Dalam bentangan luas eksistensi manusia, terdapat sebuah fenomena universal yang secara tak kasat mata namun kuat mengikat setiap aspek kehidupan kita: kelaziman. Istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang menjadi lumrah, umum, atau biasa terjadi dalam suatu konteks, baik itu masyarakat, budaya, kelompok, atau bahkan rutinitas pribadi. Kelaziman adalah fondasi di mana peradaban dibangun, interaksi sosial diatur, dan ekspektasi dibentuk. Tanpa kelaziman, dunia akan menjadi kekacauan yang tak terstruktur, penuh ketidakpastian, di mana setiap tindakan memerlukan pertimbangan mendalam dari nol.
Artikel ini akan menyelami kedalaman konsep kelaziman, menjelajahi asal-usulnya, mekanisme pembentukannya, perannya dalam berbagai dimensi kehidupan, serta dampaknya – baik positif maupun negatif – terhadap individu dan kolektif. Kita akan melihat bagaimana kelaziman berkembang, mengapa ia begitu resisten terhadap perubahan, dan bagaimana pada akhirnya ia pun bisa tergoyahkan dan digantikan oleh norma-norma baru.
Apa Itu Kelaziman? Definisi dan Spektrumnya
Secara etimologis, "kelaziman" berasal dari kata dasar "lazim" yang berarti sudah biasa, sudah umum, atau sudah menjadi kebiasaan. Dalam konteks yang lebih luas, kelaziman dapat didefinisikan sebagai pola perilaku, keyakinan, nilai, atau praktik yang secara luas diterima, diharapkan, dan seringkali dipatuhi oleh mayoritas anggota suatu kelompok atau masyarakat. Ini adalah norma tak tertulis yang membentuk kerangka interaksi sosial dan ekspektasi kolektif. Kelaziman bisa bersifat sangat formal, seperti hukum dan peraturan, atau sangat informal, seperti etiket makan atau cara berpakaian.
1. Sifat dan Karakteristik Kelaziman
- Terulang dan Berulang: Inti dari kelaziman adalah repetisi. Sesuatu menjadi lazim karena terus-menerus dilakukan atau terjadi.
- Diterima Secara Kolektif: Tidak hanya dilakukan oleh satu individu, tetapi disetujui atau dipatuhi oleh banyak orang.
- Ekspektasi Sosial: Ada harapan bahwa orang akan bertindak sesuai dengan kelaziman. Pelanggaran seringkali memicu sanksi sosial atau bahkan hukum.
- Relatif dan Kontekstual: Apa yang lazim di satu tempat atau waktu, mungkin tidak lazim di tempat atau waktu lain. Misalnya, cara makan menggunakan tangan lazim di beberapa budaya, tetapi tidak di budaya lain.
- Invisibel tapi Kuat: Seringkali tidak disadari sampai dilanggar. Kekuatannya terletak pada penerimaan bawah sadar dan internalisasi oleh individu.
- Fleksibel dan Statis: Kelaziman bisa sangat resisten terhadap perubahan (statis), tetapi juga bisa beradaptasi dan berubah seiring waktu (fleksibel).
2. Perbedaan dengan Konsep Serupa
Meskipun sering digunakan secara bergantian, penting untuk membedakan kelaziman dengan konsep lain yang terkait erat:
- Kebiasaan: Merujuk pada pola perilaku individu. Kelaziman adalah kebiasaan yang terinternalisasi dan diadopsi oleh kolektif.
- Tradisi: Kelaziman bisa menjadi tradisi, tetapi tidak semua kelaziman adalah tradisi. Tradisi memiliki konotasi historis dan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi.
- Norma Sosial: Norma sosial adalah aturan tak tertulis tentang perilaku yang diterima dalam masyarakat. Kelaziman adalah manifestasi konkret dari norma sosial tersebut dalam praktik sehari-hari.
- Adat Istiadat: Serupa dengan tradisi, adat istiadat adalah norma perilaku yang spesifik untuk kelompok etnis atau budaya tertentu, seringkali dengan elemen ritualistik. Kelaziman lebih luas dari adat istiadat, mencakup praktik-praktik yang tidak selalu bersifat budaya atau ritual.
Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Kelaziman
Bagaimana sesuatu menjadi lazim? Proses ini kompleks dan melibatkan berbagai faktor, mulai dari psikologi individu hingga dinamika sosial yang lebih besar.
1. Repetisi dan Pengulangan
Dasar utama pembentukan kelaziman adalah pengulangan. Ketika suatu tindakan, respons, atau pola pikir terus-menerus diulang dalam suatu konteks, ia mulai mengukir jalur neurologis di otak individu (menjadi kebiasaan) dan jalur sosial dalam kelompok (menjadi kelaziman). Contoh sederhana adalah cara orang mengantre. Meskipun mungkin tidak ada aturan tertulis yang ketat, pengalaman berulang membentuk ekspektasi bahwa mengantre adalah cara yang "lazim" untuk menunggu giliran.
2. Imitasi dan Pembelajaran Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang belajar melalui observasi dan imitasi. Anak-anak meniru orang tua dan teman sebaya, pekerja baru meniru rekan kerja, dan pendatang baru di suatu budaya mengamati dan meniru penduduk lokal. Proses ini, yang dikenal sebagai pembelajaran sosial, memainkan peran krusial dalam menyebarkan dan memperkuat kelaziman. Ketika kita melihat mayoritas melakukan sesuatu, kita cenderung berasumsi bahwa itu adalah cara yang "benar" atau "diterima" untuk melakukannya.
3. Penguatan dan Sanksi Sosial
Kelaziman diperkuat melalui mekanisme hadiah dan hukuman sosial. Ketika seseorang bertindak sesuai kelaziman, mereka mungkin menerima persetujuan, pujian, atau penerimaan. Sebaliknya, pelanggaran kelaziman dapat menimbulkan ketidaksetujuan, ejekan, pengucilan, atau bahkan hukuman yang lebih formal. Misalnya, mengucapkan "tolong" dan "terima kasih" adalah kelaziman yang diperkuat oleh persetujuan sosial. Berbicara dengan suara keras di perpustakaan adalah pelanggaran kelaziman yang mungkin dikenakan teguran.
4. Kebutuhan Fungsional dan Efisiensi
Banyak kelaziman muncul karena kebutuhan fungsional. Mereka menawarkan cara yang efisien dan prediktif untuk menyelesaikan tugas atau berinteraksi. Contohnya adalah kelaziman menggunakan lampu lalu lintas untuk mengatur arus kendaraan. Tanpa kelaziman ini, kekacauan akan terjadi di setiap persimpangan. Dalam bisnis, kelaziman dalam prosedur operasional standar (SOP) meningkatkan efisiensi dan mengurangi kesalahan.
5. Konsensus dan Legitimasi Kolektif
Seiring waktu, kelaziman mendapatkan legitimasi kolektif. Mereka menjadi "cara kita melakukan sesuatu di sini." Konsensus ini mungkin tidak pernah dibahas atau diputuskan secara eksplisit, tetapi tumbuh dari akumulasi praktik dan penerimaan. Ketika suatu praktik telah berlangsung cukup lama dan dipatuhi oleh sebagian besar, ia menjadi tertanam dalam kain sosial dan dianggap sebagai bagian alami dari tatanan. Ini mirip dengan konsep kebenaran konsensus, di mana sesuatu dianggap benar karena sebagian besar orang menyetujuinya.
Dimensi Kelaziman: Dari Individu hingga Global
Kelaziman tidak terbatas pada satu domain kehidupan; ia menyusup ke setiap lapisan eksistensi manusia. Memahami berbagai dimensinya membantu kita mengapresiasi jangkauan dan kekuatannya.
1. Kelaziman Pribadi (Kebiasaan)
Pada tingkat individu, kelaziman termanifestasi sebagai kebiasaan. Bangun pagi pada waktu yang sama, menyikat gigi setelah makan, minum kopi di pagi hari – ini adalah kelaziman pribadi yang membentuk rutinitas dan struktur hidup kita. Meskipun bersifat personal, kebiasaan ini seringkali dipengaruhi oleh kelaziman sosial (misalnya, jam kerja standar mempengaruhi kebiasaan bangun pagi).
