Fenomena kucu, sebuah istilah yang mencakup spektrum luas mulai dari rasa gemas yang tak tertahankan hingga keadaan dimanjakan yang berlebihan, merupakan salah satu aspek emosi manusia yang paling menarik dan kompleks. Meskipun sering kali dihubungkan dengan hal-hal yang berukuran kecil, lembut, atau polos, konsep kekucuan jauh melampaui sekadar atribut fisik. Ia merangkum interaksi psikologis, respons biologis, dan manifestasi budaya yang membentuk cara kita merasakan dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Artikel ini bertujuan untuk mendalami setiap lapisan makna kekucuan, mengeksplorasi asal-usulnya, dampak neurobiologisnya, serta perannya yang tak terhindarkan dalam masyarakat modern dan konsumsi sehari-hari.
Secara esensial, kucu adalah sensasi subjektif yang muncul dari kombinasi ciri-ciri fisik dan perilaku yang memicu naluri kepedulian, perlindungan, dan kasih sayang yang intens. Ini adalah panggilan naluriah untuk merawat, sebuah respons yang terprogram secara evolusioner yang memastikan kelangsungan hidup entitas yang rentan.
Untuk memahami sepenuhnya fenomena ini, kita harus terlebih dahulu menguraikan apa yang secara kolektif kita sebut 'kekucuan'. Kekucuan tidak hanya berkaitan dengan estetika visual; ia adalah serangkaian sinyal yang memotong filter rasional dan langsung memicu pusat penghargaan di otak kita. Istilah kucu, dalam konteks yang dibahas di sini, melampaui kelucuan biasa; ia melibatkan elemen afeksi yang mendalam dan perhatian yang berlebihan, sering kali berujung pada tindakan memanjakan atau melindungi secara ekstrem.
Kekucuan berfungsi sebagai jembatan antara rasa senang dan rasa tanggung jawab. Ketika seseorang atau sesuatu dianggap kucu, respons emosionalnya sering kali melibatkan paradoks yang menarik: keinginan untuk memeluk atau meremas objek tersebut, yang dalam psikologi dikenal sebagai 'agresi gemas' (cute aggression). Ini bukan agresi yang sebenarnya, melainkan luapan emosi positif yang begitu besar sehingga sistem saraf mencoba menyeimbangkannya dengan respons yang berlawanan.
Dalam bahasa Indonesia, lucu merujuk pada hal-hal yang memicu tawa atau humor. Sementara itu, kucu (atau kekucuan yang setara dengan konsep 'kawaii' di Jepang atau 'cute' dalam artian dimanjakan/gemas) merujuk pada keindahan yang memicu rasa afeksi protektif. Perbedaannya terletak pada hasil emosional yang dituju. Sesuatu yang lucu membuat kita tertawa; sesuatu yang kucu membuat kita ingin merawat dan melindungi. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks yang sangat akrab, istilah kucu sering kali digunakan untuk mendeskripsikan kombinasi sifat tersebut, menjadikannya gabungan antara menggemaskan dan menyenangkan.
Ekspresi kekucuan ini tidak terbatas pada satu budaya, meskipun manifestasinya berbeda-beda. Di Jepang, istilah kawaii telah menjadi kekuatan budaya yang global, menunjukkan bahwa keinginan manusia untuk berinteraksi dengan sifat-sifat yang menggemaskan adalah universal, bahkan ketika istilah lokal seperti kucu memberikan nuansa spesifik pada tingkat keintiman dan afeksi yang diberikan. Kekucuan adalah bahasa universal yang berbicara langsung kepada sistem limbik kita.
Respons terhadap kekucuan bukanlah sekadar pilihan preferensi estetika; itu adalah mekanisme neurobiologis yang dalam dan penting untuk kelangsungan hidup spesies. Ilmu pengetahuan telah mengidentifikasi struktur otak dan hormon tertentu yang secara langsung terlibat dalam bagaimana kita memproses sinyal kekucuan.
Konrad Lorenz, seorang etolog terkenal, pertama kali mengidentifikasi konsep Kinderschema (skema bayi), serangkaian ciri-ciri yang memicu respons pengasuhan pada manusia. Ini adalah fondasi dari segala sesuatu yang kita anggap kucu. Ciri-ciri ini meliputi:
Prinsip neoteny—mempertahankan ciri-ciri masa muda hingga dewasa—menjelaskan mengapa kita menganggap banyak hewan peliharaan (seperti anjing ras tertentu) dan karakter kartun sebagai kucu. Karakteristik ini secara efektif meretas sistem pengasuhan kita, membuat kita ingin mengabaikan bahaya atau ketidaknyamanan demi memberikan perlindungan dan perhatian maksimal.
