Dalam khazanah arsitektur tradisional Indonesia, terdapat sebuah elemen krusial yang jauh melampaui sekadar fungsi struktural; ia adalah poros dunia, pusat spiritual, dan penentu keberlangsungan sebuah hunian. Elemen fundamental ini dikenal sebagai Jentang. Jentang bukanlah sekadar tiang biasa. Ia adalah jantung dari konsep rumah panggung, penyangga vertikal utama yang menyatukan atap, lantai, dan landasan, sekaligus menjadi media penghubung antara dunia atas (langit), dunia tengah (bumi tempat manusia hidup), dan dunia bawah (struktur pondasi).
Pemahaman mendalam tentang Jentang memerlukan penelusuran tidak hanya pada ilmu pertukangan kayu, tetapi juga pada epistemologi dan kosmologi masyarakat adat Nusantara. Dari Sumatera hingga Kalimantan, meskipun sebutannya mungkin bervariasi—kadang disebut Tiang Tuo, Induk Tiang, atau Tiang Pusat—fungsinya sebagai sumbu utama tidak pernah bergeser. Jentang mewakili stabilitas, keberlanjutan garis keturunan, dan keselarasan mikrokosmos rumah dengan makrokosmos alam semesta.
Secara leksikal, istilah jentang seringkali merujuk pada konstruksi vertikal yang bersifat monumental atau penanda utama dalam sebuah struktur. Dalam konteks arsitektur, Jentang didefinisikan sebagai tiang utama yang berdiri di titik sentral (atau sepanjang garis pusat) dari denah bangunan. Tiang ini seringkali ditanam pertama kali dalam upacara khusus dan diyakini memiliki kekuatan spiritual yang paling besar di antara semua tiang penyangga lainnya. Kekuatan ini tidak hanya diukur dari dimensi fisiknya, tetapi dari kayu pilihan yang digunakan, proses ritual penebangan, dan penempatan posisinya yang presisi di lokasi yang telah ditetapkan melalui musyawarah adat atau perhitungan astrologi tradisional.
Konsep Axis Mundi, atau poros dunia, sangat relevan untuk memahami peran Jentang. Dalam banyak kebudayaan tradisional, Axis Mundi adalah garis imajiner atau objek fisik yang menghubungkan langit dan bumi, memungkinkan komunikasi antara alam ilahi dan alam manusia. Rumah adat, yang dipandang sebagai replika kosmos, menempatkan Jentang sebagai manifestasi fisik dari poros tersebut. Ia menopang langit-langit (dunia atas), menyangga lantai tempat kehidupan berlangsung (dunia tengah), dan berakar kuat ke tanah (dunia bawah).
Posisi Jentang yang sentral memastikan bahwa seluruh beban struktural, baik beban statis (berat material) maupun beban dinamis (gaya angin, gempa), didistribusikan secara merata. Ini menunjukkan kearifan lokal bahwa kekuatan spiritual dan kekuatan fisik harus berjalan seiring. Konstruksi tanpa Jentang yang tepat dianggap rentan, bukan hanya secara material, tetapi juga secara spiritual, yang dapat mengundang kesialan atau ketidakberuntungan bagi penghuninya.
Penting untuk membedakan Jentang dari tiang-tiang penyangga (tiang samping, tiang pendukung) lainnya. Meskipun semua tiang memegang peran struktural, Jentang memiliki karakteristik unik:
Dari perspektif teknik sipil tradisional, Jentang adalah tulang punggung mekanis rumah panggung. Ia dirancang untuk menahan gaya vertikal yang masif, terutama dari struktur atap yang berat, serta berperan vital dalam memastikan kekakuan lateral bangunan, yang penting untuk menghadapi gaya horizontal seperti angin kencang dan gempa bumi yang sering melanda Nusantara.
Fungsi utama Jentang adalah menahan dan menyalurkan beban. Beban atap, yang merupakan komponen terberat di banyak rumah adat (terutama atap ijuk atau sirap), diteruskan melalui balok bubungan (kuda-kuda utama) langsung ke puncak Jentang. Beban ini kemudian disalurkan secara aksial ke fondasi di bawahnya.
