Ketetapan MPR: Kekuatan Hukum, Sejarah, dan Peran Konstitusional Indonesia

Pendahuluan

Dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menempati posisi yang sangat strategis, dan salah satu produk hukum yang paling dikenal dari lembaga ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau yang sering disingkat TAP MPR. Ketetapan ini bukan sekadar keputusan formal; ia adalah cerminan dari dinamika politik, hukum, dan sosial yang telah membentuk arah perjalanan bangsa. Dari peran sentralnya sebagai penjaga Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era Orde Baru hingga posisinya yang mengalami redefinisi pasca-Reformasi, TAP MPR selalu menjadi titik fokus perdebatan dan interpretasi.

Memahami Ketetapan MPR memerlukan penelusuran sejarah yang cermat, analisis kedudukan hukumnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan, serta pemahaman akan implikasi politik dan sosial dari setiap ketetapan yang dikeluarkan. Perjalanan MPR sebagai lembaga negara dan produk hukumnya, Ketetapan MPR, telah mengalami transformasi signifikan, terutama dengan adanya amendemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Transformasi ini tidak hanya mengubah struktur dan fungsi MPR tetapi juga secara fundamental memengaruhi kekuatan mengikat dan kedudukan Ketetapan MPR itu sendiri.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Ketetapan MPR, dimulai dari definisi dasar, sejarah pembentukannya, evolusi kedudukannya dalam sistem hukum nasional, jenis-jenis ketetapan yang ada, hingga implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita akan melihat bagaimana Ketetapan MPR, yang dahulu dianggap sebagai norma hukum tertinggi setelah UUD, kini menempati posisi yang lebih spesifik, namun tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Diskusi juga akan mencakup beberapa ketetapan penting yang memiliki dampak jangka panjang serta kritik dan tantangan yang menyertainya.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam kepada pembaca mengenai Ketetapan MPR sebagai salah satu instrumen penting dalam sejarah konstitusional dan praktik ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran utuh tentang peran krusial Ketetapan MPR dalam membentuk fondasi dan arah kebijakan negara.

Apa Itu Ketetapan MPR? Definisi dan Karakteristik

Untuk memahami Ketetapan MPR, penting untuk memulai dengan definisi dasarnya. Secara umum, Ketetapan MPR adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan salah satu tugas dan wewenangnya. Namun, definisi ini mengalami evolusi seiring dengan perubahan konstitusional di Indonesia.

Definisi Pra-Amendemen UUD NRI 1945

Sebelum era Reformasi dan amendemen UUD NRI 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. Pada masa ini, Ketetapan MPR memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat, berada di bawah UUD 1945 tetapi di atas Undang-Undang (UU). Dalam konteks tersebut, Ketetapan MPR seringkali berisi haluan-haluan pokok negara seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden, atau materi-materi fundamental lainnya yang dianggap krusial bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.

Pasal 3 UUD NRI 1945 sebelum amendemen menyatakan bahwa "Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara." Frasa "menetapkan" ini ditafsirkan sebagai wewenang MPR untuk mengeluarkan Ketetapan. Oleh karena itu, Ketetapan MPR pada masa itu berfungsi sebagai norma dasar bagi pembentukan undang-undang dan kebijakan pemerintah di bawahnya.

Definisi Pasca-Amendemen UUD NRI 1945

Dengan adanya amendemen UUD NRI 1945, kedudukan MPR berubah secara fundamental. MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi, melainkan menjadi lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah Agung, dan lain-lain. Perubahan ini secara langsung memengaruhi kedudukan dan kekuatan hukum Ketetapan MPR.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (yang kemudian diganti oleh UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 15 Tahun 2019) tidak lagi memasukkan Ketetapan MPR sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan mengikat ke luar (regeling). Namun, undang-undang tersebut mengakui keberadaan Ketetapan MPR yang masih berlaku hingga dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang baru.

Secara substansial, pasca-amendemen, Ketetapan MPR lebih banyak berfungsi sebagai:

1. Keputusan yang bersifat penetapan: Menetapkan sesuatu yang bersifat internal bagi MPR atau yang tidak secara langsung mengatur materi muatan hukum yang bersifat umum bagi masyarakat (misalnya, menetapkan tata tertib MPR, menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum perubahan pemilihan langsung).
2. Rekomendasi atau arahan: Memberikan arahan kepada lembaga negara lain untuk membuat peraturan perundang-undangan tertentu atau untuk mengambil langkah kebijakan.
3. Peraturan yang masih berlaku secara transisi: Ketetapan MPR yang dikeluarkan sebelum amendemen UUD 1945 yang dinyatakan masih berlaku oleh Ketetapan MPR pasca-amendemen, misalnya TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. II/1978 tentang P4 dan TAP MPR No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.

Dengan demikian, karakteristik Ketetapan MPR pasca-amendemen lebih condong pada penetapan internal dan fungsi pengawasan atau rekomendasi, bukan lagi sebagai produk legislatif primer yang berdiri di atas undang-undang.

Sejarah dan Evolusi Kedudukan Ketetapan MPR

Perjalanan Ketetapan MPR tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri dan perubahan konstitusi yang telah dialami Indonesia. Kedudukan dan peran Ketetapan MPR mencerminkan periode politik dan hukum yang berbeda.

Era UUD 1945 Asli (Pra-Reformasi)

Sejak awal kemerdekaan hingga era Reformasi, UUD 1945 menetapkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan posisi ini, MPR memiliki kewenangan yang sangat luas, termasuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan perubahan terhadap UUD. Dalam konteks ini, Ketetapan MPR adalah produk hukum formal MPR yang berisi keputusan-keputusan penting dalam menjalankan wewenang tersebut.

Pada masa ini, Ketetapan MPR menempati posisi kedua dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah UUD 1945. Ini berarti bahwa semua undang-undang dan peraturan di bawahnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR. Contoh paling jelas adalah GBHN yang ditetapkan melalui TAP MPR. GBHN ini menjadi pedoman utama bagi perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan pemerintah selama lima tahun.

Kekuatan mengikat Ketetapan MPR sangat dominan. Tidak jarang, Ketetapan MPR berisi instruksi-instruksi langsung kepada Presiden untuk membentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang spesifik, atau bahkan untuk mengambil tindakan administratif tertentu. Ini menunjukkan betapa kuatnya kontrol MPR terhadap jalannya pemerintahan dan arah negara pada masa itu.

