mereka berpendapat bahwa jumlah minimal tiga batu adalah sunnah, bukan syarat wajib yang mutlak. Yang terpenting adalah mencapai kebersihan. Jika bersih dengan satu atau dua batu, itu sudah cukup, meskipun sunnahnya tiga. Namun, tetap dianjurkan untuk mengakhiri dengan ganjil jika lebih dari tiga.
• Jenis Benda: Mazhab Hanafi mengizinkan penggunaan semua benda padat yang suci, dapat menghilangkan najis, dan bukan termasuk yang dilarang. Mereka menekankan bahwa benda tersebut harus memiliki daya serap atau kemampuan mengikis untuk mengangkat najis.
• Prioritas Air dan Istijmar: Jika air tersedia, maka wajib menggunakan air. Jika tidak ada air, barulah istijmar diizinkan. Mereka juga membolehkan menggabungkan istijmar dengan air sebagai upaya mencapai kebersihan maksimal.
• Kondisi Najis: Najis tidak boleh kering sepenuhnya atau melebihi tempat keluarnya secara signifikan. Jika sudah melebar, air menjadi wajib.

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memiliki beberapa kekhasan dalam pandangannya mengenai istijmar, yang cenderung lebih ketat dalam beberapa aspek:

• Air Sangat Ditekankan: Mazhab Maliki sangat menekankan penggunaan air untuk istinja. Mereka menganggap istijmar dengan batu atau benda padat lainnya sebagai pengecualian yang hanya diizinkan dalam kondisi ketiadaan air mutlak atau kesulitan yang ekstrem.
• Istijmar Tidak Mengangkat Hadas: Salah satu pandangan khas Maliki adalah bahwa istijmar dengan benda padat, meskipun menghilangkan ainun najasah (zat najis), tidak sepenuhnya mengangkat hadas. Artinya, setelah istijmar, area tersebut masih dianggap "najis hukmi" (secara hukum), dan untuk benar-benar suci, harus tetap dibasuh dengan air. Oleh karena itu, bagi mazhab Maliki, istijmar tidak menggantikan air sepenuhnya untuk kesucian yang sempurna; ia hanya mengurangi najis dan membersihkan secara fisik.
• Syarat Istijmar: Mereka mensyaratkan benda yang digunakan harus suci dan dapat menghilangkan zat najis. Jumlah tiga sapuan juga dianjurkan, tetapi kebersihan lebih diutamakan daripada jumlah.
• Penggabungan: Mereka sangat menganjurkan untuk menggabungkan istijmar dengan air jika air tersedia, karena istijmar saja tidak dianggap sempurna.

3. Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i memiliki pandangan yang terperinci dan seringkali menjadi rujukan utama di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia. Dalam hal istijmar, mereka menetapkan syarat-syarat yang cukup jelas:

• Istinja dengan Air Lebih Utama: Sama seperti mazhab lain, mereka menyatakan bahwa air adalah yang paling afdal.
• Syarat Mutlak Tiga Batu: Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa penggunaan minimal tiga batu adalah syarat mutlak keabsahan istijmar, bahkan jika bersih dengan kurang dari tiga. Jika tiga sapuan belum bersih, wajib menambah hingga bersih, dan dianjurkan ganjil.
• Jenis Benda: Benda harus suci, padat, kasar, dan dapat menghilangkan najis. Tidak boleh basah. Mereka sangat menekankan bahwa benda tersebut harus kering.
• Batasan Najis: Najis tidak boleh mengering, menyebar di luar tempat keluarnya, atau bercampur dengan benda lain. Jika salah satu dari ini terjadi, istijmar tidak sah dan air menjadi wajib.
• Penggabungan: Mazhab Syafi'i sangat menganjurkan penggabungan istijmar dengan air. Pertama bersuci dengan batu atau benda padat hingga sebagian besar najis hilang, kemudian dibasuh dengan air untuk kesempurnaan. Bahkan mereka berpendapat bahwa setelah istijmar, hukumnya seperti najis yang dibersihkan, sehingga masih disunnahkan untuk dibasuh dengan air.

4. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali dikenal dengan kecenderungannya untuk berpegang teguh pada nash (teks Al-Qur'an dan Hadis) secara literal, dan mereka memiliki pandangan yang cukup fleksibel dalam istijmar, mirip dengan Syafi'i dalam banyak aspek.