Namun, peran Jentang tidak berhenti pada beban vertikal. Dalam konstruksi rumah panggung yang mengandalkan sambungan pasak dan tanpa paku (sistem pasak dan purus), kekakuan lateral (kemampuan menahan dorongan samping) sangat bergantung pada sambungan Jentang dengan balok lantai (alang) dan balok atap. Jentang yang masif bertindak sebagai elemen kaku yang mencegah deformasi kotak bangunan (goyangan). Jika Jentang longgar atau lemah, seluruh struktur berisiko runtuh akibat efek geser dari gempa.
Kualitas kayu menjadi penentu. Masyarakat tradisional sangat teliti memilih kayu yang memiliki modulus elastisitas tinggi dan kuat tekan yang optimal. Di Kalimantan, kayu Ulin (kayu besi) sering menjadi pilihan utama untuk Jentang karena ketahanannya terhadap air, rayap, dan kepadatan yang luar biasa, memastikan daya tahan selama ratusan tahun.
Kekuatan Jentang terletak pada bagaimana ia disambungkan dengan elemen horizontal. Teknik yang paling umum adalah sambungan purus dan pasak (mortise and tenon joint), seringkali diperkuat dengan baji kayu keras yang dikunci secara permanen.
Pada level lantai, Jentang ditembus oleh balok induk lantai (alang induk). Alang ini tidak hanya menempel; Jentang seringkali memiliki lubang persegi (mortise) yang menerima tonjolan (tenon) dari alang. Kedalaman dan presisi lubang ini sangat menentukan kekuatan. Setelah alang diposisikan, pasak kayu besar ditanam melintang untuk mengunci sambungan. Dalam beberapa kasus di Toraja, Jentang justru dipertahankan utuh dan balok horizontal diletakkan di sampingnya, diikat dengan tali ijuk atau rotan, memungkinkan sedikit fleksibilitas saat terjadi guncangan, sebuah strategi adaptasi seismik yang canggih.
Fondasi Jentang juga spesifik. Karena Jentang seringkali tidak ditanam langsung ke dalam tanah (untuk mencegah pembusukan), ia diletakkan di atas batu datar besar (batu umpak atau tapak). Kontak antara Jentang dan batu umpak harus sempurna agar beban tersalurkan merata. Batu umpak ini, selain berfungsi sebagai isolator kelembaban, juga memiliki makna ritual sebagai penghubung Jentang dengan energi bumi. Ritual meletakkan Jentang di atas batu umpak dikenal sebagai momen sakral, menandai lahirnya rumah.
Keakuratan dalam mengukur dan memotong Jentang sangat vital. Kesalahan beberapa milimeter saja dapat mengganggu keselarasan seluruh struktur, dan karena kayu yang digunakan sangat mahal dan sulit didapat, tukang guru (arsitek tradisional) harus bekerja dengan ketelitian tinggi, seringkali hanya menggunakan perkakas tangan tradisional. Setiap Jentang adalah mahakarya pertukangan yang merefleksikan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, sebuah warisan teknologi yang telah teruji oleh waktu dan tantangan alam.
Melampaui fungsi strukturalnya, Jentang adalah representasi fisik dari tata kosmos masyarakat adat. Ia adalah pusat spiritual rumah, titik di mana keberuntungan dan perlindungan diyakini bersemayam. Kepercayaan ini mengarah pada serangkaian ritual ketat yang harus dipatuhi, dari penebangan pohon hingga pemakaian rumah.
Proses pemilihan kayu untuk Jentang bukanlah sekadar mencari bahan yang kuat. Pohon yang akan dijadikan Jentang seringkali dipilih berdasarkan kriteria spiritual: lokasinya, arah tumbuhnya, dan bahkan mimpi yang dialami oleh pemimpin adat atau tukang guru. Penebangan harus dilakukan pada hari baik, biasanya setelah persembahan kepada roh penjaga hutan.