2. Kelaziman Keluarga
Setiap keluarga memiliki kelaziman uniknya sendiri. Cara makan bersama, tradisi liburan, aturan rumah tangga, atau cara berkomunikasi adalah contoh kelaziman keluarga. Ini membentuk identitas keluarga dan menyediakan lingkungan yang dapat diprediksi bagi anggotanya.
3. Kelaziman Sosial dan Budaya
Ini adalah dimensi kelaziman yang paling banyak dipelajari. Meliputi:
- Etiket: Cara makan, bersalaman, berpakaian untuk acara tertentu.
- Bahasa: Struktur tata bahasa, idiom, cara sapaan yang lazim.
- Nilai dan Moral: Apa yang dianggap baik/buruk, pantas/tidak pantas dalam suatu masyarakat.
- Ritual dan Upacara: Cara merayakan pernikahan, pemakaman, atau festival keagamaan.
- Peran Gender: Harapan tentang bagaimana pria dan wanita seharusnya berperilaku (meskipun ini semakin banyak ditantang).
Kelaziman budaya sangat kuat dan seringkali diwariskan lintas generasi, membentuk inti identitas suatu kelompok.
4. Kelaziman Profesional dan Organisasi
Di lingkungan kerja, kelaziman menentukan cara kerja, komunikasi, dan hierarki. Ini termasuk:
- Prosedur Operasional Standar (SOP): Cara lazim untuk melakukan tugas tertentu.
- Etika Kerja: Harapan tentang perilaku profesional.
- Budaya Perusahaan: Cara karyawan berinteraksi, mengambil keputusan, atau merayakan kesuksesan.
- Jargon: Istilah-istilah khusus yang lazim digunakan dalam industri atau profesi tertentu.
Kelaziman ini penting untuk efisiensi dan kohesi dalam organisasi.
5. Kelaziman Teknologi
Seiring perkembangan teknologi, kelaziman baru terus bermunculan. Contohnya:
- Antarmuka Pengguna (UI/UX): Kelaziman tata letak tombol, ikon, dan navigasi pada aplikasi atau situs web. Tombol "back" di kiri atas, ikon "keranjang belanja", atau gerakan "swipe" adalah kelaziman digital.
- Protokol Komunikasi: Cara lazim kita menggunakan email, pesan instan, atau panggilan video.
- Media Sosial: Kelaziman dalam berinteraksi, berbagi konten, atau menjaga privasi di platform digital.
Kelaziman teknologi berkembang sangat cepat dan seringkali bersifat global.
6. Kelaziman Politik dan Hukum
Sistem hukum dan politik juga sangat bergantung pada kelaziman:
- Hukum dan Peraturan: Sebagian besar hukum adalah formalisasi dari kelaziman sosial yang kuat.
- Konvensi Politik: Praktik-praktik yang tidak tertulis namun dihormati dalam pemerintahan (misalnya, cara penunjukan kabinet).
- Sistem Pemilu: Cara lazim suatu negara mengadakan pemilihan umum.
7. Kelaziman Global
Dalam dunia yang semakin terhubung, kelaziman global mulai terbentuk. Contohnya adalah penggunaan Bahasa Inggris sebagai lingua franca, adopsi mata uang tertentu untuk transaksi internasional, atau norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara luas. Kelaziman ini seringkali hasil dari kesepakatan internasional atau dominasi budaya tertentu.
Dampak Positif Kelaziman: Fondasi Keteraturan dan Kemajuan
Meskipun kadang dianggap membatasi, kelaziman memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan keteraturan dan memungkinkan kemajuan.
