Kata kaifiah (كيفية), yang berasal dari bahasa Arab, merupakan sebuah konsep mendasar namun seringkali kompleks dalam diskursus keagamaan Islam. Secara etimologi, kaifiah merujuk pada ‘bagaimana’ (how-ness), ‘sifat’, ‘keadaan’, atau ‘cara’ sesuatu itu dilakukan atau eksis. Ia adalah penentu kualitatif yang menjelaskan mekanisme, prosedur, atau hakikat internal suatu entitas atau tindakan.
Dalam konteks Syariat Islam, dimensi kaifiah terbagi menjadi dua ranah utama yang sangat berbeda. Ranah pertama adalah ranah teologis (akidah), di mana konsep kaifiah menjadi batas yang mutlak bagi pemikiran manusia dalam memahami sifat-sifat Tuhan. Ranah kedua adalah ranah fikih (hukum praktis), di mana kaifiah berfungsi sebagai instruksi detail mengenai cara pelaksanaan ibadah dan muamalah yang sah. Pemahaman yang komprehensif terhadap dualitas makna ini adalah kunci untuk menyelami kedalaman hukum dan teologi Islam.
Dalam ilmu tauhid, pembahasan mengenai kaifiah merupakan salah satu topik yang paling sensitif dan fundamental, khususnya ketika dikaitkan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Prinsip utama dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa Allah Maha Sempurna dan tidak menyerupai makhluk-Nya (prinsip tanzih). Oleh karena itu, sifat-sifat-Nya yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah harus diimani tanpa mencoba memahami 'bagaimana' (kaifiah) sifat tersebut.
Konsep ‘tanpa bagaimana’ (bi la kaifa) adalah pilar teologis yang memastikan kebersihan akidah dari anthropomorfisme (tasybih) atau penyamaan sifat Tuhan dengan sifat makhluk. Ketika Allah menyebutkan sifat tertentu, seperti Istawa (bersemayam), Yad (Tangan), atau Nuzul (turun), umat Islam wajib mengimani keberadaan sifat tersebut sebagaimana adanya, namun meniadakan pengetahuan kita tentang kaifiah-nya. Kita tahu apa maknanya secara umum (makna lughawi), tetapi kita tidak tahu bagaimana sifat itu berfungsi dalam esensi keilahian.
Pendekatan bi la kaifa memiliki landasan kuat dari generasi awal umat Islam. Ketika Imam Malik bin Anas ditanya mengenai firman Allah, “Ar-Rahman di atas Arsy bersemayam (Istawa)” (Q.S. Taha: 5), beliau memberikan jawaban yang kini menjadi kaidah emas: “Istawa itu diketahui maknanya, kaifiah-nya tidak dapat dinalar, mengimaninya adalah wajib, dan menanyakan tentang kaifiah-nya adalah bid’ah.” Pernyataan ini menegaskan bahwa tugas manusia hanyalah menerima keberadaan sifat tersebut (itsbat) dan menolak segala bentuk pertanyaan mengenai detail cara sifat itu ada.
Meskipun prinsip bi la kaifa dipegang oleh mayoritas, penafsiran dan implementasinya memunculkan perbedaan signifikan di antara mazhab-mazhab teologi utama:
Madzhab Salaf (yang mencakup para Sahabat, Tabi'in, dan Imam empat yang awal) menerapkan itsbat bila takyif wa tanzih (menetapkan sifat tanpa mencoba menentukan kaifiahnya, sambil menjaga pensucian Tuhan). Mereka menerima sifat-sifat tersebut secara harfiah (makna yang dipahami dalam bahasa Arab), namun secara tegas menolak pembandingan sifat tersebut dengan makhluk. Kaifiah sifat Tuhan sepenuhnya dikembalikan kepada Allah (tafwid al-kaifiyyah).
Mereka berpendapat bahwa upaya untuk menentukan kaifiah adalah pintu gerbang menuju tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk). Oleh karena itu, pembahasan rinci mengenai ‘bagaimana’ Tuhan bersemayam atau ‘bagaimana’ Tangan-Nya berfungsi adalah dilarang, karena hal itu tidak dapat dijangkau oleh akal manusia yang terbatas, dan hanya mengarah pada kesesatan.
