Istiwa: Fenomena Kosmik, Ketentuan Waktu, dan Makna Teologis

Pengantar: Memahami Konsep Istiwa yang Multidimensi

Kata "Istiwa" dalam bahasa Indonesia, maupun dalam akar katanya dari bahasa Arab, memiliki kekayaan makna yang mendalam dan multidimensional. Dari sudut pandang ilmiah, istiwa merujuk pada fenomena astronomis dan geografis yang krusial. Dalam konteks astronomi, ia dikenal sebagai ekuinoks, momen di mana matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa, menciptakan durasi siang dan malam yang relatif sama di seluruh penjuru bumi. Secara geografis, istiwa juga dapat merujuk pada fenomena ketika matahari berada tepat di titik zenit suatu lokasi, yang dikenal sebagai peristiwa matahari di atas kepala atau rashdul qiblah, yang memiliki implikasi praktis dalam penentuan arah.

Namun, di luar cakupan sains alam, "Istiwa" juga merentang ke ranah teologi yang sangat fundamental dalam Islam, yaitu "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy" (Allah beristiwa' di atas 'Arsy). Konsep ini adalah salah satu akidah pokok yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah, menuntut pemahaman yang cermat agar terhindar dari kesalahpahaman. Dengan demikian, pembahasan mengenai istiwa tidak hanya terbatas pada pergerakan benda langit, tetapi juga menyentuh aspek-aspek spiritual dan kepercayaan yang membentuk pandangan hidup jutaan manusia.

Artikel ini akan mengupas tuntas tiga dimensi utama dari konsep istiwa: dimensi astronomis (ekuinoks), dimensi geografis (matahari di zenit), dan dimensi teologis (Istiwa' Allah di atas 'Arsy). Kita akan menjelajahi mekanisme ilmiah di balik fenomena ekuinoks, menguak relevansi praktis istiwa geografis dalam kehidupan sehari-hari, serta menyelami kedalaman makna istiwa teologis dengan merujuk pada dalil-dalil syar'i dan penjelasan para ulama. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman komprehensif dan proporsional terhadap kata istiwa yang kaya akan makna, membantu pembaca menghubungkan sains dengan spiritualitas, serta memahami keagungan ciptaan dan kekuasaan Ilahi.

Istiwa Astronomis: Ekuinoks dan Keseimbangan Kosmik

Dalam ilmu astronomi, istilah "Istiwa" paling sering dikaitkan dengan fenomena ekuinoks. Ekuinoks berasal dari bahasa Latin aequus (sama) dan nox (malam), yang secara harfiah berarti "malam yang sama". Fenomena ini menandai dua momen dalam setahun ketika matahari melintasi bidang ekuator langit, yaitu proyeksi khatulistiwa bumi ke ruang angkasa. Pada saat ini, pusat matahari berada tepat di atas khatulistiwa bumi, sehingga durasi siang dan malam hampir sama di seluruh belahan bumi.

Mekanisme di Balik Ekuinoks

Ekuinoks terjadi karena kemiringan sumbu rotasi bumi. Sumbu bumi miring sekitar 23,5 derajat terhadap bidang orbitnya mengelilingi matahari (bidang ekliptika). Kemiringan ini tetap sepanjang tahun, namun orientasi bumi relatif terhadap matahari berubah seiring bumi mengelilingi matahari. Pada sebagian besar waktu, salah satu belahan bumi (utara atau selatan) lebih condong ke arah matahari, menyebabkan musim panas di belahan bumi tersebut dan musim dingin di belahan bumi yang lain. Namun, ada dua titik dalam orbit bumi ketika sumbu rotasi tidak condong ke arah matahari maupun menjauhi matahari. Pada saat inilah, sinar matahari jatuh tegak lurus di garis khatulistiwa.