Pohon tersebut diperlakukan sebagai makhluk hidup yang dikorbankan demi kehidupan komunitas. Ritual pemotongan bertujuan untuk 'memindahkan' roh pohon ke dalam kayu, agar roh tersebut dapat terus melindungi rumah baru. Kayu Jentang tidak boleh menyentuh tanah setelah dipotong dan harus diangkut dengan upacara khusus. Setiap langkah, dari hutan ke lokasi pembangunan, penuh dengan makna dan pantangan (pantang larang).
Dalam beberapa tradisi Minangkabau, misalnya, Tiang Tuo (Jentang) harus memiliki urat kayu yang lurus dan harus diukir dengan motif tertentu sebelum didirikan, menandakan statusnya yang berbeda dari tiang-tiang penopang lainnya. Motif ukiran ini seringkali menceritakan silsilah keluarga, kisah mitologi, atau simbol-simbol kesuburan.
Momen paling sakral dalam pembangunan rumah adat adalah ketika Jentang didirikan (upacara Tegak Tiang atau Mendirikan Tiang Induk). Ini adalah transisi dari sebidang tanah kosong menjadi sebuah hunian yang diberkati.
Kegagalan dalam upacara ini, seperti Jentang yang jatuh atau patah saat didirikan, dianggap sebagai pertanda buruk yang sangat serius, seringkali menuntut penundaan pembangunan atau bahkan penggantian total kayu tersebut setelah serangkaian ritual penyucian.
Meskipun konsep Jentang universal di seluruh kepulauan, manifestasi fisiknya sangat beragam, disesuaikan dengan iklim, ketersediaan material, dan sistem kepercayaan lokal. Perbedaan ini menciptakan kekayaan tak ternilai dalam khazanah arsitektur tradisional Indonesia.
Di Sumatera, khususnya pada rumah gadang Minangkabau atau rumah Melayu Riau, konsep Jentang diwujudkan dalam Tiang Tuo atau Tiang Tengah. Struktur rumah gadang sangat bergantung pada sejumlah tiang utama, tetapi Tiang Tuo di bagian tengah memiliki signifikansi tertinggi.
Rumah Gadang adalah struktur yang kompleks dengan bentuk atap melengkung khas (gonjong). Tiang-tiang utama di sini seringkali diukur berdasarkan proporsi tubuh manusia atau anggota keluarga. Tiang Tuo (Jentang) biasanya merupakan tiang yang paling besar, diletakkan di barisan tengah dan berfungsi sebagai jangkar struktural. Karena rumah gadang dibangun untuk menampung keluarga besar matrilineal, kekuatan Jentang melambangkan kekuatan kaum dan kesinambungan adat. Penggantian Jentang hampir tidak pernah dilakukan; jika rusak, tiang-tiang pendukung di sekitarnya yang diperkuat, menjaga keaslian Jentang yang pertama didirikan.
Pada rumah Batak Toba (Rumah Bolon), meskipun strukturnya berbeda, terdapat tiang sentral yang berfungsi sama, menopang beban berat atap melengkung raksasa. Tiang ini seringkali dihiasi ukiran yang disebut gorga, yang tidak hanya estetis tetapi juga berfungsi sebagai jimat perlindungan. Jentang Batak menunjukkan hubungan erat antara struktur fisik dan fungsi sosial sebagai penanda status sosial pemilik rumah.
Di Kalimantan, Jentang seringkali terbuat dari kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri), dikenal sebagai kayu besi. Kayu ini dipilih karena densitasnya yang luar biasa, menjadikannya sangat tahan terhadap cuaca, serangga, dan pembusukan, faktor krusial di lingkungan tropis yang lembap.
Pada rumah panjang Dayak (Rumah Betang), Jentang tidak hanya satu, tetapi serangkaian tiang utama yang sangat besar yang membentang sepanjang puluhan hingga ratusan meter. Setiap Jentang pada Rumah Betang mungkin melambangkan sebuah keluarga atau unit rumah tangga dalam komunitas tersebut. Karena rumah betang adalah entitas komunal, Jentang mewakili kohesivitas sosial. Pemasangannya memerlukan koordinasi puluhan orang, menekankan nilai gotong royong dalam pembangunan.