Ketika kita dihadapkan pada objek yang sangat kucu, terjadi kaskade kimiawi di otak. Area otak yang paling aktif adalah Nukleus Akumbens (Nucleus Accumbens), pusat penghargaan utama otak, yang dipenuhi dopamin. Pelepasan dopamin ini memberikan sensasi kesenangan dan memotivasi kita untuk mempertahankan interaksi dengan objek tersebut. Ini adalah alasan mengapa kita merasa 'kecanduan' melihat video anak kucing atau foto bayi.
Bersamaan dengan dopamin, hormon oksitosin, sering disebut 'hormon cinta' atau 'hormon ikatan', juga dilepaskan. Oksitosin memperkuat ikatan emosional dan rasa kedekatan. Dalam konteks kucu, oksitosin mengubah respons pelindung menjadi ikatan kasih sayang yang mendalam, menjelaskan mengapa kita cenderung memanjakan dan memberikan perlakuan istimewa—inti dari makna kucu dalam arti dimanjakan.
Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap kekucuan dapat meningkatkan fokus dan kinerja motorik halus. Ketika seseorang melihat gambar yang kucu, keinginan untuk merawat mengaktifkan area otak yang bertanggung jawab atas perencanaan dan eksekusi yang hati-hati. Secara paradoks, meskipun kekucuan sering dianggap sebagai hal yang remeh, ia memiliki efek nyata dalam meningkatkan kewaspadaan dan ketelitian kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kekucuan tidak hanya tentang kesenangan, tetapi juga tentang kesiapan untuk bertindak secara efektif dalam peran pengasuhan.
Kekucuan bukan hanya fenomena pribadi; ia adalah mesin budaya dan ekonomi yang kuat. Dari maskot perusahaan hingga tren mode global, kucu telah diinstitusionalkan sebagai nilai estetika yang dicari. Kekuatan budaya kucu menunjukkan bagaimana kebutuhan kita untuk melindungi dan memanjakan telah diinternalisasi ke dalam produk dan perilaku sehari-hari.
Pemasar memanfaatkan skema bayi dan respons emosional yang dipicu oleh kekucuan untuk mendorong pembelian dan membangun loyalitas merek. Dengan membuat produk atau karakter merek menjadi kucu, perusahaan dapat memotong hambatan rasional konsumen dan langsung memicu perasaan positif dan kepemilikan.
Dampak ekonomi dari kekucuan sangat besar, menciptakan industri yang berfokus pada mainan, pernak-pernik, pakaian, dan media yang dirancang untuk membangkitkan rasa kucu. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita bersedia membayar mahal untuk pengalaman emosional yang nyaman dan memuaskan yang ditawarkan oleh interaksi dengan hal-hal yang menggemaskan.
Di era digital, kucu menjadi mata uang sosial. Filter yang membesarkan mata, emoji yang menggemaskan, dan meme hewan peliharaan yang lucu semuanya beroperasi dalam domain kekucuan. Media sosial sangat menghargai konten yang memicu respons emosional cepat, dan kekucuan adalah salah satu pemicu yang paling efektif. Unggahan yang dianggap kucu sering kali mendapatkan interaksi yang lebih tinggi karena memicu keinginan alami pengguna untuk berbagi kesenangan dan afeksi.
Penggunaan estetika kucu dalam desain antarmuka (UI/UX) juga semakin meluas. Penggunaan ilustrasi yang ramah, suara notifikasi yang lembut, dan avatar yang menggemaskan bertujuan untuk membuat teknologi terasa kurang mengancam dan lebih menarik, memanfaatkan naluri kucu kita untuk menciptakan pengalaman pengguna yang lebih menyenangkan dan adiktif.
Aspek sentral dari kucu yang ingin ditekankan adalah konteks personal: tindakan memanjakan atau di-kucu. Ini adalah manifestasi perilaku dari respons emosional, di mana seseorang (atau objek) diberi perhatian, kemewahan, atau toleransi yang berlebihan karena sifat mereka yang menggemaskan.
