Dua komoditas yang secara botani mungkin tampak berbeda jauh, namun memiliki peran yang sangat penting dalam ekologi pertanian dan budaya kuliner masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, adalah jagung (Zea mays) dan terubuk (Saccharum edule). Jagung, sebagai sumber karbohidrat utama kedua setelah padi, menawarkan ketahanan pangan yang luar biasa. Sementara terubuk, yang sering dijuluki 'tebu telur' atau 'sayur telur', menyediakan kekayaan rasa unik, tekstur renyah, dan nilai gizi tinggi yang dihargai dalam masakan tradisional.
Artikel ini akan mengupas tuntas kedua tanaman ini, mulai dari latar belakang sejarah, klasifikasi botani yang mendetail, teknik budidaya modern yang berkelanjutan, hingga analisis mendalam mengenai kandungan nutrisi dan peran ekonominya. Pemahaman komprehensif terhadap jagung dan terubuk adalah kunci untuk mengoptimalkan potensi pertanian lokal dan menjaga kekayaan plasma nutfah Nusantara.
Jagung adalah tanaman serealia yang berasal dari Benua Amerika, namun telah bertransformasi menjadi komoditas global. Di Indonesia, jagung tidak hanya berfungsi sebagai bahan makanan pokok di beberapa wilayah (misalnya di Madura atau Nusa Tenggara), tetapi juga menjadi input vital dalam industri pakan ternak dan bahan baku industri hilir lainnya. Kecepatan pertumbuhannya dan kemampuannya beradaptasi di berbagai tipe tanah menjadikan jagung aset pertanian yang tak ternilai harganya.
Sejarah jagung berawal di Lembah Balsas, Meksiko, di mana nenek moyangnya, teosinte, pertama kali didomestikasi sekitar 7.000 hingga 10.000 tahun yang lalu. Domestikasi ini adalah salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah pertanian, mengubah tanaman liar yang bijinya tertutup rapat menjadi tongkol jagung besar yang kita kenal sekarang. Jagung tiba di Nusantara melalui jalur perdagangan Spanyol dan Portugis pada abad ke-16, dan dengan cepat diintegrasikan ke dalam sistem pertanian lokal. Penyebarannya sangat efektif karena jagung dapat ditanam di lahan kering (tegalan) yang tidak cocok untuk padi sawah, membuka peluang pertanian di daerah-daerah marjinal.
Jagung termasuk dalam keluarga Poaceae (rumput-rumputan). Secara taksonomi, ia diklasifikasikan sebagai Zea mays. Pemahaman morfologi sangat krusial dalam budidaya dan pemuliaan varietas:
Jagung memiliki sistem perakaran serabut yang kuat, terdiri dari akar seminal (primer) dan akar adventif (sekunder). Akar adventif seringkali berkembang menjadi 'akar penopang' (prop roots) yang muncul dari buku-buku batang bagian bawah, berfungsi menahan tanaman dari rebah angin. Batangnya berbentuk silinder, beruas-ruas, dan tidak bercabang. Batang ini berfungsi sebagai penyokong, serta jalur transportasi nutrisi dari akar ke daun dan tongkol.
Daun jagung berbentuk lanset panjang dengan tulang daun sejajar. Letak daun berselang-seling pada buku-buku batang. Jagung adalah tanaman monoecious, yang berarti memiliki bunga jantan dan betina yang terpisah dalam satu tanaman. Bunga jantan (tassel) terletak di ujung batang, menghasilkan serbuk sari. Bunga betina (silk) terletak di ketiak daun pada bagian tengah tanaman, yang kelak berkembang menjadi tongkol. Penyerbukan jagung umumnya terjadi secara silang (cross-pollination) yang dibantu oleh angin.
Tongkol adalah organ reproduksi betina yang tertutup oleh kelobot (sekam). Biji jagung tersusun rapi dalam barisan. Biji jagung diklasifikasikan berdasarkan tekstur endosperma, yang memengaruhi penggunaan dan nilai ekonominya. Varietas biji ini sangat beragam, termasuk:
Gambar 1. Skema Botani Tanaman Jagung
Produksi jagung yang tinggi sangat bergantung pada manajemen lahan dan pemeliharaan yang cermat. Budidaya jagung melibatkan serangkaian tahapan yang ketat, terutama ketika menggunakan varietas hibrida unggul yang membutuhkan input tinggi.