Ketetapan MPRS dan MPR Orde Baru

Periode MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan MPR di era Orde Baru menghasilkan banyak Ketetapan yang sangat fundamental. Misalnya, TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah salah satu contoh Ketetapan yang memiliki dampak sejarah dan hukum yang sangat besar dan masih diperdebatkan hingga kini.

TAP MPRS ini, meskipun bersifat sementara, di kemudian hari dikukuhkan dan dijadikan dasar bagi kebijakan negara yang melarang segala bentuk kegiatan komunisme. Ini menunjukkan bagaimana sebuah Ketetapan MPR dapat membentuk landasan ideologi dan politik negara untuk jangka waktu yang sangat panjang.

Selain itu, penetapan GBHN melalui Ketetapan MPR secara berkala (setiap lima tahun) adalah ciri khas era Orde Baru. GBHN ini menjadi "kitab suci" pembangunan, yang berisi visi, misi, dan strategi pembangunan nasional yang harus diikuti oleh Presiden dalam melaksanakan tugasnya. Kegagalan melaksanakan GBHN dapat berakibat pada pertanggungjawaban Presiden di Sidang Umum MPR.

Era Reformasi dan Amendemen UUD NRI 1945

Gema Reformasi yang dimulai pada 1998 membawa perubahan radikal pada tatanan ketatanegaraan Indonesia, termasuk kedudukan dan peran MPR serta Ketetapan MPR. Tuntutan utama Reformasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI, pembatasan masa jabatan presiden, dan perubahan kedudukan MPR.

Melalui empat kali amendemen UUD NRI 1945 (1999, 2000, 2001, 2002), terjadi pergeseran paradigma ketatanegaraan:

1. MPR bukan lagi lembaga tertinggi: MPR menjadi lembaga negara yang setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Ini menghilangkan hirarki vertikal antara MPR dengan Presiden, DPR, dan lembaga lainnya.
2. Pemilihan Presiden langsung: Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Ini mengurangi salah satu wewenang paling krusial MPR sebelumnya.
3. Pembatasan kekuasaan MPR: Wewenang MPR untuk menetapkan GBHN dihapus. MPR kini lebih berfokus pada mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Implikasi langsung dari perubahan ini terhadap Ketetapan MPR adalah penurunan statusnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Jika sebelumnya Ketetapan MPR berada di atas undang-undang, pasca-amendemen, ia tidak lagi memiliki kedudukan yang eksplisit sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum di bawah UUD.

Undang-undang yang mengatur hierarki peraturan perundang-undangan (UU No. 10/2004, UU No. 12/2011, UU No. 15/2019) tidak lagi mencantumkan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang secara umum berlaku dan mengikat ke luar. Hierarki peraturan perundang-undangan pasca-amendemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. UUD NRI 1945
2. Ketetapan MPR (yang masih berlaku secara transisi)
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Penyebutan Ketetapan MPR pada posisi kedua dalam daftar tersebut merujuk pada Ketetapan MPR yang secara eksplisit dinyatakan masih berlaku oleh Ketetapan MPR pasca-amendemen, atau yang materi muatannya tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 hasil amendemen. Ini adalah pengecualian, bukan aturan umum bahwa setiap Ketetapan MPR yang baru akan otomatis memiliki kekuatan hukum seperti dulu.

Ketetapan MPR Pasca-Amendemen

Setelah amendemen, MPR masih dapat mengeluarkan ketetapan, namun sifat dan materinya berbeda. Ketetapan MPR yang dikeluarkan pasca-amendemen UUD 1945 umumnya bersifat:

• Internal: Mengatur tata tertib MPR, kode etik anggota, atau keputusan administratif lainnya.
• Deklaratif: Menyatakan suatu hal atau memberikan rekomendasi tanpa menciptakan norma hukum baru yang mengikat secara umum.
• Penetapan: Misalnya, menetapkan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (sebelum perubahan metode pemilihan langsung), atau menetapkan usulan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden.

Hal ini menegaskan pergeseran peran Ketetapan MPR dari instrumen legislatif yang dominan menjadi lebih bersifat administratif, deklaratif, atau sebagai jembatan transisi hukum untuk Ketetapan-ketetapan lama.

Kedudukan Hukum Ketetapan MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Analisis kedudukan hukum Ketetapan MPR dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia adalah salah satu aspek yang paling kompleks dan sering diperdebatkan. Perubahan konstitusi telah mengubah secara fundamental cara Ketetapan MPR dipandang dan diterapkan.

Sebelum Amendemen UUD NRI 1945

Sebelum Reformasi, Ketetapan MPR memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Posisi ini dijamin oleh Pasal 3 UUD 1945 yang memberikan MPR kewenangan untuk "menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara." Secara praktis, hierarki pada masa itu adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Pelaksana lainnya

Dalam hierarki ini, Ketetapan MPR menjadi payung hukum bagi pembentukan Undang-Undang. Semua Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden harus merujuk pada dan tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang diatur dalam Ketetapan MPR. Ini menciptakan suatu sistem di mana MPR memiliki kontrol substansial terhadap arah legislasi dan kebijakan nasional.

Contoh paling nyata adalah GBHN yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR. GBHN ini berisi arahan dan strategi pembangunan nasional yang harus diimplementasikan oleh pemerintah melalui berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan kebijakan teknis lainnya. Bahkan, MPR memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan GBHN.

Setelah Amendemen UUD NRI 1945

Setelah amendemen UUD NRI 1945, kedudukan hukum Ketetapan MPR mengalami perubahan drastis. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi tonggak penting dalam redefinisi ini. UU ini, dan penggantinya (UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 15 Tahun 2019), secara eksplisit tidak mencantumkan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang hierarkis dan mengikat secara umum (regeling).

Dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 Ayat (1), jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pada pandangan pertama, seolah-olah Ketetapan MPR masih berada di posisi kedua. Namun, perlu ada klarifikasi yang mendalam mengenai "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" yang dimaksud dalam daftar ini. Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 secara spesifik menyatakan:

"Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002."

Ini berarti bahwa hanya Ketetapan MPR (dan MPRS) yang dikeluarkan sebelum tahun 2002, dan yang telah dikaji serta dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang masih diakui kedudukannya dalam hierarki tersebut. Ketetapan MPR yang baru, yang dikeluarkan setelah amendemen UUD 1945, tidak secara otomatis masuk dalam hierarki ini sebagai produk hukum yang menciptakan norma umum dan mengikat ke luar.

