Kain Cita, dikenal secara internasional dengan nama Chintz, adalah sebuah istilah yang merujuk pada tekstil katun yang dicetak atau dilukis dengan tangan, umumnya menampilkan motif flora yang kaya dan warna-warna cerah. Tekstil ini bukan berasal dari Nusantara, melainkan dari India, khususnya wilayah Coromandel dan Gujarat. Namun, jauh sebelum kedatangan kekuatan kolonial Eropa, Kain Cita telah menjadi komoditas perdagangan vital yang sangat diminati di seluruh kepulauan Nusantara.
Kehadiran Kain Cita di Indonesia memiliki peran yang jauh lebih signifikan daripada sekadar barang dagangan. Ia membentuk pola busana, mempengaruhi ritual adat, dan bahkan menjadi mata uang tak resmi dalam transaksi politik dan sosial antar kerajaan. Keindahan Cita terletak pada kompleksitas pewarnaannya yang menakjubkan—menggunakan teknik pencelupan tahan (resist dyeing) dan mordant—yang memungkinkan warna bertahan cemerlang bahkan setelah dicuci berkali-kali. Sifat ini, ditambah dengan kehalusan katunnya, membuatnya unggul dibandingkan tekstil lokal pada masanya.
Nama "Cita" sendiri diyakini berasal dari bahasa Hindi, Chīnt (dibaca: chint), yang berarti 'berbintik' atau 'bercorak'. Kehadirannya tidak hanya menandai jalur perdagangan antara India dan Asia Tenggara, tetapi juga merefleksikan selera aristokrasi Nusantara yang sangat menghargai tekstil impor berkualitas tinggi. Kain Cita adalah jembatan budaya yang membawa motif-motif asing, teknik pewarnaan canggih, dan cerita-cerita dari jauh ke dalam jantung kebudayaan tekstil Indonesia.
Representasi sederhana motif flora khas Kain Cita.
Alt Text: Ilustrasi bunga bergaya simetris dan berwarna merah muda, mewakili motif floral khas Kain Cita.
Sejarah Kain Cita tidak dapat dipisahkan dari sejarah perdagangan maritim global. Sebelum abad ke-17, Kain Cita sudah berlayar melintasi Samudra Hindia. Namun, dominasi tekstil ini mencapai puncaknya ketika perusahaan dagang Eropa, terutama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari Belanda dan East India Company (EIC) dari Inggris, mulai memanfaatkannya sebagai alat tukar utama.
Di kepulauan Nusantara, terutama di Maluku, yang merupakan sumber utama rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tekstil India sangat dihargai—bahkan lebih daripada emas atau perak Eropa. VOC menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan rempah-rempah yang mereka idamkan adalah dengan menyediakan Kain Cita. VOC akan membeli kapas dan sutra di India, memprosesnya menjadi Chintz, dan membawanya ke Batavia, Ternate, atau Banda untuk ditukar dengan rempah.
Kain Cita tertentu, terutama yang memiliki motif spesifik atau pewarnaan berkualitas tinggi yang disebut Palampore (selimut atau kain gorden besar yang dilukis tangan), sering kali dipesan khusus untuk pasar tertentu di Indonesia. Misalnya, motif yang digemari di Bali berbeda dengan yang diminati di Sumatra atau Jawa. Ini menunjukkan adanya hubungan yang kompleks dan sensitif antara produsen India, pedagang Eropa, dan konsumen aristokratis di Nusantara.
Popularitas Kain Cita menciptakan segitiga perdagangan yang rumit: India menyediakan tekstil, Nusantara menyediakan rempah, dan Eropa menyediakan transportasi dan modal. Kain Cita adalah poros utama dalam dinamika ekonomi global ini.
Pada abad ke-18 dan ke-19, ketika teknologi pencetakan tekstil di Eropa semakin maju (terutama setelah Revolusi Industri), munculah kompetitor baru: Kain Cita Eropa, yang diproduksi secara massal dan jauh lebih murah. Meskipun cita tradisional India mempertahankan reputasinya karena kualitas tangan yang superior, Cita Eropa (seringkali disebut druk atau sit druk, kain cetak) mulai membanjiri pasar.
Masuknya barang cetakan Eropa ini secara bertahap menekan produksi Cita India dan mengubah selera pasar. Namun, pengaruh motif Cita India tidak hilang, melainkan berasimilasi. Banyak motif Batik awal di pesisir utara Jawa, seperti motif burung phoenix, pohon kehidupan (Kalpataru), atau rangkaian bunga yang detail, menunjukkan pengaruh langsung dari Palampore Cita yang telah beredar ratusan tahun sebelumnya.
Proses adaptasi motif ini adalah kunci untuk memahami evolusi tekstil Indonesia. Masyarakat Nusantara, yang sebelumnya mengimpor pola, mulai meniru dan memasukkan elemen-elemen ini ke dalam kerajinan mereka sendiri, menghasilkan perpaduan estetika yang unik dan khas Indonesia.