Lahan harus bersih dari gulma dan memiliki aerasi yang baik. Pengolahan tanah (tillage) biasanya dilakukan dua kali: pembajakan pertama untuk membalik tanah dan penyiangan sisa tanaman, diikuti dengan penggaruan untuk menghaluskan struktur tanah. Pada pertanian konservasi, metode tanpa olah tanah (No-Till Farming) dapat diterapkan untuk mempertahankan kelembapan dan struktur tanah, mengurangi erosi, dan menghemat biaya operasional, meskipun membutuhkan manajemen gulma yang lebih intensif.
Penentuan pH tanah sangat vital. Jagung tumbuh optimal pada pH 6,0–7,0. Jika pH terlalu rendah (asam), pengapuran (aplikasi kapur pertanian/dolomit) harus dilakukan beberapa minggu sebelum tanam untuk menetralisir keasaman dan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti Fosfor (P) dan Kalium (K).
Waktu tanam harus disesuaikan dengan pola curah hujan, idealnya pada awal musim hujan atau menggunakan irigasi yang memadai. Jarak tanam sangat memengaruhi populasi tanaman per hektar dan hasil akhir. Skema yang umum digunakan adalah 75 cm x 25 cm (satu tanaman per lubang) atau 75 cm x 40 cm (dua tanaman per lubang). Populasi ideal berkisar antara 60.000 hingga 80.000 tanaman per hektar, tergantung jenis varietas dan ketersediaan air. Kepadatan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kompetisi nutrisi dan air, menghasilkan tongkol yang kecil.
Pemupukan adalah kunci keberhasilan budidaya jagung modern. Jagung membutuhkan unsur hara makro (N, P, K) dalam jumlah besar, terutama Nitrogen (N) selama fase vegetatif dan pengisian biji. Program pemupukan umumnya dibagi menjadi tiga tahap:
Jagung rentan terhadap berbagai hama dan penyakit. Manajemen terpadu (Integrated Pest Management/IPM) dianjurkan untuk meminimalkan penggunaan pestisida kimia. Hama utama meliputi:
Penyakit utama meliputi karat daun (Puccinia sorghi), hawar daun (Exserohilum turcicum), dan busuk batang (terutama saat musim hujan). Pemilihan varietas tahan dan rotasi tanaman adalah strategi pencegahan yang efektif.
Jagung merupakan sumber energi, serat, vitamin, dan mineral yang luar biasa. Kandungan utamanya adalah pati (karbohidrat), mencapai 70-80% dari berat kering biji. Jagung juga mengandung protein (sekitar 10%), meskipun kekurangan asam amino esensial Lysine dan Tryptophan, yang membuat jagung QPM (Quality Protein Maize) dikembangkan.
Selain karbohidrat kompleks, jagung kaya akan antioksidan, terutama pada varietas berwarna kuning atau ungu. Jagung kuning kaya akan Karotenoid, termasuk Lutein dan Zeaxanthin, yang sangat baik untuk kesehatan mata. Jagung ungu mengandung antosianin tinggi, yang berfungsi sebagai anti-inflamasi dan anti-kanker. Serat pangan pada jagung membantu kesehatan pencernaan dan mengontrol kadar gula darah.
Secara ekonomi, jagung memiliki peran ganda: sebagai komoditas pangan langsung dan sebagai bahan baku industri. Sekitar 60-70% produksi jagung di Indonesia diserap oleh industri pakan ternak (ayam dan ikan). Sisanya digunakan untuk industri pati, minyak jagung, sirup glukosa, dan tentu saja, konsumsi manusia.
Terubuk, dikenal dengan nama lokal Tebu Telur, Sayur Telur, atau Sayur Lilit, adalah sayuran khas yang sangat dihargai di beberapa wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Nama ilmiahnya, Saccharum edule, menunjukkan kekerabatannya yang erat dengan tebu (Saccharum officinarum), tetapi yang dikonsumsi dari terubuk adalah tunas bunganya yang belum mekar (inflorescence) yang dikelilingi oleh sekam daun.
