Kebakaran Hutan dan Lahan, atau yang akrab disingkat KARHUTLA, adalah fenomena bencana yang secara periodik menghantui Indonesia, khususnya wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bencana ini bukan sekadar insiden kebakaran biasa, melainkan sebuah kompleksitas permasalahan lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan yang saling terkait dan memberikan dampak multidimensional yang merugikan. KARHUTLA telah menjadi sorotan nasional dan internasional, mengingat implikasinya yang tidak hanya terbatas pada area yang terbakar, tetapi juga meluas hingga lintas batas negara dalam bentuk kabut asap transnasional.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek KARHUTLA, mulai dari akar penyebabnya yang beragam, dampak destruktif yang ditimbulkannya pada berbagai sektor kehidupan, hingga upaya-upaya komprehensif yang telah dan sedang dilakukan untuk mencegah serta menanggulanginya. Pemahaman mendalam tentang KARHUTLA adalah langkah awal yang krusial untuk merumuskan strategi berkelanjutan demi masa depan lingkungan yang lebih baik dan kesejahteraan masyarakat yang terjaga.
Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) merujuk pada peristiwa terbakarnya hutan atau lahan, baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia, yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan seringkali menimbulkan bencana kabut asap. Di Indonesia, fenomena ini didominasi oleh kebakaran yang terjadi di lahan gambut, yaitu tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang membusuk dalam kondisi jenuh air. Lahan gambut memiliki karakteristik unik yang membuatnya sangat rentan terhadap kebakaran, terutama saat musim kemarau panjang. Sekali terbakar, api di lahan gambut sulit dipadamkan karena bara api bisa menjalar di bawah permukaan tanah selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Luasnya cakupan KARHUTLA di Indonesia seringkali mencapai jutaan hektar, meliputi hutan primer, hutan sekunder, lahan konsesi perkebunan, hingga lahan masyarakat. Skala bencana ini menjadikannya masalah serius yang memerlukan penanganan lintas sektor dan lintas wilayah. Penanganan KARHUTLA tidak hanya berfokus pada pemadaman api, tetapi juga pada upaya pencegahan yang efektif, rehabilitasi lahan yang terbakar, serta penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran.
KARHUTLA bukanlah fenomena baru di Indonesia. Bencana ini telah terjadi secara periodik selama beberapa dekade terakhir, dengan intensitas dan cakupan yang bervariasi. Beberapa peristiwa KARHUTLA besar yang tercatat dalam sejarah, seperti pada tahun 1997-1998, 2015, dan 2019, telah meninggalkan jejak kerugian yang mendalam dan menjadi pelajaran berharga bagi bangsa. Peristiwa-peristiwa ini secara signifikan meningkatkan kesadaran publik dan pemerintah akan urgensi penanganan KARHUTLA.
Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami salah satu KARHUTLA terparah dalam sejarahnya. Diperkirakan lebih dari 9,7 juta hektar lahan terbakar di Sumatera dan Kalimantan, memicu kabut asap tebal yang melumpuhkan sebagian besar Asia Tenggara. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan El Nino kuat yang menyebabkan kemarau panjang. Dampak ekonomi yang ditimbulkan mencapai miliaran dolar AS, belum lagi kerugian ekologis dan kesehatan yang tak terhingga.
Kemudian pada tahun 2015, KARHUTLA kembali terjadi dengan skala yang masif, terutama di lahan gambut. Sekitar 2,6 juta hektar lahan terbakar, menghasilkan emisi karbon dioksida yang setara dengan emisi harian seluruh Amerika Serikat selama beberapa minggu. Krisis kabut asap ini menyebabkan puluhan ribu kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan mengganggu aktivitas ekonomi serta sosial di banyak wilayah. Pemerintah Indonesia merespons dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai upaya serius untuk memulihkan ekosistem gambut yang rusak dan mencegah kebakaran berulang.
Tahun 2019 juga menjadi tahun yang penuh tantangan dengan kembali meluasnya KARHUTLA, meskipun cakupannya tidak sebesar 2015 berkat upaya pencegahan yang lebih baik. Namun, bencana ini tetap menunjukkan bahwa masalah KARHUTLA adalah ancaman berkelanjutan yang memerlukan kewaspadaan dan tindakan adaptasi serta mitigasi yang konstan.
Pola berulang KARHUTLA ini mengindikasikan bahwa masalahnya bersifat struktural dan sistemik, melibatkan berbagai faktor pendorong, mulai dari kebijakan agraria, praktik perkebunan, hingga perilaku masyarakat lokal. Memahami sejarah ini penting untuk merancang solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan di masa depan.