Dengan kata lain, "Ketetapan MPR" dalam hierarki yang disebutkan UU No. 12 Tahun 2011 adalah produk hukum warisan dari era sebelumnya yang kekuatan mengikatnya dipertahankan secara transisi. Adapun Ketetapan MPR yang dikeluarkan pasca-amendemen UUD 1945, umumnya berfungsi sebagai:

• Regeling Internal: Mengatur urusan internal Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti tata tertib, kode etik, atau keputusan administratif.
• Besluit (Penetapan): Bersifat konkret, individual, dan final, misalnya menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih (sebelum perubahan pemilihan langsung), atau menetapkan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden.
• Rekomendasi/Harapan: Memberikan arahan atau masukan kepada lembaga negara lain, tanpa kekuatan hukum yang mengikat secara langsung untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya juga telah menegaskan bahwa pasca-amendemen UUD NRI 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara dan Ketetapan MPR bukan lagi sumber hukum hierarkis yang mengikat secara umum di bawah UUD, kecuali yang secara eksplisit dinyatakan berlaku oleh TAP MPR No. I/MPR/2003.

Fungsi dan Peran Ketetapan MPR

Fungsi dan peran Ketetapan MPR telah mengalami metamorfosis sejalan dengan evolusi konstitusi dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Penting untuk membedakan antara fungsi pra-reformasi dan pasca-reformasi untuk mendapatkan gambaran yang utuh.

Fungsi dan Peran Pra-Reformasi

Di era sebelum amendemen UUD NRI 1945, Ketetapan MPR memiliki fungsi dan peran yang sangat sentral dan dominan, mencerminkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara:

1. Penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN): Ini adalah fungsi paling ikonik dari Ketetapan MPR di masa pra-reformasi. GBHN merupakan arah dan strategi pembangunan nasional jangka panjang yang harus dilaksanakan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Setiap lima tahun, MPR menetapkan GBHN baru, dan Presiden wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada MPR. Kegagalan melaksanakan GBHN dapat menjadi dasar bagi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan bahkan memberhentikannya.
2. Pemilihan dan Pengangkatan Presiden/Wakil Presiden: MPR memiliki wewenang penuh untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Proses ini diformalkan melalui Ketetapan MPR yang menetapkan pasangan terpilih.
3. Mengubah dan Menetapkan Undang-Undang Dasar: Meskipun jarang terjadi, MPR memiliki wewenang untuk mengubah UUD. Proses perubahan ini juga diakhiri dengan penetapan melalui Ketetapan MPR.
4. Menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Fundamental: Selain GBHN, beberapa Ketetapan MPR juga mengatur hal-hal yang sangat mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti hak asasi manusia, ideologi negara, atau pedoman pelaksanaan pemerintahan. Contohnya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan ajaran komunisme.
5. Pemberian Mandat: MPR dapat memberikan mandat kepada Presiden untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu atau membentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yang biasanya dituangkan dalam Ketetapan MPR.

Dalam periode ini, Ketetapan MPR adalah instrumen utama bagi MPR untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan menentukan arah kebijakan negara. Ia adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui MPR.

Fungsi dan Peran Pasca-Amendemen UUD NRI 1945

Dengan adanya amendemen UUD NRI 1945 dan pergeseran kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga negara yang setara, fungsi dan peran Ketetapan MPR pun berubah secara signifikan. Peran legislatifnya yang dominan telah berkurang drastis, berganti menjadi fungsi yang lebih bersifat normatif-internal atau deklaratif:

1. Menetapkan dan Mengubah Undang-Undang Dasar: Ini adalah salah satu fungsi utama MPR yang tetap dipertahankan pasca-reformasi. Setiap perubahan atau penetapan UUD NRI 1945 akan diformalkan melalui Ketetapan MPR. Ini menegaskan bahwa UUD adalah hukum tertinggi dan MPR adalah satu-satunya lembaga yang berwenang mengubahnya.
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden: Setelah pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, MPR memiliki fungsi seremonial untuk melantik pasangan terpilih. Pelantikan ini diformalkan dengan Ketetapan MPR.
3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya: Jika Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR memiliki wewenang untuk memberhentikannya berdasarkan usul dari DPR dan putusan dari Mahkamah Konstitusi. Keputusan pemberhentian ini juga diformalkan melalui Ketetapan MPR.
4. Mengatur Tata Tertib dan Kode Etik MPR: Ketetapan MPR kini banyak digunakan untuk mengatur urusan internal MPR itu sendiri, seperti prosedur sidang, hak dan kewajiban anggota, dan mekanisme pengambilan keputusan.
5. Peninjauan dan Pengukuhan Ketetapan MPR yang Lama: Melalui TAP MPR No. I/MPR/2003, MPR melakukan peninjauan terhadap semua Ketetapan MPRS dan MPR yang telah ada. Ketetapan ini menggolongkan Ketetapan-ketetapan lama ke dalam kategori yang masih berlaku, perlu peninjauan, atau telah dicabut/dinyatakan tidak berlaku. Fungsi ini krusial untuk menjaga kepastian hukum dan konsistensi dengan UUD NRI 1945 yang telah diamendemen.
6. Rekomendasi dan Arahan Kebijakan: Meskipun tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara langsung seperti GBHN, Ketetapan MPR dapat berfungsi sebagai rekomendasi atau arahan kebijakan kepada lembaga-lembaga negara atau pemerintah. Misalnya, memberikan rekomendasi tentang penguatan sistem demokrasi atau penegakan hukum, yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh DPR atau Presiden melalui pembentukan undang-undang atau kebijakan pemerintah.

Secara keseluruhan, peran Ketetapan MPR pasca-reformasi lebih bersifat konstitutif (terkait UUD), seremoni, pengawasan, dan pengaturan internal, daripada peran legislatif yang luas seperti di masa sebelumnya. Ini mencerminkan pergeseran menuju sistem presidensial murni dengan prinsip checks and balances antarlembaga negara yang lebih kuat.

