Dalam khazanah kebudayaan Jawa, di antara para seniman dan pengrajin ahli, terdapat satu sosok yang memegang peranan kunci dalam menerjemahkan filosofi dan estetika ke dalam wujud fisik: juru sungging. Sosok ini bukanlah sekadar pelukis atau pewarna biasa. Mereka adalah pencerita visual, ahli kosmos yang menggunakan pigmen dan garis untuk menyematkan makna sakral dan narasi luhur pada berbagai media, mulai dari kulit wayang, bilah keris, hingga detail arsitektur keraton. Keahlian mereka melampaui teknik; ini adalah pemahaman mendalam tentang tatanan semesta yang terwujud dalam palet warna.
Ilustrasi simbolis kuas dan palet, alat utama Juru Sungging.
Istilah sungging secara harfiah merujuk pada aktivitas mewarnai, melukis, atau memberikan hiasan pada permukaan benda. Namun, juru sungging memiliki dimensi kultural yang jauh lebih mendalam. Mereka adalah spesialis yang menguasai ilmu pewarnaan tradisional (pranata warna) yang terikat pada kaidah-kaidah pakem (aturan baku) yang diwariskan turun-temurun, terutama di lingkungan keraton (kraton) atau padepokan seni.
Pada masa kerajaan Mataram, juru sungging memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Mereka tidak hanya bertugas memperindah, tetapi juga mengautentikasi dan memberikan nilai spiritual pada benda-benda pusaka. Keterampilan mereka melibatkan pengetahuan botani, mineralogi, serta pemahaman yang kuat terhadap filsafat Jawa, terutama konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan) yang sering kali disimbolkan melalui komposisi warna.
Sebelum cat sintetis dikenal, juru sungging harus menjadi ahli kimia alam. Proses pembuatan pigmen adalah ritual yang panjang dan sakral. Warna-warna primer (merah, hitam, kuning) harus didapatkan dari sumber-sumber alami yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu.
Keahlian juru sungging terletak pada kemampuan mereka meramu pigmen ini agar tahan lama, memiliki intensitas yang tepat, dan yang paling penting, mampu 'hidup' secara spiritual, sejalan dengan fungsinya sebagai medium penyampai pesan kosmik. Proses pengolahan pigmen ini sendiri sering disertai dengan ritual puasa dan doa tertentu, menegaskan bahwa seni sungging adalah bagian dari praktik spiritual.
Bidang yang paling erat kaitannya dengan juru sungging adalah wayang kulit. Di sini, sang juru sungging bertugas memberikan 'nyawa' pada pahatan kulit kerbau yang telah disamak dan ditatah oleh juru tatah. Keberhasilan sebuah pertunjukan wayang sangat bergantung pada kualitas sunggingan, karena warnalah yang pertama kali membedakan karakter, watak, dan status sosial tokoh di mata penonton.
Setiap warna yang diterapkan pada wayang memiliki makna semiotis yang ketat. Juru sungging tidak boleh sembarangan; mereka harus menguasai pakem dari berbagai *gagrak* (gaya), seperti Gagrak Yogyakarta, Gagrak Surakarta, atau Gagrak Pesisiran.
Sunggingan wayang membutuhkan ketelitian mikroskopis. Juru sungging menggunakan kuas yang terbuat dari rambut binatang yang sangat halus. Teknik pewarnaan dilakukan secara berlapis (teknik *plisir* dan *gradasi*) untuk menciptakan dimensi dan volume, meskipun wayang itu sendiri berbentuk datar.
Sunggingan detail pada wajah wayang kulit menunjukkan penerapan warna sesuai watak.
Peran juru sungging tidak terbatas pada seni pertunjukan. Dalam keraton, mereka juga bertanggung jawab atas pewarnaan dan dekorasi benda-benda pusaka, terutama pada warangka (sarung) dan mendak (cincin) keris, tombak, dan juga peti pusaka. Sunggingan pada benda-benda ini memiliki tujuan yang sangat spiritual: untuk memperkuat daya magis (linuwih) atau memberikan perlindungan kepada pemiliknya.
