Memahami pembagian harta peninggalan bagi mayit yang tidak memiliki ushul dan furu'.
Hukum waris Islam, atau dikenal sebagai Ilmu Fara'idh, merupakan salah satu cabang ilmu syariat yang paling detail dan krusial. Keakuratan pembagian harta peninggalan adalah kunci untuk menjaga keadilan dan mencegah fitnah di antara keluarga. Salah satu kasus yang memerlukan pemahaman mendalam dan seringkali menimbulkan perdebatan adalah kasus Kalalah.
Secara bahasa, Kalalah (الكَلَالَة) memiliki beberapa makna, termasuk ‘sesuatu yang melingkari’ atau ‘kelelahan’. Dalam konteks terminologi Fiqh, khususnya yang berkaitan dengan hukum waris, Kalalah merujuk pada kondisi wafatnya seseorang yang tidak meninggalkan ahli waris dari jalur keturunan langsung ke atas (ushul) maupun keturunan langsung ke bawah (furu’). Singkatnya, seseorang meninggal tanpa ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, kakek, atau cucu.
Artikel ini secara khusus memfokuskan kajian pada kasus Kalalah Laki, yaitu ketika mayit yang meninggal dalam kondisi kalalah adalah seorang laki-laki. Meskipun prinsip dasarnya serupa dengan kalalah perempuan, status mayit laki-laki sering kali berinteraksi dengan hak waris istrinya (jika ia meninggalkan istri) dan bagaimana harta sisanya dialokasikan kepada ahli waris kolateral (hawasyi), seperti saudara-saudara dan kerabat jauh.
Kasus kalalah laki sangat penting untuk dipelajari karena:
Konsep kalalah secara definitif ditemukan dalam Kitabullah, dan pemahaman yang benar atas teks-teks ini menjadi pondasi bagi seluruh aturan turunan dalam Fiqh Waris. Ada dua ayat kunci dalam Surah An-Nisa yang membahas masalah ini.
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِي الثُّلُثِ
"Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan anak, dan ia memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam. Jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersekutu dalam sepertiga..."
Ayat ini menetapkan bagian untuk saudara-saudara seibu (disebut *Ahl al-Furudh*). Ayat ini sering dikutip sebagai dalil utama yang secara implisit mendefinisikan Kalalah: yaitu mayit yang tidak meninggalkan keturunan (furu') dan tidak meninggalkan orang tua (ushul). Para fuqaha sepakat bahwa yang dimaksud "saudara laki-laki atau saudara perempuan" di sini adalah yang seibu (*Akhwatu li Umm*).
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۗ
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah: Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Dan ia (saudara laki-laki) mewarisi (seluruh harta) saudara perempuannya jika saudara perempuannya itu tidak mempunyai anak. Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka itu (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.'"
Ayat terakhir ini, yang diturunkan pada akhir masa Nabi, mengatur warisan untuk saudara sekandung atau saudara seayah. Ayat ini menguatkan definisi bahwa absennya anak (furu') adalah syarat mutlak Kalalah. Para ulama sepakat bahwa absennya ayah (ushul) juga harus dipenuhi, berdasarkan interpretasi ayat 12 dan hadits-hadits Rasulullah SAW.
Perdebatan utama berkisar pada definisi yang menggugurkan status Kalalah:
Fokus pada Kalalah Laki (mayit laki-laki) memiliki implikasi khusus pada pembagian harta. Karena ia laki-laki, ia bisa meninggalkan seorang istri. Istri adalah ahli waris Ahl al-Furudh yang tidak terhijab oleh siapapun (kecuali jika ada talak ba'in, tentu saja, yang menggugurkan hak waris).
Ketika seorang laki-laki wafat dalam kondisi kalalah, ahli waris yang mungkin tersisa terbagi dalam tiga kategori utama:
Karena mayit laki-laki, ia mungkin meninggalkan istri. Dalam kondisi Kalalah (tanpa anak), bagian istri adalah seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan. Jika mayit meninggalkan anak, bagian istri akan turun menjadi 1/8. Dalam Kalalah Laki, hak istri selalu 1/4.
Mereka diatur berdasarkan An-Nisa ayat 12.