KARHUTLA merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor alam dan faktor manusia. Meskipun faktor alam seringkali menjadi pemicu awal, dominasi faktor manusia dalam memperparah dan memperluas skala kebakaran tidak dapat disangkal. Di Indonesia, faktor manusia adalah penyebab utama dari sebagian besar insiden KARHUTLA.
Faktor alam yang berkontribusi terhadap KARHUTLA sebagian besar terkait dengan kondisi iklim dan geografi.
Musim kemarau yang berkepanjangan, seringkali diperparah oleh fenomena El Nino, menciptakan kondisi vegetasi yang sangat kering dan mudah terbakar. Tanpa curah hujan yang cukup, biomassa di hutan dan lahan menjadi kering kerontang, berfungsi sebagai bahan bakar yang ideal untuk api. Khususnya di lahan gambut, kemarau panjang menyebabkan permukaan air tanah menurun drastis, mengeringkan lapisan gambut yang kaya bahan organik. Ketika gambut kering ini terbakar, api dapat merambat di bawah permukaan tanah, menjadi 'neraka' yang sulit dipadamkan dan melepaskan asap tebal.
Lahan gambut yang dikeringkan (drainase) untuk keperluan perkebunan atau pertanian menjadi sangat rentan terbakar. Drainase menciptakan kanal-kanal yang menurunkan muka air tanah, mengubah gambut yang semula jenuh air menjadi kering dan sangat mudah terbakar. Lapisan gambut yang tebal dapat menyimpan api di dalamnya selama berminggu-minggu tanpa terlihat di permukaan, menjadikannya 'bom waktu' yang bisa menyala kembali kapan saja, bahkan setelah hujan singkat.
Meskipun jarang terjadi di Indonesia dan bukan menjadi penyebab dominan, petir yang menyambar pohon atau vegetasi kering dapat memicu kebakaran hutan. Insiden semacam ini lebih sering terjadi di wilayah beriklim sedang atau kering dengan badai petir yang disertai sedikit hujan.
Faktor manusia adalah penyebab utama dan paling dominan dalam sebagian besar kasus KARHUTLA di Indonesia. Motivasi di baliknya bervariasi, mulai dari praktik tradisional hingga kesengajaan yang bermotif ekonomi.
Ini adalah penyebab paling umum. Praktik pembakaran lahan dilakukan untuk berbagai tujuan:
Faktor kelalaian juga sering menjadi penyebab:
Beberapa kasus KARHUTLA terjadi akibat konflik atau sengketa lahan antara masyarakat adat, perusahaan, atau pemerintah. Pembakaran seringkali digunakan sebagai alat untuk mengusir pihak lain atau sebagai bentuk protes. Ada juga motif kriminal yang sengaja membakar lahan untuk tujuan spekulasi tanah, yaitu membersihkan lahan kosong agar lebih mudah dijual atau dikuasai.
Meskipun telah ada peraturan yang melarang pembakaran hutan dan lahan, kurangnya pengawasan yang efektif dan lemahnya penegakan hukum di lapangan seringkali menjadi celah bagi pelaku. Hutan dan lahan yang luas membuat pemantauan menjadi sulit, dan proses hukum terhadap pelaku seringkali berlarut-larut atau tidak menjangkau dalang utama.
Di beberapa daerah, praktik pembakaran lahan merupakan tradisi turun-temurun yang sulit dihilangkan. Masyarakat percaya bahwa pembakaran dapat menyuburkan tanah dan mengusir hama. Diperlukan edukasi dan solusi alternatif yang terbukti efektif dan berkelanjutan untuk mengubah kebiasaan ini.
Dampak KARHUTLA bersifat multidimensional, merusak lingkungan, mengancam kesehatan masyarakat, merugikan perekonomian, dan menimbulkan masalah sosial yang kompleks. Dampak-dampak ini tidak hanya dirasakan di lokasi kejadian, tetapi seringkali meluas hingga ke tingkat regional dan internasional.
Hutan adalah paru-paru dunia dan rumah bagi jutaan spesies flora dan fauna. Kebakaran hutan menghancurkan habitat alami satwa liar, seperti orangutan, harimau Sumatera, gajah Sumatera, dan badak, yang banyak di antaranya adalah spesies endemik dan terancam punah. Api membakar vegetasi, mematikan tumbuhan dan hewan, serta merusak struktur tanah. Proses regenerasi ekosistem pasca-kebakaran membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun, dan beberapa spesies mungkin tidak akan pernah pulih.