Mazhab-mazhab kalam, yang muncul untuk membendung pengaruh filosofis dan sekte seperti Mu'tazilah, juga berpegang pada prinsip tanzih. Namun, dalam menghadapi sifat-sifat Mutasyabihat (sifat yang mengandung makna ambigu atau harfiah yang dapat disalahpahami), mereka menawarkan dua metode utama dalam menangani kaifiah:
Gambar: Representasi abstrak konsep teologis tanzih dan 'Bi La Kaifa' (Tanpa Bagaimana).
Penerimaan terhadap batasan kaifiah memiliki implikasi spiritual yang mendalam. Hal ini mengajarkan kerendahan hati intelektual. Akal manusia, meskipun mulia, tidak diciptakan untuk memahami hakikat Sang Pencipta secara detail. Upaya memaksakan kaifiah pada Allah sama saja dengan berusaha membatasi entitas yang tak terbatas ke dalam kerangka pemahaman yang terbatas. Ini adalah esensi dari tauhid yang murni, melepaskan pikiran dari gambaran materi atau fisik.
Jika seseorang mulai merenungkan bagaimana (kaifiah) sifat-sifat Tuhan bekerja, ia akan menghadapi dilema tak berujung, karena setiap sifat yang dibayangkan akan selalu terikat pada dimensi ruang, waktu, dan materi, yang mana semua itu adalah ciptaan (hadits). Tuhan, sebagai Pencipta, mustahil terikat oleh ciri-ciri ciptaan-Nya. Oleh karena itu, batas bi la kaifa menjaga umat dari jatuh ke dalam kekufuran atau bid’ah yang menyesatkan.
Berbeda jauh dari batasan abstrak dalam akidah, kaifiah dalam ranah fikih (hukum Islam praktis) memiliki makna yang sangat konkret: cara atau metode yang sah untuk melaksanakan ibadah (penyembahan) dan muamalah (interaksi sosial). Di sini, kaifiah adalah sinonim dengan ‘prosedur’ atau ‘tata cara’, yang ditetapkan secara jelas dan rinci berdasarkan wahyu dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam fikih, kaifiah sangat penting karena merupakan syarat sah diterimanya suatu amal. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Hadis ini menekankan bahwa kaifiah harus mengikuti panduan normatif yang ditetapkan, bukan hasil kreasi atau improvisasi pribadi.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang tata caranya (kaifiah) telah ditetapkan secara spesifik dan ketat oleh syariat. Tidak ada ruang untuk perubahan atau inovasi dalam pelaksanaannya. Tiga contoh utama yang paling memerlukan detail kaifiah adalah shalat, wudu, dan haji.
Shalat adalah tiang agama dan pelaksanaannya harus sempurna sesuai dengan kaifiah yang diajarkan. Kaifiah shalat mencakup semua rukun (wajib) dan sunnah (anjuran) dari takbir hingga salam. Perbedaan madzhab seringkali muncul dalam detail kaifiah sunnah, meskipun rukunnya relatif sama.
Perbedaan dalam kaifiah sunnah seringkali menimbulkan diskusi panjang di kalangan fuqaha:
Kesempurnaan shalat sangat bergantung pada kesempurnaan kaifiah wudhu. Jika kaifiah wudhu salah, maka ibadah yang bergantung padanya tidak sah.
Detail-detail seperti menggosok jari (takhlil) atau menggosok telinga adalah bagian dari kaifiah sunnah yang melengkapi kesempurnaan bersuci.
Gambar: Kaifiah sebagai struktur prosedural (aliran tata cara ibadah).
Ibadah haji adalah ibadah yang paling menuntut ketepatan kaifiah karena melibatkan waktu, tempat, dan urutan yang ketat. Kesalahan dalam kaifiah rukun haji dapat membatalkan haji atau mewajibkan denda (dam) yang besar.
Kaifiah Tawaf: Tawaf memiliki kaifiah spesifik. Dimulai dari Hajar Aswad, Ka’bah berada di sisi kiri jamaah, dan harus dilakukan tujuh putaran penuh. Kaifiah ini tidak boleh diubah; misalnya, berbalik arah atau memulai dari sudut lain akan membatalkan putaran tersebut.
Kaifiah Sa’i: Dalam Sa’i, kaifiah lari-lari kecil (harwalah) dilakukan hanya pada batas-batas tertentu (antara dua lampu hijau) bagi laki-laki. Memaksakan lari-lari kecil di luar batas tersebut atau meninggalkannya sama sekali (jika mampu) akan mengurangi kesempurnaan kaifiah Sa’i.