Mereka diatur berdasarkan An-Nisa ayat 176. Mereka berfungsi sebagai Ashabah (penerima sisa) setelah Ahl al-Furudh mengambil bagiannya, kecuali saudara perempuan sekandung/seayah tunggal, yang juga berfungsi sebagai Ahl al-Furudh.
Dalam kondisi Kalalah Laki, urutan prioritas ahli waris kolateral (selain istri) yang akan menerima harta sisa (Ashabah) adalah sebagai berikut, dan keberadaan kelompok di atas akan menghijab kelompok di bawahnya:
Karena kasusnya adalah Kalalah Laki, seringkali ahli waris yang paling utama adalah istri dan saudara-saudara. Ini adalah kasus yang paling umum dalam pembahasan Kalalah Fiqh.
Ilustrasi Struktur Kalalah Laki: Hanya Ahli Waris Kolateral dan Istri yang Tersisa.
Kasus Kalalah Laki seringkali dihadapkan pada situasi di mana harta warisan harus dibagi antara istri, saudara seibu, dan saudara sekandung/seayah. Perhitungan ini memerlukan penerapan konsep Ashl al-Mas'alah (pokok masalah) dan Rad (pengembalian) atau Aul (peningkatan).
Mayit Laki-laki meninggal, meninggalkan: Istri (Z), dan 1 Saudara Perempuan Sekandung (UPS).
| Ahli Waris | Bagian Fardh | Pokok Masalah | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 3 saham | Tidak ada furu', bagian 1/4. |
| Saudara P Sekandung (UPS) | 1/2 | 6 saham | Tidak ada furu' dan ushul, bagian 1/2. |
| Sisa (Ashabah) | 1/4 | 3 saham | Sisa kembali ke UPS sebagai Ashabah Ma’al Ghair (berdasarkan pendapat sebagian fuqaha yang menggabungkan fardh dan ashabah dalam kasus tunggal). |
| Total Saham | 12 |
Pokok Masalah (PM) diambil dari KPK (4 dan 2) = 4. Istri = 1/4 (1 saham). UPS = 1/2 (2 saham). Sisa 4 - 1 - 2 = 1 saham. Sisa 1 saham ini kembali kepada Saudara Perempuan Sekandung karena ia berfungsi sebagai Ashabah Ma'al Ghair (walaupun tidak ada saudara laki-laki yang mendampingi dalam kasus Kalalah murni).
Catatan Madzhab Syafi'i: Dalam kasus ini, harta dibagi 1/4 untuk istri dan 3/4 untuk saudara perempuan sekandung (1/2 sebagai fardh, dan 1/4 sebagai rad, jika tidak ada Ashabah lain).
Mayit Laki-laki meninggal, meninggalkan: Istri (Z), dan 1 Saudara Laki-laki Sekandung (ULS).
| Ahli Waris | Bagian Fardh | Pokok Masalah | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 1 saham | Ahl al-Furudh |
| Saudara L Sekandung (ULS) | Ashabah (Sisa) | 3 saham | Penerima sisa harta (Ashabah bin Nafsihi). |
| Total Saham | 4 |
Ini adalah kasus Kalalah Laki yang paling sederhana. Istri mengambil hak fardhnya, dan sisanya diambil oleh ULS sebagai Ashabah utama dalam Kalalah.
Kasus ini adalah salah satu perdebatan paling terkenal dalam Fiqh Waris yang terjadi di masa Umar bin Khattab RA. Mayit Laki-laki meninggal, meninggalkan: Istri (Z), Ibu (M, tapi karena Kalalah, Ibu merujuk pada Nenek atau ketiadaan Ibu), Saudara Seibu (USS/LSS), dan Saudara Sekandung (ULS/UPS).
Karena kita membahas Kalalah murni, yang absensi Ushul dan Furu', asumsikan yang ditinggalkan adalah: Istri (Z), 2 Saudara Seibu (LSS/USS), dan 1 Saudara Laki-laki Sekandung (ULS).
| Ahli Waris | Bagian Fardh | PM 6 | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | - | PM awal 12 (untuk memasukkan 1/4 dan 1/3) |
| Saudara Seibu (2) | 1/3 | - | Ahl al-Furudh |
| Saudara Sekandung (ULS) | Ashabah (Sisa) | - | Ashabah bin Nafsihi |
PM awal dari (4 dan 3) adalah 12. Istri = 3 saham. Saudara Seibu = 4 saham. Total diambil = 7 saham. Sisa = 5 saham untuk ULS. Pembagian ini jelas dan sesuai Fiqh.