Di lingkungan keraton, Kain Cita memiliki nilai spiritual dan status yang tinggi. Kain Cita yang sangat halus dan langka sering digunakan sebagai penutup jenazah bangsawan, bagian dari seserahan pernikahan, atau sebagai hadiah diplomatik yang bernilai tinggi. Kepemilikan Kain Cita tertentu adalah penanda status sosial yang tidak terbantahkan, menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengakses jaringan perdagangan internasional.
Sebagai contoh konkret, Kain Cita tertentu di Jawa memiliki batasan penggunaannya (larangan), sama seperti Batik Keraton, yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga raja. Hal ini menunjukkan bahwa tekstil impor ini telah sepenuhnya diintegrasikan ke dalam sistem hirarki sosial dan adat istiadat setempat, melebihi sekadar fungsi pakaian.
Ironisnya, Kain Cita juga secara tidak langsung memicu kebangkitan Batik tulis. Ketika pasokan tekstil India mulai terganggu atau harganya melonjak, muncul kebutuhan untuk menciptakan tekstil lokal yang memiliki keindahan dan daya tahan setara. Proses Batik, yang awalnya lebih sederhana, berkembang pesat, mengadopsi teknik dan motif yang terinspirasi dari keindahan Cita. Batik Pesisir, khususnya di Cirebon dan Pekalongan, adalah saksi bisu transisi ini, di mana motif-motif seperti Merak Ngibing dan Singa Barong menunjukkan pengaruh jelas dari pola-pola India-Persia yang dibawa oleh Cita.
Apa yang membuat Kain Cita begitu istimewa dan bertahan lama di iklim tropis Nusantara? Jawabannya terletak pada teknik pembuatannya yang luar biasa rumit, yang membutuhkan keterampilan dan pengetahuan kimia tekstil yang mendalam.
Kain Cita dibuat dari serat kapas murni (kapas India terkenal akan kehalusan dan kekuatan seratnya). Kapas ditenun menjadi kain polos (plain weave) atau kadang-kadang tenunan sarja (twill weave), menghasilkan permukaan yang rata dan ideal untuk proses pelukisan atau pencetakan. Kelembutan dan daya serap kapas India adalah faktor kunci yang membedakan Cita dari tekstil lokal yang terkadang lebih kasar.
Teknik pewarnaan Cita yang paling terkenal adalah teknik pewarnaan mordant (zat pengikat warna) dan pewarnaan resist (penghalang). Proses ini dapat memakan waktu hingga satu tahun untuk satu kain berukuran besar dan melibatkan puluhan tahapan pencelupan, pembersihan, dan penjemuran.
Kain kapas mentah harus diolah terlebih dahulu. Ini termasuk proses yang disebut bleaching atau pemutihan, sering kali menggunakan abu dan kotoran ternak untuk menghilangkan minyak alami. Yang paling unik adalah perendaman kain dalam campuran susu kerbau atau susu sapi yang dicampur dengan kotoran gajah atau domba (yang mengandung alkali alami). Proses ini tidak hanya membersihkan kain tetapi juga membuat serat kapas lebih mampu menyerap mordant secara merata. Setelah dibersihkan dan dijemur, kain siap menerima desain.
Desainer (biasanya pelukis atau pencetak balok kayu) akan mengaplikasikan zat mordant—bukan pewarna—ke kain. Mordant yang paling umum digunakan adalah alumunium sulfat (tawas) untuk menghasilkan warna merah dan cokelat kemerahan, serta garam besi (ferri) untuk menghasilkan warna hitam atau biru tua. Pola-pola ini diaplikasikan dengan kuas bambu (mirip dengan canting) atau dengan balok kayu ukir.
Kompleksitas teknik ini terletak pada kenyataan bahwa pada tahap ini, pola yang dilukis atau dicetak hampir tidak terlihat, hanya berwarna cokelat muda atau pucat. Kekuatan warna yang sebenarnya baru akan muncul setelah tahap pencelupan.
Setelah mordant kering, kain dicelupkan ke dalam bak pewarna alami, biasanya menggunakan akar tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia) atau tanaman Rubia (Alizarin). Pewarna ini akan berinteraksi secara kimiawi hanya dengan area yang telah diaplikasikan mordant tawas. Area yang tidak memiliki mordant tidak akan menyerap warna atau hanya menyerap sedikit pigmen yang akan hilang saat dicuci.
Proses ini memerlukan kontrol suhu dan pH yang sangat ketat. Pencelupan bisa diulang berkali-kali untuk mencapai tingkat kedalaman warna merah yang diinginkan. Setelah pencelupan, kain direbus atau dicuci dalam air mengalir untuk menghilangkan pigmen yang tidak terikat.
Jika diinginkan warna lain (misalnya, untuk melindungi area agar tetap putih atau mendapatkan warna biru), seniman akan mengaplikasikan zat penghalang (resist) seperti lilin atau campuran lumpur/tanah liat pada area yang telah diwarnai merah. Ini bertujuan untuk melindungi warna merah saat kain dicelupkan ke pewarna berikutnya.