Keistimewaan Jentang Ulin adalah kemampuannya untuk bertahan hingga ratusan tahun tanpa perawatan kimia. Bahkan ketika bagian dasar Jentang terendam atau bersentuhan dengan tanah, proses pembusukan berjalan sangat lambat. Hal ini memungkinkan rumah-rumah Betang menjadi warisan abadi yang bertahan melintasi generasi.
Di kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku, Jentang tetap menjadi inti, meskipun teknik konstruksi pondasinya mungkin berbeda. Pada rumah-rumah di Sumba, Jentang utama seringkali menjulang tinggi hingga menembus atap, dan puncaknya dihiasi dengan simbol-simbol kosmologis atau patung leluhur (patung marapu). Jentang di sini berfungsi sebagai saluran komunikasi langsung dengan alam arwah dan langit. Bagian di sekitar Jentang di ruang tengah adalah area yang paling sakral, tempat diselenggarakannya upacara adat penting.
Analisis mendalam mengenai Jentang Sumba menunjukkan bahwa tiang ini bukan sekadar penopang struktur, melainkan sebuah menara persembahan di dalam rumah. Ruang antara Jentang dan tiang-tiang lainnya didefinisikan secara hierarkis, di mana Jentang menggarisbawahi pusat yang tak tersentuh kecuali oleh ritual tertentu. Kekuatan arsitektur ini terletak pada integrasi penuh antara fungsi bangunan dan fungsi religi.
Penempatan Jentang secara langsung memengaruhi pembagian ruang (zonasi) dalam rumah adat. Karena Jentang adalah pusat energi dan kekakuan, ruang di sekitarnya seringkali menjadi ruang utama atau ruang suci, sementara ruang di antara tiang-tiang pendukung lainnya digunakan untuk aktivitas yang lebih profan atau privat.
Di banyak rumah tradisional, Jentang berdiri di tengah ruang utama (ruang induk atau balai adat). Ruang ini adalah tempat pertemuan keluarga besar, upacara adat, dan ritual penting seperti pernikahan atau kematian. Ketinggian Jentang dan hubungannya dengan balok bubungan menciptakan ilusi ketinggian dan keagungan di ruang ini.
Area yang paling dekat dengan Jentang seringkali tidak boleh dilalui sembarangan, dan perabotan tertentu (seperti peti pusaka atau tempat tidur pemimpin) harus diletakkan sejajar atau berhadapan dengannya. Ini menunjukkan bahwa Jentang secara fisik membagi ruang dan secara sosial mendefinisikan hierarki dan tata krama dalam rumah.
Sebagai contoh, pada arsitektur tertentu, bagian atas Jentang yang tersembunyi di dalam atap dianggap sebagai loteng dewa atau tempat bersemayamnya roh leluhur. Ruangan ini tidak boleh diakses oleh siapapun yang tidak berhak, dan segala kerusakan pada Jentang dianggap sebagai gangguan langsung terhadap keseimbangan spiritual rumah tangga.
Karena dimensi Jentang yang masif dan posisinya yang tetap, tata letak balok lantai (gelagar) dan rusuk lantai (kasau) harus disesuaikan dengan titik-titik sambungan Jentang. Hal ini menghasilkan pola lantai yang sangat terstruktur dan simetris. Kualitas lantai di sekitar Jentang juga harus prima, seringkali menggunakan papan kayu terlebar atau terhalus, sebagai penghormatan terhadap pusat rumah.
Sistem ini memastikan distribusi beban hidup (manusia, perabotan) juga optimal, disalurkan melalui gelagar ke Jentang dan tiang-tiang pendukung secara merata. Presisi ini merupakan kunci mengapa rumah adat tradisional mampu menahan beban dan guncangan selama ratusan tahun, membuktikan bahwa perhitungan struktural tradisional sangat akurat, meskipun tanpa formula matematika modern.
Jika ada kebutuhan untuk memperluas rumah, Jentang tetap menjadi titik awal dan titik acuan. Ekspansi harus dilakukan secara simetris di sekeliling Jentang, memastikan bahwa perluasan tidak mengganggu keseimbangan kosmik dan struktural yang telah ditetapkan oleh Jentang itu sendiri.
Hubungan antara Jentang dan ekologi lokal sangat mendalam. Pemilihan bahan Jentang mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, sebuah praktik yang kini menjadi studi penting dalam arsitektur berkelanjutan.