Warangan keris adalah proses kimiawi yang memberikan warna hitam kebiruan yang khas pada bilah keris, namun sunggingan diterapkan pada warangka. Sunggingan pada warangka sering menggunakan motif patra (ukiran dedaunan) atau lung-lungan (sulur-suluran) yang diwarnai emas, hijau, atau merah. Emas pada warangka (sungging prada) melambangkan status dan kekayaan spiritual.
Salah satu teknik sungging keris yang paling unik adalah penggunaan sunggingan mas (emas). Emas ditempelkan di cekungan ukiran kayu warangka yang sangat halus. Proses ini memerlukan fokus mutlak, karena serbuk emas harus ditiup atau dioleskan tanpa ada serat kayu yang rusak. Keindahan sunggingan ini menunjukkan bahwa kekayaan sejati seorang bangsawan terletak pada detail estetika yang menyembunyikan filosofi yang mendalam.
Filosofi warna yang dikuasai juru sungging berakar pada konsep Mancapat (Empat Penjuru) yang merupakan inti dari kosmologi Jawa dan Bali. Ini adalah representasi visual dari keseimbangan alam semesta: Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Pusat. Setiap penjuru dikaitkan dengan dewa, elemen, dan warna tertentu.
Saat juru sungging bekerja, misalnya pada dinding keraton atau topeng ritual, komposisi warna ini tidak hanya soal estetika, tetapi upaya menyeimbangkan energi kosmik. Penempatan warna merah di bagian bawah (bumi) dan putih/emas di bagian atas (langit) adalah manifestasi dari harmoni yang dicari dalam setiap karya seni Jawa. Kualitas karya sungging yang baik adalah yang mampu menghadirkan 'rasa' dari keseimbangan kosmik tersebut.
Untuk mencapai kedalaman visual yang dibutuhkan dalam karya-karya adiluhung, juru sungging harus menguasai teknik yang sangat spesifik dan memakan waktu. Ini adalah bagian yang membedakan sungging dari pelukisan biasa. Kompleksitas ini meliputi persiapan media, perataan tekstur, hingga lapisan-lapisan pigmen yang rumit.
Media yang akan disungging harus disiapkan agar pigmen dapat melekat sempurna dan tidak mudah luntur. Jika media adalah kayu atau kulit, seringkali diperlukan lapisan dasar (gaco) yang terbuat dari campuran kapur dan perekat alami (misalnya pati beras atau lem tulang). Lapisan ini harus sangat tipis dan rata. Kegagalan dalam preparasi media akan membuat warna menjadi kusam atau retak. Juru sungging harus memastikan bahwa permukaan benar-benar halus, seolah-olah ‘mengundang’ warna untuk menyatu dengan materi dasar.
Perekat yang digunakan untuk prada emas (sering disebut ‘malam emas’) dibuat dari campuran getah pohon tertentu yang dimasak hingga menghasilkan tekstur lengket namun bening. Ini memastikan emas murni (prada) dapat menempel tanpa mengubah kilau alaminya. Proses ini adalah rahasia dapur setiap juru sungging, seringkali dijaga kerahasiaannya di setiap keraton atau padepokan.
Meskipun seni sungging seringkali terlihat dua dimensi, juru sungging ahli mampu menciptakan ilusi kedalaman (dimensi) melalui gradasi warna (teknik pulung atau *pulasan*). Ini sangat vital dalam wayang kulit, di mana karakter harus terlihat memiliki volume meskipun bentuk dasarnya pipih.
Selain mewarnai tokoh utama, juru sungging juga ahli dalam ornamen dekoratif. Dua motif utama yang harus dikuasai adalah *patra* dan *lung-lungan*.
Contoh sketsa motif Lung-Lungan yang sering diwarnai oleh juru sungging.