Kain kemudian dicelupkan ke dalam bak pewarna Indigo (Nila). Pewarna biru Indigo bersifat vat dye (pewarna bak) dan tidak membutuhkan mordant. Ia akan menempel pada seluruh serat kapas, kecuali pada bagian yang dilindungi oleh resist. Setelah pencelupan Indigo, resist dihilangkan, mengungkapkan pola merah, putih, dan biru yang kontras. Jika pewarna Indigo menimpa area yang sudah di-mordant merah, hasilnya akan menjadi ungu.
Warna-warna sekunder seperti kuning atau hijau sering diaplikasikan terakhir, biasanya dilukis dengan tangan. Kuning diperoleh dari kunyit atau kulit mangga. Hijau diperoleh dengan melukiskan warna biru di atas area yang sudah dicelup kuning (atau sebaliknya). Proses melukis ini membutuhkan ketelitian tinggi, menjadikannya tahap yang paling memakan waktu dan menunjukkan keahlian murni seniman Cita.
Kekuatan Kain Cita terletak pada keberhasilan pengikatan warna ini. Karena pewarna terikat secara kimiawi dengan serat melalui mordant, warna Cita tidak mudah luntur, sebuah keunggulan vital yang dihargai oleh konsumen di Nusantara yang mencuci pakaian mereka di sungai dengan deterjen alami yang kuat.
Motif Kain Cita adalah perpaduan unik antara tradisi India, pengaruh Persia (yang dibawa oleh pedagang Muslim), dan sedikit sentuhan Eropa. Motif-motif ini jarang bersifat abstrak; hampir selalu naratif atau simbolis.
Motif paling ikonik dari Kain Cita yang diperdagangkan ke Nusantara adalah Pohon Kehidupan (Kalpataru). Dalam Cita, Pohon Kehidupan digambarkan sebagai pohon besar yang menjulang, seringkali diapit oleh satwa-satwa eksotis, bunga-bunga yang mekar tak wajar, dan terkadang figur manusia atau dewa-dewi. Di India, motif ini melambangkan kosmologi dan kesuburan. Di Nusantara, motif ini diadopsi dengan penuh makna. Di beberapa daerah, Kalpataru dikaitkan dengan penolak bala dan sumber kemakmuran.
Detail yang perlu diperhatikan dalam Kalpataru Cita adalah daun, buah, dan bunga yang tidak harus sesuai dengan botani nyata. Mereka adalah campuran fantasi flora dari berbagai belahan dunia, melambangkan kekayaan universal. Motif Kalpataru sering ditemukan pada Palampore besar yang berfungsi sebagai kain hiasan dinding atau tirai di rumah-rumah bangsawan Jawa dan Sumatera.
Satwa yang sering muncul di Kain Cita mencerminkan kekayaan imajinasi dan pengaruh Persia. Ini termasuk:
Meskipun inti Cita adalah motif organik, bagian tepi kain seringkali dihiasi dengan pola geometris yang rapi. Salah satu pola yang paling sering muncul adalah Tumpal, barisan segitiga yang berulang. Tumpal pada Cita India sangat mendominasi dan merupakan salah satu ciri khas visualnya. Tumpal ini, yang melambangkan gunung atau kesuburan, menjadi fitur standar pada sarung dan selendang di Indonesia.
Pengulangan pola bunga dan daun (repeating floral spray) adalah ciri khas lain yang membedakan Cita. Pola-pola ini tidak dibuat secara acak; penempatan setiap kuntum bunga diatur sedemikian rupa untuk menciptakan kesan gerakan dan dinamisme, bahkan pada kain yang dicetak secara massal.
Kain Cita paling terkenal karena kontras warna yang tajam, terutama penggunaan warna merah (dari mengkudu), biru (dari indigo), dan latar belakang putih bersih. Kombinasi warna ini dianggap mewah dan berani pada masa itu, berlawanan dengan Batik awal yang didominasi warna cokelat soga dan biru indigo yang lebih kalem. Kecemerlangan warna Cita adalah daya tarik utama bagi bangsawan Nusantara.
Di berbagai daerah di Indonesia, Kain Cita tidak hanya berfungsi sebagai pakaian. Ia adalah artefak budaya yang diintegrasikan ke dalam struktur sosial dan ritual keagamaan.
Di Jawa, terutama di masa Kesultanan Mataram, Kain Cita disebut kain kembange atau 'kain berbunga'. Kain ini berfungsi sebagai penanda kasta. Kain Cita yang diimpor langsung dari India, terutama yang dilukis tangan, jauh lebih bernilai daripada Batik. Bangsawan menggunakannya sebagai kain dodot (kain panjang), kemben, atau sebagai selimut kebesaran (Palampore) yang dipajang di ruang tamu atau kamar tidur kerajaan.