1. Menciptakan Prediktabilitas dan Keteraturan
Kelaziman adalah obat penawar bagi kekacauan. Mereka memungkinkan kita untuk memprediksi perilaku orang lain dan membuat keputusan berdasarkan ekspektasi yang masuk akal. Ketika kita tahu apa yang lazim, kita merasa lebih aman dan nyaman. Misalnya, kelaziman bahwa lampu merah berarti berhenti memungkinkan jutaan orang berbagi jalan raya dengan relatif aman.
2. Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas
Ketika tindakan menjadi lazim, mereka tidak perlu dipikirkan ulang setiap saat. Ini menghemat energi kognitif dan waktu. Dalam skala yang lebih besar, kelaziman dalam prosedur bisnis atau teknologi memungkinkan sistem berjalan dengan lancar dan efisien. Bayangkan betapa tidak efisiennya jika setiap pengguna harus mempelajari antarmuka aplikasi dari awal setiap kali mereka menggunakannya.
3. Memfasilitasi Komunikasi dan Interaksi Sosial
Bahasa, etiket, dan ekspresi non-verbal adalah kelaziman yang memungkinkan kita berkomunikasi secara efektif. Tanpa pemahaman bersama tentang makna kata atau isyarat, interaksi akan sangat sulit. Kelaziman memberikan "bahasa" bersama yang melampaui kata-kata.
4. Membangun Identitas dan Kohesi Sosial
Kelaziman bersama membentuk rasa memiliki dan identitas kelompok. Apakah itu kelaziman budaya, profesional, atau hobi, praktik-praktik yang dibagi bersama menciptakan ikatan dan membedakan satu kelompok dari yang lain. Ini memperkuat kohesi sosial dan rasa komunitas.
5. Menyediakan Fondasi untuk Inovasi
Meskipun kelaziman seringkali berkonotasi stagnasi, ironisnya, ia juga menyediakan fondasi yang stabil di mana inovasi dapat dibangun. Dengan memahami apa yang lazim, inovator dapat mengidentifikasi celah, masalah, atau area di mana kelaziman dapat ditingkatkan atau ditantang. Banyak inovasi sukses adalah perubahan pada kelaziman yang sudah ada, bukan penciptaan dari nol.
6. Mengurangi Ambigu dan Konflik
Dalam situasi sosial, kelaziman seringkali berfungsi sebagai panduan untuk mengurangi ambiguitas tentang bagaimana seseorang harus bertindak. Ketika semua orang mengikuti kelaziman yang sama, potensi kesalahpahaman atau konflik karena perbedaan ekspektasi dapat diminimalkan.
Sisi Gelap Kelaziman: Tantangan dan Batasan
Di balik manfaatnya, kelaziman juga memiliki potensi untuk membatasi, menindas, dan menghambat kemajuan.
1. Resistensi Terhadap Perubahan dan Stagnasi
Sifat kelaziman yang tertanam kuat menjadikannya sangat resisten terhadap perubahan, bahkan ketika perubahan itu diperlukan. "Ini adalah cara kita selalu melakukannya" menjadi penghalang yang kuat terhadap inovasi atau adaptasi terhadap kondisi baru. Organisasi atau masyarakat yang terlalu terpaku pada kelaziman lama mungkin gagal beradaptasi dan akhirnya tertinggal.
2. Konservatisme dan Prasangka
Kelaziman bisa menjadi sumber prasangka dan diskriminasi. Ketika suatu praktik atau pandangan menjadi lazim, apa pun yang menyimpang dari itu dapat dicap sebagai "tidak normal," "asing," atau "salah." Ini dapat memicu xenofobia, rasisme, seksisme, dan bentuk-bentuk intoleransi lainnya. Misalnya, kelaziman peran gender tradisional bisa membatasi potensi individu.
3. Menekan Individu dan Kebebasan Berekspresi
Tekanan untuk mengikuti kelaziman bisa sangat kuat, menyebabkan individu mengabaikan atau menyembunyikan identitas asli mereka demi kesesuaian. Ini membatasi kebebasan berekspresi, kreativitas, dan keragaman. Sanksi sosial bagi mereka yang berani berbeda bisa sangat berat, mulai dari ejekan hingga pengucilan.