Namun, masalah *Musyarakah* terjadi jika ada Ibu (M), Nenek (NN), Saudara Seibu (LSS/USS), dan Saudara Sekandung (ULS/UPS). Jika mayit tidak meninggalkan ayah, tetapi meninggalkan nenek (NN) dan ibu (M), maka status Kalalah sudah tidak murni. Jika murni Kalalah (hanya ada Istri dan Saudara-saudara):
Kasus Musyarakah Murni Kalalah (Skenario Khilafiyah): Istri, Saudara Seibu (3 orang), Saudara Sekandung Laki-laki (1 orang).
PM 12. Istri: 3. Saudara Seibu (1/3): 4. Sisa untuk ULS: 5.
Dalam Musyarakah (yang terjadi ketika ada Nenek atau Kakek yang berperan seperti Ibu/Ayah), jika bagian Saudara Seibu mencapai 1/3 dan Saudara Sekandung seharusnya Ashabah, sebagian fuqaha (terutama Hanafiyah dan Syafi'iyah) berpendapat bahwa saudara sekandung harus berbagi 1/3 tersebut dengan saudara seibu. Ini terjadi karena mereka semua berasal dari ibu yang sama (jika mayit kalalah).
Mayit Laki-laki (Kalalah), meninggalkan: Istri (Z), Saudara Perempuan Seibu (UPS-U), Saudara Laki-laki Seayah (ULS-A).
| Ahli Waris | Bagian Fardh | PM 12 | Saham | Keterangan |
|---|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 3 | 3 | Fardh |
| UPS Seibu | 1/6 | 2 | 2 | Fardh (tunggal) |
| ULS Seayah | Ashabah (Sisa) | 7 | 7 | Ashabah bin Nafsihi (ULS sekandung terhijab) |
| Total Saham | 12 |
Total saham yang diambil Ahl al-Furudh adalah 3 + 2 = 5 saham. Sisa 7 saham sepenuhnya menjadi hak ULS Seayah karena ia adalah Ashabah terdekat setelah ULS Sekandung (yang absen).
Meskipun semua madzhab sepakat pada definisi umum Kalalah (absennya furu' dan ushul), terdapat nuansa interpretasi yang mempengaruhi cara perhitungan warisan, terutama terkait dengan peran Kakek (Jadd) dan bagaimana sisa harta (*Rad*) dialokasikan dalam kasus Kalalah Laki.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa kakek (ayah dari ayah) memiliki status yang sama dengan ayah dalam menghijab ahli waris hawasyi (saudara-saudara). Oleh karena itu, jika mayit laki-laki meninggalkan kakek, status Kalalah otomatis gugur, dan kakek akan mengambil hak warisnya (1/6 jika ada anak, atau sisa jika tidak ada anak). Jika kakek hadir, saudara kandung dan seayah tidak mendapatkan warisan sama sekali.
Dalam kasus Kalalah murni (tanpa kakek), Hanafiyah cenderung sangat ketat dalam penerapan Ashabah. Jika ada harta sisa setelah Ahl al-Furudh mengambil bagiannya, sisa tersebut akan diberikan kepada Ashabah terdekat. Jika tidak ada Ashabah sama sekali, harta akan masuk ke Baitul Mal (Kas Negara), dan tidak dikembalikan kepada Ahl al-Furudh yang sudah mengambil jatahnya (konsep *Rad* ditolak atau dibatasi hanya pada istri/suami).
Pandangan Maliki juga cenderung menganggap kakek sebagai pengganti ayah dalam banyak hukum waris, sehingga keberadaan kakek menggugurkan Kalalah dan menghijab semua saudara.
Namun, dalam penerapan *Rad*, Madzhab Maliki memiliki beberapa perbedaan dengan Hanafi. Mereka juga cenderung membatasi *Rad* (pengembalian sisa) hanya untuk ahli waris tertentu, tetapi secara umum, kasus Kalalah Laki yang menyisakan harta setelah istri mengambil 1/4 biasanya disalurkan kepada Ashabah yang tersisa (saudara-saudara).