Meskipun ibadah mahdhah sangat kaku dalam kaifiah-nya, ranah muamalah (urusan duniawi) bersifat lebih fleksibel (prinsipnya boleh, kecuali yang dilarang). Namun, tetap ada kaifiah yang harus dipenuhi untuk menjamin sahnya suatu transaksi dan keadilan.
Agar jual beli sah, harus dipenuhi kaifiah akad yang disebut Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan). Kaifiah ini bisa dilakukan melalui:
Jika kaifiah akad ini tidak jelas (misalnya, salah satu pihak terpaksa atau tidak jelas menerima penawaran), maka transaksi tersebut menjadi fasid (rusak) atau batal.
Ilmu Faraidh memiliki kaifiah perhitungan yang sangat sistematis dan ketat. Prosedurnya dimulai dari: pembayaran utang, pelaksanaan wasiat, baru kemudian pembagian sisa harta kepada ahli waris sesuai dengan kadar yang ditetapkan oleh syariat (misalnya, istri mendapat seperempat, anak perempuan mendapat setengah jika tunggal, dsb.). Menyalahi kaifiah urutan ini dapat menyebabkan pembagian warisan menjadi tidak sah secara syar’i.
Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara kedua dimensi kaifiah ini:
Kesalahan dalam memahami kaifiah teologis mengarah pada penyimpangan akidah (seperti tajsim atau ta’til), sedangkan kesalahan dalam kaifiah fikih mengarah pada batalnya amal ibadah.
Untuk memperjelas betapa detailnya kaifiah dalam fikih, kita akan membandingkan beberapa perbedaan prosedur shalat antara empat mazhab besar, yang semuanya dianggap sah dan valid (mutabar) dalam pelaksanaan syariat:
Qunut adalah doa yang dibaca saat berdiri (i'tidal).
Perbedaan kaifiah (waktu dan tempat) pelaksanaan qunut ini menunjukkan keluasan interpretasi terhadap riwayat yang sahih, namun semua kaifiah tersebut bertujuan mencapai kesempurnaan ibadah.
Inti dari pembahasan ini adalah bahwa kaifiah dalam fikih, meskipun beragam dalam detail minor, harus dilaksanakan dengan keyakinan yang benar (sesuai akidah) dan mengikuti prosedur yang telah dipelajari dari sumber-sumber hukum Islam.
Dalam era modern, konsep kaifiah menghadapi tantangan dan aplikasi baru, terutama dalam isu-isu yang tidak ditemukan secara eksplisit pada masa Nabi ﷺ.
Perkembangan teknologi memunculkan pertanyaan tentang kaifiah ibadah melalui media virtual. Contohnya, kaifiah Shalat Jum'at atau shalat jamaah melalui siaran langsung (live streaming). Secara umum, para ulama menetapkan bahwa kaifiah shalat berjamaah memerlukan adanya kesatuan tempat (ittihad al-makan) dan kesatuan waktu (ittihad az-zaman). Oleh karena itu, mengikuti kaifiah shalat imam yang berada di negara atau lokasi yang berbeda melalui internet dianggap tidak memenuhi syarat kaifiah berjamaah yang sah.
Namun, dalam konteks pembelajaran, kaifiah belajar tajwid atau mendengarkan ceramah secara virtual dianggap sah, karena itu termasuk muamalah dan bukan ibadah mahdhah yang terikat tempat.
Dalam perbankan syariah modern, prinsip-prinsip kaifiah muamalah sangat dipegang teguh. Misalnya, kaifiah dalam akad Murabahah (jual beli dengan keuntungan yang disepakati) harus mencakup kepemilikan riil barang oleh bank sebelum dijual kembali kepada nasabah. Jika bank melewatkan kaifiah kepemilikan ini, maka akad tersebut berubah menjadi riba terselubung, meskipun namanya syariah.
Demikian pula dalam akad Ijarah (sewa), kaifiah-nya mensyaratkan bahwa penyewa hanya memiliki hak pakai (manfaat), bukan hak milik. Jika kaifiah kepemilikan dan manfaat dikacaukan, validitas syariah dari produk keuangan tersebut akan dipertanyakan.
Penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah merupakan kaifiah yang sangat penting. Perbedaan muncul dalam penentuan kaifiah ini:
Masing-masing kaifiah ini memiliki dalil pendukung dan implikasi praktis yang berbeda terhadap persatuan umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Semua pihak berusaha mengikuti kaifiah yang mereka yakini paling sesuai dengan tuntunan syariat.
Setelah memahami kaifiah sebagai prosedur formal, penting untuk menyadari hubungannya dengan konsep Ihsan (berbuat baik/sempurna). Kaifiah adalah kerangka (prosedur minimal), sedangkan Ihsan adalah kualitas pelaksanaan. Seseorang yang melaksanakan shalat hanya memenuhi rukun (kaifiah wajib) mungkin sah shalatnya, tetapi jika ia melaksanakannya dengan khusyu’, penuh perhatian, dan melengkapi semua sunnah (kaifiah pelengkap), ia telah mencapai derajat Ihsan.
Dalam konteks muamalah, kaifiah mensyaratkan kejujuran dalam akad. Ihsan menambahkan dimensi kebaikan, seperti memberikan timbangan yang lebih, atau mempermudah pihak yang berutang. Jadi, kaifiah menjamin validitas, sementara Ihsan menjamin spiritualitas dan keberkahan.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman kaifiah, penting untuk melihat detail prosedur pada ibadah yang sangat terperinci, seperti puasa (Shaum) dan zakat.
Kaifiah puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mencakup serangkaian prosedur hukum:
Kesalahan dalam kaifiah waktu (misalnya, berbuka sebelum matahari terbenam) atau kaifiah niat (tidak berniat puasa wajib) akan membatalkan puasa dan mewajibkan pengulangan prosedur (qadha’).
Zakat adalah ibadah finansial yang memiliki kaifiah perhitungan dan penyaluran yang sangat spesifik.
Sebelum mengeluarkan zakat, harus dipastikan bahwa nisab (batas minimal harta wajib zakat) telah tercapai dan haul (masa kepemilikan selama setahun qamariyah) telah terpenuhi. Kaifiah perhitungan ini berbeda-beda tergantung jenis harta (emas, perak, hasil pertanian, ternak, atau harta perdagangan).
Contoh: Kaifiah nisab emas adalah 85 gram. Jika seseorang memiliki 80 gram, meskipun hartanya banyak, kaifiah wajib zakat (nisab) belum terpenuhi, sehingga ia belum wajib mengeluarkan zakat.
Zakat harus disalurkan dengan kaifiah yang telah ditentukan oleh Allah, yaitu kepada delapan golongan (Asnaf). Menyalahi kaifiah penyaluran, misalnya memberikan zakat kepada orang kaya atau non-Muslim (kecuali muallaf), akan menyebabkan zakat tersebut tidak sah dan wajib dikeluarkan ulang.
Dalam hukum pidana Islam (jinayat), kaifiah penentuan hukuman (hudud) sangat ketat. Misalnya, kaifiah pembuktian zina memerlukan empat saksi yang melihat langsung seperti masuknya celak ke dalam botol. Jika kaifiah ini tidak terpenuhi, hukuman tidak dapat dijatuhkan, untuk menjamin keadilan dan melindungi hak-hak individu.
Pada akhirnya, kaifiah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan keyakinan spiritual (iman) dengan tindakan nyata (amal). Di satu sisi, konsep bi la kaifa menjaga kemurnian tauhid dan mengakui keagungan serta transendensi Allah. Di sisi lain, kaifiah prosedural dalam fikih memastikan bahwa amal ibadah dan interaksi sosial kita terstruktur, teratur, dan diterima di sisi-Nya.
Memahami dan mengamalkan kaifiah, baik dalam batasan teologis maupun detail prosedural, merupakan manifestasi dari ketundukan total seorang hamba kepada Syariat. Ia adalah bukti bahwa seorang Muslim tidak hanya percaya pada keberadaan Tuhan, tetapi juga berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan perintah-Nya sesuai dengan cara (kaifiah) yang telah ditetapkan, tanpa bertanya 'bagaimana' untuk hal yang tidak dapat dijangkau akal, dan dengan penuh ketelitian untuk hal yang wajib dilaksanakan.
Ketaatan kepada kaifiah adalah fondasi keabsahan amal, dan melalui ketelitian dalam prosedur inilah, seorang Muslim mencapai puncak kesempurnaan dan keberkahan dalam kehidupan dunia dan akhirat.