Jenis-Jenis Ketetapan MPR yang Relevan (Contoh dan Analisis)

Meskipun kedudukannya telah berubah, beberapa Ketetapan MPR, terutama yang berasal dari era pra-reformasi, masih memiliki relevansi dan bahkan kekuatan hukum yang mengikat. TAP MPR No. I/MPR/2003 menjadi pedoman utama dalam mengklasifikasikan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dari tahun 1960 hingga 2002. Ketetapan tersebut mengelompokkan TAP MPR ke dalam beberapa kategori utama:

1. Ketetapan MPR yang Masih Berlaku

Kategori ini mencakup Ketetapan yang secara substansial tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 hasil amendemen atau yang diperlukan untuk menjaga kesinambungan sistem ketatanegaraan. Contoh-contoh penting adalah:

• TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

  Ketetapan ini adalah salah satu yang paling kontroversial namun tetap kuat dipertahankan. Meskipun beberapa pihak mengusulkan pencabutannya dengan alasan bertentangan dengan semangat hak asasi manusia dan demokrasi, TAP ini tetap dinyatakan berlaku dan menjadi dasar hukum pelarangan ideologi komunisme di Indonesia. Implikasinya sangat luas, memengaruhi kebijakan sosial, politik, dan bahkan pendidikan di Indonesia. Perdebatan seputar TAP ini menunjukkan kompleksitas warisan hukum Orde Lama dan Orde Baru yang berlanjut hingga kini.

• TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

  Dikeluarkan pada awal era Reformasi, Ketetapan ini menjadi salah satu landasan fundamental dalam upaya pemberantasan KKN. TAP ini menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap praktik KKN dan menjadi dasar pembentukan lembaga-lembaga anti-korupsi serta undang-undang terkait lainnya. Spirit dari TAP ini masih sangat relevan dan menjadi agenda utama reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik di Indonesia.

• TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

  TAP ini memberikan gambaran tentang cita-cita dan visi Indonesia ke depan dalam berbagai aspek, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga keamanan. Meskipun tidak lagi mengikat secara hirarkis sebagai GBHN, visi yang terkandung di dalamnya tetap menjadi inspirasi dan referensi dalam perumusan kebijakan jangka panjang negara.

• TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

  Ketetapan ini merupakan tindak lanjut dari TAP MPR No. XI/MPR/1998, dengan memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai langkah-langkah konkret dalam pemberantasan dan pencegahan KKN. Rekomendasi ini seringkali dijadikan acuan oleh lembaga penegak hukum dan pemerintah dalam menyusun program anti-korupsi.

2. Ketetapan MPR yang Dinyatakan Dicabut atau Tidak Berlaku

Kategori ini mencakup Ketetapan yang materi muatannya telah tidak relevan, bertentangan dengan UUD NRI 1945 hasil amendemen, atau telah digantikan oleh peraturan perundang-undangan lain yang lebih baru. Beberapa contoh signifikan:

• Semua Ketetapan MPR mengenai GBHN.

  Dengan dihapusnya wewenang MPR untuk menetapkan GBHN pasca-amendemen UUD 1945, maka seluruh Ketetapan MPR yang mengatur GBHN dinyatakan dicabut atau tidak berlaku. Contohnya TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Penghapusan ini menandai pergeseran sistem pemerintahan dari sistem mandataris menjadi sistem presidensial murni.

• TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa).

  Dikenal sebagai P4, Ketetapan ini merupakan upaya indoktrinasi ideologi Pancasila pada masa Orde Baru. Meskipun semangatnya baik untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila, metode pelaksanaannya dianggap cenderung dogmatis dan otoriter. Oleh karena itu, TAP ini dicabut oleh TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Kembali Pancasila Sebagai Dasar Negara.

• Ketetapan MPR tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR.

  Dengan adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, semua Ketetapan MPR yang mengatur mekanisme pemilihan melalui MPR secara otomatis dicabut atau tidak berlaku lagi.

3. Ketetapan MPR yang Perlu Dilakukan Peninjauan Kembali

Kategori ini adalah Ketetapan yang materi muatannya sebagian masih relevan tetapi perlu disesuaikan atau dikaji ulang agar sejalan dengan UUD NRI 1945 hasil amendemen dan perkembangan zaman. Contohnya:

• TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  Materi muatan TAP ini sebagian besar masih relevan sebagai pedoman moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, beberapa aspek mungkin perlu disesuaikan dengan perubahan konteks sosial dan politik. Ketetapan ini memberikan arahan umum tentang bagaimana warga negara dan penyelenggara negara seharusnya berperilaku untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan demokratis.

• TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

  TAP ini merupakan salah satu Ketetapan penting yang lahir dari semangat reformasi untuk mengatasi masalah ketimpangan kepemilikan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Materi muatannya masih sangat relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti. Namun, implementasinya memerlukan undang-undang dan peraturan pelaksana yang lebih rinci, serta koordinasi antarlembaga yang kuat.

Pengklasifikasian ini menunjukkan upaya MPR pasca-reformasi untuk menata kembali warisan hukum dari periode sebelumnya, memastikan bahwa Ketetapan yang tetap berlaku konsisten dengan semangat konstitusi baru dan aspirasi reformasi, sambil mencabut yang sudah tidak relevan atau bertentangan. Proses ini adalah bagian integral dari transisi hukum Indonesia menuju tatanan yang lebih demokratis dan konstitusional.

Perbandingan Ketetapan MPR dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya

Untuk memahami secara utuh kedudukan Ketetapan MPR, penting untuk membandingkannya dengan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain dalam sistem hukum Indonesia, baik sebelum maupun sesudah amendemen UUD NRI 1945.

1. Ketetapan MPR vs. Undang-Undang Dasar (UUD NRI 1945)

Pra-Reformasi: UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis tertinggi, dan Ketetapan MPR berada tepat di bawahnya. Ketetapan MPR tidak boleh bertentangan dengan UUD, tetapi ia berfungsi untuk memberikan pedoman pelaksanaan UUD dalam konteks yang lebih rinci, terutama melalui GBHN. MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang untuk mengubah UUD, yang mana perubahan tersebut diformalkan melalui Ketetapan MPR.

Pasca-Reformasi: UUD NRI 1945 tetap menjadi hukum dasar tertinggi, dan Ketetapan MPR yang dikeluarkan pasca-amendemen tidak lagi memiliki kedudukan hirarkis di bawah UUD sebagai norma umum. MPR masih memiliki wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD, yang merupakan fungsi konstitutif utamanya. Dalam konteks ini, Ketetapan MPR terkait amendemen UUD adalah ekspresi dari kedaulatan MPR dalam menjalankan wewenang konstitusionalnya untuk mengubah UUD. Sementara Ketetapan MPR "lama" yang masih berlaku (misalnya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966) secara eksplisit diakui berada di bawah UUD.