Bahkan ketika Batik mencapai puncaknya, Cita tetap dihormati. Beberapa ritual Keraton Surakarta dan Yogyakarta masih menggunakan Cita sebagai alas sesajen atau bagian dari upacara adat tertentu, menegaskan warisan historisnya sebagai tekstil suci.
Di Bali, Kain Cita memiliki peran religius yang sangat kuat. Beberapa jenis Cita diyakini memiliki kekuatan magis atau sakral. Kain-kain ini disimpan sebagai pusaka dan hanya dikeluarkan pada upacara-upacara besar seperti odalan (perayaan pura) atau ngaben (kremasi). Contoh terkenal adalah kain Cepuk (meskipun Cepuk yang paling terkenal adalah Tenun), yang motf-motifnya sangat dipengaruhi oleh Cita India. Kain Cita yang dilukis tangan di Bali disebut juga Beberitan.
Penggunaan Cita di Bali seringkali dikaitkan dengan keyakinan bahwa motif floralnya dapat menolak roh jahat dan membawa keberuntungan. Tekstur dan pewarnaan yang tahan lama memungkinkan kain-kain ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai harta keluarga yang tak ternilai.
Di Sumatera, terutama di wilayah seperti Palembang dan Lampung, Kain Cita juga berfungsi sebagai bahan dasar yang kemudian dimodifikasi. Cita sering digunakan sebagai kain dasar untuk sulaman emas atau benang sutra, menciptakan kain songket atau kain tapis yang lebih mewah. Kontras antara pola cetak Cita dengan sulaman emas tebal menciptakan tekstil yang mencolok dan mahal.
Di Maluku, Cita merupakan komoditas yang paling dicari. Di Pulau Banda, kepemilikan Kain Cita (sebelum Belanda membumihanguskan peradaban mereka) adalah penanda kekayaan utama. Di Timor dan Flores, Cita ditukar dengan gading dan digunakan sebagai bagian dari mas kawin yang sangat penting, menunjukkan bahwa nilai Kain Cita melampaui estetika semata, menjadi penentu hubungan sosial dan kekeluargaan.
Kain Cita secara keseluruhan adalah narasi perjalanan. Setiap helai kain membawa cerita tentang perjalanan kapal, negosiasi dagang, dan adaptasi budaya. Ia menunjukkan bagaimana sebuah tekstil impor dapat menjadi bagian integral dari identitas lokal.
Meskipun keduanya adalah seni pewarnaan resist di atas katun, Kain Cita dan Batik Tulis Tradisional Jawa memiliki perbedaan mendasar yang mencerminkan asal dan teknik yang berbeda, meskipun mereka saling mempengaruhi.
Cita tradisional India menggunakan palet yang sangat cerah dan kontras: merah mengkudu yang kuat, biru indigo yang pekat, dan latar belakang putih atau krem. Ini dimungkinkan karena penggunaan mordant yang memungkinkan warna merah hidup menempel pada katun.
Batik Tulis Klasik (Keraton) cenderung menggunakan palet yang lebih terbatas: Soga (cokelat tua), Indigo, dan Putih/Krem. Warna-warna ini memberikan kesan lebih filosofis dan tenang dibandingkan kecerahan Cita.
Motif Cita didominasi oleh Pohon Kehidupan yang sentral dan rangkaian bunga besar yang padat dan realistis. Komposisinya cenderung simetris dan mengisi penuh bidang kain (horror vacui).
Batik Klasik memiliki motif yang lebih geometris (seperti parang atau ceplok) atau disederhanakan (stilasi) dari alam. Komposisinya seringkali memiliki makna filosofis yang sangat spesifik dan terstruktur oleh pakem Keraton.
Meskipun demikian, Batik Pesisir berfungsi sebagai titik temu. Karena Batik Pesisir lahir dari interaksi perdagangan, ia mengadopsi palet warna Cita yang lebih berani dan motif-motif Eropa-India, menciptakan hibrida tekstil yang dikenal dengan warna-warna Pekalongan yang cerah.
Untuk benar-benar memahami keagungan Kain Cita, kita harus mendalami setiap tahapan produksi, yang merupakan warisan pengetahuan kimia tekstil yang telah hilang di banyak tempat.
Kapas yang baru ditenun masih mengandung minyak alami dan zat perekat (sizing) dari proses penenunan. Jika tidak dihilangkan, pewarna tidak akan menempel. Proses pembersihan disebut **pemutihan kapur**. Kain direndam dalam larutan alkali kuat, seringkali diperoleh dari abu tanaman, dan kemudian direndam dalam air yang dicampur dengan kotoran ternak yang telah difermentasi. Kotoran ternak mengandung enzim yang membantu memecah zat asing pada serat tanpa merusaknya, menjadikannya sangat reseptif terhadap pewarna.
Setelah dicuci bersih, kain dijemur di bawah sinar matahari selama berhari-hari untuk pemutihan alami. Beberapa kain bahkan direndam dalam campuran susu kambing atau kerbau dan minyak castor, kemudian dijemur lagi. Proses ini, yang disebut **perawatan minyak**, adalah kunci untuk memastikan warna merah dari mengkudu nantinya akan sangat stabil dan cerah.