4. Kesalahan dan Ketidakadilan yang Diabadikan
Tidak semua kelaziman itu baik atau adil. Kelaziman bisa jadi didasarkan pada asumsi yang salah, ketidakadilan historis, atau struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Ketika kelaziman seperti ini diabadikan, mereka terus-menerus merugikan kelompok-kelompok tertentu dan menghambat keadilan sosial. Contohnya adalah kelaziman perlakuan yang berbeda terhadap kelompok minoritas atau kelaziman praktik-praktik bisnis yang tidak etis.
5. Blind Spot dan Kesulitan Melihat Alternatif
Ketika sesuatu menjadi sangat lazim, ia bisa menjadi "tak terlihat." Kita berhenti mempertanyakannya atau bahkan mempertimbangkan adanya cara lain untuk melakukan sesuatu. Ini menciptakan titik buta (blind spot) yang menghambat pemikiran kritis dan eksplorasi alternatif yang mungkin lebih baik.
Perubahan dan Disrupsi Kelaziman
Meskipun resisten, kelaziman bukanlah sesuatu yang abadi. Mereka dapat dan memang berubah. Proses perubahan ini seringkali lambat dan evolusioner, tetapi kadang-kadang bisa juga cepat dan revolusioner.
1. Faktor-faktor Pendorong Perubahan
- Inovasi Teknologi: Penemuan baru (internet, smartphone, AI) secara fundamental mengubah cara kita berinteraksi, bekerja, dan hidup, menciptakan kelaziman baru dan menghancurkan yang lama.
- Krisis dan Bencana: Peristiwa besar (pandemi, perang, bencana alam) dapat memaksa masyarakat untuk mengadopsi kelaziman baru secara cepat demi kelangsungan hidup atau pemulihan. Pandemi COVID-19, misalnya, membuat kelaziman bekerja dari rumah dan pembelajaran daring menjadi hal umum.
- Gerakan Sosial dan Aktivisme: Kelompok-kelompok yang merasa tertindas oleh kelaziman yang ada dapat secara aktif menantangnya, seperti gerakan hak sipil, feminisme, atau gerakan lingkungan.
- Globalisasi dan Pertukaran Budaya: Interaksi antarbudaya yang meningkat menyebabkan peminjaman dan adaptasi kelaziman dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
- Perubahan Demografi: Perubahan komposisi usia, etnis, atau gender dalam suatu populasi dapat memicu perubahan kelaziman untuk mengakomodasi kebutuhan dan pandangan kelompok yang sedang tumbuh.
- Ilmu Pengetahuan dan Pencerahan: Penemuan ilmiah atau pemahaman filosofis baru dapat menggoyahkan kelaziman yang didasarkan pada mitos atau kesalahpahaman.
2. Tahapan Perubahan Kelaziman
Perubahan kelaziman seringkali mengikuti pola tertentu:
- Anomali/Disrupsi: Sesuatu yang tidak sesuai dengan kelaziman muncul, baik itu inovasi, krisis, atau ide baru.
- Penolakan/Resistensi: Kelaziman yang ada mencoba menekan atau mengabaikan anomali.
- Adopsi oleh Minoritas: Beberapa individu atau kelompok mulai mengadopsi praktik atau ide baru.
- Difusi: Jika praktik baru terbukti bermanfaat atau relevan, ia mulai menyebar secara bertahap.
- Legitimasi dan Internalisasi: Praktik baru mendapatkan penerimaan yang lebih luas, menjadi norma, dan akhirnya menjadi kelaziman baru.
- Konsolidasi: Kelaziman baru mengukuhkan dirinya dan menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan sosial.
Proses ini bisa memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun, tergantung pada sifat kelaziman dan kekuatan yang mendorong perubahan.
Kelaziman dalam Konteks Spesifik: Beberapa Contoh Mendalam
Untuk lebih memahami relevansi kelaziman, mari kita lihat beberapa contoh di berbagai bidang.