2. Ketetapan MPR vs. Undang-Undang (UU)

Pra-Reformasi: Pada masa ini, Ketetapan MPR berada di atas Undang-Undang. Undang-Undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR. Ketetapan MPR, khususnya GBHN, seringkali menjadi dasar dan arahan substansi bagi berbagai Undang-Undang yang mengatur sektor-sektor spesifik. Jika ada pertentangan, Undang-Undang bisa dibatalkan jika bertentangan dengan TAP MPR.

Pasca-Reformasi: Kedudukan ini berbalik. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur oleh UU No. 12 Tahun 2011, Undang-Undang (bersama Perppu) berada di atas Ketetapan MPR yang "masih berlaku secara transisi." Sementara itu, Ketetapan MPR yang baru (pasca-amendemen) tidak lagi menciptakan norma hukum yang mengikat secara umum di atas Undang-Undang. Ketetapan MPR pasca-amendemen lebih banyak bersifat internal, deklaratif, atau sebagai penetapan. Artinya, suatu UU tidak lagi harus merujuk pada Ketetapan MPR yang baru dalam pembentukan normanya, kecuali jika Ketetapan tersebut adalah TAP lama yang masih berlaku atau merupakan amanat untuk membentuk UU tertentu.

3. Ketetapan MPR vs. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan Peraturan Pemerintah (PP)

Pra-Reformasi: Perppu dan PP berada di bawah Undang-Undang, dan secara otomatis juga di bawah Ketetapan MPR. Artinya, Perppu dan PP harus tunduk pada Ketetapan MPR. Ini adalah bagian dari mekanisme kontrol MPR terhadap kebijakan eksekutif.

Pasca-Reformasi: Perppu dan PP berada di bawah Undang-Undang. Mengikuti hierarki baru, keduanya juga berada di bawah Ketetapan MPR yang "masih berlaku secara transisi." Namun, untuk Ketetapan MPR yang baru, sifatnya tidak lagi mengikat secara langsung terhadap pembentukan Perppu atau PP, melainkan bisa berfungsi sebagai rekomendasi atau arahan non-legislatif.

4. Ketetapan MPR vs. Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda)

Pra-Reformasi: Perpres (atau Keputusan Presiden pada masa itu) dan Perda berada di level paling bawah dalam hierarki, sehingga tunduk pada semua peraturan di atasnya, termasuk Ketetapan MPR.

Pasca-Reformasi: Sama seperti Perppu dan PP, Perpres dan Perda berada di bawah Undang-Undang, dan juga di bawah Ketetapan MPR yang "masih berlaku secara transisi." Ketetapan MPR yang baru tidak memiliki kekuatan untuk secara langsung mengatur atau membatasi isi Perpres atau Perda, kecuali dalam konteks rekomendasi atau penegasan konstitusional yang tidak menciptakan norma hukum baru yang mengikat ke luar.

Secara garis besar, perbandingan ini menunjukkan pergeseran paradigma yang sangat fundamental. Dari posisi puncak kedua dalam hierarki hukum, Ketetapan MPR telah berevolusi menjadi jenis peraturan yang lebih spesifik, dengan fungsi yang lebih terbatas, dan tidak lagi menjadi sumber hukum primer yang mengikat secara umum di bawah UUD, kecuali untuk warisan Ketetapan yang secara eksplisit dipertahankan oleh TAP MPR No. I/MPR/2003. Perubahan ini adalah konsekuensi logis dari redefinisi peran MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-reformasi.

Dampak dan Implikasi Politik-Hukum Ketetapan MPR

Ketetapan MPR, baik di era pra-maupun pasca-reformasi, memiliki dampak dan implikasi yang mendalam terhadap tatanan politik dan hukum di Indonesia. Produk hukum ini tidak hanya membentuk kerangka normatif tetapi juga memengaruhi dinamika kekuasaan, arah kebijakan, dan respons masyarakat.

1. Implikasi Politik Pra-Reformasi

Pada era pra-reformasi, Ketetapan MPR adalah instrumen utama kontrol politik dan konsolidasi kekuasaan:

• Dominasi MPR atas Eksekutif: Dengan kewenangan menetapkan GBHN dan memilih Presiden, MPR memiliki kekuatan untuk mengarahkan dan bahkan mengendalikan Presiden. Presiden adalah "mandataris" MPR, yang berarti ia bertanggung jawab penuh kepada MPR. Ini menciptakan sistem di mana MPR adalah pusat gravitasi politik.
• Legitimasi Kebijakan Nasional: Setiap kebijakan strategis nasional, terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan sosial, dilegitimasi melalui Ketetapan MPR tentang GBHN. Ini memberikan landasan politik yang kuat bagi pemerintah untuk melaksanakan program-programnya.
• Kontrol Ideologi: Ketetapan-ketetapan seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tidak hanya memiliki dampak hukum tetapi juga ideologis yang sangat kuat, membentuk narasi nasional dan membatasi ruang gerak ideologi tertentu dalam masyarakat.
• Stabilitas Politik: Dalam banyak kasus, Ketetapan MPR (misalnya GBHN) juga berkontribusi pada stabilitas politik jangka panjang dengan menetapkan kerangka kerja yang jelas untuk pembangunan, meskipun stabilitas ini seringkali dicapai dengan mengorbankan partisipasi politik dan kebebasan sipil.

2. Implikasi Hukum Pra-Reformasi

Secara hukum, Ketetapan MPR adalah norma yang sangat mengikat:

• Sumber Hukum Primer: Berada di posisi kedua setelah UUD, Ketetapan MPR menjadi sumber hukum primer yang harus diacu dalam pembentukan Undang-Undang dan peraturan di bawahnya.
• Landasan Yurisprudensi: Ketetapan MPR tertentu menjadi landasan bagi pembentukan banyak undang-undang dan kebijakan, sehingga mempengaruhi seluruh struktur hukum nasional.
• Tidak Dapat Diuji: Pada masa itu, tidak ada lembaga yang secara eksplisit memiliki wewenang untuk menguji Ketetapan MPR terhadap UUD. Ini memberikan Ketetapan MPR kekebalan hukum yang signifikan, menjadikannya sangat final dan mengikat.