Setelah persiapan, desain utama (outlines) dilukiskan. Seniman menggunakan arang atau bubuk pewarna sementara untuk menandai batas-batas desain. Kemudian, mereka menggunakan cairan hitam atau cokelat dari garam besi yang dicampur dengan gula atau gum (pengental) untuk melukis garis kontur utama.
Garis kontur ini sangat penting. Garam besi berfungsi sebagai mordant untuk warna hitam/cokelat tua. Ketika kain dicelupkan ke dalam mengkudu (pewarna merah), area garis kontur ini akan berubah menjadi hitam legam, memberikan definisi pada seluruh motif. Keahlian melukis pada tahap ini sangat menentukan kualitas akhir Kain Cita.
Mordant tawas (alum) dicampur dengan gum Arab atau sejenis tepung untuk kekentalan. Mordant ini kemudian dilukiskan di area yang diinginkan menjadi warna merah. Jika seniman ingin membuat bayangan merah muda atau merah yang lebih terang, mereka akan menggunakan larutan tawas yang lebih encer. Kontrol konsentrasi larutan tawas adalah rahasia dagang para pembuat Cita terbaik.
Setelah aplikasi mordant, kain dijemur dengan hati-hati. Kelembaban atau debu dapat merusak proses pengikatan mordant. Setelah kering, kain siap untuk pencelupan masal.
Akar mengkudu diolah menjadi pasta atau bubuk, kemudian direbus dalam air panas. Kain yang sudah di-mordant dimasukkan ke dalam bak rebusan. Ini adalah momen kritis. Selama berjam-jam, kain harus diaduk secara merata. Reaksi kimia antara Alizarin (pigmen dalam mengkudu) dan Tawas menciptakan ikatan yang tak terpisahkan. Kain akan menyerap warna merah hanya di area tawas, sementara area polos akan berubah menjadi merah muda pucat.
Untuk menghilangkan merah muda pucat dari area polos, kain direbus dalam larutan sabun atau minyak (disebut proses **pencucian mendidih**). Proses pencucian ini harus sangat agresif agar kain polos kembali putih, tetapi tidak boleh merusak ikatan mordant. Hanya Cita yang berkualitas tinggi yang mampu melewati tahap ini tanpa kehilangan kecerahan merahnya.
Jika Kain Cita memiliki warna biru (Indigo), proses ini dilakukan setelah pencucian mendidih. Kain dicelupkan ke dalam bak Indigo yang dalam. Karena Indigo tidak membutuhkan mordant, ia menempel pada semua serat yang terpapar. Namun, area yang dilindungi oleh resist lilin (jika ada) akan tetap berwarna merah atau putih.
Interaksi antara merah dan biru:
Kompleksitas inilah yang membuat Kain Cita adalah master piece kimia tekstil. Setiap warna dan nuansa adalah hasil dari reaksi berantai yang terencana sejak awal.
Kain Cita adalah komoditas perdagangan super, mendominasi jalur laut antara Asia dan Eropa selama hampir dua abad. Nilainya tidak hanya didasarkan pada keindahan, tetapi pada peran strategisnya dalam persaingan kekuasaan.
Pada abad ke-17, VOC berusaha memonopoli perdagangan rempah di Nusantara. Kunci sukses VOC adalah Kain Cita. VOC memastikan pasokan Kain Cita India yang stabil untuk memuaskan pasar lokal, seringkali memesan motif khusus (motif "Pangeran") yang hanya boleh diperdagangkan oleh mereka. Praktik ini dikenal sebagai monopoli tekstil.
Namun, permintaan global akan Chintz (terutama di Eropa) meningkat drastis. Tekstil yang sama yang dikirim ke Indonesia sebagai alat barter, mulai dicari di Paris, London, dan Amsterdam. Kain Cita menjadi simbol eksotisme dan kemewahan Eropa.
Ketika permintaan Eropa melonjak, Inggris (EIC) dan Prancis mulai mendirikan pabrik di India, mencoba meniru teknik pembuatan Cita. Akhirnya, bangsa Eropa sendiri berhasil meniru proses pewarnaan mordant, dan dengan dimulainya Revolusi Industri, mereka mulai memproduksi Cita yang dicetak menggunakan mesin (roller printing). Cita mekanis ini, meskipun kurang halus, harganya jauh lebih murah dan membanjiri pasar Asia dan Eropa.
Masuknya Cita cetak Eropa (sering disebut Kain Mori atau Kain Keling) pada abad ke-19 menyebabkan penurunan tajam pada nilai Kain Cita lukis tangan India. Konsumen dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah beralih ke tekstil yang lebih murah ini. Hanya bangsawan dan kolektor yang masih mampu membeli Cita lukis tangan asli.