• Boleh Memilih Antara Air atau Batu (Jika Keduanya Ada): Ini adalah pandangan yang menonjol dari Mazhab Hanbali. Mereka berpendapat bahwa jika air dan benda padat (batu) tersedia, seseorang boleh memilih salah satunya. Namun, istinja dengan air tetap dianggap lebih afdal.
• Jumlah Tiga Batu Wajib: Sama seperti Syafi'i, Hanbali juga mewajibkan minimal tiga sapuan, meskipun sudah bersih dengan kurang dari itu. Wajib menambah hingga bersih dan dianjurkan ganjil.
• Jenis Benda: Benda harus suci, padat, kasar, dan mampu menghilangkan najis. Benda tersebut tidak boleh basah, tidak boleh najis, dan bukan termasuk yang dilarang.
• Batasan Najis: Najis tidak boleh mengering, menyebar keluar dari tempat keluarnya, atau bercampur dengan benda lain. Jika najis sudah menyebar melebihi kebiasaan atau mengering, air menjadi wajib.
• Penggabungan: Sangat dianjurkan untuk menggabungkan istijmar dengan air untuk mencapai kebersihan maksimal.

Meskipun ada perbedaan rincian, intinya adalah keempat mazhab sepakat tentang keabsahan istijmar sebagai alternatif air dalam kondisi tertentu. Perbedaan ini menunjukkan kekayaan fiqih Islam dan bagaimana para ulama berusaha memahami dan menerapkan nash-nash syariat dalam berbagai situasi dan kondisi untuk kemudahan umat.

Konteks Sejarah dan Relevansi Modern Istijmar

Istijmar bukanlah praktik yang baru muncul, melainkan memiliki akar yang dalam dalam sejarah Islam dan tetap relevan hingga saat ini. Memahami konteks historis dan aplikasi modernnya membantu kita menghargai hikmah di balik syariat ini.

Konteks Sejarah pada Zaman Nabi SAW

Pada masa Rasulullah SAW, kehidupan di Jazirah Arab, terutama di Makkah dan Madinah, sangat berbeda dengan kehidupan modern. Wilayah tersebut didominasi oleh gurun pasir dan sumber air seringkali langka. Sumur adalah sumber utama air, dan distribusi air tidak semudah sekarang. Sebagian besar orang hidup nomaden atau bepergian jauh untuk berdagang atau berperang.

• Ketersediaan Air: Air adalah komoditas berharga. Menggunakannya untuk bersuci setelah buang hajat mungkin tidak selalu praktis atau memungkinkan, terutama saat dalam perjalanan. Air yang sedikit lebih diprioritaskan untuk minum, wudhu (yang jumlah airnya lebih sedikit), atau memasak.
• Lingkungan Alami: Batu-batu kecil, kerikil, atau tanah kering melimpah ruah di gurun. Benda-benda ini mudah ditemukan dan efektif untuk membersihkan kotoran secara fisik. Ini adalah solusi praktis dan alami yang tersedia.
• Praktik Kebiasaan: Bahkan sebelum Islam, bangsa Arab memiliki praktik kebersihan tertentu. Islam datang dan menyempurnakan praktik-praktik tersebut, termasuk dalam hal bersuci. Nabi SAW mengajarkan cara yang benar dan higienis untuk membersihkan diri dengan benda padat, menetapkan batasan dan aturan yang jelas.
• Kemudahan bagi Umat: Pensyariatan istijmar adalah bentuk kasih sayang dan kemudahan dari Allah SWT kepada umat-Nya. Tanpa istijmar, banyak Muslim di zaman itu akan kesulitan menjaga kesucian dan menunaikan ibadah, terutama salat, dalam berbagai kondisi.

Dengan demikian, istijmar adalah solusi yang sangat kontekstual dan relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat pada zaman Nabi SAW, menunjukkan betapa Islam selalu memberikan panduan yang realistis dan aplikatif.

Relevansi dalam Kehidupan Modern

Meskipun kita hidup di era modern dengan fasilitas air bersih yang relatif mudah diakses di banyak tempat, istijmar tetap memiliki relevansi yang signifikan:

1. Perjalanan (Traveling):

   Bagi para pelancong, pendaki gunung, petualang, atau mereka yang sering bepergian ke daerah terpencil, ketersediaan air bersih seringkali menjadi tantangan. Dalam situasi ini, istijmar dengan tisu basah atau kering, atau bahkan bebatuan yang bersih (jika tidak ada pilihan lain), menjadi penyelamat. Ini memungkinkan mereka untuk tetap menjaga thaharah dan menunaikan salat, bahkan jauh dari fasilitas toilet modern.

   Contoh: Saat camping di hutan, mendaki gunung, perjalanan panjang di kereta atau bus yang toiletnya tidak dilengkapi air (hanya tisu), atau di negara-negara yang toilet umumnya tidak menyediakan selang air.

