Simbol kekuatan Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF).
Di tengah pusaran geopolitik Timur Tengah yang selalu bergejolak, Lebanon seringkali dianggap sebagai barometer rapuh bagi stabilitas regional. Dalam konteks ini, figur kepemimpinan militer menjadi sangat krusial, dan tidak ada sosok yang lebih mencerminkan kompleksitas dan tantangan tugas ini selain Jenderal Jean Kahwaji.
Sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) yang menjabat selama periode yang sangat menentukan, mulai dari invasi Syria hingga munculnya kelompok-kelompok ekstremis di perbatasan, peran Kahwaji bukan sekadar manajerial, tetapi transformasional. Kepemimpinannya menandai upaya keras untuk menjaga netralitas dan kesatuan institusi militer di negara yang terfragmentasi secara politik dan sektarian. Analisis mendalam ini akan mengupas tuntas era kepemimpinan Kahwaji, menyoroti tantangan yang dihadapi, strategi yang diterapkan, dan warisan yang ditinggalkannya bagi masa depan keamanan Lebanon.
Jean Kahwaji berasal dari kota Khenchara di Metn, dan memulai karier militernya dalam tradisi yang kaya akan disiplin dan pengabdian. Latar belakangnya sebagai seorang Maronit, salah satu sekte Kristen utama di Lebanon, menempatkannya pada posisi yang secara politis sensitif, namun integritasnya dalam karier profesional diakui melampaui batas-batas sektarian tersebut. Ia menempuh pendidikan militer di Lebanon, sebelum kemudian memperdalam ilmu strategi dan pertahanan di berbagai institusi internasional, termasuk di Amerika Serikat dan Italia.
Perjalanan karier Kahwaji di Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) adalah cerminan dari kenaikan pangkat yang bertahap dan meritokratis. Ia mengemban berbagai posisi komando, yang memberinya pemahaman komprehensif tentang kebutuhan operasional LAF, mulai dari unit infanteri hingga unit intelijen sensitif. Pengalaman ini terbukti vital ketika ia harus menghadapi krisis multidimensi yang melanda Lebanon pada dekade berikutnya.
Pengangkatannya sebagai Panglima pada tahun 2008 terjadi di tengah ketegangan politik yang mendidih pasca-peristiwa yang melibatkan konflik internal. Penunjukan ini, yang didukung secara luas meskipun kontroversial di beberapa kubu politik, mencerminkan kebutuhan akan seorang pemimpin yang dapat memproyeksikan citra stabilitas dan apolitis di mata publik Lebanon dan komunitas internasional. Kepercayaan yang diberikan kepadanya sejak awal menunjukkan bahwa ia dianggap sebagai sosok yang memiliki kemampuan unik untuk menyeimbangkan kepentingan politik yang saling bertentangan sambil mempertahankan misi utama militer: menjaga kedaulatan.
Ketika Kahwaji mengambil alih komando, LAF bukanlah institusi yang monolitik. Ia menghadapi warisan dari Perang Saudara Lebanon, di mana loyalitas sektarian seringkali mengancam kohesi nasional. Tugas pertamanya adalah memperkuat doktrin netralitas militer, memastikan bahwa LAF tidak diinstrumentalisasi oleh faksi politik manapun, baik yang didukung oleh Iran, Syria, atau Barat. Tantangan ini diperparah oleh keberadaan kelompok bersenjata non-negara, terutama Hizbullah, yang memiliki kekuatan militer signifikan di luar kontrol negara.
Upaya awal Jenderal Kahwaji berfokus pada modernisasi peralatan dan pelatihan, yang merupakan keharusan mutlak mengingat ancaman keamanan yang terus meningkat. Program modernisasi ini tidak hanya bergantung pada anggaran domestik yang terbatas, tetapi juga pada bantuan militer asing, terutama dari Amerika Serikat, Prancis, dan Arab Saudi. Kahwaji harus mampu menyeimbangkan diplomasi militer ini, memastikan bahwa bantuan tersebut diterima tanpa mengorbankan independensi Lebanon di mata para aktor regional yang bersaing.