Penurunan nilai ini memiliki dua dampak besar di Nusantara:
Meskipun demikian, keindahan dan kualitas Cita India yang dilukis tangan tetap diakui sebagai warisan seni yang tak tertandingi. Koleksi Cita tua di museum-museum Eropa dan Indonesia kini dianggap sebagai bukti puncak keahlian tekstil pra-industri.
Meskipun Kain Cita murni India tidak lagi menjadi barang dagangan vital di Indonesia seperti tiga abad lalu, warisan motif dan tekniknya tetap hidup dan relevan dalam dunia mode dan seni kontemporer.
Pengaruh paling nyata dari Cita adalah pada motif Batik Pesisir. Banyak pola yang kita anggap ‘khas Indonesia’—seperti motif buket bunga yang besar, rangkaian sulur-suluran yang memenuhi bidang, atau penggunaan warna merah dan hijau yang cerah—adalah hasil langsung dari adaptasi Kain Cita.
Para desainer tekstil modern di Indonesia sering kembali mempelajari Cita kuno. Mereka mengekstrak detail-detail motif flora, teknik pengulangan pola, dan komposisi yang dinamis untuk menciptakan desain Batik kontemporer yang kaya akan sejarah tetapi terlihat segar.
Kain Cita kini menjadi fokus utama studi tekstil sejarah. Koleksi besar Cita kuno, seperti yang tersimpan di Museum Tekstil Jakarta, Museum Tropen di Belanda, dan Victoria and Albert Museum di Inggris, adalah sumber informasi tak ternilai tentang sejarah perdagangan, botani, dan evolusi seni lukis tekstil. Konservasi kain-kain ini adalah tantangan besar karena usianya yang ratusan tahun.
Representasi proses pengerjaan motif Cita yang dilukis dengan tangan.
Alt Text: Ilustrasi balok cetak dan kuas yang sedang melukis pola melingkar pada kain putih, mewakili teknik pewarnaan Cita.
Di era modern yang menuntut keberlanjutan, teknik pewarnaan Cita (penggunaan mordant alami seperti tawas dan pewarna alami seperti mengkudu dan indigo) kembali menjadi inspirasi. Para pengrajin tekstil kontemporer mulai bereksperimen dengan teknik mordant dan resist yang mirip dengan Cita, mencari cara untuk menciptakan warna yang tahan lama tanpa bahan kimia sintetis.
Filosofi di balik Cita—kesabaran, kecermatan, dan pemahaman mendalam tentang alam (reaksi mengkudu dan tawas)—menawarkan model bagi gerakan tekstil berkelanjutan di Indonesia.
Meskipun istilah ‘Chintz’ di Barat sempat mengalami penurunan popularitas karena dikaitkan dengan interior era Victoria yang terlalu ramai, saat ini, motif Cita kembali populer di dunia desain interior. Pola floral berulang yang berani digunakan pada wallpaper, pelapis sofa, dan gorden, seringkali dalam palet warna yang dimodifikasi (misalnya, biru dan hijau) namun tetap mempertahankan gaya lukisan tangan yang khas.
Di dunia fesyen, banyak desainer kontemporer Indonesia menggunakan siluet modern dengan motif yang jelas terinspirasi dari keindahan Cita Palampore, memberikan penghormatan pada tekstil yang telah membentuk selera Nusantara selama berabad-abad.
Singkatnya, Kain Cita adalah pelajaran sejarah. Ia menceritakan tentang rempah-rempah, imperialisme, revolusi industri, dan bagaimana seni mampu melintasi batas geografis. Dari kapal dagang VOC hingga ruang koleksi museum, Kain Cita tetap menjadi salah satu tekstil paling menakjubkan dan berpengaruh dalam sejarah tekstil dunia.
Kain Cita adalah bukti nyata dari sinkretisme budaya yang terjadi di Nusantara. Tidak banyak barang dagangan impor yang mampu berintegrasi begitu dalam ke dalam ritual, adat, dan bahasa visual suatu bangsa. Kain Cita menunjukkan betapa terbukanya budaya maritim Indonesia terhadap pengaruh luar, asalkan pengaruh tersebut memiliki nilai estetika dan kualitas yang tinggi.
Setiap sulur, setiap kuntum bunga, dan setiap warna merah yang cemerlang pada Kain Cita menyimpan narasi perdagangan global yang menghubungkan Madras di India Selatan, Batavia di Jawa, dan pelabuhan-pelabuhan di Eropa. Pemahaman akan sejarah Kain Cita adalah memahami sejarah modern Indonesia itu sendiri: sebuah sejarah yang dibentuk oleh interaksi, pertukaran, dan adaptasi yang berkelanjutan. Meskipun Batik akhirnya menjadi ikon nasional, Kain Cita adalah gurunya; tekstil yang menetapkan standar keindahan dan ketahanan di kepulauan ini.
Keagungan Kain Cita tidak pudar oleh waktu atau oleh teknologi cetak modern. Ia berdiri sebagai monumen keahlian seni lukis tekstil pra-industri dan kekuatan perdagangan yang membentuk dunia kita. Mempelajari Cita adalah menghargai proses yang membutuhkan kesabaran luar biasa, pengetahuan kimia alam yang mendalam, dan selera estetika yang melintasi benua.