Konsekuensi dari sinar matahari yang tegak lurus di khatulistiwa adalah bahwa baik belahan bumi utara maupun selatan menerima jumlah cahaya matahari yang hampir sama. Hal ini menyebabkan durasi siang dan malam menjadi hampir sama, sekitar 12 jam masing-masing, di sebagian besar lokasi di bumi. Di daerah khatulistiwa, durasi siang dan malam memang selalu relatif konstan, namun efek ekuinoks lebih terasa di lintang yang lebih tinggi, di mana perbedaan durasi siang dan malam sangat mencolok di luar periode ekuinoks.

Jenis-jenis Ekuinoks

Ada dua jenis ekuinoks yang terjadi setiap tahun:

1. Ekuinoks Musim Semi (Vernal Equinox)

   Terjadi sekitar tanggal 20 atau 21 Maret setiap tahun. Pada ekuinoks ini, matahari melintasi khatulistiwa langit dari selatan ke utara. Di belahan bumi utara, ekuinoks ini menandai dimulainya musim semi, sementara di belahan bumi selatan, ini menandai dimulainya musim gugur. Ekuinoks ini penting bagi banyak kebudayaan sebagai penanda dimulainya siklus pertanian baru dan perayaan terkait kesuburan.

   Fenomena ini secara historis dan kultural sangat signifikan. Di banyak peradaban kuno, Ekuinoks Musim Semi dirayakan sebagai titik balik penting dalam siklus tahunan. Misalnya, festival Persia kuno Nouruz, yang masih dirayakan hingga kini, bertepatan dengan momen ini sebagai perayaan tahun baru dan kebangkitan alam setelah musim dingin. Di berbagai kebudayaan lain, momen ini dikaitkan dengan panen, kesuburan, dan pembaharuan kehidupan. Secara meteorologis, setelah ekuinoks musim semi, belahan bumi utara mulai menerima lebih banyak sinar matahari, menyebabkan peningkatan suhu dan mekarnya flora.

2. Ekuinoks Musim Gugur (Autumnal Equinox)

   Terjadi sekitar tanggal 22 atau 23 September setiap tahun. Pada ekuinoks ini, matahari melintasi khatulistiwa langit dari utara ke selatan. Di belahan bumi utara, ekuinoks ini menandai dimulainya musim gugur, dan di belahan bumi selatan, ini menandai dimulainya musim semi. Seperti ekuinoks musim semi, ekuinoks musim gugur juga memiliki signifikansi budaya, sering dikaitkan dengan panen dan persiapan menghadapi musim dingin.

   Di banyak budaya, Ekuinoks Musim Gugur adalah waktu untuk merayakan panen terakhir sebelum musim dingin. Festival-festival seperti Mabon di tradisi Pagan, atau perayaan Shukkon (Sukkot) dalam tradisi Yahudi, seringkali bertepatan dengan atau memiliki akar dari momen astronomis ini. Fenomena ini juga sering menjadi tema dalam seni dan sastra, melambangkan transisi, perubahan, dan refleksi. Setelah ekuinoks musim gugur, belahan bumi utara mulai condong menjauhi matahari, menyebabkan durasi siang hari semakin pendek dan suhu menurun, mengarah pada musim dingin.

Tanggal pasti terjadinya ekuinoks dapat sedikit bervariasi dari tahun ke tahun karena orbit bumi yang tidak persis 365 hari (ada tahun kabisat) dan pengaruh gravitasi benda langit lain. Variasi ini umumnya hanya satu atau dua hari.