Kepemimpinan Kahwaji harus bergulat dengan kerangka hukum yang seringkali membatasi operasional militer. Dalam banyak kasus, LAF dituntut untuk bertindak sebagai polisi, tentara, dan bahkan mediator politik di wilayah-wilayah yang sensitif. Kompleksitas ini membutuhkan kesabaran strategis dan kecerdasan taktis yang luar biasa dari sang Panglima, yang harus mengarahkan pasukannya melalui ranah konflik internal tanpa memicu kerusuhan skala penuh.
Periode kepemimpinan Jean Kahwaji adalah salah satu periode paling berbahaya bagi Lebanon sejak berakhirnya Perang Saudara. Krisis yang dihadapinya datang dari dua sumbu utama: instabilitas internal yang didorong oleh kebuntuan politik dan ancaman terorisme yang meluas dari Suriah.
Meletusnya Perang Saudara Suriah pada tahun 2011 mengubah total lanskap keamanan Lebanon. Lebanon, yang memiliki perbatasan panjang dan keropos dengan Suriah, menjadi jalur masuk bagi pengungsi, militan, dan persenjataan. Tugas LAF di bawah Kahwaji adalah mencegah Lebanon terseret ke dalam konflik Suriah, sambil menghadapi infiltrasi kelompok ekstremis seperti Jabhat al-Nusra dan ISIS.
Momen krusial terjadi pada tahun 2014, ketika militan dari kelompok teroris tersebut menyerbu kota perbatasan Arsal. Insiden ini, yang melibatkan penculikan dan pembunuhan tentara Lebanon, menyoroti betapa rentannya perbatasan timur. Respon Kahwaji dicirikan oleh pendekatan yang hati-hati namun tegas. Ia menolak operasi militer skala penuh di dalam Arsal yang dikhawatirkan akan menimbulkan korban sipil besar dan memicu dukungan lokal terhadap militan. Sebaliknya, LAF menerapkan strategi pengepungan dan penahanan, memperkuat posisi di sekitar pegunungan Juroud Arsal.
Strategi ini memerlukan mobilisasi sumber daya yang sangat besar dan penempatan ulang unit-unit militer. Analisis menunjukkan bahwa keputusan ini, meskipun lambat di mata beberapa kritikus, adalah strategi yang paling berkelanjutan untuk LAF yang kurang sumber daya. Tujuannya bukan hanya memukul mundur militan, tetapi juga melindungi institusi negara agar tidak runtuh akibat perang asimetris. Keberhasilan Kahwaji dalam menahan laju ISIS dan Nusra di perbatasan Lebanon adalah pencapaian signifikan yang seringkali diremehkan.
Pertahanan Perbatasan, fokus utama di bawah kepemimpinan Kahwaji.
Secara internal, Kahwaji harus mempertahankan kohesi LAF di tengah kekosongan politik yang berkepanjangan. Pada tahun 2014, Lebanon memasuki periode tanpa presiden, yang semakin melumpuhkan proses pengambilan keputusan politik. Dalam kondisi vakum ini, LAF menjadi pilar utama yang menjaga agar negara tidak sepenuhnya ambruk.
Salah satu tantangan paling sensitif adalah pengelolaan hubungan dengan Hizbullah. Meskipun Hizbullah secara politis merupakan saingan institusi militer negara, mereka adalah aktor keamanan yang kuat di selatan dan di perbatasan Suriah. Kahwaji secara hati-hati menjaga jarak operasional namun mengakui realitas bahwa LAF harus menoleransi kekuatan non-negara ini dalam beberapa konteks, demi menghindari bentrokan sipil yang akan merugikan semua pihak. Doktrinnya adalah membatasi wilayah operasi Hizbullah sambil secara progresif memperluas kendali LAF di seluruh wilayah Lebanon, termasuk di wilayah selatan yang berbatasan dengan Israel (Blue Line).