1. Kelaziman dalam Arsitektur dan Tata Kota
Bayangkan kota-kota yang kita huni. Ada kelaziman yang kuat dalam cara bangunan dirancang dan kota ditata. Contohnya, kelaziman memiliki jalan yang jelas, trotoar untuk pejalan kaki, area komersial terpisah dari area perumahan. Kelaziman ini berkembang dari kebutuhan fungsional (transportasi, sanitasi, keamanan) dan estetika. Mengapa sebagian besar rumah memiliki pintu di depan? Itu adalah kelaziman. Mengapa sebagian besar bangunan bertingkat memiliki tangga atau lift? Karena itu adalah kelaziman yang memastikan aksesibilitas dan keselamatan. Ketika kelaziman ini dilanggar (misalnya, bangunan tanpa jendela di tempat yang seharusnya), itu akan terasa aneh dan tidak berfungsi.
Perkembangan teknologi dan perubahan sosial dapat mengubah kelaziman ini. Munculnya kendaraan pribadi di awal abad ke-20 mengubah kelaziman tata kota, yang kini berpusat pada jalan raya lebar dan lahan parkir. Saat ini, dengan meningkatnya kesadaran lingkungan dan mobilitas berkelanjutan, ada dorongan untuk mengubah kelaziman menuju kota yang lebih ramah pejalan kaki dan transportasi publik.
2. Kelaziman dalam Dunia Pendidikan
Sistem pendidikan adalah sarang kelaziman. Mulai dari struktur kelas (satu guru di depan, siswa duduk berderet), kurikulum yang terstandardisasi, metode pengajaran (ceramah, ujian), hingga jadwal sekolah (libur panjang di tengah tahun). Semua ini adalah kelaziman yang telah terbentuk selama berabad-abad, seringkali berakar pada era industrialisasi yang membutuhkan tenaga kerja yang terstandardisasi.
Namun, kelaziman ini juga ditantang oleh inovasi. Munculnya teknologi pendidikan, konsep belajar mandiri, pendidikan berbasis proyek, atau sekolah tanpa dinding adalah upaya untuk mendisrupsi kelaziman lama. Pandemi COVID-19 secara paksa mendorong adopsi kelaziman baru, yaitu pembelajaran jarak jauh, yang sebelumnya dianggap anomali oleh banyak institusi.
3. Kelaziman dalam Bahasa dan Komunikasi Digital
Ketika internet pertama kali muncul, tidak ada kelaziman tentang bagaimana kita harus berkomunikasi di dalamnya. Namun, seiring waktu, kelaziman pun terbentuk: penggunaan emoji, singkatan seperti "LOL" atau "BTW", format pesan instan, dan cara berbagi tautan. Bahkan struktur email (subjek, salam, isi, penutup) adalah kelaziman yang kuat.
Munculnya media sosial memperkenalkan kelaziman baru seperti penggunaan hashtag (#), mention (@), atau "stories" yang bersifat sementara. Kelaziman ini sangat dinamis dan dapat berubah dengan cepat seiring platform baru muncul atau fitur baru diperkenalkan. Siapa yang pernah menyangka bahwa "menggeser ke atas" (swipe up) akan menjadi kelaziman untuk melihat lebih banyak konten?
4. Kelaziman Ekonomi dan Bisnis
Dunia bisnis beroperasi berdasarkan serangkaian kelaziman yang rumit. Sistem moneter (penggunaan mata uang fiat), cara bernegosiasi, kontrak tertulis, siklus pelaporan keuangan triwulanan, dan praktik pemasaran adalah contoh kelaziman ekonomi. Bahkan konsep "bekerja 9-ke-5" adalah kelaziman yang dalam beberapa tahun terakhir mulai digoyahkan oleh model kerja fleksibel.
Munculnya e-commerce dan ekonomi berbagi (sharing economy) telah menantang banyak kelaziman bisnis. Kelaziman memiliki toko fisik dan jam operasional terbatas digantikan oleh kelaziman belanja daring 24/7. Kelaziman memiliki aset (mobil, rumah) untuk digunakan digantikan oleh kelaziman menyewa atau berbagi aset tersebut.