Terubuk termasuk dalam genus Saccharum, keluarga Poaceae. Yang menjadikannya unik adalah bagian yang dipanen. Saat tunas bunga (malai) baru mulai terbentuk, ia diselimuti oleh sekam daun yang sangat rapat. Jika dibelah, bagian dalamnya menyerupai telur ikan atau spons halus berwarna putih kekuningan, yang memberikan nama populernya 'tebu telur'. Rasa terubuk sangat khas: manis, gurih, dan sedikit menyerupai asparagus atau hati sawi putih. Teksturnya renyah saat segar dan lembut setelah dimasak.
Secara fisik, terubuk mirip tebu, tumbuh tegak dengan tinggi bisa mencapai 3-4 meter. Batangnya beruas-ruas, tetapi biasanya lebih ramping dibandingkan tebu gula. Fokus morfologis ada pada tunas bunga. Untuk menghasilkan tunas yang layak dikonsumsi, tanaman harus dipanen sebelum tunas bunga pecah dan mengeluarkan malai serbuk sari. Pemanenan harus dilakukan tepat waktu, biasanya sekitar 8-12 bulan setelah penanaman rimpang.
Terubuk banyak dijumpai di daerah dataran tinggi dan sejuk, meskipun juga dapat beradaptasi di dataran rendah dengan kelembapan cukup. Di Jawa Barat, ia dikenal sebagai 'terubuk' atau 'telur tebu'. Di Sumatera, ia sering digunakan dalam gulai atau pepes. Keberadaannya sangat penting dalam kuliner Sunda dan Minangkabau, namun relatif jarang ditemukan di pasar modern dibandingkan sayuran umum lainnya, menjadikannya komoditas semi-spesialitas.
Gambar 2. Tunas Bunga Terubuk (Bagian yang Dikonsumsi)
Berbeda dengan jagung yang ditanam secara musiman, terubuk sering ditanam seperti tebu, menggunakan stek rimpang atau anakan. Masa tanamnya lebih panjang, membutuhkan 8 hingga 12 bulan sebelum panen tunas pertama.
Terubuk menyukai iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi dan merata, idealnya 1.500–2.500 mm per tahun. Ia sangat toleran terhadap berbagai jenis tanah, asalkan memiliki drainase yang baik. Tanah liat berpasir yang kaya bahan organik sangat disukai. Karena membutuhkan air yang banyak selama fase pertumbuhan vegetatif, irigasi yang memadai sangat penting, terutama di musim kemarau pendek.
Perbanyakan dilakukan secara vegetatif, menggunakan stek batang (setts) yang memiliki minimal tiga mata tunas, mirip dengan penanaman tebu. Stek ditanam di dalam alur atau lubang tanam dengan jarak tanam yang lebih rapat dibandingkan tebu gula, sekitar 1 meter antar baris dan 30-50 cm dalam baris, untuk mendorong produksi anakan (tillering) yang akan menghasilkan tunas bunga.
Aspek paling penting dalam budidaya terubuk adalah penentuan waktu panen. Tunas dipanen ketika sudah mencapai ukuran maksimal tetapi belum terjadi pecah malai. Setelah pecah, tekstur 'telur' akan mengeras dan kehilangan kualitas rasa. Panen dilakukan secara manual dengan memotong tunas pada pangkal batang. Pemanenan bisa berlangsung dalam beberapa periode waktu (ratooning), karena tanaman induk akan terus menghasilkan anakan baru.
Siklus panen yang tepat adalah kunci kualitas. Jika tunas dipanen terlalu awal, ukurannya kecil. Jika terlambat, kualitas rasanya menurun drastis. Petani harus memeriksa secara visual kerapatan sekam dan ukuran tunas internal untuk memastikan kematangan optimal.
Terubuk tidak hanya memberikan rasa yang lezat tetapi juga memiliki profil nutrisi yang menarik. Ia dikenal rendah kalori, kaya serat, dan mengandung sejumlah mineral esensial.