Perpanjangan masa jabatan Kahwaji sendiri pada tahun 2013 dan seterusnya menjadi isu politik yang sangat memecah belah. Mengingat ketiadaan konsensus untuk memilih pengganti, dan ketakutan akan destabilisasi jika ia pensiun, parlemen terpaksa memperpanjang masa jabatannya beberapa kali. Fakta bahwa ia tetap memegang kendali selama hampir sepuluh tahun, jauh melebihi batas pensiun standar, menegaskan peran sentralnya sebagai penjaga institusional yang tidak dapat digantikan di tengah kekacauan politik. Setiap perpanjangan masa jabatan Kahwaji membutuhkan manuver politik yang rumit, melibatkan kompromi antara berbagai sekte agama dan faksi politik yang berkuasa.
Doktrin militer di bawah Jenderal Kahwaji dapat diringkas sebagai ‘Stabilitas Melalui Ketekunan dan Netralitas Bertujuan.’ Ia menyadari bahwa LAF tidak memiliki sumber daya atau mandat politik untuk menyelesaikan konflik regional atau domestik. Sebaliknya, tujuannya adalah memelihara institusi LAF sebagai wadah yang menyatukan, sementara secara simultan meningkatkan kemampuan untuk perang asimetris melawan terorisme.
Fokus utama setelah 2012 adalah melatih unit-unit khusus dalam perang kota dan kontra-terorisme. Dengan bantuan AS dan Inggris, Kahwaji memprioritaskan peningkatan kemampuan Batalion Komando dan Resimen Intervensi untuk dapat bergerak cepat dan efektif melawan sel-sel tidur teroris yang mulai muncul di Tripoli dan Beirut. Pengalaman pertempuran di Arsal dan kemudian, operasi pembersihan di Juroud Arsal, menunjukkan kematangan taktis yang baru ditemukan oleh LAF di bawah komandonya.
Peralatan militer yang didatangkan selama masa kepemimpinan Kahwaji, meskipun seringkali terlambat dan tidak mencukupi, mencerminkan pergeseran doktrin ini. Fokus beralih dari persenjataan berat konvensional (yang tidak efektif melawan kelompok non-negara) menjadi kendaraan lapis baja ringan, drone pengintai, dan peralatan komunikasi canggih. Investasi dalam intelijen (G-2) juga ditingkatkan secara signifikan, memungkinkan LAF untuk menggagalkan puluhan rencana serangan bom bunuh diri di pusat-pusat populasi Lebanon.
Hubungan Kahwaji dengan negara-negara donor utama adalah kunci kelangsungan hidup LAF. Ia berhasil mempertahankan hubungan yang kuat dengan Washington D.C., yang menyediakan paket bantuan militer terbesar, sekaligus menjaga saluran terbuka dengan Paris dan Roma. Keseimbangan ini penting karena Lebanon tidak mampu untuk bergantung pada satu penyedia saja, terutama karena dinamika konflik Suriah yang memecah belah sekutu Barat.
Namun, hubungan ini juga menghadapi ujian besar, terutama ketika paket bantuan militer $3 miliar dari Arab Saudi tiba-tiba dibekukan. Keputusan Saudi ini menempatkan LAF dalam posisi genting, memaksa Kahwaji untuk mencari alternatif pendanaan dan peralatan dengan kecepatan tinggi. Meskipun demikian, Kahwaji berhasil meyakinkan para mitra Barat bahwa komitmen LAF terhadap stabilitas regional tetap teguh, terlepas dari krisis finansial yang melanda bantuan dari Teluk.
Operasi militer di Juroud Arsal, wilayah pegunungan yang sulit diakses di perbatasan timur, adalah penanda paling jelas dari kemampuan LAF di bawah kepemimpinan Kahwaji. Wilayah ini telah menjadi basis bagi Nusra dan ISIS selama bertahun-tahun, digunakan sebagai tempat persembunyian dan titik awal untuk serangan ke Lembah Beqaa.
Meskipun operasi pembersihan akhir berlangsung setelah Kahwaji pensiun, pondasi strategis dan logistik untuk serangan tersebut dibangun selama masa jabatannya. Kahwaji menerapkan kebijakan ‘mengeringkan rawa’ (containment), secara perlahan mengisolasi kantong-kantong teroris tersebut dengan mendirikan pos-pos militer baru dan menggunakan pengawasan artileri dan udara yang intensif. Pendekatan ini meminimalkan risiko jatuhnya korban di pihak LAF sekaligus menghabiskan sumber daya musuh secara bertahap.