Seorang juru sungging sejati harus mampu berpindah gaya sesuai permintaan klien atau tradisi lokal. Perbedaan paling mencolok terdapat antara dua pusat kebudayaan Jawa: Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Gagrak Yogyakarta cenderung menggunakan warna-warna yang lebih tegas, kontras, dan memiliki dominasi warna-warna dasar primer. Sunggingannya berkesan gagah dan ekspresif. Penggunaan warna merah dan hitam cenderung lebih mencolok, mencerminkan watak *keras* dan *wani* (berani) yang terkait dengan sejarah kesultanan. Plisir (garis tepi) pada wayang Gagrak Jogja biasanya lebih tebal, memberikan definisi karakter yang kuat. Emas yang digunakan seringkali memiliki corak merah keemasan (prada abang).
Gagrak Surakarta dikenal dengan kehalusan dan keanggunan (lemes) dalam pewarnaannya. Warna-warna yang digunakan lebih lembut (pastel atau warna sekunder yang halus), dengan dominasi kuning kecoklatan (soga) dan hijau tua. Sunggingan Solo lebih fokus pada detail internal dan gradasi yang lembut, menciptakan kesan meditasi dan kedalaman spiritual. Prada emas Gagrak Solo cenderung lebih kuning pucat atau murni, menunjukkan kemuliaan yang lebih tenang dan introspektif. Perbedaan dalam sunggingan ini menunjukkan bahwa seni bukanlah stagnan, melainkan interpretasi filosofis atas realitas sosial dan politik keraton.
Menjadi juru sungging profesional, terutama di lingkungan keraton, bukanlah sekadar pengakuan keterampilan teknis. Ini adalah pengukuhan spiritual. Seorang calon juru sungging harus menjalani serangkaian laku spiritual dan magis untuk memastikan bahwa karya yang dihasilkan memiliki pulung (karisma) dan daya tahan spiritual.
Ilmu sungging diwariskan melalui garis keturunan atau melalui proses magang (nyantrik) yang ketat di bawah bimbingan seorang Empu Sungging. Magang ini bisa berlangsung puluhan tahun. Murid tidak hanya belajar cara memegang kuas, tetapi juga belajar kawruh (pengetahuan) tentang makna motif dan waktu yang tepat untuk bekerja (perhitungan hari baik). Sebelum memulai proyek besar, seperti menyungging perangkat wayang baru, juru sungging sering menjalankan puasa (mutih) atau semedi untuk membersihkan diri dan meminta restu agar pigmen dapat ‘menyerap’ energi positif.
Setiap sapuan kuas yang dilakukan oleh juru sungging seringkali disertai dengan mantra atau doa dalam hati. Mantra ini bertujuan untuk ‘memasukkan’ jiwa pada pigmen, menjadikan benda yang diwarnai bukan lagi sekadar material, melainkan wadah bagi energi luhur. Misalnya, saat mewarnai mata tokoh wayang, juru sungging akan memohon agar mata tersebut dapat ‘melihat’ kebijaksanaan, bukan hanya sekadar ornamen kulit.
Di era modern, profesi juru sungging menghadapi tantangan yang sangat besar. Permintaan pasar yang cepat seringkali menuntut penggunaan cat sintetis yang instan, menggeser tradisi pembuatan pigmen alami yang memakan waktu dan biaya tinggi. Selain itu, regenerasi juru sungging semakin sulit karena anak muda kurang tertarik pada disiplin ilmu yang menuntut kesabaran dan ritual tinggi ini.
Penggunaan cat pabrikan memang mempercepat proses produksi wayang atau dekorasi arsitektur. Namun, pigmen alami memiliki kedalaman warna dan ketahanan yang berbeda. Pigmen alami mampu berinteraksi dengan cahaya secara lebih lembut dan tidak mudah pudar oleh waktu, bahkan cenderung semakin ‘matang’ seiring bertambahnya usia. Kualitas pigmen sintetis tidak mampu mereplikasi nuansa spiritual dan historis yang ada pada pigmen dari bumi Jawa itu sendiri.