2. Kondisi Darurat dan Bencana Alam:

   Dalam situasi darurat seperti bencana alam (gempa bumi, banjir), pasokan air bersih seringkali terputus. Dalam kondisi ini, air menjadi sangat langka dan prioritas utama adalah minum dan bertahan hidup. Istijmar menjadi solusi praktis untuk menjaga kebersihan pribadi tanpa harus mengorbankan air yang terbatas untuk kebutuhan yang lebih mendesak.

   Contoh: Di pengungsian atau area yang terkena dampak bencana di mana akses air bersih sangat terbatas.

3. Kelangkaan Air Kronis:

   Di beberapa wilayah di dunia, kelangkaan air adalah masalah kronis. Penduduk di daerah tersebut mungkin harus menempuh jarak jauh hanya untuk mendapatkan air. Dalam kondisi seperti ini, istijmar bukan hanya alternatif, tetapi bisa menjadi praktik utama untuk menjaga kebersihan sehari-hari guna menghemat air yang berharga.

   Contoh: Pedesaan di daerah kering atau gurun di mana air sangat sulit didapatkan.

4. Kesehatan dan Kebersihan Pribadi:

   Prinsip kebersihan yang diajarkan istijmar tetap relevan. Meskipun seringkali air tersedia, namun kadang toilet umum kurang bersih atau tidak menyediakan fasilitas istinja yang memadai. Dalam kondisi ini, membawa tisu basah atau kering untuk istijmar bisa menjadi pilihan yang lebih higienis daripada tidak membersihkan sama sekali atau menggunakan fasilitas yang meragukan.

   Contoh: Toilet umum yang kotor atau tidak terawat.

5. Efisensi dan Praktis:

   Dalam beberapa situasi, istijmar (terutama dengan tisu) lebih cepat dan praktis daripada mencari air dan membasuh. Meskipun air tetap lebih utama, istijmar memberikan opsi yang cepat dan efisien, terutama jika waktu terbatas.

Relevansi istijmar di zaman modern membuktikan bahwa ajaran Islam bersifat abadi dan adaptif terhadap perubahan zaman dan kondisi. Ia tetap menjadi panduan penting bagi umat Muslim untuk menjaga kesucian dan memenuhi kewajiban agama mereka dalam setiap situasi.

Istijmar dari Perspektif Kesehatan dan Kebersihan

Selain aspek syar'i dan historis, istijmar juga memiliki implikasi penting dari sudut pandang kesehatan dan kebersihan. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kesehatan dan mendorong umatnya untuk menjaga kebersihan sebagai bagian integral dari iman. Thaharah, termasuk istijmar, memiliki fungsi krusial dalam pencegahan penyakit.

Pentingnya Menghilangkan Najis Secara Cepat

Kotoran manusia (feses dan urine) adalah sumber utama bakteri, virus, dan parasit patogen. Jika tidak dibersihkan dengan segera dan efektif, kuman-kuman ini dapat berkembang biak dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, antara lain:

• Infeksi Saluran Kemih (ISK): Bakteri dari feses dapat berpindah ke uretra, terutama pada wanita, menyebabkan ISK yang menyakitkan.
• Infeksi Kulit dan Iritasi: Residu kotoran yang tertinggal dapat menyebabkan iritasi kulit, ruam, dan infeksi jamur atau bakteri di area genital dan anal.
• Penyakit Menular: Beberapa penyakit seperti kolera, disentri, dan tifus dapat menyebar melalui jalur fecal-oral, di mana partikel feses yang mengandung patogen masuk ke mulut. Kebersihan yang buruk setelah buang air meningkatkan risiko penularan.
• Bau Tidak Sedap: Penumpukan kotoran juga menyebabkan bau yang tidak menyenangkan, yang dapat mengurangi kenyamanan dan kepercayaan diri seseorang.

Istijmar, meskipun tidak sesempurna air, setidaknya mengurangi jumlah kotoran secara signifikan dan dengan cepat, sehingga meminimalkan risiko-risiko di atas sampai tingkat tertentu.

Peran Benda Padat dalam Pembersihan Fisik

Benda padat yang kasar, seperti batu atau tisu, bekerja dengan cara mekanis untuk "mengikis" dan menyerap partikel kotoran. Permukaan kasar memungkinkan gesekan yang efektif untuk mengangkat najis dari kulit. Sifat penyerapan pada tisu juga membantu mengangkat kelembaban dan sisa-sisa kotoran yang lebih kecil.

Meskipun tidak dapat membersihkan hingga tingkat mikroskopis atau menghilangkan bau dan warna, istijmar adalah pertahanan pertama yang penting terhadap akumulasi najis. Bayangkan jika tidak ada metode pembersihan sama sekali; risiko kesehatan akan jauh lebih tinggi. Istijmar menyediakan solusi praktis untuk kebersihan mendasar ketika air tidak tersedia.