Api menghancurkan lapisan humus dan bahan organik di permukaan tanah, yang krusial untuk kesuburan tanah. Panas tinggi dari kebakaran mengubah sifat fisik dan kimia tanah, membuatnya lebih rentan terhadap erosi oleh air dan angin. Khususnya di lahan gambut, pembakaran dapat menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence) dan mengubah sifat hidrologis lahan secara permanen, menjadikannya semakin rentan terhadap kebakaran di masa depan.
Pembakaran hutan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kebakaran di lahan gambut sangat berbahaya karena gambut menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar; ketika terbakar, karbon ini dilepaskan sebagai CO2, yang merupakan salah satu GRK utama penyebab pemanasan global. Emisi ini secara signifikan berkontribusi terhadap perubahan iklim, mempercepat efek rumah kaca dan memicu siklus umpan balik positif di mana iklim yang lebih panas dan kering justru meningkatkan risiko kebakaran.
Asap dari KARHUTLA mengandung partikel-partikel halus (PM2.5), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan berbagai senyawa organik volatil lainnya. Partikel PM2.5 sangat berbahaya karena dapat masuk jauh ke dalam saluran pernapasan manusia. Kabut asap ini dapat menyebar luas hingga melintasi batas negara, menyebabkan masalah polusi udara di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang seringkali memicu ketegangan diplomatik.
Kabut asap akibat KARHUTLA adalah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Ini adalah dampak kesehatan yang paling umum dan langsung. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang, terutama anak-anak dan lansia, menderita ISPA, asma, bronkitis, dan infeksi paru-paru lainnya akibat menghirup udara yang tercemar. Rumah sakit seringkali kewalahan menangani pasien dengan masalah pernapasan selama musim KARHUTLA.
Partikel asap dapat menyebabkan iritasi parah pada mata, menyebabkan mata merah, gatal, dan berair. Kontak langsung dengan partikel di udara juga dapat menyebabkan iritasi kulit.
Paparan jangka panjang terhadap polusi asap dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru, dan kerusakan fungsi paru-paru permanen. Wanita hamil yang terpapar asap juga berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah atau masalah kesehatan lainnya.
Kondisi lingkungan yang gelap dan penuh asap, keterbatasan aktivitas, dan kecemasan akan dampak kesehatan dapat menyebabkan gangguan stres, kecemasan, dan depresi pada masyarakat yang terdampak.
Lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit, karet, dan HTI yang terbakar menyebabkan kerugian produksi yang sangat besar. Pohon-pohon mati, tanaman rusak, dan lahan menjadi tidak produktif selama bertahun-tahun. Ini berdampak langsung pada pendapatan petani dan perusahaan, serta mengganggu pasokan komoditas.
Jarak pandang yang rendah akibat kabut asap menyebabkan penundaan dan pembatalan penerbangan, penutupan pelabuhan, dan gangguan transportasi darat. Ini berdampak pada mobilitas manusia dan barang, menghambat perdagangan dan pariwisata.
Destinasi wisata yang diselimuti kabut asap kehilangan daya tariknya, menyebabkan penurunan jumlah wisatawan dan kerugian bagi industri pariwisata lokal.
Pemerintah mengeluarkan biaya besar untuk operasi pemadaman, termasuk pengerahan personel, peralatan pemadam, pesawat water bombing, dan teknologi modifikasi cuaca. Setelah kebakaran, biaya untuk rehabilitasi lahan, penanganan kesehatan masyarakat, dan kompensasi kerugian juga sangat tinggi.
Indonesia seringkali menghadapi tekanan dan kritik dari negara-negara tetangga dan komunitas internasional karena masalah kabut asap transnasional, yang dapat mempengaruhi hubungan diplomatik dan citra negara.
Masyarakat di daerah terdampak parah terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sekolah diliburkan, aktivitas pekerjaan terhenti, dan kehidupan sehari-hari terganggu secara drastis.
Petani, nelayan, dan pekerja perkebunan yang bergantung pada sumber daya alam seringkali kehilangan mata pencarian akibat kerusakan lingkungan dan lahan yang terbakar.
KARHUTLA dapat memperburuk konflik lahan yang sudah ada atau memicu konflik baru antara masyarakat adat, petani, dan perusahaan, terutama jika ada dugaan keterlibatan korporasi dalam pembakaran.
Penanganan KARHUTLA memerlukan pendekatan yang komprehensif, multi-pihak, dan berkelanjutan, mencakup strategi pencegahan (mitigasi) dan penanggulangan (respons darurat).