Saat ini, peran juru sungging juga bergeser menjadi konservator. Banyak dari mereka kini fokus pada restorasi benda-benda pusaka keraton atau wayang tua yang sunggingannya telah rusak. Restorasi ini membutuhkan keahlian ganda: memahami teknik sungging tradisional yang asli dan memiliki pengetahuan modern tentang konservasi bahan seni. Mereka harus mampu mengidentifikasi pigmen asli yang digunakan ratusan lalu, dan mereplikasinya dengan kesamaan kimiawi dan estetika yang nyaris sempurna.
Pelestarian ilmu sungging kini banyak dilakukan melalui komunitas seni dan institusi pendidikan. Beberapa seniman kontemporer berupaya mengintegrasikan teknik sungging tradisional ke dalam seni rupa modern, menciptakan karya-karya baru yang tetap menjunjung tinggi filosofi warna Jawa. Dengan demikian, ilmu sungging diharapkan tidak hanya terkurung di museum atau keraton, tetapi juga hidup dan berevolusi di ruang kreasi kontemporer, memastikan bahwa kosmik warna Jawa tetap abadi. Ini adalah upaya terakhir untuk menjaga agar palet warna yang telah diturunkan oleh para leluhur tidak kehilangan maknanya di tengah hiruk pikuk dunia digital.
Karya juru sungging, dari sapuan kuas terkecil pada sehelai kulit wayang hingga kemegahan prada pada arsitektur keraton, adalah manifestasi visual dari pemahaman filosofis yang mendalam tentang kehidupan dan alam semesta. Mereka adalah penjaga tradisi yang melukiskan takdir, menghidupkan mitos, dan memberikan keagungan pada setiap benda mati, menjadikannya pusaka yang menyimpan daya linuwih bagi generasi mendatang.
Selain wayang dan pusaka, juru sungging juga memiliki peran krusial dalam seni ukir topeng, dekorasi interior rumah bangsawan (pendopo), dan peralatan upacara adat. Dalam setiap media ini, aturan pewarnaan tidak pernah terlepas dari makna spiritual dan hierarki sosial.
Topeng, seperti Topeng Malangan atau Topeng Cirebon, adalah media di mana sunggingan berperan langsung dalam mendefinisikan karakter manusia atau dewa secara instan. Warna pada topeng jauh lebih ekspresif daripada wayang. Topeng berwajah merah tua (lada) dengan mata melotot dan taring melambangkan Bima atau raksasa berwatak kasar (Gagah), memerlukan teknik sungging yang cepat dan kuat. Sebaliknya, topeng berwarna putih susu atau krem dengan garis alis tipis dan mata yang tenang melambangkan Pangeran Halus, yang menuntut sapuan kuas sangat detail dan lembut. Juru sungging harus mampu "membaca" karakter sebelum menyentuhkan kuas. Kegagalan pewarnaan bisa membuat topeng kehilangan karismanya (pulung) dan dianggap tidak layak untuk dipakai dalam ritual tari.
Topeng Panji, yang melambangkan kehalusan dan kesucian, misalnya, didominasi warna putih gading. Untuk mendapatkan warna putih gading yang pas, juru sungging sering mencampur kapur tulang dengan sedikit kuning kunyit yang sangat halus, memastikan warna tersebut tidak terlalu pucat namun memancarkan aura kejernihan. Plisir pada Topeng Panji hampir tak terlihat, hanya berupa garis cokelat muda yang sangat lembut, berbeda jauh dengan plisir hitam tebal pada Topeng Klana (raksasa).
Pada arsitektur Jawa, khususnya di kompleks keraton, sunggingan terdapat pada tiang-tiang penyangga (soko guru), plafon (ragam hias langit-langit), dan detail ukiran pada pintu gerbang. Ini dikenal sebagai seni pewarnaan ragam hias.