Dampak Global dan Regional Ekuinoks

Meskipun dampak utama ekuinoks adalah durasi siang dan malam yang sama, fenomena ini memiliki implikasi lain yang lebih luas:

• Cuaca dan Iklim: Ekuinoks menandai transisi antara musim. Meskipun tidak langsung menyebabkan perubahan cuaca drastis dalam sehari, mereka adalah indikator penting dari siklus musim dan pola iklim global. Di daerah tropis, ekuinoks dapat dikaitkan dengan peningkatan intensitas hujan atau perubahan pola angin.
• Navigasi: Bagi pelaut dan penjelajah di masa lalu, pengetahuan tentang ekuinoks sangat penting untuk navigasi. Dengan mengetahui posisi matahari relatif terhadap khatulistiwa, mereka dapat menentukan lintang dengan lebih akurat.
• Siklus Biologis: Banyak spesies hewan dan tumbuhan sensitif terhadap perubahan panjang siang hari. Ekuinoks berfungsi sebagai isyarat bagi migrasi hewan, siklus reproduksi, dan pertumbuhan tanaman. Misalnya, beberapa tanaman memicu pembungaan atau pembuahan berdasarkan fotoperiode (panjang siang hari).
• Penelitian Ilmiah: Ekuinoks adalah waktu yang ideal untuk melakukan berbagai observasi dan eksperimen ilmiah terkait atmosfer bumi, medan magnet, dan interaksi matahari-bumi, karena parameter-parameter tertentu berada dalam kondisi yang relatif stabil atau dapat diprediksi.

Pemahaman tentang ekuinoks telah membentuk fondasi bagi banyak kalender kuno dan modern, serta tradisi spiritual dan perayaan di seluruh dunia. Dari Stonehenge hingga piramida Maya, banyak monumen kuno dibangun dengan mempertimbangkan posisi matahari saat ekuinoks, menunjukkan betapa pentingnya fenomena ini bagi leluhur kita.

Istiwa Geografis: Matahari di Zenith dan Penentuan Arah

Selain ekuinoks, "Istiwa" juga digunakan untuk menggambarkan fenomena geografis di mana matahari berada tepat di atas kepala atau di titik zenit suatu lokasi. Fenomena ini dikenal sebagai Istiwa Az-Zawal atau Istikhbar Qiblah (penentuan arah kiblat) dan hanya terjadi di daerah yang terletak di antara Garis Balik Utara (Tropic of Cancer, sekitar 23.5° LU) dan Garis Balik Selatan (Tropic of Capricorn, sekitar 23.5° LS).

Fenomena Matahari di Zenith

Ketika matahari berada di titik zenit suatu lokasi, artinya matahari berada tepat 90 derajat di atas horizon. Pada momen ini, benda-benda vertikal yang tegak lurus ke tanah tidak akan memiliki bayangan atau bayangannya akan sangat pendek dan berada tepat di bawah objek tersebut. Fenomena ini juga dikenal sebagai "hari tanpa bayangan" atau "noon shadow" di beberapa daerah.

Peristiwa ini hanya dapat terjadi di wilayah tropis karena hanya di lintang inilah matahari dapat mencapai posisi zenit. Di luar daerah tropis, matahari tidak pernah mencapai zenit; bahkan pada tengah hari, matahari akan selalu sedikit miring dari vertikal, sehingga objek selalu memiliki bayangan, meskipun mungkin sangat pendek.

Momen istiwa az-zawal terjadi dua kali setahun untuk setiap lokasi di daerah tropis, kecuali untuk lokasi yang tepat di Garis Balik Utara atau Selatan, yang hanya mengalami fenomena ini sekali setahun. Misalnya, di Jakarta (sekitar 6° LS), matahari akan berada di zenit sekitar bulan Maret dan September. Fenomena ini menarik secara visual dan memiliki implikasi praktis.

Istiwa Az-Zawal dan Penentuan Arah Kiblat

Salah satu aplikasi paling penting dari istiwa geografis, khususnya matahari di zenit, adalah dalam penentuan arah kiblat bagi umat Islam. Kiblat adalah arah Ka'bah di Makkah, Arab Saudi, yang menjadi patokan dalam salat. Ada dua kali dalam setahun ketika matahari melintasi tepat di atas Ka'bah di Makkah:

1. 28 Mei, sekitar pukul 12:18 waktu Mekah (09:18 UTC)
2. 16 Juli, sekitar pukul 12:27 waktu Mekah (09:27 UTC)

Pada momen-momen ini, bagi siapa saja yang berada di luar Mekah dan tidak berhalangan (misalnya tidak terhalang awan), arah bayangan benda tegak lurus akan menunjukkan arah yang berlawanan dengan Ka'bah. Dengan kata lain, jika seseorang berdiri menghadap bayangan benda tersebut, maka ia sedang menghadap ke arah kiblat. Metode ini disebut Rashdul Qiblah, yang berarti "meluruskan kiblat".

