Konsep kujung, meskipun sering kali tersembunyi di balik istilah modern seperti ‘pariwisata’ atau ‘wisata religi’, sejatinya membawa beban makna yang jauh lebih dalam dan historis dalam khazanah kebudayaan Nusantara. Kujung bukan sekadar perjalanan fisik dari titik A ke titik B. Ia adalah sebuah narasi, sebuah persembahan, dan sebuah kewajiban spiritual yang mengikat manusia dengan leluhur, alam, dan pusat-pusat peradaban. Artikel ini akan menyelami hakikat kujung—sebuah perjalanan ziarah budaya yang melintasi dimensi ruang dan waktu, merangkai kembali benang-benang sejarah yang terputus di kepulauan yang luas ini.
Dalam konteks Indonesia, yang dihuni oleh ribuan suku dan tradisi, kujung menjelma menjadi praktik yang multifaset. Ia bisa berupa kunjungan tahunan ke makam keramat para wali, perjalanan sunyi menuju puncak gunung yang dianggap suci, atau ritual adat yang mengharuskan perpindahan komunitas dari desa asal ke pusat upacara. Kujung adalah manifestasi nyata dari kosmologi Nusantara, di mana batas antara yang profan dan yang sakral menjadi sangat tipis. Untuk memahami Indonesia seutuhnya, kita harus memahami mengapa pergerakan ini, yang disebut kujung, telah menjadi denyut nadi kehidupan sosial dan spiritual selama berabad-abad.
Secara etimologis, kata kujung berakar kuat dalam bahasa-bahasa Austronesia, sering kali diasosiasikan dengan 'kunjung' atau 'kunjungan' yang bermakna mendatangi atau berziarah. Namun, makna yang melekat pada kujung jauh melampaui definisi kamus. Ia mencakup dimensi niat, persiapan, dan tujuan yang bersifat transformatif. Ketika seseorang melakukan kujung, ia tidak hanya berpindah lokasi; ia sedang mencari pencerahan, memohon restu, atau memenuhi janji leluhur.
Dalam banyak tradisi adat di Jawa, Bali, hingga Borneo, perjalanan kujung selalu diselaraskan dengan visi kosmik. Pergerakan ini sering kali mengikuti sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung (tempat tinggal para dewa/roh leluhur), Laut (sumber kehidupan dan kekayaan), dan Keraton atau Desa (pusat peradaban manusia). Kujung ke lokasi-lokasi ini adalah upaya menjaga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Kegagalan melakukan kujung dapat diyakini membawa bencana alam atau kesialan bagi komunitas. Oleh karena itu, kujung bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan spiritual yang mengatur ritme hidup masyarakat agraris dan maritim.
Filosofi pergerakan ini menekankan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Kujung mengajarkan kerendahan hati dan pengakuan akan kekuatan yang lebih besar. Rute perjalanan sering kali diwarnai dengan pantangan dan ritual khusus—misalnya, larangan berbicara di tempat tertentu atau kewajiban membawa persembahan yang spesifik—yang semuanya bertujuan untuk menyucikan diri sebelum mencapai tujuan yang sakral. Ritual ini menjadikan perjalanan itu sendiri sebagai bagian dari pembersihan jiwa, bukan hanya alat untuk mencapai titik akhir.
Perbedaan fundamental antara kujung dan kunjungan biasa terletak pada intensi dan dimensi transenden. Kunjungan adalah kegiatan sosial atau komersial; kujung adalah ritual spiritual atau pelestarian adat. Dalam kujung, elemen *ziarah* sangat kental. Ziarah, dari bahasa Arab *ziyārah*, merujuk pada kunjungan ke tempat suci, makam orang saleh, atau situs yang memiliki nilai sejarah spiritual yang tinggi. Kujung merangkum konsep ini dalam kerangka budaya lokal. Tujuan dari kujung adalah mencari *barakah* (keberkahan), *sakti* (kekuatan spiritual), atau *ngalap berkah* (mendapatkan restu).
Seorang pelaku kujung mempersiapkan diri secara fisik dan mental; ia sering kali harus berpuasa, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian khusus. Persiapan yang rumit ini menunjukkan bahwa kujung adalah sebuah proyek identitas dan ketaatan. Ini adalah perjalanan untuk menegaskan kembali siapa mereka di mata leluhur dan komunitas. Bagi masyarakat Toraja di Sulawesi, misalnya, prosesi pemakaman besar bisa dianggap sebagai kujung agung, di mana keluarga dan kerabat dari jauh harus melakukan perjalanan (kujung) untuk menghormati almarhum, sebuah kewajiban sosial yang tak terhindarkan.