Di sini, juru sungging bekerja dalam skala besar. Penggunaan emas pada ukiran kayu tiang (seringkali motif *patra*) harus dilakukan agar dapat menangkap cahaya dan memantulkannya, menandakan kemuliaan raja. Warna merah marun dan hijau tua sering digunakan sebagai latar belakang pada ukiran atap untuk menciptakan kontras yang dramatis. Semua penempatan warna di arsitektur ini terikat pada konsep *harmoni lingkungan* dan *perlindungan*, di mana warna-warna tertentu (misalnya biru dan hitam) ditempatkan di bagian luar untuk menolak bala, sementara warna-warna cerah (emas dan putih) ditempatkan di ruang utama yang sakral.
Untuk pekerjaan arsitektur, teknik yang digunakan jauh lebih masif. Juru sungging harus membuat cat dalam jumlah besar dan memastikan konsistensi warna. Teknik *ndadar* (perataan) dilakukan oleh tim. Lapisan cat dasar seringkali membutuhkan beberapa kali pengulangan agar tekstur kayu benar-benar tertutup dan warna akhir memancarkan intensitas maksimal. Kegagalan dalam *ndadar* akan menghasilkan *blabur* (warna tidak rata) yang dianggap mengurangi keagungan bangunan.
Keunikan juru sungging adalah keterikatan mereka pada alam sebagai sumber bahan baku. Pemahaman mendalam mengenai mineralogi dan botani diperlukan untuk menghasilkan palet yang otentik dan tahan lama.
Proses meramu pigmen ini disebut *ngracik*. Ini melibatkan penumbukan, penggilingan, penyaringan, dan pencampuran dengan perekat (binders) seperti getah atau minyak. Seorang juru sungging yang terlatih tahu betul bahwa suhu, kelembaban, dan bahkan suasana hati saat *ngracik* akan mempengaruhi kualitas akhir pigmen.
Warisan juru sungging telah memberikan kontribusi tak terhingga terhadap kekayaan estetika visual Nusantara. Mereka telah menciptakan dan memelihara sebuah bahasa visual yang kompleks, yang mampu menyampaikan ribuan tahun sejarah, mitologi, dan ajaran moral hanya melalui kombinasi warna dan garis.
Dalam konteks seni Jawa, seni sungging tidak hanya dinilai dari keindahan (wirupa) atau keterampilan (wiru), tetapi juga dari rasa yang ditimbulkan (wirasa). Wirasa ini adalah energi spiritual yang terpancar dari karya tersebut. Juru sungging yang hebat mampu membuat penonton merasakan aura wibawa dari tokoh ksatria atau ketakutan dari sosok raksasa, semata-mata dari intensitas dan gradasi warna yang digunakan.
Misalnya, ketika menyungging pakaian tokoh Rama dalam wayang, juru sungging akan memilih warna hijau yang memancarkan ketenangan namun memiliki lapisan emas yang samar, menunjukkan bahwa di balik kesabaran, Rama menyimpan potensi keilahian. Pemilihan warna ini harus menghasilkan *rasa adem* (perasaan sejuk) bagi yang melihatnya, sesuai dengan karakter Rama yang menyejukkan.
Kehalusan kerja juru sungging terlihat pada elemen mikro:
Semua detail ini, yang mungkin diabaikan oleh seniman modern, adalah inti dari *pakem* juru sungging. Mereka memahami bahwa dalam budaya Jawa, keindahan tidak terletak pada kemewahan yang mencolok, melainkan pada ketelitian yang konsisten dan makna yang terkandung dalam setiap sentuhan kuas. Juru sungging, dengan kuas halus dan pigmen alami mereka, adalah narator bisu yang menjaga agar kisah-kisah kosmik Jawa tetap hidup dan bernapas dalam wujud visual yang abadi. Profesi mereka adalah jembatan antara dunia spiritual dan material, sebuah warisan seni yang tak ternilai harganya.