Penting untuk dicatat bahwa kesuksesan di Arsal memerlukan koordinasi yang tidak diakui secara publik dengan aktor-aktor non-negara di lapangan (merujuk pada Hizbullah yang juga beroperasi di perbatasan Suriah). Kahwaji harus menavigasi tumpang tindih operasi ini dengan sangat hati-hati, memastikan bahwa LAF tetap mempertahankan peran kepemimpinan dan kedaulatan, tanpa terlihat bekerja sama secara langsung dengan kekuatan yang dianggap teroris oleh sebagian komunitas internasional.
Dalam memimpin LAF, Kahwaji harus terus-menerus bergulat dengan dinamika yang membuat Lebanon menjadi unik: keberadaan pasukan bersenjata negara di samping kelompok milisi yang didukung asing. Kepemimpinan militernya selalu berusaha memperkuat institusi LAF sebagai satu-satunya entitas yang sah, namun secara pragmatis mengakui bahwa konfrontasi langsung akan menghancurkan negara.
Strategi pragmatisme ini memungkinkan Kahwaji untuk fokus pada musuh bersama—terorisme Sunni ekstremis—di mana LAF dan Hizbullah memiliki kepentingan yang sama. Meskipun ini adalah dilema moral dan politik bagi sebagian sekutu Barat, Kahwaji berargumen bahwa prioritasnya adalah melindungi warga Lebanon dari ancaman terdekat, dan strategi yang diterapkan adalah yang paling efektif dalam mencapai tujuan tersebut.
Jenderal Jean Kahwaji mengakhiri masa jabatannya yang luar biasa panjang pada tahun 2017. Pensiunnya merupakan momen penting yang menandakan kembalinya tradisi suksesi kepemimpinan militer yang lebih teratur, meskipun tetap berada di bawah pengawasan politik yang ketat.
Warisan terbesarnya adalah keberhasilannya dalam mempertahankan institusi Angkatan Bersenjata Lebanon sebagai entitas yang utuh dan relatif kredibel di tengah badai sempurna krisis politik dan regional. Di bawah Kahwaji, LAF beralih dari kekuatan simbolis menjadi kekuatan tempur yang profesional dan mampu melakukan operasi kontra-terorisme yang rumit. Ia meninggalkan LAF dalam kondisi operasional yang jauh lebih kuat dibandingkan saat ia mengambil alih komando.
Namun, tantangan yang diwariskan juga monumental. Meskipun LAF di bawah Kahwaji telah menerima pelatihan dan peralatan baru, keterbatasan finansial dan ketergantungan pada donor asing tetap menjadi masalah kronis. Selain itu, masalah keberadaan Hizbullah sebagai kekuatan militer paralel belum terselesaikan. Jenderal Kahwaji berhasil mengelola dilema ini, tetapi tidak menyelesaikannya. Manajemen dilema inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinannya.
Periode Kahwaji merupakan masa yang sarat dengan upaya keras dalam pengadaan. Salah satu cerita yang paling sering diulang adalah betapa sulitnya mendapatkan suku cadang dan amunisi standar. Karena Lebanon tidak memiliki industri pertahanan yang signifikan, setiap peluru, setiap kendaraan, dan setiap sistem komunikasi harus dinegosiasikan melalui koridor politik yang kompleks di luar negeri. Kahwaji seringkali berperan sebagai diplomat utama LAF, bepergian ke ibu kota asing untuk secara pribadi melobi para pejabat agar melepaskan bantuan yang dijanjikan, yang seringkali tersendat oleh birokrasi donor atau persaingan regional.
Kegagalan paket bantuan Saudi senilai $3 miliar yang disebutkan sebelumnya menjadi pukulan telak. Rencana modernisasi jangka panjang yang disusun oleh Kahwaji, yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan udara LAF (sebagian besar terdiri dari helikopter tua), harus direvisi drastis. Kejadian ini memaksa LAF untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan bantuan AS yang lebih stabil tetapi terbatas, yang sebagian besar berfokus pada pelatihan dan peningkatan kapasitas intelijen, bukan pada platform persenjataan besar. Strategi yang ditekankan oleh Kahwaji adalah memaksimalkan efektivitas unit-unit infanteri dan komando yang ada, daripada mengejar proyek-proyek persenjataan besar yang rentan terhadap volatilitas politik.