Pencegahan adalah kunci utama untuk mengatasi KARHUTLA, karena jauh lebih efektif dan murah daripada memadamkan api yang sudah meluas.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya KARHUTLA, larangan pembakaran lahan, dan alternatif praktik pertanian tanpa bakar. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, kampanye media, dan melibatkan tokoh masyarakat serta agama.
Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik perorangan maupun korporasi. Ini meliputi investigasi menyeluruh, penangkapan, dan pemberian sanksi yang berat (denda, pidana penjara, pencabutan izin usaha) untuk memberikan efek jera. Transparansi dalam penegakan hukum sangat penting.
Upaya ini sangat krusial mengingat kerentanan gambut:
Melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal dalam pencegahan kebakaran. Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) yang dilatih dan dilengkapi dengan peralatan dasar pemadam kebakaran sangat efektif. Kearifan lokal dalam pengelolaan lahan juga perlu diakomodasi dan dikembangkan.
Mendukung petani kecil dengan menyediakan teknologi dan pengetahuan tentang praktik pertanian tanpa bakar, seperti penggunaan pupuk organik, kompos, atau alat berat mini untuk pembersihan lahan. Memberikan insentif bagi petani yang menerapkan praktik ini.
Memperkuat kapasitas lembaga-lembaga terkait, seperti Manggala Agni, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan dinas kehutanan, dalam hal sumber daya manusia, peralatan, dan koordinasi.
Ketika kebakaran terjadi, respons cepat dan terkoordinasi sangat penting untuk meminimalkan dampak.
Pengerahan tim pemadam kebakaran darat dari Manggala Agni, TNI, Polri, BPBD, relawan, dan masyarakat untuk memadamkan api secara langsung. Ini melibatkan pembuatan sekat bakar, pendinginan area terbakar, dan pemadaman bara api di dalam gambut.
Menggunakan helikopter atau pesawat khusus untuk menjatuhkan air (water bombing) ke titik-titik api yang sulit dijangkau dari darat atau api yang telah meluas. Penargetan yang akurat dan ketersediaan pesawat menjadi krusial.
Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dilakukan dengan menyemai awan menggunakan bahan kimia (seperti garam) untuk merangsang turunnya hujan. Metode ini sering digunakan di musim kemarau ekstrem untuk membantu membasahi lahan dan mengurangi titik panas.
Membentuk posko komando terpadu yang melibatkan berbagai instansi (pemerintah daerah, militer, kepolisian, kementerian terkait, dan swasta) untuk memastikan koordinasi yang efektif dalam pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya selama operasi pemadaman.
Memastikan ketersediaan logistik dan peralatan pemadam kebakaran yang memadai dan siap digunakan, termasuk pompa air, selang, alat pelindung diri (APD), dan kendaraan operasional.
Membuka posko kesehatan, menyediakan masker gratis, dan memberikan layanan medis bagi masyarakat yang terdampak kabut asap, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.
Penanganan KARHUTLA membutuhkan sinergi dari berbagai pihak.
Pemerintah, melalui kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Daerah, memiliki peran sentral dalam merumuskan kebijakan, mengalokasikan anggaran, mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanggulangan, serta menegakkan hukum.
Perusahaan perkebunan dan HTI memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah kebakaran di area konsesi mereka dan di sekitar wilayah operasinya. Mereka harus menerapkan kebijakan tanpa bakar (zero burning policy), membangun sistem pemantauan kebakaran internal, dan berkontribusi dalam upaya pencegahan dan pemadaman di tingkat lokal. Keterlibatan perusahaan dalam Corporate Social Responsibility (CSR) untuk edukasi masyarakat juga penting.
LSM lingkungan berperan dalam advokasi kebijakan, pemantauan independen, pendampingan masyarakat, dan proyek restorasi gambut. Akademisi dan peneliti berkontribusi melalui riset untuk memahami lebih dalam penyebab dan dampak KARHUTLA, serta mengembangkan inovasi teknologi untuk deteksi dini dan pemadaman.
Masyarakat adat dan lokal memiliki kearifan lokal dalam mengelola lahan secara berkelanjutan yang perlu diakui dan diberdayakan. Keterlibatan mereka dalam Masyarakat Peduli Api (MPA) adalah aset penting dalam sistem peringatan dini dan respons awal.
Negara-negara tetangga dan organisasi internasional dapat memberikan dukungan teknis, finansial, dan keahlian dalam penanganan KARHUTLA, terutama dalam menghadapi kabut asap transnasional dan upaya mitigasi perubahan iklim global.
Meskipun upaya telah digencarkan, penanganan KARHUTLA masih menghadapi berbagai tantangan signifikan.