Dari detail teknis mengenai reaksi mordant tawas dan mengkudu, hingga dampak sosial ekonomi yang mengubah peta perdagangan rempah, Kain Cita menawarkan perspektif yang kaya. Ia adalah kain katun yang sederhana, tetapi memiliki dampak budaya yang luar biasa kompleks. Kain ini mengajarkan kita bahwa seni rupa tekstil dapat menjadi agen perubahan historis yang kuat, bukan sekadar pelengkap busana, melainkan sebuah peta yang menyimpan jejak peradaban yang hilang dan yang telah terbentuk.
Warisan Cita adalah inspirasi untuk menghargai kualitas, ketekunan, dan keindahan yang dicapai melalui tangan manusia, sebuah kontras abadi dengan produksi massal yang mendominasi era kini. Kain Cita akan selamanya dikenang sebagai 'ratu' di antara tekstil yang berlayar dan mendarat di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, mengubah cara berpakaian, cara merayakan, dan cara bertukar nilai dalam masyarakat tradisional.
Membayangkan perjalanan sehelai Kain Cita dari India ke sebuah keraton di Jawa adalah membayangkan serangkaian petualangan, risiko, dan transaksi yang menentukan nasib kekuasaan di Asia Tenggara. Tekstil ini bukan sekadar barang, melainkan cerita yang terlukis pada serat katun. Motif Kalpataru-nya, yang melambangkan kemakmuran, memang benar-benar membawa kemakmuran (bagi para pedagangnya) dan keindahan abadi (bagi pemakainya).
Di masa depan, ketika dunia semakin menghargai keunikan dan ketahanan produk alami, teknik pewarnaan mordant dan keindahan komposisi Kain Cita kuno akan terus menjadi sumber referensi penting, memastikan bahwa warisan tekstil yang agung ini tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang yang haus akan cerita dan sejarah yang terjalin dalam setiap benang.
***
Detail yang sering terlewatkan dalam pembahasan Kain Cita adalah peran vital zat organik dalam proses persiapan. Penggunaan susu kerbau, yang kaya akan protein dan lemak, bukan sekadar ritual pembersihan. Proses perendaman dalam susu (seringkali susu yang sedikit asam atau difermentasi) membantu melapisi serat kapas dengan lapisan protein tipis. Lapisan ini, meskipun kasat mata, berfungsi sebagai dasar atau 'primer' yang sangat efektif untuk mordant tawas. Ketika tawas diaplikasikan, ia berikatan lebih kuat dengan lapisan protein ini daripada hanya dengan serat kapas murni. Hasilnya? Warna merah yang lebih dalam, lebih cerah, dan lebih tahan luntur.
Sementara itu, penggunaan kotoran ternak dalam larutan pemutih kapur menyediakan sumber alkali alami yang lembut namun kuat, serta enzim yang membantu menghidrolisis (memecah) lilin dan pektin alami pada serat kapas. Proses pembersihan yang sempurna ini memastikan bahwa kapas terbuka sepenuhnya untuk menerima mordant dan pewarna. Tanpa tahap persiapan yang melelahkan dan seringkali menjijikkan ini, kualitas Kain Cita akan jauh berkurang. Inilah bukti bahwa seni Cita adalah perpaduan antara kearifan lokal, kimia alam, dan kesabaran tiada tara.
Meskipun Jawa dan Bali adalah pasar utama, Kain Cita juga mencapai wilayah terpencil seperti Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Di Toraja, Kain Cita (yang mereka sebut Ma'a atau Mawa') menjadi benda pusaka upacara yang sangat penting. Motif Cita India diintegrasikan ke dalam kain upacara Toraja. Uniknya, di Toraja, Cita tidak digunakan sebagai pakaian sehari-hari tetapi sebagai spanduk, tirai pemisah di rumah adat (Tongkonan), dan yang paling penting, sebagai dekorasi selama ritual pemakaman Rambu Solo yang mewah.
Motif-motif tertentu pada Cita di Toraja, seperti motif naga atau manusia berkuda, diberi makna baru yang sesuai dengan mitologi lokal. Ini menunjukkan bagaimana tekstil yang sepenuhnya asing dapat diadopsi dan diberi identitas spiritual yang mendalam, membuktikan universalitas keindahan dan fleksibilitas interpretasi budaya terhadap Kain Cita.
Motif Tepi pada Kain Cita, selain Tumpal, seringkali terdiri dari rangkaian geometris rumit yang memisahkan bagian tengah kain (medallion) dari bingkai luarnya. Motif tepi ini biasanya memiliki pola meander (berliku-liku) atau rangkaian kotak-kotak kecil yang diisi dengan titik-titik (dot-filled squares). Estetika tepi ini sangat mempengaruhi tradisi sarung di Nusantara. Struktur Sarung Jawa yang mengharuskan adanya bagian kepala (tumpal) dan badan kain, sangat dipengaruhi oleh desain struktural dari Kain Cita India yang dibawa pada abad ke-17.