Konsep netralitas militer Lebanon, yang diperjuangkan oleh Kahwaji, jauh lebih rumit daripada sekadar apolitis. Netralitas dalam konteks Lebanon berarti menyeimbangkan tekanan dari Teheran, Washington, Riyadh, dan Damaskus. Kahwaji harus memastikan bahwa operasional LAF tidak pernah dapat diinterpretasikan sebagai dukungan definitif terhadap salah satu poros regional.
Misalnya, dalam isu perbatasan Suriah, meskipun LAF memerangi kelompok ekstremis yang juga merupakan musuh rezim Suriah, Kahwaji secara tegas menolak adanya koordinasi operasional formal dengan tentara Suriah. Keputusan ini penting untuk mempertahankan dukungan Barat dan menegaskan kedaulatan Lebanon. Keengganan ini, meskipun mungkin memperpanjang durasi pertempuran, adalah pertaruhan politik yang berhasil dimenangkan oleh Kahwaji demi kredibilitas internasional LAF.
Di bawah Kahwaji, LAF semakin sering ditugaskan peran penjaga sipil, terutama selama demonstrasi politik atau ketegangan sektarian di Beirut atau Tripoli. Momen yang paling menantang adalah ketika LAF harus turun tangan untuk meredakan bentrokan sektarian di Tripoli antara wilayah Bab al-Tabbaneh dan Jabal Mohsen. Operasi ini membutuhkan sensitivitas yang ekstrem, karena menggunakan kekuatan militer secara berlebihan dapat memicu konflik yang lebih luas.
Jenderal Kahwaji menginstruksikan pasukannya untuk menggunakan kekuatan minimum, berfokus pada pemisahan pihak yang bertikai dan penegakan hukum alih-alih operasi tempur. Keberhasilan LAF dalam menenangkan Tripoli dan wilayah lain yang mudah terbakar menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan yang kredibel, institusi militer dapat melampaui garis sektarian untuk bertindak sebagai pelindung negara.
Lembah Beqaa, yang merupakan garis pertahanan terpanjang dan paling rentan, menjadi medan operasi yang konstan selama era Kahwaji. Wilayah ini tidak hanya menjadi koridor penyelundupan senjata dan militan, tetapi juga pusat produksi narkotika dan kejahatan terorganisir yang mendanai kelompok-kelompok bersenjata. Kahwaji harus mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mengamankan wilayah ini, seringkali dengan mengorbankan penempatan pasukan di selatan.
Operasi pengamanan di Beqaa sangat kompleks karena mencakup penanganan pengungsi Suriah dalam jumlah besar. LAF harus menjaga agar kamp-kamp pengungsi tidak menjadi sarang radikalisasi atau pangkalan logistik bagi kelompok teroris. Ini membutuhkan pelatihan khusus bagi tentara dalam penanganan kemanusiaan sambil mempertahankan protokol keamanan yang ketat. Kontribusi Kahwaji di sini adalah memperkenalkan unit-unit baru yang secara khusus dilatih untuk intervensi sipil-militer, berkolaborasi dengan badan-badan PBB.
Penguatan Direktorat Intelijen Militer (G-2) merupakan salah satu pencapaian terbesar selama masa jabatan Kahwaji. Dalam lingkungan yang didominasi oleh proxy wars, kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi yang kredibel menjadi aset paling berharga LAF. G-2 berhasil menyusup ke sel-sel teroris dan menggagalkan serangan besar di Beirut dan Dahiyeh, berkat investasi dalam teknologi pengawasan dan pelatihan oleh mitra internasional.
Kesuksesan G-2 di bawah kepemimpinan Kahwaji seringkali menjadi kunci dalam meyakinkan mitra Barat untuk terus menyediakan bantuan, karena ini menunjukkan bahwa LAF adalah institusi yang mampu menghasilkan hasil nyata dalam perang global melawan terorisme. Kemampuan G-2 untuk beroperasi secara mandiri dan apolitis di tengah fragmentasi Lebanon memberikan stabilitas yang sangat dibutuhkan oleh Panglima.