Prinsipnya sederhana: ketika matahari berada tepat di atas Ka'bah, sinar matahari akan jatuh tegak lurus ke Ka'bah. Oleh karena itu, jika kita menancapkan tongkat vertikal di permukaan bumi di mana pun di dunia, bayangan tongkat tersebut akan jatuh ke arah yang berlawanan dengan Ka'bah. Ini adalah metode yang sangat akurat dan mudah dilakukan untuk memastikan arah kiblat, terutama bagi mereka yang berada di lokasi tanpa akses ke kompas atau teknologi penentu arah modern.

Penting untuk dicatat bahwa metode rashdul qiblah ini hanya berlaku untuk lokasi-lokasi yang masih bisa melihat matahari pada jam-jam tersebut. Bagi lokasi yang mengalami malam hari pada waktu tersebut atau terhalang awan, metode ini tidak dapat diterapkan. Namun, momen ini tetap menjadi referensi penting bagi umat Islam di seluruh dunia untuk mengkalibrasi dan memverifikasi arah kiblat masjid atau musala mereka.

Implikasi Praktis dan Sains

Fenomena matahari di zenit tidak hanya berguna untuk penentuan kiblat, tetapi juga memiliki beberapa implikasi lain:

• Arsitektur dan Urbanisme: Di daerah tropis, arsitek dan perencana kota dapat mempertimbangkan fenomena ini untuk desain bangunan yang mengoptimalkan pencahayaan alami atau mengurangi paparan panas langsung dari matahari, terutama pada momen-momen puncaknya.
• Siklus Hidrologi: Pemanasan intens di khatulistiwa saat istiwa dapat mempengaruhi pola penguapan dan curah hujan, berkontribusi pada siklus hidrologi regional dan global.
• Pendidikan Sains: Ini adalah contoh yang sangat baik untuk mengajarkan konsep-konsep dasar astronomi, geografi, dan hubungan antara bumi dan matahari kepada siswa secara langsung dan interaktif.

Dengan demikian, istiwa geografis, terutama fenomena matahari di zenit, merupakan demonstrasi nyata dari interaksi dinamis antara bumi dan matahari, dengan dampak yang merentang dari praktik keagamaan hingga perencanaan lingkungan.

Istiwa Teologis: "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy" dalam Akidah Islam

Di samping makna-makna ilmiah dan geografis, kata "Istiwa" juga memegang peranan sentral dalam akidah Islam, khususnya terkait dengan sifat-sifat Allah SWT. Konsep "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy" adalah salah satu prinsip keimanan yang fundamental dan disebutkan dalam tujuh ayat Al-Qur'an secara eksplisit. Pemahaman yang benar tentang konsep ini sangat esensial untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindari kesalahpahaman tentang Dzat Allah.

Dalil-Dalil "Istiwa'" dalam Al-Qur'an

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an pada beberapa kesempatan mengenai "Istiwa'-Nya di atas 'Arsy". Ayat-ayat ini adalah pilar bagi pemahaman akidah tentang sifat ini:

1. Surah Al-A'raf (7:54):
   إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy."
2. Surah Yunus (10:3):
   إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy."
3. Surah Ar-Ra'd (13:2):
   اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy."
4. Surah Taha (20:5):
   الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
   "Tuhan Yang Maha Pengasih beristiwa' di atas 'Arsy."
5. Surah Al-Furqan (25:59):
   الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "(Dialah) yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy."
6. Surah As-Sajdah (32:4):
   اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy."
7. Surah Al-Hadid (57:4):
   هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
   "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy."