3. Implikasi Politik Pasca-Reformasi

Perubahan kedudukan MPR telah membawa implikasi politik yang sangat besar:

• Pergeseran Kekuatan: Kekuatan politik bergeser dari MPR ke lembaga-lembaga lain, terutama DPR dan Presiden. Dengan pemilihan langsung dan tidak adanya GBHN, Presiden memiliki legitimasi yang kuat dan tidak lagi menjadi mandataris MPR.
• Peningkatan Akuntabilitas Presiden: Meskipun tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR dalam konteks GBHN, Presiden kini bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum dan kepada DPR melalui mekanisme pengawasan dan impeachment.
• MPR sebagai Penjaga Konstitusi: Peran MPR bergeser menjadi lebih fokus pada fungsi konstitutif (mengubah UUD), pelantikan, dan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden berdasarkan mekanisme konstitusional. Ini menjadikannya sebagai penjaga konstitusi daripada pembuat kebijakan utama.
• Debat Keberlakuan TAP Lama: Beberapa Ketetapan MPR lama, terutama TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, terus menjadi subjek perdebatan politik tentang relevansi dan konsistensinya dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia modern.

4. Implikasi Hukum Pasca-Reformasi

Secara hukum, Ketetapan MPR kini memiliki kedudukan yang lebih spesifik:

• Bukan Sumber Hukum Primer Umum: Seperti dijelaskan sebelumnya, Ketetapan MPR yang baru bukan lagi sumber hukum hierarkis yang mengikat secara umum di bawah UUD. Ini berarti Ketetapan MPR yang baru tidak dapat membatalkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
• Status Transisi Ketetapan Lama: Kedudukan hukum Ketetapan MPR yang masih berlaku diatur secara khusus oleh TAP MPR No. I/MPR/2003 dan diakui dalam hierarki undang-undang. Ini menciptakan suatu kategori hukum yang unik, yaitu Ketetapan MPR sebagai "peraturan transisi" yang kekuatannya diakui secara eksplisit, tetapi sifatnya terbatas pada Ketetapan-ketetapan tertentu saja.
• Potensi Pengujian: Dengan berfungsinya Mahkamah Konstitusi, ada pandangan yang berkembang bahwa Ketetapan MPR (terutama yang bersifat regeling dan masih berlaku) dapat menjadi objek pengujian konstitusionalitas terhadap UUD, meskipun ini masih merupakan area yang kompleks dan belum sepenuhnya tuntas secara yurisprudensial.
• Klarifikasi Kewenangan: Pergeseran ini juga mengklarifikasi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan Undang-Undang menjadi produk legislasi utama DPR dan Presiden, sementara Ketetapan MPR memiliki fungsi yang lebih terfokus pada hal-hal konstitusional dan internal MPR.

Dampak dan implikasi ini menunjukkan bahwa Ketetapan MPR bukan sekadar teks hukum, melainkan cerminan dari evolusi sistem politik dan hukum Indonesia yang terus-menerus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan aspirasi masyarakat.

Prosedur Pembentukan dan Perubahan Ketetapan MPR

Prosedur pembentukan dan perubahan Ketetapan MPR adalah aspek fundamental yang menggambarkan bagaimana lembaga ini menjalankan wewenangnya. Proses ini juga mengalami perubahan signifikan sejalan dengan amendemen UUD NRI 1945.

1. Prosedur Pra-Reformasi

Sebelum amendemen UUD NRI 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga prosedur pembentukan Ketetapan MPR sangat dominan dan bersifat final. Umumnya, prosedur yang berlaku adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan Usul: Usulan Ketetapan dapat diajukan oleh anggota MPR, fraksi-fraksi di MPR, atau lembaga negara lain (melalui Presiden). Usulan ini disampaikan dalam Sidang Umum MPR.
2. Pembahasan dalam Sidang MPR: Usulan akan dibahas secara intensif dalam Sidang Umum MPR, baik di dalam rapat-rapat komisi, panitia ad-hoc, maupun dalam rapat paripurna. Tahap ini melibatkan adu argumen, negosiasi, dan kompromi antar fraksi atau kelompok kepentingan.
3. Pengambilan Keputusan: Pengambilan keputusan dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR. Keputusan untuk menetapkan sebuah Ketetapan MPR harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, yang jumlahnya tidak kurang dari 2/3 dari jumlah anggota MPR. Persyaratan kuorum dan mayoritas ini menunjukkan tingkat pentingnya Ketetapan MPR pada masa itu.
4. Penetapan dan Pengundangan: Setelah disetujui, Ketetapan tersebut ditandatangani oleh pimpinan MPR dan diundangkan. Pengundangan ini memberikan kekuatan hukum formal.

Proses ini bersifat hirarkis, di mana produk yang dihasilkan MPR (Ketetapan MPR) harus ditaati oleh semua lembaga negara di bawahnya. Tidak ada mekanisme eksternal untuk menguji validitas Ketetapan MPR secara konstitusional.

2. Prosedur Pasca-Reformasi

Pasca-amendemen UUD NRI 1945, prosedur pembentukan Ketetapan MPR menjadi lebih spesifik dan terbatas, sejalan dengan redefinisi peran MPR. UUD NRI 1945 (hasil amendemen) mengatur secara eksplisit wewenang MPR, yang meliputi:

• Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
• Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.
• Memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Setiap wewenang ini dilaksanakan melalui prosedur yang diatur dalam UUD dan peraturan tata tertib MPR. Pembentukan Ketetapan MPR yang baru (yang bukan kategori "masih berlaku" dari TAP I/MPR/2003) umumnya mengikuti prosedur berikut:

1. Pengajuan Usul: Usul Ketetapan diajukan oleh fraksi atau anggota MPR. Usul ini harus didasarkan pada salah satu wewenang MPR yang diatur dalam UUD NRI 1945 atau peraturan perundang-undangan.
2. Pembahasan dalam Alat Kelengkapan MPR: Usulan dibahas di tingkat Panitia Ad Hoc, Komisi, atau Badan Pengkajian MPR, sesuai dengan materi yang diusulkan. Dalam tahap ini, dapat dilakukan rapat dengar pendapat dengan pakar, akademisi, atau masyarakat sipil.
3. Rapat Paripurna MPR: Hasil pembahasan dari alat kelengkapan MPR kemudian diajukan ke Rapat Paripurna MPR. Di sinilah dilakukan pengambilan keputusan akhir.
4. Pengambilan Keputusan:
   • Untuk perubahan UUD: Persyaratan kehadiran (kuorum) adalah 2/3 dari seluruh anggota MPR, dan keputusan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
   • Untuk melantik Presiden/Wakil Presiden atau memberhentikan Presiden/Wakil Presiden: Persyaratan kuorum dan mayoritas diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib MPR, namun umumnya memerlukan kehadiran mayoritas dan persetujuan mayoritas anggota yang hadir.
   • Untuk Ketetapan yang bersifat internal atau rekomendasi: Seringkali cukup dengan persetujuan mayoritas anggota yang hadir.
5. Penetapan dan Pengundangan: Setelah disetujui, Ketetapan ditandatangani oleh pimpinan MPR dan diundangkan. Untuk Ketetapan yang mengubah UUD, prosesnya sangat formal dan merupakan bagian dari perubahan konstitusi itu sendiri.