Madzhab Syafi'i mengikuti pandangan Zaid bin Tsabit, yang memperbolehkan saudara-saudara mewarisi bersama kakek dalam beberapa skenario, asalkan kakek tidak menggugurkan mereka sepenuhnya. Meskipun demikian, keberadaan kakek tetap menggugurkan status Kalalah murni. Perbedaan ini membuat perhitungan waris menjadi jauh lebih kompleks jika kakek hadir, yang dikenal sebagai Musyarakah (berbagi) dan Mu’addah (penghitungan saudara untuk mengurangi bagian kakek).
Dalam kasus Kalalah Laki murni (tanpa kakek/ayah), Syafi'iyah sangat kuat dalam menerapkan konsep *Rad*. Jika Istri mengambil 1/4, dan tidak ada Ashabah lain selain saudara perempuan sekandung yang sudah mengambil 1/2, sisa harta (1/4) akan dikembalikan (*Rad*) kepada saudara perempuan tersebut, karena ia memiliki hubungan kekerabatan yang lebih kuat daripada Baitul Mal.
Madzhab Hanbali umumnya sejalan dengan Hanafi dan Maliki bahwa kakek menggugurkan semua saudara, dan oleh karena itu, menggugurkan Kalalah. Prinsip mereka adalah kehati-hatian dan penafsiran harfiah bahwa Ayah (Ushul) adalah penghalang utama.
Dalam konteks Kalalah Laki, Hanbali juga menerima konsep *Rad* (pengembalian), mirip dengan Syafi'iyah, selama tidak ada Ashabah yang berhak. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam memastikan bahwa harta tetap berada di antara kerabat mayit.
Pemahaman mengenai perbedaan ini sangat penting, khususnya bagi hakim syariah atau praktisi hukum waris, karena kasus kalalah laki dengan kehadiran kerabat kolateral jauh dapat menentukan apakah harta jatuh ke tangan kerabat yang lebih jauh (berdasarkan Ashabah) atau dikembalikan kepada kerabat yang sudah mengambil fardh-nya (Rad).
Untuk mencapai pemahaman yang utuh mengenai Kalalah Laki, kita perlu meninjau beberapa kasus kompleks yang melibatkan berbagai kombinasi ahli waris kolateral. Semua kasus di bawah ini mengasumsikan mayit adalah laki-laki yang meninggal dalam kondisi Kalalah murni (tanpa ushul dan furu').
Mayit meninggalkan: Istri (Z), 3 Saudara Perempuan Seibu (UPS-U), 2 Saudara Laki-laki Sekandung (ULS-S).
Analisis Fardh:
Perhitungan (PM dari 4 dan 3 adalah 12):
| Ahli Waris | Fardh | Saham dari PM 12 | Per Bagian |
|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 3 saham | 3/12 |
| UPS-U (3) | 1/3 | 4 saham | 4/12 (dibagi 3 orang: 1.33 saham per orang) |
| ULS-S (2) | Ashabah | 5 saham | 5/12 (dibagi 2 orang: 2.5 saham per orang) |
| Total Saham | 12 |
Dalam kasus ini, tidak terjadi *Aul* (peningkatan saham melebihi total) karena total saham pas 12. Saudara Seibu mengambil porsi mereka secara merata, dan sisa harta (5/12) dibagikan kepada Saudara Laki-laki Sekandung (Ashabah) secara merata.
Mayit meninggalkan: Istri (Z), 1 Saudara Perempuan Sekandung (UPS-S), 1 Saudara Laki-laki Seayah (ULS-A).
Analisis Fardh dan Hijab:
Perhitungan (PM dari 4 dan 2 adalah 4):
| Ahli Waris | Fardh | Saham dari PM 4 | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 1 saham | |
| UPS-S | 1/2 | 2 saham | |
| Total Terambil | 3 saham | ||
| Sisa | 1 saham |
Saudara Laki-laki Seayah (ULS-A) adalah Ashabah, namun ia terhijab oleh Saudara Perempuan Sekandung (UPS-S) yang di sini berfungsi sebagai Ashabah Ma'al Ghair (bersama sisa harta, meskipun tidak ada laki-laki). Namun, menurut pendapat jumhur, Saudara Perempuan Sekandung yang mengambil fardhnya 1/2 tidak otomatis menghijab Ashabah dari pihak seayah (ULS-A), kecuali jika UPS-S menjadi Ashabah Ma'al Ghair (yaitu, ada anak perempuan mayit). Karena ini Kalalah, tidak ada anak perempuan mayit.