Dalam konteks keluarga dan persahabatan, seseorang yang kucu (seringnya anak kecil atau pasangan) adalah seseorang yang diperlakukan dengan penuh toleransi dan dimanjakan. Perlakuan ini melibatkan pemenuhan kebutuhan secara cepat, pemberian hadiah yang tidak terduga, dan pengabaian terhadap kesalahan-kesalahan kecil. Fenomena ini berasal dari kebutuhan kita untuk mengekspresikan kasih sayang melalui tindakan nyata, yang dimediasi oleh daya tarik kekucuan orang yang bersangkutan.
Tindakan memanjakan ini memiliki siklus timbal balik:
Kemampuan kita untuk memproyeksikan kekucuan tidak terbatas pada makhluk hidup. Kita sering menganggap benda mati sebagai kucu ketika benda tersebut menampilkan ciri-ciri skema bayi, seperti robot kecil yang memiliki mata besar, atau kendaraan mini yang berbentuk bulat. Proses ini, yang disebut antropomorfisme, memungkinkan kita untuk membentuk ikatan emosional, seolah-olah objek tersebut adalah entitas yang rentan dan membutuhkan perawatan kita.
Contoh paling nyata adalah kepemilikan mobil klasik kecil atau gadget berukuran saku. Pemiliknya sering kali merawat benda-benda ini dengan perhatian yang jauh melampaui nilai fungsionalnya, memberikan nama panggilan, dan memanjakannya dengan aksesori, semua karena benda tersebut memicu respons kucu yang primal.
Untuk benar-benar memahami kedalaman fenomena kucu, kita perlu memecahnya menjadi sub-komponen yang sangat spesifik, melihat bagaimana kekucuan berinteraksi dengan rasa waktu, nostalgia, dan bahkan rasa takut kita. Bagian ini akan memperluas pembahasan untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh tentang segala aspek kekucuan yang memicu naluri memanjakan.
Kekucuan sering kali membawa kita kembali ke masa kanak-kanak, mengingatkan kita pada kepolosan dan masa ketika dunia terasa lebih sederhana dan terlindungi. Objek atau situasi yang kucu berfungsi sebagai jangkar nostalgia. Mainan lama, lagu anak-anak, atau bahkan pakaian dengan desain vintage memicu rasa kucu karena mereka merepresentasikan keadaan kemurnian emosional yang telah hilang. Ini adalah dorongan untuk kembali kepada keamanan, yang diwujudkan dalam tindakan memanjakan atau mengumpulkan objek kucu.
Dalam dunia yang kompleks dan sering kali brutal, kekucuan bertindak sebagai mekanisme pelarian yang lembut. Dengan berfokus pada hal-hal yang kucu dan rentan, kita menciptakan ruang aman psikologis. Ini adalah bentuk pertahanan diri yang memungkinkan otak kita beristirahat dari pemrosesan ancaman dan stres, sejenak hanya berfokus pada kasih sayang dan perawatan. Keinginan untuk meng-kucu-kan atau memanjakan sesuatu adalah cara aktif untuk menolak kekerasan dunia nyata.
Para seniman kontemporer sering menggunakan estetika kucu untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam. Seni yang sangat kucu namun memiliki subteks gelap (sering disebut 'cute horror' atau 'dark kawaii') mengeksplorasi kontradiksi antara penampilan yang polos dan realitas yang sulit. Penggunaan kekucuan dalam konteks ini berfungsi untuk menarik perhatian, menciptakan kejutan emosional, dan membuat pesan kritis lebih mudah dicerna.
Misalnya, karakter-karakter yang sengaja dibuat super kucu tetapi ditempatkan dalam situasi yang menyedihkan dapat memicu respons empati yang lebih kuat daripada penggambaran kesedihan yang realistis. Ini menunjukkan manipulasi kekucuan sebagai alat retoris yang ampuh dalam komunikasi visual.
Respons 'agresi gemas' (keinginan untuk mencubit, menggigit, atau meremas objek kucu) adalah indikator ekstrem dari fenomena kucu. Penjelasan neuroilmiahnya adalah bahwa otak mengalami lonjakan emosi positif yang sangat besar sehingga mengancam untuk membanjiri sistem. Untuk mengendalikan lonjakan ini dan mencegah kegagalan fungsional, otak secara otomatis memproduksi respons yang berlawanan (ekspresi agresi) sebagai mekanisme penstabilan emosi. Ini adalah cara tubuh mengatakan, "Saya sangat bahagia dan gemas sehingga saya perlu melakukan sesuatu yang berlawanan untuk tetap tenang."