Tafsir "Istiwa'" Menurut Ahlussunnah Wal Jama'ah

Para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, yang mengikuti manhaj Salafush Shalih (generasi terbaik umat Islam), memiliki pandangan yang konsisten mengenai "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy". Mereka meyakini bahwa makna "Istiwa'" adalah "tinggi di atas" atau "berada di atas" dengan cara yang sesuai dengan keagungan Allah SWT, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa bertanya bagaimana caranya (bi la kayf).

Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar dan pendiri mazhab Maliki, pernah ditanya tentang ayat "Ar-Rahman 'ala al-'Arsy Istawa" (QS. Taha: 5). Beliau menjawab dengan jawaban yang menjadi pijakan utama bagi akidah Ahlussunnah:

"Al-Istiwa’ itu maklum (jelas maknanya dalam bahasa Arab), bagaimana (kaifiyatnya) itu majhul (tidak diketahui), mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah."

Penjelasan Imam Malik ini menegaskan beberapa poin penting:

1. Al-Istiwa’ maklum: Makna linguistik dari "istiwa'" dalam bahasa Arab, ketika dikaitkan dengan "ala" (di atas), adalah "meninggi, naik, bersemayam di atas, menguasai, menempati kedudukan yang tinggi". Para ulama tidak menafikan makna zahir (eksternal) ini, namun mereka memurnikannya dari penyerupaan dengan makhluk.
2. Al-Kayf majhul: "Bagaimana" Allah beristiwa' itu tidak diketahui oleh akal manusia. Allah adalah Dzat yang Maha Agung, tidak bisa dibayangkan, dan sifat-sifat-Nya tidak dapat disamakan dengan sifat makhluk. Oleh karena itu, kita tidak boleh mencoba-coba membayangkan bagaimana bentuk Istiwa' tersebut, karena akan jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
3. Al-Iman bihi wajib: Mengimani bahwa Allah beristiwa' di atas 'Arsy adalah wajib, karena hal itu merupakan bagian dari ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT. Mengingkari atau meragukannya berarti mengingkari sebagian dari Al-Qur'an.
4. As-Su’alu 'anhu bid’ah: Bertanya tentang "bagaimana" Istiwa' itu adalah bid'ah, karena tidak ada dalil dari Al-Qur'an atau Sunnah yang menjelaskan kaifiyatnya, dan para Sahabat pun tidak pernah bertanya tentang hal tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan semacam itu hanya akan membuka pintu bagi keraguan dan penafsiran yang keliru.

Maka, akidah Ahlussunnah adalah Itsbat bi la Takyif, Tanzih bi la Ta'thil. Artinya, "menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya tanpa bertanya bagaimana bentuknya, dan menyucikan Allah dari menyerupai makhluk tanpa meniadakan sifat-sifat-Nya." Mereka mengimani sifat istiwa' ini dengan keyakinan penuh bahwa Allah beristiwa' di atas 'Arsy-Nya sebagaimana yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menyerupakan dengan makhluk, tanpa mentakwilkan (mengalihmaknakan), tanpa tahrif (mengubah), dan tanpa meniadakan (ta'thil).

Peringatan dari Tasybih (Antropomorfisme) dan Ta'thil (Peniadaan)

Dalam memahami "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy", sangat penting untuk menghindari dua penyimpangan akidah yang ekstrim:

• Tasybih (Menyerupakan Allah dengan Makhluk):

  Penyimpangan ini terjadi ketika seseorang membayangkan Istiwa' Allah seperti bersemayamnya seorang raja di atas singgasana atau bagaimana manusia duduk. Ini adalah kesalahan fatal karena Allah SWT berfirman: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) - QS. Asy-Syura: 11. Allah itu Maha Sempurna dan Maha Berbeda dari makhluk-Nya. Jika kita membayangkan Istiwa' Allah seperti makhluk, berarti kita telah menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan ini adalah syirik dalam sifat-sifat Allah.