Terubuk adalah sumber serat pangan yang sangat baik, membantu melancarkan pencernaan. Ia juga mengandung air yang tinggi (sekitar 90%), menjadikannya sayuran yang menghidrasi. Meskipun kandungan vitamin C-nya moderat, ia kaya akan mineral seperti Kalium, Fosfor, dan Kalsium. Keunggulan terubuk terletak pada teksturnya yang unik dan sifatnya yang mudah menyerap bumbu, menjadikannya pilihan favorit untuk masakan berkuah kental atau kari pedas.
Terubuk sangat fleksibel dalam masakan. Beberapa contoh kuliner khas terubuk:
Meskipun jagung dan terubuk memiliki klasifikasi botani yang berbeda, keduanya sering dijumpai dalam sistem pertanian yang sama—yaitu pertanian berbasis lahan kering atau tegalan yang bergantung pada curah hujan musiman. Sinergi ini mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan lahan secara optimal.
Jagung adalah tanaman semusim (sekitar 3-4 bulan) yang sering dijadikan tanaman sela atau tanaman rotasi. Di sisi lain, terubuk adalah tanaman tahunan atau binal yang memerlukan waktu tumbuh lebih lama. Integrasi keduanya dapat terjadi melalui pola rotasi yang menjaga kesehatan tanah:
Contoh: Setelah panen jagung pada musim hujan, lahan dapat dialihfungsikan untuk menanam kacang-kacangan sebagai penutup tanah, atau jika lahan dikelola untuk terubuk, terubuk dibiarkan tumbuh sementara jagung ditanam di petak lahan lain. Jagung memiliki kemampuan menyerap unsur hara yang cepat, sementara terubuk dengan perakarannya yang kuat dapat membantu menstabilkan tanah dan memberikan hasil pada interval waktu yang berbeda, mendistribusikan risiko panen.
Nilai ekonomi keduanya bersifat komplementer. Jagung menyediakan volume biomassa yang besar dan diakui sebagai komoditas industri dengan harga pasar yang fluktuatif namun terjamin permintaannya (pakan). Terubuk, sebaliknya, adalah komoditas hortikultura spesialisasi. Meskipun volume produksinya lebih rendah, terubuk seringkali memiliki harga jual premium di pasar lokal karena keunikan rasa dan ketersediaannya yang terbatas, memberikan margin keuntungan yang menarik bagi petani kecil.
| Karakteristik | Jagung (Zea mays) | Terubuk (Saccharum edule) |
|---|---|---|
| Keluarga Botani | Poaceae | Poaceae (Kerabat Tebu) |
| Bagian yang Dikonsumsi | Biji (Tongkol) | Tunas Bunga Belum Mekar (Inflorescence) |
| Siklus Hidup | Semusim (3-4 bulan) | Tahunan/Binal (8-12 bulan untuk panen pertama) |
| Fungsi Utama Pangan | Karbohidrat Utama, Pakan | Sayuran, Serat Tinggi |
| Nilai Jual | Volume Tinggi, Komoditas Industri | Spesialisasi, Harga Premium Lokal |
Mencapai produksi berkelanjutan untuk jagung dan terubuk menuntut inovasi dalam menghadapi perubahan iklim, penurunan kualitas lahan, dan ancaman hama yang semakin resisten. Fokus pada penelitian dan pengembangan plasma nutfah adalah kunci.
Meskipun jagung hibrida mendominasi pasar karena hasil panennya yang superior, konservasi varietas jagung lokal (landraces) sangat penting. Varietas lokal seringkali memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi stres lokal (misalnya kekeringan atau tanah miskin) dibandingkan hibrida. Program pemuliaan modern kini berfokus pada pengembangan jagung yang toleran terhadap cekaman abiotik, seperti jagung yang dapat tumbuh optimal pada kondisi marginal, serta peningkatan kualitas protein (QPM) untuk memperbaiki nilai gizi.