Sejarah Nusantara adalah sejarah pergerakan. Sebelum era kolonial, jaringan perdagangan, penyebaran agama, dan pertukaran budaya didominasi oleh perjalanan yang masif dan penuh risiko. Perjalanan-perjalanan ini, yang kita sebut sebagai kujung historis, membentuk peta sosiokultural Indonesia yang kita kenal sekarang.
Era Hindu-Buddha di Jawa dan Sumatra menyaksikan munculnya pusat-pusat ziarah yang megah. Borobudur dan Prambanan, misalnya, bukanlah sekadar monumen arsitektur; mereka adalah tujuan utama kujung bagi para peziarah dari seluruh Asia Tenggara, bahkan dari India dan Tiongkok. Para biksu dan bhiksu melakukan perjalanan panjang, sering kali berjalan kaki atau menempuh lautan, untuk mempelajari dharma dan mendapatkan pencerahan di situs-situs tersebut. Catatan I-Tsing menunjukkan betapa pentingnya Sriwijaya sebagai pusat kujung pembelajaran agama Buddha.
Ketika Islam menyebar, tradisi kujung bertransformasi, tetapi tidak hilang. Makam-makam para Wali Sanga di Jawa menjadi destinasi kujung yang paling penting. Praktik *ziarah kubur* ini mengadaptasi tradisi pra-Islam mengenai pemujaan leluhur dan kesucian tempat. Jutaan orang setiap tahun melakukan kujung ke Demak, Kudus, atau Ampel, sebuah perjalanan yang menuntut pengorbanan waktu, harta, dan tenaga. Kujung semacam ini memperkuat solidaritas komunitas Muslim dan melestarikan ingatan kolektif tentang awal mula Islam di Nusantara.
Di Aceh, kujung diarahkan ke makam ulama besar atau situs kerajaan Samudra Pasai. Di Sulawesi Selatan, jalur kujung mengikuti penyebaran Islam melalui jalur laut, menghubungkan kerajaan-kerajaan pesisir dengan pusat-pusat pembelajaran agama. Ini membuktikan bahwa kujung selalu berfungsi sebagai mekanisme untuk memperkuat identitas keagamaan dan memelihara hubungan lintas-wilayah, bahkan di tengah tantangan geografis yang ekstrem.
Selain dimensi spiritual, kujung juga memiliki fungsi politik. Pada masa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, kunjungan (kujung) ke wilayah taklukan atau sekutu merupakan ritual politik yang penting. Kujung ini bertujuan untuk menegaskan loyalitas, menyerahkan upeti, atau mempererat ikatan pernikahan antar bangsawan. Perjalanan diplomatik ini diuraikan dalam naskah-naskah kuno, menunjukkan betapa formal dan sakralnya pergerakan antar pusat kekuasaan.
Di jalur rempah, para pedagang dari Maluku, Banda, hingga Ternate melakukan kujung rutin ke bandar-bandar besar di Jawa, Sumatra, atau Malaka. Meskipun tujuan utamanya adalah ekonomi, perjalanan ini selalu dibungkus dengan ritual keselamatan dan restu spiritual. Sebelum berlayar, mereka melakukan upacara persembahan di laut atau meminta izin dari penjaga pelabuhan (Danyang atau Juru Kunci), yang menunjukkan bahwa aspek sakral dari pergerakan tidak pernah terlepas, bahkan dalam aktivitas komersial.
Setiap pulau di Nusantara memiliki tradisi kujung yang unik, disesuaikan dengan lanskap geografis dan struktur sosial mereka. Kujung bukan produk tunggal, melainkan mosaik budaya yang kaya.
Bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali, gunung adalah poros kosmik (*axis mundi*). Kujung ke gunung sering dilakukan oleh para pencari ilmu, orang yang sedang bertapa, atau mereka yang ingin mendapatkan wangsit (petunjuk gaib).
Ritual Yadnya Kasada yang dilakukan oleh Suku Tengger di Gunung Bromo adalah contoh kujung yang masif dan terstruktur. Masyarakat Tengger melakukan perjalanan panjang menuju kawah Bromo untuk mempersembahkan hasil bumi mereka ke dewa gunung, sebagai wujud syukur dan permohonan agar dijauhkan dari bencana. Kujung ini melibatkan ribuan orang dan merupakan penegasan identitas keagamaan mereka yang unik. Perjalanan ini adalah pengingat kolektif bahwa sumber kehidupan mereka bergantung pada restu gunung.