Pemilihan pohon untuk Jentang melibatkan pengetahuan mendalam tentang sifat kayu, termasuk ketahanan alami terhadap hama, kelembaban, dan daya lentur. Penggunaan kayu keras yang sangat awet seperti Ulin, Meranti Merah, atau Jati untuk Jentang berarti bahwa tiang tersebut tidak perlu diganti selama generasi, mengurangi kebutuhan penebangan berulang. Ini adalah bentuk konservasi jangka panjang.
Selain itu, masyarakat adat memiliki sistem untuk memastikan bahwa penebangan pohon besar (terutama untuk Jentang) tidak merusak ekosistem hutan secara keseluruhan. Mereka seringkali hanya menebang satu atau dua pohon pilihan dalam periode waktu yang lama, menghindari deforestasi massal, dan memastikan regenerasi hutan. Filosofi ini mengajarkan bahwa rumah harus bersumber dari alam, tetapi tidak boleh merusak alam yang memberi kehidupan.
Di daerah rawan banjir atau pasang surut, Jentang memastikan bahwa struktur utama rumah berada di atas ketinggian air. Konsep rumah panggung yang didukung oleh Jentang yang tinggi adalah solusi cerdas terhadap tantangan iklim. Ketinggian ini juga membantu sirkulasi udara di bawah lantai, yang penting untuk menjaga kelembaban rumah dan mencegah pembusukan lantai.
Di daerah pegunungan yang rawan gempa, Jentang seringkali dirancang untuk duduk longgar di atas batu umpak (tanpa ikatan permanen). Strategi ini memungkinkan tiang untuk bergeser sedikit saat gempa terjadi, menyerap energi guncangan, daripada patah atau merobohkan keseluruhan struktur. Fleksibilitas ini, yang diatur oleh sambungan pasak yang terkunci oleh berat atap, menunjukkan pemahaman mendalam tentang teknik peredam gempa alami.
Di era modernisasi, keberadaan Jentang dan tradisi yang menyertainya menghadapi tantangan besar, mulai dari ketersediaan bahan hingga hilangnya pengetahuan tukang guru.
Kayu keras berkualitas tinggi yang dibutuhkan untuk Jentang (misalnya, Ulin yang berdiameter besar dan lurus sempurna) kini semakin langka dan harganya melambung tinggi akibat eksploitasi hutan. Ini memaksa pembangunan rumah adat baru seringkali menggunakan kayu yang kurang ideal atau bahkan bahan alternatif seperti beton atau baja.
Penggunaan beton sebagai pengganti Jentang menghilangkan makna spiritualnya. Beton, meskipun kuat secara struktural, tidak memiliki 'roh' atau 'kehangatan' yang diyakini terkandung dalam kayu pilihan. Selain itu, pemasangan Jentang beton tidak dapat disertai dengan ritual penebangan pohon suci, yang merupakan bagian integral dari kosmos rumah adat. Inilah dilema pelestarian: menjaga bentuk tanpa kehilangan esensi.
Pengetahuan tentang bagaimana memilih, mengukur, memotong, dan mendirikan Jentang adalah pengetahuan spesialis yang dipegang oleh Tukang Guru atau Pakar Rumah Adat. Pengetahuan ini bersifat oral dan diwariskan melalui magang yang panjang.
Generasi muda saat ini cenderung memilih profesi modern, menyebabkan krisis pewarisan pengetahuan ini. Jika tukang guru terakhir meninggal, formula rahasia pengukuran proporsional rumah, metode perhitungan hari baik untuk tegak tiang, dan teknik sambungan yang rumit akan hilang. Pelestarian Jentang hari ini bukan hanya tentang merawat fisik tiangnya, tetapi tentang mendokumentasikan dan merevitalisasi keahlian manusia yang membangunnya.
Upaya pelestarian kini berfokus pada pendokumentasian 3D rumah adat, pencatatan ritual pendirian, dan penyelenggaraan lokakarya oleh pemerintah daerah dan komunitas adat untuk melatih tukang muda. Tujuannya adalah memastikan bahwa prinsip Jentang, baik sebagai struktur maupun sebagai simbol kosmik, tetap relevan dan dipraktikkan.