Secara teknis, pemuliaan jagung melibatkan teknik persilangan yang sangat kompleks, mulai dari inbreeding (pemurnian galur) hingga pembentukan single cross hibrida yang menghasilkan vigor tinggi (heterosis). Tantangan utama dalam pemuliaan jagung di Indonesia adalah menghasilkan hibrida yang tidak hanya berdaya hasil tinggi tetapi juga memiliki ketahanan spesifik terhadap penyakit tropis endemik seperti Bulai (Peronosclerospora maydis).
Terubuk sering dianggap sebagai tanaman pekarangan atau tanaman sampingan, menyebabkan penelitian budidayanya tertinggal dibandingkan tebu atau jagung. Untuk meningkatkan skala ekonomi terubuk, diperlukan:
Intensifikasi ini harus diimbangi dengan praktik pertanian organik atau berkelanjutan, mengingat terubuk seringkali ditanam di lahan dengan keanekaragaman hayati tinggi. Penggunaan pupuk organik dan praktik penanaman monokultur yang hati-hati sangat disarankan.
Untuk mencapai pemahaman yang mendalam, kita akan memperluas pembahasan teknis budidaya jagung dan terubuk, membahas detail nutrisi yang lebih spesifik, serta tantangan dalam rantai pasok kedua komoditas ini.
Kualitas tanah adalah fondasi hasil jagung yang tinggi. Ada beberapa parameter penting yang harus dipantau ketat:
Kadar BO ideal untuk jagung adalah 2-5%. BO berfungsi meningkatkan kapasitas menahan air (water holding capacity) dan sebagai reservoir hara lepas lambat. Lahan dengan BO rendah membutuhkan penambahan pupuk hijau, kompos, atau sisa tanaman secara rutin. Teknik olah tanah konservasi (minimum tillage) sangat efektif dalam mempertahankan kadar BO di lapisan atas tanah.
KTK adalah kemampuan tanah untuk menahan ion hara positif (K+, Mg2+, Ca2+). Tanah liat memiliki KTK tinggi, sementara tanah berpasir memiliki KTK rendah. Jagung memerlukan ketersediaan Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) yang cukup, terutama selama pembentukan biji. Aplikasi dolomit tidak hanya menaikkan pH tetapi juga memasok Mg dan Ca.
Meskipun dibutuhkan dalam jumlah kecil, unsur mikro (Zn, B, Mn, Fe) krusial bagi jagung. Defisiensi Zinc (Zn) sering terjadi pada tanah dengan pH tinggi atau tanah yang baru diberi kapur, menyebabkan gejala daun menguning (chlorosis) di pangkal daun muda. Aplikasi Zn melalui pupuk daun atau pupuk dasar yang diperkaya Zn dapat mengatasi masalah ini. Defisiensi Boron (B) dapat menghambat penyerbukan dan perkembangan biji, sehingga harus diwaspadai pada tanah masam.
Manajemen hara mikro yang efektif memerlukan analisis tanah berkala. Program pemupukan harus disesuaikan berdasarkan hasil uji tanah, bukan hanya berpegangan pada dosis standar yang direkomendasikan secara umum.
Sistem ratoon (panen berulang dari tanaman induk yang sama) sangat umum pada terubuk, mirip tebu. Setelah panen tunas bunga pertama, pengelolaan tanaman induk menjadi sangat penting untuk menghasilkan panen berikutnya yang berkualitas (ratoon crop).
Batang induk harus dipotong serendah mungkin ke permukaan tanah segera setelah tunas bunga dipanen. Hal ini mendorong munculnya anakan baru yang kuat. Lahan kemudian harus dibersihkan dari sisa daun kering dan diberi pemupukan N yang tinggi untuk mempercepat pertumbuhan anakan vegetatif.
Masa ratoon umumnya lebih pendek dari masa tanam awal (plant crop), karena sistem perakaran sudah terbentuk kuat. Namun, hasil tunas ratoon kedua dan ketiga cenderung menurun, sehingga petani perlu meremajakan tanaman setelah beberapa kali panen berulang, biasanya setiap 2-3 tahun.