5. Kelaziman dalam Kesehatan dan Kedokteran
Praktik kedokteran dan kesehatan juga dipandu oleh kelaziman. Kelaziman konsultasi tatap muka dengan dokter, penggunaan resep tertulis, prosedur operasi standar, atau rutinitas pemeriksaan kesehatan tahunan. Kelaziman ini didasarkan pada bukti ilmiah dan praktik terbaik yang telah terakumulasi selama bertahun-abad.
Namun, teknologi dan perubahan pandangan masyarakat juga mengubah kelaziman ini. Telemedisin, penggunaan aplikasi pelacak kesehatan, dan fokus pada pencegahan versus pengobatan adalah contoh bagaimana kelaziman dalam kesehatan berkembang. Bahkan kelaziman tentang apa yang dianggap "sehat" dapat berubah seiring dengan pemahaman ilmiah yang lebih baik tentang nutrisi atau gaya hidup.
Perspektif Filosofis dan Sosiologis tentang Kelaziman
Para pemikir dari berbagai disiplin ilmu telah lama bergulat dengan konsep kelaziman, norma, dan kebiasaan.
1. Émile Durkheim dan Fakta Sosial
Sosiolog Prancis Émile Durkheim memperkenalkan konsep fakta sosial, yang sangat erat kaitannya dengan kelaziman. Bagi Durkheim, fakta sosial adalah "cara bertindak, berpikir, dan merasa yang bersifat eksternal bagi individu dan memaksakan diri padanya melalui kekuatan koersif." Kelaziman adalah manifestasi konkret dari fakta sosial ini. Mereka adalah struktur sosial yang ada di luar individu, namun membentuk dan memengaruhi perilaku individu. Misalnya, kelaziman berbicara bahasa Indonesia adalah fakta sosial yang memaksa setiap individu di Indonesia untuk mempelajarinya agar dapat berinteraksi secara efektif.
2. Pierre Bourdieu dan Habitus
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis lainnya, mengembangkan konsep habitus, yaitu sistem disposisi yang diinternalisasi oleh individu melalui pengalaman sosial. Habitus ini membentuk cara kita merasakan, berpikir, dan bertindak, yang kemudian menghasilkan praktik-praktik yang lazim dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus adalah jembatan antara struktur sosial dan tindakan individu. Kelaziman, dalam pandangan Bourdieu, adalah ekspresi dari habitus kolektif suatu kelompok, yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi secara "alami" dalam ruang sosial mereka.
3. Michel Foucault dan Disiplin
Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan sosial, melihat kelaziman sebagai bagian dari mekanisme kekuasaan dan disiplin. Dalam karyanya, ia menunjukkan bagaimana norma dan praktik yang lazim (misalnya, di penjara, rumah sakit, atau sekolah) bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga alat untuk mengendalikan, mengawasi, dan membentuk individu agar sesuai dengan standar yang diinginkan oleh kekuasaan dominan. Kelaziman di sini bukan hanya tentang apa yang "normal," tetapi apa yang "dibuat normal" melalui praktik-praktik disipliner.
4. John Searle dan Fakta Institusional
Filsuf John Searle membahas bagaimana beberapa kelaziman membentuk fakta institusional. Ini adalah fakta-fakta yang ada bukan karena sifat fisik alami dunia, tetapi karena kesepakatan kolektif dan pengakuan sosial. Contohnya adalah uang, pernikahan, atau pemerintah. Sebuah lembaran kertas adalah uang bukan karena sifat fisiknya, tetapi karena kita secara kolektif setuju bahwa itu adalah alat tukar. Kelaziman dalam penggunaan uang, pelaksanaan pernikahan, atau kepatuhan terhadap hukum adalah apa yang mempertahankan fakta-fakta institusional ini.
Menyongsong Masa Depan Kelaziman: Adaptasi di Era Perubahan Cepat
Dunia kita saat ini ditandai oleh perubahan yang begitu cepat, didorong oleh kemajuan teknologi, globalisasi, dan tantangan lingkungan. Lalu, bagaimana masa depan kelaziman? Akankah mereka bertahan, atau akankah mereka menjadi semakin cair dan sementara?