Perbedaan mendasar adalah bahwa Ketetapan MPR yang baru kini lebih terfokus pada pelaksanaan wewenang konstitusional MPR yang spesifik, bukan lagi sebagai alat untuk menciptakan norma hukum umum yang berdiri di atas Undang-Undang. Ini mencerminkan pergeseran menuju sistem konstitusional yang lebih modern dan demokratis, di mana fungsi legislatif utama berada di tangan DPR bersama Presiden.

Kritik dan Tantangan Terhadap Ketetapan MPR

Sepanjang sejarahnya, Ketetapan MPR tidak lepas dari berbagai kritik dan tantangan. Baik dari segi kedudukan hukum, materi muatan, maupun dampaknya, Ketetapan MPR telah menjadi subjek perdebatan yang intens di kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum.

1. Kritik Terhadap Kedudukan Hukum Pasca-Reformasi

Salah satu kritik utama pasca-reformasi adalah ambiguitas kedudukan hukum Ketetapan MPR. Meskipun UU No. 12 Tahun 2011 (dan penggantinya) mencantumkan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, penjelasannya membatasi hanya pada Ketetapan lama yang dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR No. I/MPR/2003. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan:

• Ketiadaan Jaminan Hukum untuk TAP Baru: Ketetapan MPR yang baru tidak memiliki kedudukan eksplisit dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum. Hal ini menyebabkan Ketetapan yang dikeluarkan setelah amendemen UUD 1945 seringkali hanya bersifat rekomendasi atau internal, dan tidak memiliki kekuatan memaksa di luar lingkup MPR. Beberapa pihak berpendapat bahwa ini mereduksi peran MPR sebagai lembaga negara.
• Ketidakpastian Hukum: Meskipun ada daftar Ketetapan lama yang masih berlaku, interpretasi dan implementasinya terkadang masih menimbulkan ketidakpastian. Batasan antara "masih berlaku", "perlu peninjauan", dan "dicabut" seringkali memerlukan interpretasi lebih lanjut, yang bisa berujung pada perbedaan pandangan hukum.
• Potensi Tumpang Tindih: Beberapa materi muatan Ketetapan MPR lama yang masih berlaku mungkin tumpang tindih dengan Undang-Undang baru atau bahkan UUD NRI 1945 yang telah diamendemen, sehingga memerlukan harmonisasi atau peninjauan ulang yang lebih komprehensif.

2. Kritik Terhadap Materi Muatan dan Proses Pembentukan

Kritik juga sering diarahkan pada materi muatan dan proses pembentukan Ketetapan MPR, terutama di era pra-reformasi:

• GBHN yang Otoriter: Pada masa Orde Baru, GBHN melalui TAP MPR dikritik karena terlalu otoriter dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi publik. Pemerintah sebagai mandataris MPR harus mengikuti GBHN secara ketat, yang kadang kala mengabaikan aspirasi daerah atau kelompok masyarakat.
• Potensi Politisasi Hukum: Ketetapan MPR, terutama yang bersifat fundamental, seringkali merupakan hasil dari konsensus politik yang kuat, namun juga dapat menjadi alat untuk memaksakan kehendak politik kelompok dominan, seperti terlihat pada beberapa Ketetapan MPRS/MPR yang kontroversial.
• Kurangnya Mekanisme Pengujian: Di masa pra-reformasi, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menguji Ketetapan MPR terhadap UUD 1945. Hal ini memungkinkan adanya Ketetapan yang mungkin saja tidak sepenuhnya sejalan dengan semangat UUD tetapi tidak dapat dibatalkan.

3. Tantangan Implementasi dan Relevansi

Beberapa tantangan juga muncul dalam implementasi dan mempertahankan relevansi Ketetapan MPR:

• Tindak Lanjut Rekomendasi: Ketetapan MPR pasca-reformasi yang berisi rekomendasi seringkali kurang memiliki kekuatan mengikat. Tantangannya adalah bagaimana memastikan rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga eksekutif dan legislatif tanpa mengurangi prinsip checks and balances antarlembaga.
• Relevansi Ketetapan Lama: Bagaimana menjaga relevansi Ketetapan MPR lama yang masih berlaku dalam konteks Indonesia modern yang sangat berubah? Misalnya, TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang komunisme, meskipun secara hukum masih berlaku, terus menjadi perdebatan sengit tentang relevansinya dalam konteks hak asasi manusia dan kebebasan berpikir di era digital.
• Harmonisasi dengan Peraturan Baru: Memastikan bahwa Ketetapan MPR yang masih berlaku tidak menimbulkan disharmoni dengan undang-undang atau peraturan pemerintah yang lebih baru adalah tantangan berkelanjutan bagi para pembuat kebijakan dan penegak hukum.

Menghadapi kritik dan tantangan ini, MPR terus berupaya untuk menemukan format yang tepat bagi Ketetapannya agar tetap relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang dinamis, sambil menghormati prinsip supremasi UUD NRI 1945 dan semangat reformasi.

Masa Depan Ketetapan MPR dalam Sistem Konstitusional Indonesia

Melihat perjalanan panjang Ketetapan MPR, dari puncak hierarki hukum hingga posisi yang lebih spesifik pasca-reformasi, menimbulkan pertanyaan krusial tentang masa depannya. Bagaimana Ketetapan MPR akan berevolusi lebih lanjut dalam sistem konstitusional Indonesia yang terus berkembang?