• Ta'thil (Meniadakan Sifat Allah):

  Penyimpangan ini terjadi ketika seseorang meniadakan makna sifat Istiwa' atau mentakwilkannya (mengalihmaknakannya) menjadi makna lain yang tidak sesuai dengan konteks bahasa Arab dan pemahaman salaf. Misalnya, menafsirkan "Istiwa'" sebagai "menguasai" (istawla). Meskipun Allah memang Maha Menguasai segala sesuatu, mentakwilkan Istiwa' menjadi "menguasai" secara mutlak berarti meniadakan makna asli dari ayat tersebut. Para ulama salaf menolak takwil semacam ini karena akan membuka pintu untuk mentakwilkan sifat-sifat Allah lainnya, yang pada akhirnya dapat mengikis keimanan pada teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah.

Oleh karena itu, jalur tengah yang diajarkan Ahlussunnah adalah menerima teks Al-Qur'an dan Sunnah tentang sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa mengubah maknanya (tahrif), tanpa meniadakannya (ta'thil), tanpa bertanya bagaimana bentuknya (takyif), dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tasybih). Inilah metode yang paling selamat dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya.

Kedudukan 'Arsy dalam Akidah Islam

'Arsy (العرش) adalah ciptaan Allah yang paling besar. Al-Qur'an dan Sunnah menggambarkan 'Arsy sebagai singgasana yang agung dan megah, yang tidak ada tandingannya dalam kebesaran. Ia adalah batas tertinggi dari makhluk dan di atasnya Allah SWT beristiwa'.

Beberapa poin penting tentang 'Arsy:

• Ciptaan Terbesar: Rasulullah SAW bersabda bahwa langit dan bumi dibandingkan dengan Kursi (kursi Allah, yang lebih kecil dari 'Arsy) ibarat cincin yang dilemparkan di padang pasir. Kemudian Kursi dibandingkan dengan 'Arsy adalah sama perumpamaannya. Ini menunjukkan kebesaran 'Arsy yang tak terhingga.
• Pusat Kekuasaan: Meskipun Allah beristiwa' di atas 'Arsy, ini tidak berarti Allah membutuhkan 'Arsy. Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. 'Arsy adalah simbol keagungan, kekuasaan, dan pemerintahan Allah SWT atas seluruh alam semesta. Dari 'Arsy inilah perintah-perintah dan takdir Allah turun kepada makhluk-Nya.
• Ditopang Malaikat: 'Arsy ditopang oleh malaikat-malaikat yang agung. Dalam QS. Ghafir (40:7), Allah berfirman: الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ (Malaikat-malaikat yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhannya). Pada hari kiamat, jumlah malaikat yang memikulnya akan bertambah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Haqqah (69:17): وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ (Dan pada hari itu delapan malaikat memikul 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka).

Keimanan terhadap 'Arsy dan Istiwa' Allah di atasnya adalah bagian tak terpisahkan dari tauhid dan keimanan kepada Allah. Ini mengajarkan kita untuk mengagungkan Allah, mengakui kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan memahami bahwa Dia jauh di atas segala sesuatu yang dapat kita bayangkan, namun pada saat yang sama, Dia meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kekuasaan-Nya.

Penting untuk diingat bahwa segala upaya untuk menggambarkan Allah secara fisik atau membayangkan "bagaimana" Istiwa' tersebut akan selalu jatuh pada kekeliruan, karena لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia). Keagungan dan kemuliaan Allah jauh melampaui batas pemahaman makhluk-Nya.