Fenomena ini meningkat dalam interaksi digital. Ketika seseorang mengetik "Aku mau meremas dia!" di kolom komentar media sosial, mereka sedang mengalami versi digital dari agresi gemas. Jarak fisik antara pengamat dan objek kucu memungkinkan ekspresi emosi ekstrem ini tanpa risiko bahaya fisik, yang semakin memperkuat interaksi berbasis kekucuan di platform daring.
Dalam banyak masyarakat, fokus budaya yang intens pada kekucuan dapat dilihat sebagai penanda kemakmuran dan keamanan. Ketika kebutuhan dasar (seperti makanan, tempat tinggal, dan keamanan) telah terpenuhi, masyarakat mulai memiliki sumber daya emosional dan finansial untuk berinvestasi dalam hal-hal yang tidak penting secara fungsional tetapi memuaskan secara emosional—yaitu, hal-hal yang kucu.
Industri hewan peliharaan global adalah salah satu indikator utama ekonomi kucu. Peningkatan pengeluaran untuk pakaian hewan, makanan gourmet, dan aksesori mewah (memanjakan atau meng-kucu-kan hewan) mencerminkan keinginan yang kuat untuk mengekspresikan kasih sayang melalui perawatan berlebihan. Hewan peliharaan sering kali secara sempurna memenuhi skema bayi (neoteny) sepanjang hidup mereka, memicu respons kucu yang berkelanjutan dan membenarkan tindakan memanjakan yang intensif.
Peralihan peran hewan peliharaan dari sekadar penjaga atau teman menjadi 'anak bulu' adalah bukti nyata kekuatan kucu. Hewan yang diperlakukan seperti anggota keluarga (diberi perayaan ulang tahun, pakaian, tempat tidur khusus) menunjukkan puncak dari 'kucu-fication' sosial. Perilaku ini adalah ekspresi dari kapasitas emosional manusia untuk cinta tanpa syarat, yang paling mudah diaktifkan oleh makhluk yang paling kucu dan paling rentan.
Kekucuan juga mendorong fenomena 'kemewahan kecil' (little luxuries). Ini adalah barang-barang kecil, seringkali tidak mahal, yang memberikan ledakan kegembiraan emosional instan. Mug dengan desain kucu, pulpen berbentuk karakter, atau gantungan kunci yang menggemaskan. Barang-barang ini berfungsi sebagai pengingat harian akan pentingnya afeksi dan kesenangan sederhana, dan secara kolektif membentuk ekonomi mikro yang didorong oleh kebutuhan emosional terhadap kekucuan.
Meskipun kekucuan secara umum dipandang positif, obsesi terhadap kekucuan atau penggunaan kucu secara berlebihan memiliki sisi gelap dan batasan etika yang perlu dipertimbangkan. Batasan ini terutama muncul ketika kekucuan digunakan untuk menutupi masalah yang lebih serius atau ketika kekucuan disalahgunakan untuk manipulasi.
Kritikus sering menunjukkan bahwa fokus berlebihan pada estetika kucu dapat mendorong infantilisme (kekanak-kanakan) dalam masyarakat, di mana individu menghindari tanggung jawab dan kerumitan kedewasaan demi tetap berada dalam zona nyaman kepolosan yang diwakili oleh kekucuan. Jika segala sesuatu dihias menjadi kucu, maka dunia nyata dan tantangan hidup mungkin terasa kurang menarik atau bahkan menakutkan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam kebutuhan untuk membuat konten dewasa menjadi ‘berlabel G’ atau memvisualisasikan hal-hal serius dalam bentuk yang menggemaskan, sebuah upaya untuk mengurangi ancaman kognitif melalui lensa kekucuan.
Dalam ranah etika, 'Cute Washing' adalah praktik di mana entitas yang secara fundamental tidak etis, berbahaya, atau korup menggunakan estetika kucu untuk mengalihkan perhatian dari tindakan mereka. Dengan menyajikan wajah yang kucu dan ramah, organisasi atau produk dapat memanipulasi respons emosional publik, meredam kritik, dan menarik dukungan, meskipun substansi mereka merusak.