Di bawah komando Jenderal Kahwaji, Angkatan Bersenjata Lebanon juga harus mengambil peran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam manajemen krisis kemanusiaan. Arus masuk jutaan pengungsi Suriah menciptakan tekanan yang luar biasa pada infrastruktur Lebanon yang sudah rapuh, mulai dari layanan publik hingga keamanan pangan. LAF ditugaskan untuk mengawasi distribusi bantuan dan memastikan ketertiban di wilayah yang padat penduduk.
Tugas ini menuntut LAF untuk bertransisi dari peran tempur keras menjadi peran penjaga perdamaian domestik. Kahwaji menekankan bahwa ini bukan hanya tugas kemanusiaan, tetapi juga tugas keamanan. Jika kondisi kemanusiaan pengungsi memburuk, risiko radikalisasi dan rekrutmen oleh kelompok ekstremis akan meningkat tajam. Oleh karena itu, memastikan bahwa lingkungan kamp pengungsi tetap stabil adalah bagian integral dari strategi keamanan nasional yang dirancang oleh Kahwaji.
Di wilayah selatan Lebanon, LAF terus bekerja sama dengan Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) untuk menjaga resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB. Hubungan antara LAF dan UNIFIL seringkali rumit, terutama mengenai keberadaan Hizbullah dan persenjataannya di selatan Litani. Kahwaji berperan penting dalam memediasi hubungan ini, memastikan bahwa patroli gabungan dapat berlangsung dan insiden kecil di sepanjang Blue Line tidak meningkat menjadi konflik skala penuh dengan Israel.
Strategi LAF di selatan adalah ‘kehadiran yang terlihat dan menenangkan.’ LAF harus menunjukkan kedaulatan penuh, tetapi pada saat yang sama, menghindari konfrontasi yang dapat memicu eskalasi. Keberhasilan Kahwaji dalam mempertahankan relatif tenang di perbatasan selatan selama masa-masa paling bergejolak di wilayah lain di Lebanon merupakan bukti kemampuan manajerialnya yang tenang dan terukur.
Jenderal Jean Kahwaji tidak memimpin Angkatan Bersenjata Lebanon selama masa damai, tetapi selama era di mana negara itu berdiri di tepi jurang kehancuran. Kepemimpinannya adalah studi kasus dalam ketahanan institusional. Ia berhasil memposisikan LAF sebagai institusi yang paling dapat dipercaya dan tidak terpecah di Lebanon, seringkali bertindak sebagai jangkar di tengah laut politik yang bergejolak.
Keberhasilan jangka panjang Kahwaji terletak pada kemampuannya untuk mengamankan dukungan internasional yang berkelanjutan, yang vital bagi LAF. Ia meyakinkan AS dan Eropa bahwa LAF adalah investasi terbaik untuk menjaga Lebanon tetap stabil, yang pada gilirannya merupakan benteng terhadap ekstremisme yang menyebar dari Suriah. Strategi ini, dikombinasikan dengan fokus yang gigih pada profesionalisme dan netralitas, memungkinkan LAF untuk tidak hanya bertahan tetapi juga untuk berkembang menjadi kekuatan tempur yang lebih mumpuni.
Namun, warisannya juga berfungsi sebagai peringatan: stabilitas di Lebanon sangat bergantung pada kekuatan satu institusi—LAF. Hingga masalah politik mendasar dan masalah milisi non-negara terselesaikan, Panglima Angkatan Bersenjata Lebanon berikutnya akan terus berjalan di atas tali yang sama, menggunakan cetak biru pragmatisme dan profesionalisme yang ditetapkan oleh Jenderal Kahwaji.
Transformasi LAF di bawah kepemimpinan Jean Kahwaji adalah sebuah narasi tentang bagaimana keterbatasan sumber daya dapat diatasi dengan keunggulan strategi. Dari angkatan bersenjata yang sebagian besar bersifat seremonial pasca-Perang Saudara, LAF diubah menjadi kekuatan yang responsif terhadap ancaman terorisme hibrida. Pendekatan ini termasuk pembentukan unit-unit khusus yang berdedikasi untuk respons cepat, yang jauh berbeda dari struktur militer tradisional yang berbasis pada garis depan konvensional.