1. Konsolidasi Peran Konstitutif MPR

Salah satu peran yang paling kuat dan tidak terbantahkan bagi MPR pasca-reformasi adalah perannya sebagai lembaga pengubah dan penetap UUD NRI 1945. Ketetapan MPR yang terkait dengan amendemen UUD akan selalu menjadi produk hukum yang sangat fundamental. Masa depan Ketetapan MPR kemungkinan besar akan semakin terkonsolidasi pada fungsi ini, memastikan bahwa setiap perubahan terhadap konstitusi dilakukan secara sah dan demokratis.

Selain itu, peran MPR dalam melantik dan memutuskan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden juga akan terus diabadikan melalui Ketetapan MPR. Ketetapan ini adalah bentuk legalisasi dari proses-proses konstitusional yang krusial bagi keberlangsungan negara.

2. Fleksibilitas Fungsi Rekomendasi dan Pengawasan

Meskipun Ketetapan MPR tidak lagi secara langsung menciptakan norma hukum yang mengikat di atas Undang-Undang, fungsinya sebagai pemberi rekomendasi dan arahan strategis tetap penting. Ketetapan MPR dapat menjadi suara kolektif MPR dalam menyampaikan pandangan atau aspirasi terkait isu-isu fundamental bangsa, seperti etika kehidupan berbangsa, visi masa depan, atau arah kebijakan strategis yang memerlukan konsensus luas.

Tantangannya adalah bagaimana memperkuat kekuatan moral dan politik dari rekomendasi ini, sehingga dapat memengaruhi pembentukan undang-undang dan kebijakan pemerintah tanpa melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Mungkin di masa depan akan ada mekanisme yang lebih jelas tentang bagaimana rekomendasi MPR melalui ketetapannya dapat dipertimbangkan dan ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga lain.

3. Peninjauan dan Harmonisasi Ketetapan Lama yang Berkelanjutan

Warisan Ketetapan MPR yang lama, terutama yang masih berlaku berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003, akan terus memerlukan peninjauan dan harmonisasi. Beberapa Ketetapan mungkin perlu dicabut atau diganti dengan undang-undang yang lebih sesuai dengan konteks zaman dan semangat UUD NRI 1945 hasil amendemen. Proses ini membutuhkan kajian mendalam, sensitivitas sejarah, dan konsensus politik yang kuat.

Misalnya, perdebatan tentang TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 menunjukkan bahwa isu-isu yang terkait dengan Ketetapan lama dapat terus muncul ke permukaan dan memerlukan respons dari negara. Masa depan Ketetapan MPR juga berarti kesiapan MPR untuk secara proaktif melakukan evaluasi dan pembaruan terhadap warisan hukumnya sendiri.

4. Peran dalam Pendidikan Konstitusi dan Pemahaman Berbangsa

Sebagai lembaga perwakilan seluruh rakyat, MPR memiliki peran penting dalam pendidikan konstitusi dan pemahaman berbangsa. Ketetapan MPR, meskipun tidak selalu mengikat secara hukum umum, dapat berfungsi sebagai dokumen referensi untuk memahami nilai-nilai dasar, etika, dan arah cita-cita bangsa. Materi muatan yang bersifat normatif-etis, seperti TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa, akan terus memiliki relevansi sebagai panduan moral bagi warga negara dan penyelenggara negara.

5. Penyesuaian dengan Dinamika Demokrasi

Sistem demokrasi Indonesia adalah entitas yang hidup dan terus berubah. Masa depan Ketetapan MPR akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana MPR menyesuaikan diri dengan dinamika ini. Kemampuan MPR untuk merefleksikan aspirasi rakyat, memfasilitasi konsensus nasional, dan berperan sebagai forum musyawarah yang efektif akan menentukan relevansi Ketetapan yang dihasilkannya.

Singkatnya, masa depan Ketetapan MPR mungkin tidak lagi didominasi oleh kekuasaan legislatif yang luas seperti di masa lampau. Sebaliknya, ia akan menjadi instrumen yang lebih terfokus pada penguatan konstitusi, penegasan nilai-nilai dasar, fasilitasi konsensus strategis, dan penataan warisan hukum. Ketetapan MPR akan terus menjadi bagian integral dari sistem ketatanegaraan Indonesia, mencerminkan perjalanan bangsa dalam membangun demokrasi yang matang dan berpegang teguh pada konstitusi.

Kesimpulan

Perjalanan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah cerminan dari evolusi politik dan hukum bangsa. Dari posisi dominannya sebagai sumber hukum kedua setelah UUD 1945 di era pra-reformasi, yang menjadi pedoman utama bagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan arah kebijakan nasional, Ketetapan MPR telah mengalami redefinisi fundamental pasca-amendemen UUD NRI 1945.

Transformasi ini menjadikan MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, melainkan lembaga negara yang setara dengan lembaga-lembaga lainnya, dengan wewenang yang lebih terfokus pada hal-hal konstitutif seperti mengubah UUD, melantik, dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Implikasinya, Ketetapan MPR pasca-amendemen tidak lagi menempati posisi hirarkis di atas undang-undang sebagai norma yang mengikat secara umum, melainkan lebih berfungsi sebagai penetapan internal, deklarasi, atau rekomendasi.

Namun, tidak berarti Ketetapan MPR kehilangan relevansinya sama sekali. Ketetapan MPR yang dikeluarkan sebelum tahun 2002 dan dinyatakan "masih berlaku" oleh TAP MPR No. I/MPR/2003 tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketetapan-ketetapan seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI, atau TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, adalah bukti dari warisan hukum yang terus membentuk fondasi bangsa.

Kritik dan tantangan terhadap Ketetapan MPR, baik dari segi kedudukan yang ambigu pasca-reformasi, potensi politisasi materi, maupun tantangan implementasi, merupakan bagian tak terpisahkan dari diskursus hukum dan politik di Indonesia. Namun, upaya berkelanjutan untuk meninjau, mengharmonisasikan, dan mengklasifikasikan Ketetapan MPR menunjukkan komitmen negara dalam menjaga kepastian hukum dan konsistensi dengan konstitusi.

Masa depan Ketetapan MPR kemungkinan akan semakin terkonsolidasi pada peran konstitutif MPR, menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan integritas UUD NRI 1945. Selain itu, Ketetapan MPR juga dapat terus berperan sebagai panduan etika, visi, dan arahan strategis yang sifatnya non-legislatif, memperkaya khazanah hukum dan politik Indonesia. Pada akhirnya, Ketetapan MPR tetap menjadi dokumen penting yang merekam jejak langkah bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaan dan membangun sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berkeadilan.