Saat ratoon, kebutuhan air bahkan lebih tinggi di awal, untuk mendorong inisiasi tunas baru. Jika terjadi kekeringan setelah panen ratoon, tanaman akan mengalami stres yang parah, yang berdampak pada jumlah dan kualitas tunas bunga yang dihasilkan di siklus berikutnya. Pemberian mulsa dari sisa daun tebu sangat membantu menjaga kelembapan tanah, terutama di daerah yang rentan terhadap defisit air.
Diversifikasi pengolahan menjadi kunci untuk meningkatkan nilai tambah kedua komoditas ini. Jagung, selain pati dan pakan, sedang dieksplorasi sebagai bahan baku energi terbarukan (bioetanol), meskipun di Indonesia fokus utamanya masih pada pangan dan pakan.
Pemanfaatan jagung untuk bahan pangan fungsional semakin populer. Contohnya, pengembangan tepung jagung (maizena) yang dimodifikasi untuk industri makanan, atau produksi corn grits untuk sereal sarapan. Selain itu, kulit ari jagung yang merupakan hasil sampingan dari proses penggilingan, kini diolah menjadi sumber serat pangan tambahan.
Pengembangan produk berbahan dasar Jagung Pulut (Waxy Corn) juga menawarkan peluang. Pati jagung pulut murni memiliki sifat unik yang kental dan stabil, sangat dicari dalam industri makanan beku dan tekstil.
Salah satu tantangan terbesar terubuk adalah umur simpan (shelf life) yang sangat pendek. Setelah dipanen, tunas bunga mulai mengeras dan membusuk dengan cepat, seringkali hanya bertahan 3-5 hari di suhu ruang. Inovasi pengolahan diperlukan untuk memperpanjang daya simpannya:
Invasi Spodoptera frugiperda (Fall Armyworm/FAW) telah menjadi ancaman terbesar bagi pertanian jagung global, termasuk Indonesia. Hama ini memiliki siklus hidup yang pendek, kemampuan migrasi yang tinggi, dan tingkat reproduksi yang cepat.
FAW menyerang tanaman jagung pada hampir semua fase pertumbuhan, tetapi kerusakan paling parah terjadi pada tanaman muda (fase V3 hingga V8), di mana larva masuk ke dalam pucuk (whorl) dan memakan titik tumbuh. Larva dapat dikenali dari pola "Y" terbalik di kepala dan empat bintik gelap di ujung abdomennya. Kerusakan parah dapat menyebabkan tanaman gagal bertongkol (blanking).
Pengendalian FAW membutuhkan pendekatan multi-taktik:
Pentingnya sanitasi lahan dan penanaman serentak di wilayah yang luas juga membantu memutus siklus hidup hama ini.
Kebutuhan spesifik air dan adaptasi iklim mikro bagi jagung dan terubuk menyoroti perbedaan mendasar dalam strategi budidaya keduanya.
Jagung sangat sensitif terhadap defisit air, terutama pada dua fase kritis: fase pembungaan (anthesis dan silking) dan fase pengisian biji. Kekeringan pada fase pembungaan dapat menyebabkan kegagalan penyerbukan total, karena sutra betina (silk) terlambat muncul (delay silking) atau serbuk sari kehilangan viabilitasnya. Setiap hari kekurangan air pada fase ini dapat mengurangi hasil hingga 8%.
Teknik mitigasi meliputi penggunaan varietas jagung toleran kekeringan (DT-maize), penerapan sistem irigasi hemat air seperti irigasi curah (sprinkler) atau irigasi tetes, serta penggunaan mulsa untuk meminimalkan evaporasi dari permukaan tanah.
Terubuk, yang merupakan kerabat tebu, berkembang di iklim yang lembap dan cenderung stabil. Kualitas tunas bunganya sangat bergantung pada kelembaban udara dan ketersediaan air tanah yang konstan. Meskipun ia dapat bertahan hidup di daerah yang lebih kering, kualitas tunas (tekstur dan rasa manis) akan menurun signifikan.
Pada budidaya terubuk komersial di lahan yang lebih kering, petani harus menciptakan iklim mikro yang mendukung. Ini bisa dicapai melalui penanaman di dekat sumber air, penerapan mulsa tebal dari serasah daun, atau penanaman di cekungan lahan untuk mengumpulkan air hujan.