Di Jawa Barat, banyak situs kujung yang berupa petilasan (tempat persinggahan tokoh sejarah atau spiritual) di kawasan pegunungan. Kujung ke situs-situs ini seringkali dilakukan pada malam-malam tertentu (seperti malam Jumat Kliwon), disertai dengan meditasi dan pembacaan mantra. Ini adalah perjalanan pribadi yang seringkali sunyi, ditujukan untuk mendapatkan *karomah* atau kekuatan spiritual. Praktik ini menunjukkan bahwa kujung tidak selalu harus bersifat komunal, tetapi bisa menjadi dialog intim antara individu dan yang gaib.
Bagi masyarakat maritim seperti Bugis, Mandar, dan Suku Laut, kujung terikat erat dengan laut. Perjalanan pelayaran itu sendiri seringkali dianggap sebagai ritual yang membutuhkan perlindungan spiritual.
Suku Bugis Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Sebelum memulai pelayaran jauh dengan kapal Pinisi, mereka melakukan kujung ke pantai tertentu untuk upacara tolak bala, memohon keselamatan pelayaran, dan meminta restu dari penguasa laut, yang seringkali diasosiasikan dengan Ratu Laut. Pembuatan perahu Pinisi itu sendiri melibatkan serangkaian kujung ritual yang mengikuti siklus bulan dan hari baik. Setiap langkah, dari penebangan pohon hingga peluncuran kapal, diiringi oleh persembahan dan doa.
Di Bali, konsep kujung terlihat jelas dalam ritual Melasti atau Upacara Penyucian. Masyarakat dari berbagai desa melakukan kujung bersama-sama menuju pantai atau sumber air suci untuk membersihkan arca dan peralatan persembahyangan. Kujung massal ini adalah pembersihan kolektif, sebuah simbolisasi kembalinya air suci (Tirta Amerta) dari laut ke daratan, menjaga kesucian pulau dewata. Melasti bukan hanya ritual; ia adalah sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan seluruh komunitas dalam niat yang sama.
Dari sudut pandang antropologi, kujung berfungsi sebagai mekanisme yang memperkuat struktur sosial, mempertahankan memori kolektif, dan meredakan ketegangan antar-kelompok.
Dalam masyarakat yang terbagi secara geografis dan etnis, kujung bertindak sebagai perekat. Ambil contoh suku-suku di Papua yang melakukan perjalanan antar-lembah atau antar-pulau untuk menghadiri pesta adat penting. Perjalanan ini, meskipun melelahkan, adalah cara untuk menegaskan aliansi, mempertukarkan hadiah, dan menegaskan kembali garis kekerabatan. Tanpa kujung ini, ikatan sosial akan melemah dan tradisi lisan akan terputus. Kujung adalah media transmisi budaya yang paling efektif.
Di Sumatra Utara, tradisi *Horja* atau pesta besar seringkali mengharuskan kehadiran anggota marga dari berbagai lokasi. Perjalanan (kujung) ini merupakan penegasan silsilah dan tanggung jawab terhadap leluhur. Orang yang berhasil melakukan kujung, terutama yang berasal dari lokasi sangat jauh, akan mendapatkan penghormatan yang lebih tinggi, menunjukkan bahwa pengorbanan dalam perjalanan memiliki nilai sosial yang substansial.
Situs-situs kujung adalah buku sejarah yang hidup. Ketika masyarakat berziarah ke makam pahlawan lokal, goa prasejarah, atau sisa-sisa kerajaan kuno, mereka secara aktif terlibat dalam rekonstruksi memori kolektif. Kisah-kisah yang diwariskan secara lisan menjadi nyata saat peziarah berdiri di tempat di mana peristiwa bersejarah itu terjadi. Ini jauh lebih kuat daripada sekadar membaca buku sejarah. Kujung adalah pengalaman sinestetik yang mengikat individu pada narasi besar bangsanya.
Di Maluku, tradisi kujung ke benteng-benteng peninggalan masa perang rempah-rempah seringkali dilakukan untuk mengenang kegigihan leluhur melawan penjajah. Kujung semacam ini sarat dengan pesan patriotisme lokal dan spiritualitas perlawanan. Mereka mendatangi tempat-tempat tersebut bukan untuk mencari hiburan, tetapi untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap warisan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Globalisasi, teknologi, dan infrastruktur modern telah mengubah cara kujung dilakukan, tetapi esensi spiritualnya tetap bertahan. Kini, kujung menghadapi tantangan baru dalam mempertahankan autentisitasnya di tengah industrialisasi pariwisata.