Sintesis dan Kesimpulan: Harmoni Makna Istiwa

Melalui perjalanan panjang mengupas berbagai aspek "Istiwa", kita dapat melihat betapa kaya dan fundamentalnya kata ini, baik dalam konteks ilmiah maupun teologis. Dari gerak kosmik yang agung hingga doktrin keimanan yang mendalam, istiwa menghubungkan alam semesta fisik dengan kebenaran metafisik, menunjukkan keterkaitan yang erat antara fenomena alam dan ajaran agama.

Istiwa astronomis atau ekuinoks, dengan presisinya yang luar biasa, mengingatkan kita pada keteraturan dan keseimbangan sempurna dalam penciptaan alam semesta. Momen ketika siang dan malam hampir sama durasinya di seluruh dunia bukan hanya sekadar peristiwa kalender, melainkan sebuah manifestasi dari hukum-hukum alam yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Ekuinoks menjadi penanda perubahan musim, memengaruhi ekologi, pertanian, dan bahkan siklus kehidupan. Keakuratan pergerakan benda langit ini menjadi bukti nyata kekuasaan Allah SWT yang mengatur segala sesuatu dengan perhitungan yang sangat teliti, sebagaimana firman-Nya, "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan." (QS. Ar-Rahman: 5).

Istiwa geografis, yang ditandai dengan fenomena matahari tepat di atas kepala (zenit) di daerah tropis, memberikan kita pemahaman tentang dampak lokal dari pergerakan global. Peristiwa tanpa bayangan ini, meskipun sederhana, memiliki signifikansi praktis yang besar, terutama dalam menentukan arah kiblat bagi umat Islam. Metode Rashdul Qiblah adalah warisan kearifan ilmiah Islam yang memungkinkan umat beragama untuk menunaikan salah satu rukun Islam dengan akurasi, bahkan tanpa bantuan teknologi modern. Ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dan agama dapat saling melengkapi untuk mencapai tujuan spiritual dan praktis dalam kehidupan.

Sementara itu, istiwa teologis – "Istiwa' Allah 'ala al-'Arsy" – membawa kita ke dimensi keimanan yang paling esensial. Ini adalah pernyataan tentang keagungan, kekuasaan, dan ketinggian Allah SWT yang transenden, yang melampaui segala bentuk perumpamaan dan penggambaran makhluk. Konsep ini, yang ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, menjadi landasan akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah. Dengan berpegang teguh pada prinsip itsbat bi la takyif, tanzih bi la ta'thil, umat Islam diajarkan untuk mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menyimpang ke dalam tasybih (menyerupakan) atau ta'thil (meniadakan). 'Arsy, sebagai ciptaan terbesar, berfungsi sebagai simbol kebesaran dan kedaulatan Ilahi, menunjukkan bahwa Allah adalah penguasa mutlak atas seluruh alam semesta, meskipun Dia tidak membutuhkan 'Arsy atau makhluk-Nya yang lain.

Ketiga dimensi istiwa ini, meskipun berbeda dalam cakupan dan implikasinya, sesungguhnya saling melengkapi dalam membentuk pandangan dunia yang holistik. Istiwa mengajarkan kita untuk mengamati keajaiban alam semesta, memahami pola-polanya, dan pada saat yang sama, merenungkan keagungan dan kekuasaan Sang Pencipta di balik semua itu. Dari presisi kosmik hingga keteguhan akidah, istiwa adalah jembatan yang menghubungkan yang tampak dengan yang ghaib, yang ilmiah dengan yang ilahiah. Ini adalah undangan untuk terus belajar, merenung, dan memperdalam iman kita kepada Allah SWT, yang Maha Mengatur segala sesuatu, dan yang di atas 'Arsy-Nya Dia beristiwa' dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya.

Dengan memahami istiwa secara komprehensif, kita tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang alam semesta, tetapi juga menguatkan fondasi keimanan kita, menyadari bahwa setiap aspek penciptaan adalah tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang patut kita renungkan dan syukuri. Semoga artikel ini memberikan wawasan yang berharga dan mencerahkan bagi para pembaca.