Jagung dan terubuk merepresentasikan spektrum pangan Nusantara. Jagung sebagai komoditas global yang dikelola dengan teknologi tinggi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan pakan, dan terubuk sebagai harta karun lokal yang membutuhkan perhatian konservasi dan inovasi pengolahan agar tidak hilang dari panggung kuliner dan pertanian.
Masa depan pertanian yang cerah di Indonesia akan mengandalkan strategi yang menggabungkan peningkatan efisiensi budidaya jagung melalui teknologi hibrida dan IPM, sambil pada saat yang sama, mempromosikan dan mengembangkan komoditas lokal unik seperti terubuk. Peningkatan kesadaran konsumen mengenai nilai gizi terubuk dan dukungan terhadap rantai pasok lokal akan memastikan bahwa sayuran eksotis ini tetap menjadi bagian integral dari kekayaan pangan Indonesia, berdampingan dengan jagung sebagai tiang penopang ketahanan pangan nasional.
Optimalisasi hasil panen jagung secara berkelanjutan, dengan fokus pada penggunaan pupuk berimbang dan pengendalian hama terpadu, adalah prasyarat dasar bagi ketahanan pangan. Setiap hektar lahan jagung yang dikelola dengan baik berkontribusi langsung pada stabilitas harga pakan dan protein hewani nasional. Selain itu, pengembangan infrastruktur pasca-panen jagung, termasuk fasilitas pengeringan dan penyimpanan yang memadai, sangat penting untuk mengurangi kehilangan hasil (post-harvest losses) yang sering mencapai 10-15% akibat kadar air yang tinggi saat panen.
Untuk terubuk, tantangan utamanya adalah standarisasi pasar. Saat ini, terubuk dijual berdasarkan ukuran dan tampilan yang sangat bervariasi antar daerah. Perlu ada upaya untuk mendefinisikan standar mutu (grade A, B, C) berdasarkan kriteria seperti diameter tunas, kebersihan sekam, dan ketiadaan cacat fisik. Standarisasi ini akan mempermudah perdagangan antar pulau dan meningkatkan daya tarik terubuk di pasar ekspor khusus (niche market), misalnya ke komunitas Asia Tenggara di luar negeri.
Inisiatif branding lokal juga dapat meningkatkan nilai terubuk. Menghubungkan terubuk dengan warisan kuliner tertentu (misalnya "Terubuk Khas Sunda") dapat menciptakan nilai tambah dan mendorong pelestarian cara tanam tradisional yang ramah lingkungan. Pelatihan bagi petani mengenai teknik pengemasan yang higienis dan cepat (pre-cooling) juga esensial untuk memperpanjang waktu pengiriman dan menjaga kesegaran produk hingga ke tangan konsumen akhir.
Konsep pertanian presisi (precision farming) menawarkan solusi untuk meningkatkan efisiensi pada kedua komoditas. Untuk jagung, penggunaan drone untuk pemetaan kesehatan tanaman, identifikasi dini serangan FAW, dan aplikasi pupuk variabel (VRA) berdasarkan kebutuhan spesifik zona lahan dapat menghemat input dan meningkatkan hasil secara signifikan.
Sementara bagi terubuk, yang sering ditanam dalam skala kecil, pertanian presisi dapat diterapkan melalui sensor tanah murah untuk memonitor kelembaban dan suhu mikro di sekitar perakaran. Data ini memungkinkan petani untuk mengoptimalkan jadwal irigasi dan menghindari stres tanaman yang merusak kualitas tunas. Digitalisasi pertanian adalah langkah ke depan yang tak terhindarkan untuk memastikan bahwa kedua tanaman ini dapat berkembang biak di tengah tantangan sumber daya alam yang semakin terbatas.
Maka dari itu, dengan strategi yang terintegrasi, yang menghargai nilai sejarah jagung sekaligus mengangkat martabat terubuk sebagai sayuran spesial, Indonesia dapat terus memastikan ketersediaan pangan yang beragam, bergizi, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.