Kesimpulan Fiqhiyah: ULS-A seharusnya berhak atas sisa 1 saham sebagai Ashabah. UPS-S mengambil 1/2 (2 saham). Z mengambil 1/4 (1 saham). Sisa (1/4 atau 1 saham) diberikan kepada ULS-A.
Prinsip Penting: Dalam Kalalah Laki, Saudara Sekandung selalu lebih didahulukan daripada Saudara Seayah.
Kasus ini jarang terjadi pada Kalalah Laki sederhana, tetapi mungkin terjadi jika ada penambahan Ashabah yang memiliki hak fardh di saat yang sama. Mayit meninggalkan: Istri (Z), 2 Saudara Perempuan Sekandung (UPS-S), 2 Saudara Perempuan Seibu (UPS-U).
Analisis Fardh:
Perhitungan (PM dari 4, 3, 3 adalah 12):
| Ahli Waris | Fardh | Saham dari PM 12 |
|---|---|---|
| Istri (Z) | 1/4 | 3 saham |
| UPS-S (2) | 2/3 | 8 saham |
| UPS-U (2) | 1/3 | 4 saham |
| Total Saham | 15 saham |
Total saham yang berhak diambil adalah 15, melebihi PM 12. Ini disebut Aul. Harta harus dibagi berdasarkan 15. Setiap ahli waris mengalami pengurangan proporsional. Istri dari 3/12 turun menjadi 3/15. UPS-S dari 8/12 turun menjadi 8/15. UPS-U dari 4/12 turun menjadi 4/15.
Fenomena Aul ini adalah salah satu cara syariat memastikan keadilan dalam distribusi warisan, bahkan ketika total hak waris melebihi keseluruhan harta.
Ilustrasi Proporsi Warisan dalam Kasus Kalalah Laki.
Dalam banyak kasus Kalalah Laki, terutama ketika ahli waris kolateral laki-laki (Ashabah) tidak ada, akan ada sisa harta setelah semua Ahl al-Furudh (seperti Istri, Saudara Seibu, atau Saudara Perempuan Sekandung) mengambil bagian mereka. Sisa harta ini dikenal sebagai Rad (Pengembalian) atau, jika tidak ada ahli waris sama sekali, diserahkan ke Baitul Mal.
Konsep Rad adalah mengembalikan sisa harta kepada Ahl al-Furudh yang masih hidup secara proporsional, kecuali suami atau istri.
Mayoritas ulama (Madzhab Syafi'i, Hanbali, dan sebagian Maliki) membolehkan Rad, sementara Madzhab Hanafi menolak Rad kepada siapa pun kecuali kerabat dzawil arham (kerabat jauh) jika tidak ada Ashabah.
Contoh Kasus Rad: Mayit Laki-laki (Kalalah), meninggalkan: Istri (Z) dan Saudara Perempuan Seibu (UPS-U).
PM 12. Z: 3/12. UPS-U (1/6): 2/12. Total 5/12. Sisa 7/12.
Menurut pandangan Rad: Sisa 7/12 ini tidak diberikan kepada istri (karena istri tidak mendapatkan Rad), melainkan dikembalikan seluruhnya kepada Saudara Perempuan Seibu. Total bagian Saudara Perempuan Seibu menjadi 2/12 + 7/12 = 9/12.
Namun, jika ada Ashabah (misalnya paman dari pihak ayah) yang secara hubungan sangat jauh, harta sisa tersebut akan diberikan kepada Ashabah tersebut terlebih dahulu, baru kemudian dipertimbangkan untuk Rad jika Ashabah tidak ada sama sekali.