Pengembangan kemampuan perang informasi dan keamanan siber juga dimulai secara serius selama masa jabatannya. Kahwaji menyadari bahwa peperangan modern di Lebanon tidak hanya terjadi di pegunungan perbatasan tetapi juga di ranah digital, di mana propaganda dan rekrutmen ekstremis berlimpah. Inisiatif ini, meskipun masih dalam tahap awal, menunjukkan pemikiran strategis Kahwaji yang melampaui tantangan taktis sehari-hari.
Melalui semua tantangan ini, dari penahanan Arsal hingga menjaga ketenangan di selatan, Jenderal Kahwaji meninggalkan jejak sebagai seorang pemimpin yang tidak hanya selamat dari salah satu era paling berbahaya dalam sejarah Lebanon, tetapi juga memperkuat institusi yang ia pimpin, menjadikannya penjamin terakhir kedaulatan negara Lebanon di hadapan badai regional yang tiada henti. Kisah kepemimpinannya adalah kisah tentang ketahanan, diplomasi militer yang cerdas, dan pengabdian tanpa henti terhadap persatuan nasional, terlepas dari fragmentasi politik di sekitarnya. Institusi yang ditinggalkannya adalah benteng yang terus berdiri tegak di tengah kehancuran politik dan ekonomi yang terjadi setelah masa jabatannya berakhir.
Keberhasilan Kahwaji dalam menyeimbangkan kebutuhan keamanan internal dengan tuntutan geopolitik eksternal akan terus dipelajari sebagai model manajemen krisis di negara-negara yang menghadapi tantangan kedaulatan serupa. Di mata rakyat Lebanon, di tengah kekecewaan terhadap kelas politik, LAF di bawah Kahwaji tetap menjadi mercusuar harapan, sebuah institusi yang melayani negara, bukan faksi.
Analisis ini menegaskan bahwa peran Jean Kahwaji jauh melampaui deskripsi pekerjaannya sebagai panglima. Ia adalah seorang arsitek stabilitas, seorang diplomat berseragam, dan yang terpenting, pelindung kesatuan Angkatan Bersenjata Lebanon, memastikan bahwa fondasi negara tetap kokoh meskipun struktur politik di atasnya bergetar hebat. Keputusan-keputusan kritis yang diambilnya, meskipun seringkali berada di bawah pengawasan yang intens, terbukti instrumental dalam mencegah tergelincirnya Lebanon ke dalam kekacauan total yang dialami oleh tetangga-tetangganya.
Untuk memahami Lebanon modern, seseorang harus memahami peran sentral LAF dan orang-orang seperti Kahwaji yang membentuknya. Upaya tanpa lelahnya dalam mencari konsensus, baik di tingkat domestik maupun internasional, memungkinkannya untuk memperoleh sumber daya dan legitimasi yang diperlukan untuk menghadapi musuh internal dan eksternal. Setiap kebijakan pengadaan, setiap penempatan pasukan, dan setiap pernyataan publik dari Panglima tersebut selama hampir satu dekade penuh ditimbang dengan hati-hati untuk mempertahankan keseimbangan yang sangat halus, yang merupakan inti dari kelangsungan hidup Lebanon.
Dampak abadi dari masa jabatan Jenderal Kahwaji adalah penguatan rasa percaya diri dalam tubuh LAF itu sendiri. Para prajurit dan perwira, yang sebelumnya mungkin merasa terpinggirkan oleh kekuatan bersenjata non-negara, mulai melihat diri mereka sebagai profesional yang kompeten dan dihormati di kancah regional. Perubahan mentalitas ini, didorong oleh pelatihan internasional dan keberhasilan operasional di lapangan, adalah warisan tak berwujud yang mungkin paling penting bagi masa depan jangka panjang LAF. Kahwaji tidak hanya memimpin pertempuran, tetapi ia juga memimpin reformasi identitas militer Lebanon.
*** (End of Extensive Content) ***