Sebagai konsumen, sangat penting untuk menyadari bahwa daya tarik kucu dapat menjadi senjata yang mengaburkan penilaian rasional. Sebuah produk yang kucu tidak secara otomatis menjadi produk yang etis, berkelanjutan, atau bahkan berkualitas tinggi.
Seiring teknologi terus maju, definisi dan manifestasi kucu juga ikut berevolusi. Interaksi kita dengan Kecerdasan Buatan (AI) dan lingkungan virtual semakin didorong oleh kebutuhan kita untuk menemukan hal-hal yang kucu dan memanjakan.
Pengembang robot sosial telah dengan sengaja memasukkan elemen skema bayi dan neoteny ke dalam desain AI dan robot mereka. Robot-robot ini sering memiliki suara yang lembut, mata yang besar dan ekspresif, dan gerakan yang kikuk—semuanya dirancang untuk memicu respons kucu pada manusia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penerimaan dan ikatan emosional, membuat pengguna merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk "memanjakan" robot tersebut dengan perhatian dan perintah yang lembut.
Di masa depan, kekucuan mungkin menjadi antarmuka utama untuk interaksi manusia-mesin. Sebuah asisten AI yang kucu dan rentan secara visual mungkin lebih dipercaya dan lebih sering digunakan daripada asisten yang suaranya netral dan berpenampilan robotik. Ini menunjukkan bahwa naluri kita untuk meng-kucu-kan bahkan dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dan keberhasilan teknologi baru.
Dalam metaverse dan game online, identitas sering kali diungkapkan melalui avatar. Ada kecenderungan kuat bagi pengguna untuk memilih avatar yang sangat kucu, yang memproyeksikan kepolosan, keramahan, dan ketersediaan untuk interaksi. Avatar yang kucu berfungsi sebagai peredam konflik; lebih sulit untuk bersikap agresif terhadap karakter virtual yang memiliki mata besar dan proporsi yang tidak mengancam. Ini adalah strategi sosial untuk meningkatkan interaksi positif di lingkungan digital.
Fenomena kucu, dari definisi awalnya sebagai pemicu afeksi protektif hingga perannya sebagai raksasa ekonomi dan jembatan neurobiologis, adalah salah satu kekuatan emosional yang paling mendasar dan terprogram dalam diri manusia. Ia adalah pengakuan akan kerentanan, dan pada saat yang sama, komitmen untuk memelihara dan memanjakan kerentanan tersebut. Respons terhadap kekucuan adalah respons yang sehat dan vital, yang memastikan bahwa kita berinvestasi waktu dan energi dalam perawatan mereka yang paling membutuhkan.
Pada akhirnya, keinginan untuk meng-kucu-kan atau memanjakan sesuatu adalah ekspresi paling murni dari kemanusiaan. Ia memungkinkan kita untuk sesaat melupakan kompleksitas dunia dewasa dan kembali ke mode pengasuhan yang paling primal dan memuaskan secara emosional. Daya tarik abadi dari kucu terletak pada janji kenyamanan, kepolosan, dan ikatan emosional yang tak terputus. Fenomena ini akan terus berevolusi, tetapi intinya—sebuah panggilan untuk kasih sayang yang intens—akan tetap menjadi bagian fundamental dari pengalaman manusia.
Baik itu melalui desain karakter yang menggemaskan, interaksi dengan hewan peliharaan yang manja, atau sekadar menikmati gambar-gambar yang menyenangkan, kekucuan memainkan peran tak tergantikan dalam meningkatkan kesejahteraan emosional kita. Kemampuan kita untuk menemukan dan merespons hal-hal yang kucu adalah sebuah hadiah evolusioner yang terus membentuk dunia kita dengan kelembutan, dan secara konstan mengingatkan kita akan pentingnya cinta dan perhatian yang berlebihan—esensi sejati dari kekucuan itu sendiri.