Indonesia memiliki wilayah hutan dan lahan yang sangat luas, menyulitkan pengawasan dan pemantauan secara menyeluruh, terutama di daerah terpencil.
Keterbatasan anggaran, personel terlatih, dan peralatan modern seringkali menjadi hambatan dalam operasi pencegahan dan pemadaman, terutama di tingkat daerah.
Lemahnya penegakan hukum, adanya dugaan praktik korupsi, serta kesulitan dalam mengidentifikasi dan membuktikan keterlibatan pihak-pihak tertentu (terutama korporasi) dalam pembakaran, menghambat pemberian efek jera.
Praktik pembakaran lahan yang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi di beberapa daerah sulit untuk dihilangkan tanpa solusi alternatif yang layak dan diterima masyarakat.
Perubahan iklim menyebabkan anomali cuaca, seperti musim kemarau yang semakin panjang dan ekstrem, meningkatkan risiko dan intensitas KARHUTLA.
Adanya tarik-menarik antara kepentingan ekonomi (perluasan perkebunan) dengan kepentingan lingkungan seringkali mempersulit upaya pencegahan dan penegakan hukum.
Data mengenai kepemilikan lahan, izin konsesi, dan pemetaan gambut yang belum terintegrasi sepenuhnya dapat menyulitkan perencanaan dan koordinasi.
Melihat kompleksitas dan dampak yang ditimbulkan, penanganan KARHUTLA di masa depan harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, adaptif, dan berkelanjutan. Fokus tidak lagi hanya pada pemadaman, tetapi bergeser ke arah pencegahan berbasis ekosistem dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah perlu memperkuat tata kelola lahan dan hutan, termasuk moratorium izin baru di lahan gambut dan hutan primer, penataan kembali izin konsesi yang bermasalah, serta penguatan pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan.
Pemanfaatan teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan (AI) untuk analisis data satelit yang lebih akurat, drone untuk patroli dan pemantauan, serta sistem peringatan dini berbasis IoT (Internet of Things) dapat meningkatkan efektivitas deteksi dan respons.
Prioritas harus diberikan pada upaya restorasi ekosistem yang rusak, terutama lahan gambut, melalui rewetting (pembasahan kembali), revegetasi dengan spesies asli, dan revitalisasi mata pencarian masyarakat yang selaras dengan keberlanjutan ekosistem gambut.
Memberikan alternatif ekonomi yang berkelanjutan dan non-bakar bagi masyarakat lokal, seperti pengembangan agribisnis ramah lingkungan, ekowisata, atau budidaya yang tidak merusak hutan. Ini akan mengurangi ketergantungan pada praktik pembakaran lahan.
Mengintegrasikan pendidikan lingkungan, termasuk isu KARHUTLA, ke dalam kurikulum sekolah dan program-program komunitas untuk membangun kesadaran dan etika lingkungan sejak dini.
Mengingat sifat transnasional kabut asap, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara tetangga dan forum internasional untuk berbagi pengetahuan, teknologi, dan sumber daya dalam penanganan KARHUTLA.
Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) adalah masalah lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan yang kompleks dan berkelanjutan di Indonesia. Penyebabnya didominasi oleh faktor manusia yang berinteraksi dengan kondisi alam yang rentan, seperti musim kemarau panjang dan lahan gambut yang kering. Dampak yang ditimbulkannya bersifat multidimensional, merusak keanekaragaman hayati, mempercepat perubahan iklim, mengancam kesehatan masyarakat, dan merugikan perekonomian dalam skala besar.
Penanganan KARHUTLA memerlukan komitmen kuat dari seluruh pihak: pemerintah, korporasi, masyarakat, akademisi, dan komunitas internasional. Strategi pencegahan, seperti edukasi, pengawasan ketat, pengelolaan gambut berkelanjutan, dan penegakan hukum yang tegas, adalah tulang punggung dari upaya ini. Sementara itu, respons darurat yang cepat dan terkoordinasi sangat penting saat kebakaran terjadi. Dengan pendekatan yang holistik, adaptif, dan melibatkan semua stakeholder, diharapkan Indonesia dapat secara efektif mengurangi risiko dan dampak KARHUTLA, demi menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Masa depan tanpa KARHUTLA bukanlah mimpi yang mustahil. Dengan inovasi, kolaborasi, dan kemauan politik yang kuat, serta dukungan aktif dari seluruh lapisan masyarakat, kita dapat mewujudkan Indonesia yang bebas dari kabut asap dan memiliki ekosistem hutan serta lahan yang lestari. Mari bersama-sama menjadi bagian dari solusi untuk menjaga Bumi kita.