Meskipun tantangan modernisasi besar, konsep Jentang mulai menginspirasi arsitek kontemporer Indonesia. Gagasan tentang 'tiang utama' yang berfungsi sebagai pusat energi dan stabilitas diterjemahkan ke dalam desain bangunan modern, terutama dalam proyek-proyek yang menekankan identitas lokal dan ketahanan terhadap bencana.
Prinsip penggunaan material lokal, sambungan fleksibel, dan zonasi ruang berdasarkan fungsi sakral dan profan yang terpusat pada Jentang memberikan cetak biru bagi pembangunan yang lebih harmonis dengan lingkungan dan budaya. Jentang bukan sekadar peninggalan masa lalu; ia adalah pelajaran abadi tentang bagaimana membangun dengan hormat, kekuatan, dan makna mendalam.
Studi akademis mengenai Jentang juga semakin masif. Para peneliti menelaah modulus geser, kuat tekan, dan kinerja seismik dari berbagai jenis Jentang yang ditemukan di berbagai wilayah. Hasilnya sering kali mengagumkan: Jentang terbukti mampu menahan beban jauh melebihi perhitungan konvensional modern, sebuah bukti kecanggihan teknologi kuno.
Intinya, Jentang adalah simbol keutuhan. Ia mencerminkan pandangan dunia masyarakat Nusantara yang melihat rumah bukan hanya sebagai tempat berlindung, tetapi sebagai organisme hidup yang terintegrasi dengan alam, kosmos, dan garis keturunan leluhur. Dengan menjaga Jentang, kita menjaga identitas dan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.
***
Untuk memahami sepenuhnya kedudukan Jentang, kita harus melihatnya dalam konteks siklus hidup penghuninya dan rangkaian ritual yang mengitarinya. Jentang menjadi saksi bisu dan penjamin spiritual dari setiap peristiwa penting yang terjadi di rumah tersebut.
Pada beberapa suku di Indonesia Timur, umur rumah secara tradisional dihitung dari tanggal upacara pendirian Jentang. Karena Jentang dianggap sebagai 'jiwa' rumah, tiang ini menjadi referensi waktu. Pergantian atap, perbaikan dinding, atau penggantian lantai dapat dilakukan tanpa mengganggu integritas spiritual rumah, asalkan Jentang tetap berdiri tegak. Jika Jentang harus diganti (sebuah peristiwa yang sangat jarang dan biasanya hanya terjadi setelah bencana besar), maka rumah tersebut dianggap telah 'mati' dan 'dilahirkan kembali' melalui upacara yang sama sakralnya dengan pendirian awal.
Penghitungan umur ini juga mempengaruhi pemeliharaan. Perawatan rutin, seperti pemberian minyak atau bahan pengawet alami (misalnya getah pohon tertentu), seringkali difokuskan pada bagian bawah Jentang, tempat ia berinteraksi dengan bumi dan kelembaban, memastikan fondasi struktural dan spiritualnya tetap kokoh.
Simbolisme Jentang terkait erat dengan kekuatan maskulin (vertikal, menembus, menopang) dan kesuburan. Upacara-upacara kesuburan sering diadakan di dekat Jentang. Di beberapa wilayah, Jentang sengaja diukir menyerupai lingga atau phallus, meskipun representasi ini disamarkan dengan motif dekoratif flora atau fauna. Hubungan antara Jentang dan kesuburan keluarga sangat kuat; keberhasilan panen, kelahiran anak, dan pertumbuhan keluarga diyakini bergantung pada kekokohan dan keberkatan Jentang.
Dalam konteks Jawa atau Bali yang mengenal konsep Sumbu Jagad, Jentang (atau Tiang Utama yang setara) adalah manifestasi fisik dari Sumbu Jagad di dalam hunian. Ini adalah pusat energi kosmik yang harus selalu dijaga kebersihannya dan dihormati. Menyentuh Jentang secara sembarangan atau meletakkan benda kotor di dekatnya dianggap sebagai pelanggaran berat.