Kekucuan juga terikat erat dengan dimensi temporal. Kita sering melihat benda-benda yang secara objektif tidak kucu menjadi kucu seiring berjalannya waktu, terutama jika mereka menjadi usang atau rusak. Sebuah boneka tua dengan mata yang terlepas atau goresan yang menunjukkan penggunaan bertahun-tahun, menjadi lebih kucu bagi pemiliknya. Kerentanan yang terlihat (bekas luka waktu) memicu respons kepedulian yang lebih mendalam, karena boneka tersebut kini menjadi relik pribadi yang membutuhkan perlindungan dari proses pelupaan. Ini adalah contoh bagaimana memori dan ikatan personal memperkuat nilai kekucuan, mengubah objek biasa menjadi objek yang sangat dimanjakan dan dihargai. Objek yang kucu dalam konteks ini adalah objek yang menyimpan narasi rentan.
Bahkan ruang fisik dapat dirancang agar terasa kucu. Arsitektur yang disebut 'kawaii' menggunakan proporsi yang tidak realistis, warna-warna pastel, dan bentuk-bentuk bundar untuk menciptakan lingkungan yang memicu perasaan aman dan nyaman. Ruangan atau bangunan yang kucu secara efektif mengurangi stres. Mereka adalah "sarang" pelindung dari kekerasan dan kekakuan lingkungan metropolitan. Desain interior berbasis kucu bertujuan untuk memaksimalkan rasa dimanjakan dan kepemilikan di ruang pribadi, menjadikannya sebuah manifestasi fisik dari keinginan kita untuk dikelilingi oleh hal-hal yang lembut dan tidak mengancam.
Meskipun Kinderschema memberikan dasar universal, apa yang dianggap "sangat kucu" atau layak dimanjakan sering kali sangat terikat pada norma budaya. Di beberapa budaya, kekucuan dikaitkan dengan kesempurnaan dan kebersihan; di tempat lain, ia merangkul ketidaksempurnaan, yang dikenal sebagai konsep wabi-sabi (keindahan dalam ketidaksempurnaan dan keusangan) yang diintegrasikan dengan kelembutan. Kekucuan yang dimanifestasikan dalam seni rakyat, misalnya, mungkin lebih kasar dan tidak simetris, tetapi daya tariknya justru terletak pada kejujuran dan kerentanannya—sebuah kekucuan yang jujur dan autentik.
Kekucuan bukan hanya tentang objek, tetapi juga tentang cara kita melihat dan memperlakukannya. Proses 'meng-kucu-kan' adalah sebuah ritual afeksi, sebuah pengakuan sadar bahwa meskipun dunia mungkin keras, kita memiliki kemampuan untuk menciptakan dan memelihara kantong-kantong kelembutan dan pemanjaan. Hal ini mencerminkan optimisme bawaan, keyakinan bahwa perhatian dan kasih sayang yang intens selalu merupakan investasi yang berharga.
Kekucuan tidak hanya disalurkan melalui visual, tetapi juga melalui bahasa non-verbal. Suara, intonasi, dan gerakan yang lambat, lembut, dan sedikit tidak terkoordinasi (clumsiness) semuanya memicu respons kucu. Misalnya, ketika seseorang berbicara dengan nada suara yang lebih tinggi dan lembut kepada bayi atau hewan peliharaan (sering disebut 'motherese'), mereka secara naluriah menggunakan bahasa yang memaksimalkan pemicu kekucuan. Intonasi ini meningkatkan pelepasan oksitosin pada pendengar dan pada pembuat suara itu sendiri, memperkuat ikatan emosional. Dalam konteks kucu, kecepatan adalah musuh; kelembutan dan kelambatan adalah kuncinya.
Penggunaan bahasa yang dipermudah atau istilah panggilan yang dilebih-lebihkan juga merupakan bagian dari ritual kucu. Panggilan sayang yang dibuat-buat, penggunaan sufiks yang diminutif (mengecilkan), atau modifikasi tata bahasa yang disengaja—semua ini adalah cara untuk secara verbal "memanjakan" penerima, menempatkan mereka dalam kategori khusus yang dilindungi dan disayangi secara berlebihan. Mekanisme bahasa ini adalah representasi paling jelas dari tindakan 'meng-kucu-ngucu' dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena kucu yang meluas dan mendalam ini menegaskan bahwa kebutuhan untuk melindungi, merawat, dan memanjakan adalah salah satu kebutuhan manusia yang paling kuat. Kita tidak hanya mencari kekucuan, kita secara aktif menciptakannya, memeliharanya, dan merayakan dampaknya yang menenangkan dan memperkaya kehidupan emosional kita. Kekucuan adalah bukti nyata dari kapasitas tak terbatas kita untuk kebaikan dan afeksi.