Harta warisan dalam kasus Kalalah Laki akan diserahkan ke Baitul Mal (Kas Negara Islam) hanya dalam dua kondisi ekstrem:
Penting untuk dicatat bahwa dalam praktik modern di banyak negara Muslim, konsep Baitul Mal digantikan oleh peraturan yang mengatur bahwa warisan yang tidak terbagi akan jatuh ke tangan negara atau yayasan sosial, meskipun tujuannya tetap untuk kemaslahatan umat.
Jika seorang laki-laki meninggal dalam kondisi Kalalah, dan tidak menyisakan ahli waris yang termasuk Ahlul Furudh atau Ashabah Bin Nafsihi (Saudara Kandung, Seayah, Anak Laki-laki Saudara, Paman), barulah ahli waris Dzawil Arham (kerabat jauh, seperti anak perempuan dari anak perempuan, bibi, atau paman dari pihak ibu) mulai mendapatkan haknya.
Dalam Kalalah Laki, Dzawil Arham hanya akan mendapatkan harta jika seluruh jalur Ashabah utama telah habis, dan Ahlul Furudh (seperti Istri) telah mengambil hak mereka. Ini adalah jalur pembagian yang paling rumit dan paling variatif antar madzhab. Madzhab Hanafi sangat maju dalam penetapan warisan Dzawil Arham, sementara madzhab lainnya (seperti Syafi'i) cenderung lebih memilih Baitul Mal daripada Dzawil Arham yang terlalu jauh, kecuali jika ada Rad.
Dalam menentukan ahli waris Ashabah dalam kasus Kalalah Laki, prinsip utama yang digunakan adalah Qurbah (kedekatan hubungan) dan Quwwah (kekuatan hubungan). Ini adalah prinsip yang mendasari urutan penghijaban di antara saudara-saudara.
Saudara sekandung (yang memiliki hubungan dari ibu dan ayah) lebih kuat daripada saudara seayah (yang hanya memiliki hubungan dari ayah), dan keduanya lebih kuat daripada saudara seibu (yang hanya memiliki hubungan dari ibu).
Dampak pada Kalalah Laki:
Penerapan prinsip ini sangat krusial dalam Kalalah Laki, sebab setelah Istri mengambil 1/4, sisa harta biasanya menjadi subjek perebutan Ashabah di antara kerabat kolateral. Kesalahan dalam menentukan Ashabah terdekat akan mengakibatkan pembagian yang batil.
Hukum Kalalah Laki bukan sekadar perhitungan matematis yang rumit, melainkan mengandung hikmah yang mendalam terkait keadilan sosial, pelestarian harta, dan penekanan pada ikatan darah.
Dalam Kalalah Laki, Istri selalu mendapatkan bagiannya (1/4), menunjukkan pengakuan Syariat terhadap ikatan pernikahan sebagai fondasi utama keluarga, bahkan ketika tidak ada keturunan atau orang tua yang tersisa.
Peraturan yang detail mengenai prioritas Ashabah dan konsep Rad memastikan bahwa harta peninggalan sebisa mungkin tetap berada di lingkaran keluarga besar mayit, mencegah kekayaan mengalir ke pihak luar atau terpusat di Baitul Mal, kecuali dalam keadaan darurat.
Ilmu Fara'idh, termasuk kasus Kalalah Laki, merupakan pengingat bahwa harta adalah titipan dan harus didistribusikan sesuai perintah Ilahi. Kesulitan dan kerumitan perhitungannya menekankan betapa pentingnya kehati-hatian dalam mengamalkan syariat.
Dalam masyarakat modern, kasus kalalah laki tetap relevan, terutama dengan adanya tren keluarga kecil atau kasus di mana anak meninggal mendahului orang tua (yang akan membuat orang tua menjadi ahli waris, sehingga Kalalah gugur). Namun, jika seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan orang tua sudah meninggal lebih dulu, kasus Kalalah akan terulang. Keakuratan pembagian ini seringkali memerlukan intervensi lembaga hukum syariah untuk menghindari sengketa.
Oleh karena itu, pendalaman terhadap semua aspek Kalalah Laki, mulai dari dalil Al-Qur'an hingga perbedaan madzhab dalam penerapan Rad dan Aul, merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang ingin memastikan amanah harta warisan dilaksanakan secara sempurna dan adil.
Sempurnanya pembagian warisan adalah cerminan dari kesempurnaan iman.