Detail teknis sambungan Jentang dengan balok-balok horizontal adalah inti dari keunggulan arsitektur tradisional. Teknik-teknik ini memastikan Jentang dapat menyalurkan beban tanpa menggunakan material pengikat modern.
Bagian paling atas Jentang menahan balok bubungan (ridge beam). Sambungan di sini sangat krusial karena ia menanggung beban atap secara langsung. Seringkali, kepala Jentang dibelah dua atau diukir untuk membuat celah (cekungan) yang pas untuk menempatkan balok bubungan. Sambungan ini biasanya berupa sambungan ekor burung yang terbalik atau sambungan kunci sederhana yang mengandalkan tekanan vertikal dari atap untuk menguncinya.
Dalam arsitektur tertentu, terutama pada rumah panggung dengan atap pelana tinggi, Jentang dapat terus naik melewati balok bubungan, dan pada puncaknya dipasang ornamen dekoratif. Ini menunjukkan bahwa Jentang tidak hanya berfungsi di dalam rumah, tetapi juga menjadi elemen penentu siluet bangunan secara keseluruhan.
Selain purus dan pasak standar, beberapa tukang guru menggunakan teknik sambungan purus yang lebih rumit untuk Jentang. Purus Cincin memungkinkan balok horizontal untuk mengelilingi Jentang dengan sangat ketat, memberikan kekakuan rotasional yang maksimal. Sementara itu, Purus Ekor Merak (atau ekor baji ganda) digunakan untuk sambungan antara Jentang dan alang yang sangat besar, memastikan bahwa balok tidak dapat ditarik keluar meskipun terjadi guncangan hebat.
Keahlian dalam membuat sambungan ini terletak pada toleransi nol antara kayu. Jentang harus dipotong dengan sangat presisi sehingga sambungan purus dapat dimasukkan hanya dengan bantuan palu kayu besar, menciptakan ikatan yang sangat kuat dan bersifat permanen, yang dapat bertahan ratusan tahun tanpa perlu diperketat ulang.
Peran Jentang meluas hingga mengatur interaksi sosial dalam komunitas. Dalam konteks rumah adat komunal, Jentang menegaskan identitas kelompok dan kepemilikan kolektif.
Pada masyarakat yang menganut sistem matrilineal, Jentang seringkali dikaitkan dengan matriark atau perempuan tertua yang mendirikan rumah. Rumah itu sendiri dianggap sebagai wadah bagi roh leluhur perempuan, dan Jentang adalah tulang punggung dari wadah tersebut. Pemeliharaan Jentang menjadi tanggung jawab bersama semua keturunan yang tinggal di rumah tersebut.
Sebaliknya, pada masyarakat patrilineal, Jentang mungkin melambangkan pendiri laki-laki, bapak keluarga pertama. Kekuatan Jentang adalah cerminan dari otoritas dan kehormatan kepala keluarga. Dalam kedua sistem tersebut, Jentang adalah monumen genealogi yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Saat ini, prinsip Jentang diterapkan pada pembangunan gedung-gedung publik, museum, dan pusat budaya sebagai upaya untuk mengintegrasikan identitas lokal. Dalam konteks modern ini, Jentang tidak harus berupa tiang kayu tunggal, tetapi dapat berupa konsep 'inti kaku' atau 'pusat ritual' yang dominan.
Penerapan ini bertujuan untuk memberikan rasa ketenangan dan kestabilan pada ruang publik. Meskipun terbuat dari material modern, tiang pusat ini sering dihiasi dengan ukiran tradisional atau ditempatkan pada posisi yang strategis untuk mengingatkan pengguna akan pentingnya pusat spiritual dalam setiap organisasi sosial.
Eksplorasi yang mendalam tentang Jentang sekali lagi menegaskan bahwa arsitektur tradisional Nusantara adalah sistem yang terpadu sempurna, di mana tidak ada elemen yang berfungsi sendiri. Setiap tiang, balok, dan pasak adalah bagian dari sebuah narasi besar tentang hubungan antara manusia, alam, dan kosmos. Jentang, sebagai pilar kosmik, akan terus berdiri sebagai kesaksian keunggulan budaya yang bertahan lama.