Para pengrajin Batik kemudian meniru struktur ini, meskipun mereka mengganti pola floral Cita dengan motif Batik yang lebih tradisional. Imitasi struktural ini adalah salah satu warisan visual Cita yang paling bertahan lama dalam tradisi tekstil Indonesia.
Di beberapa kebudayaan Nusantara, Kain Cita memainkan peran spesifik dalam identitas gender. Selendang Cita, misalnya, seringkali menjadi milik eksklusif perempuan bangsawan. Selendang ini, yang berfungsi sebagai pembungkus bayi atau pelengkap busana, melambangkan kesuburan, status, dan perlindungan. Motif Pohon Kehidupan yang melimpah pada Kain Cita sering dikaitkan dengan kekuatan reproduksi dan kemakmuran keluarga. Penggunaan Cita dalam ritual pernikahan juga menegaskan peran tekstil ini dalam mengikat status sosial keluarga melalui pernikahan yang diatur.
Sementara itu, pria bangsawan mungkin menggunakan Cita sebagai ikat kepala (destar) atau kain penutup bahu yang lebih besar. Namun, secara umum, tekstil Cita yang berwarna cerah dan motif floral yang dominan lebih banyak diintegrasikan ke dalam busana dan pusaka perempuan, mencerminkan estetika feminin yang dihargai di masa itu.
Salah satu alasan mengapa Kain Cita begitu populer di Nusantara adalah daya tahannya terhadap iklim tropis yang lembap dan panas. Tidak seperti sutra atau tenun wol Eropa yang mudah rusak oleh jamur dan serangga di lingkungan lembap, kapas India, terutama setelah melalui proses pencelupan mordant yang intensif, menjadi sangat kuat dan tahan terhadap kerusakan biologis. Pewarnaan mordant juga memastikan bahwa kain dapat dicuci berkali-kali tanpa memudar secara signifikan, suatu keharusan di wilayah dengan curah hujan tinggi dan gaya hidup yang aktif di luar ruangan.
Kualitas praktis ini—bukan hanya keindahan semata—yang mendorong Kain Cita menjadi primadona perdagangan. Para pedagang Eropa menyadari bahwa untuk pasar Asia, mereka harus menyediakan barang yang tidak hanya indah tetapi juga fungsional dan abadi dalam menghadapi tantangan iklim tropis. Ini adalah aspek teknis yang sering luput dari perhatian ketika membahas nilai sejarah Cita.
Sebagian besar Kain Cita yang terkenal memiliki latar belakang putih atau krem. Namun, ada pula jenis Kain Cita yang sangat langka dengan latar belakang merah pekat. Untuk mencapai latar belakang merah yang penuh dan merata, seluruh kain harus melalui proses pencelupan mordant tawas dan mengkudu yang sangat panjang, tanpa menggunakan resist di latar belakang. Motif-motif hitam dan biru kemudian ditambahkan di atas dasar merah ini. Proses ini sangat memakan waktu dan bahan, sehingga kain jenis ini jauh lebih mahal dan umumnya hanya dipesan oleh Keraton atau bangsawan tertinggi. Keberadaan Cita berlatar belakang merah ini menunjukkan tingkat keahlian tertinggi yang dapat dicapai oleh para seniman India. Sayangnya, banyak dari kain langka ini yang kini hanya tersisa dalam fragmen atau koleksi pribadi yang tertutup.
Melihat kembali keseluruhan sejarah dan teknik Kain Cita, jelas bahwa tekstil ini adalah fenomena multidimensi. Ia adalah artefak sejarah perdagangan, sebuah pencapaian puncak dalam kimia tekstil alami, dan kekuatan pendorong di balik evolusi tekstil lokal di Asia Tenggara. Kain Cita menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi alat diplomasi, mata uang, dan penanda identitas sosial. Dari biji kapas di India, hingga bak pewarna mengkudu, hingga akhirnya menjadi harta pusaka di pulau-pulau Nusantara, Kain Cita melambangkan interkonektivitas peradaban dan keindahan abadi dari karya tangan manusia yang sabar.
Tidak ada pembahasan tekstil Indonesia yang lengkap tanpa memberikan penghormatan pada Kain Cita, tekstil impor yang, ironisnya, membantu mendefinisikan apa artinya menjadi 'tekstil tradisional' di kepulauan yang kaya akan warisan budaya ini.
Nilai koleksi Kain Cita kuno saat ini tidak hanya terletak pada harganya yang fantastis, tetapi pada pengetahuan yang terkandung di dalamnya—pengetahuan tentang botani, mineralogi, dan kearifan lokal yang kini menjadi pelajaran berharga bagi dunia modern.
Warisan Kain Cita akan terus menginspirasi, mengingatkan kita bahwa keindahan sejati seringkali lahir dari proses yang paling rumit dan memakan waktu.
***