1. Kelaziman yang Lebih Adaptif
Mungkin kita akan melihat pergeseran menuju kelaziman yang lebih adaptif dan fleksibel. Di era "gig economy" dan kerja jarak jauh, kelaziman jam kerja tradisional atau bahkan kantor fisik telah berubah. Kelaziman konsumsi berita melalui media cetak telah digantikan oleh media digital. Masyarakat yang berhasil adalah mereka yang dapat beradaptasi dengan cepat, membentuk kelaziman baru yang sesuai dengan tuntutan zaman.
2. Kelaziman Hibrida dan Pluralitas
Dengan globalisasi dan multikulturalisme, kita mungkin akan hidup dalam dunia di mana ada pluralitas kelaziman yang hidup berdampingan. Seseorang mungkin mengikuti kelaziman budaya asalnya di rumah, kelaziman profesional di kantor, dan kelaziman global di dunia maya. Kemampuan untuk menavigasi dan menghormati berbagai kelaziman akan menjadi keterampilan penting.
3. Tantangan oleh Kecerdasan Buatan dan Otomatisasi
Kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi akan menjadi pendorong perubahan kelaziman yang signifikan. Algoritma akan mulai membentuk kelaziman baru dalam pengambilan keputusan, interaksi pelanggan, atau bahkan cara kita belajar dan bekerja. Misalnya, kelaziman mencari informasi secara manual di buku atau internet mungkin digantikan oleh kelaziman meminta jawaban langsung dari AI. Ini akan menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang menetapkan kelaziman ini dan apakah mereka selaras dengan nilai-nilai manusia.
4. Kelaziman Etis dan Berkelanjutan
Dengan krisis iklim dan masalah sosial yang mendesak, ada dorongan untuk membentuk kelaziman baru yang lebih etis dan berkelanjutan. Kelaziman konsumsi berlebihan mungkin akan digantikan oleh kelaziman daur ulang, produksi lokal, atau konsumsi yang bertanggung jawab. Kelaziman perusahaan yang hanya berfokus pada keuntungan mungkin akan bergeser ke kelaziman yang mengintegrasikan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
5. Peran Individu dalam Membentuk Kelaziman
Meskipun kelaziman terasa eksternal dan memaksakan, setiap individu memiliki peran dalam memelihara atau mengubahnya. Setiap kali kita memilih untuk mengikuti atau menantang suatu kelaziman, kita berkontribusi pada evolusi kolektifnya. Kesadaran akan kekuatan kelaziman adalah langkah pertama untuk menjadi agen perubahan yang disengaja, bukan hanya pengikut pasif.
Kesimpulan
Kelaziman adalah serat yang tak terlihat namun kuat, menganyam setiap aspek kehidupan kita, dari hal-hal yang paling pribadi hingga dinamika global. Ia menyediakan kerangka kerja untuk keteraturan, efisiensi, dan kohesi sosial, memungkinkan peradaban untuk berfungsi dan berkembang. Namun, kelaziman juga bisa menjadi penjara bagi inovasi, keadilan, dan kebebasan individu, mengabadikan prasangka dan menghambat kemajuan yang diperlukan.
Memahami kelaziman bukan hanya tentang mengidentifikasi apa yang biasa, tetapi juga tentang mempertanyakan mengapa itu biasa. Dengan memeriksa asal-usul, fungsi, dan dampaknya, kita dapat lebih bijaksana dalam memelihara kelaziman yang melayani tujuan yang baik dan dengan berani menantang kelaziman yang sudah usang atau merugikan. Di tengah laju perubahan yang kian pesat, kemampuan untuk beradaptasi, membentuk, dan mereformasi kelaziman akan menjadi kunci bagi masyarakat yang tangguh dan berkembang.
Pada akhirnya, kelaziman adalah cerminan kolektif dari siapa kita, apa yang kita hargai, dan bagaimana kita memilih untuk menjalani hidup bersama. Dengan kesadaran dan niat, kita memiliki kekuatan untuk membentuk kelaziman masa depan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan membebaskan bagi semua.