Keterbatasan Istijmar dari Segi Kesehatan

Penting untuk diakui bahwa istijmar memiliki keterbatasan dibandingkan dengan air dari perspektif kebersihan modern:

• Tidak Menghilangkan Mikroba Sepenuhnya: Benda padat tidak dapat secara efektif menghilangkan semua bakteri dan virus dari permukaan kulit. Air yang mengalir dan sabun jauh lebih unggul dalam hal ini.
• Tidak Menghilangkan Bau dan Warna: Meskipun zat najisnya terangkat, bau dan warna yang melekat pada kulit mungkin masih tersisa. Ini tidak ideal dari segi kebersihan estetika.
• Potensi Iritasi: Menggunakan benda yang terlalu kasar atau dengan tekanan berlebihan dapat menyebabkan iritasi atau bahkan luka kecil pada kulit sensitif di area genital.

Inilah mengapa Islam tetap menganjurkan air sebagai media pembersih utama, dan istijmar adalah alternatif ketika air tidak memungkinkan.

Integrasi dengan Air untuk Kesehatan Optimal

Dari sudut pandang kesehatan, kombinasi istijmar dan istinja (pertama dengan benda padat, kemudian dengan air) adalah metode terbaik. Benda padat menghilangkan sebagian besar kotoran kasar, lalu air membersihkan sisanya, menghilangkan mikroba, bau, dan warna, serta memberikan sensasi bersih yang lebih sempurna. Pendekatan hibrida ini mencapai tingkat kebersihan dan higiene yang optimal.

Dalam kondisi modern di mana tisu basah atau tisu kering sering digunakan sebagai bentuk istijmar, penting untuk memilih produk yang tidak mengandung bahan kimia keras atau pewangi yang dapat menyebabkan iritasi kulit. Tisu tanpa pewangi dan hipoalergenik lebih disarankan.

Kesimpulannya, istijmar adalah praktik yang memiliki nilai kesehatan dan kebersihan yang signifikan, terutama dalam kondisi di mana air tidak tersedia. Ia adalah bukti bahwa Islam tidak hanya memperhatikan ritual, tetapi juga kesejahteraan fisik umatnya, menyediakan solusi yang realistis dan efektif untuk menjaga kebersihan diri dalam berbagai situasi.

Kesimpulan: Kesempurnaan dan Kemudahan Syariat Islam

Perjalanan kita memahami istijmar telah membuka tabir tentang betapa detil, praktis, dan bijaksananya syariat Islam dalam mengatur setiap aspek kehidupan seorang Muslim, bahkan hingga ke urusan kebersihan pribadi yang paling intim sekalipun. Dari definisi hingga dalil-dalil syar'i, syarat-syarat yang ketat namun rasional, benda-benda yang dilarang dengan hikmah yang mendalam, hingga perbandingan dengan istinja dan relevansinya di zaman modern, istijmar adalah bukti nyata kesempurnaan dan kemudahan agama ini.

Istijmar bukan sekadar ritual pengganti air, melainkan sebuah bentuk rukhsah (keringanan) yang menunjukkan fleksibilitas Islam. Ia memastikan bahwa seorang Muslim dapat senantiasa menjaga thaharahnya, tidak peduli di mana pun ia berada atau dalam kondisi apa pun ia hidup. Baik saat berada di tengah gurun tanpa setetes air, dalam perjalanan panjang, atau menghadapi situasi darurat, opsi istijmar hadir sebagai penyelamat, memungkinkan pelaksanaan ibadah tanpa terhalang oleh keterbatasan material.

Hikmah di balik pensyariatan istijmar sangatlah luas. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan sebagai fondasi kehidupan yang baik. Ia juga menanamkan nilai-nilai etika dalam memperlakukan segala sesuatu – dari rezeki Allah hingga makhluk-Nya – dengan penuh penghormatan. Lebih dari itu, ia mendorong umat untuk bersikap bijaksana dalam menggunakan sumber daya alam, seperti air, yang kini menjadi isu global. Keutamaan istinja dengan air tetap tak terbantahkan, namun kehadiran istijmar menunjukkan bahwa Islam tidak membebani umatnya di luar batas kemampuannya, melainkan selalu mencari jalan keluar yang praktis dan sesuai syariat.

Memahami istijmar secara komprehensif tidak hanya memperkaya pengetahuan fiqih kita, tetapi juga menumbuhkan apresiasi yang lebih dalam terhadap ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ini adalah pengingat bahwa dalam setiap ketentuan syariat, terdapat kebaikan yang tersembunyi, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.

Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang keindahan ajaran Islam dalam menjaga kebersihan dan kesucian diri.