Perkembangan transportasi yang mudah dan murah membuat situs-situs kujung, seperti makam Wali Sanga atau Borobudur, mengalami lonjakan pengunjung yang luar biasa. Fenomena ini, yang sering disebut wisata religi, membawa manfaat ekonomi tetapi juga risiko erosi nilai. Kujung yang tadinya merupakan perjalanan personal yang sunyi dan penuh pengorbanan, kini sering kali menjadi perjalanan massal yang berfokus pada kecepatan dan kenyamanan.
Tantangan utama adalah menjaga etika dan kesakralan situs. Bagaimana situs-situs keramat dapat menampung jutaan peziarah tanpa kehilangan aura kesuciannya? Pengelola situs harus bekerja keras untuk memastikan bahwa komersialisasi tidak menenggelamkan intensi spiritual. Kujung yang otentik harus tetap mengajarkan pelajaran tentang kesabaran, kerendahan hati, dan penghormatan. Jika kujung hanya menjadi sekadar *check-list* destinasi, maka maknanya akan hilang sepenuhnya.
Era digital memberikan peluang baru bagi kujung. Dokumentasi digital terhadap ritual, peta situs keramat, dan cerita lisan dapat memastikan bahwa memori kujung tidak hilang, bahkan jika situs fisiknya terancam oleh bencana alam atau pembangunan. Beberapa komunitas telah mulai menggunakan media sosial untuk mendokumentasikan perjalanan kujung mereka, menjadikannya arsip digital yang dapat diakses oleh generasi berikutnya yang mungkin tidak memiliki kesempatan untuk melakukan perjalanan fisik yang sama.
Namun, ada bahaya dalam kujung digital ini. Pengalaman spiritual dari perjalanan fisik—rasa lelah, kesunyian, dan interaksi langsung dengan alam—tidak dapat direplikasi sepenuhnya di dunia maya. Maka, teknologi harus berfungsi sebagai pelengkap, bukan pengganti, bagi kujung fisik yang sesungguhnya. Tugas kita adalah menggunakan teknologi untuk memperkaya pemahaman tentang tradisi kujung, bukan untuk memvirtualisasikannya hingga kehilangan esensi.
Untuk memahami kekayaan kujung, kita harus melihat bagaimana praktik ini termanifestasi dalam berbagai budaya di Indonesia.
Dalam masyarakat Batak Toba, kujung sering dikaitkan dengan tradisi *Martarombo* (menanyakan silsilah) dan *Partuturan* (sistem kekerabatan). Kunjungan kembali ke *bona pasogit* (tanah asal) adalah kujung wajib. Setiap orang Batak Toba diharapkan mengetahui di mana letak kampung halaman leluhurnya, makam-makam keramat para raja dan *oppung* (kakek/nenek), serta situs tempat marga mereka pertama kali berdiri.
Kujung ke bona pasogit bukan hanya reuni keluarga; ia adalah penegasan status sosial dan hak atas tanah adat. Saat melakukan kujung ini, peziarah membawa persembahan dan melakukan ritual di makam leluhur, memohon restu agar keturunan mereka sukses di perantauan. Kujung semacam ini memastikan bahwa ikatan *dalihan na tolu* (tiga tungku kekerabatan) tetap kuat, bahkan ketika anggota marga tersebar di seluruh dunia. Tanpa kujung fisik, ikatan marga bisa saja putus, dan identitas Batak mereka akan memudar.
Perjalanan ini juga seringkali menempuh rute-rute yang sulit di pegunungan Tapanuli, memaksa peziarah untuk menghayati kembali perjuangan leluhur mereka dalam membangun peradaban di tengah tantangan alam. Pengalaman fisik yang menantang inilah yang memberikan bobot spiritual yang nyata pada proses kujung tersebut.
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, konsep kujung sangat terjalin dengan keyakinan Marapu (kepercayaan leluhur). Perjalanan terpenting adalah menuju situs-situs megalitikum kuno dan kuburan batu yang menjadi tempat bersemayamnya roh Marapu. Kujung ini memuncak dalam upacara adat besar seperti Pasola atau ritual Pesta Panen.
Ketika seorang anggota keluarga meninggal, prosesi pemakaman bisa berlangsung bertahun-tahun, dan selama periode ini, akan ada serangkaian kujung oleh kerabat yang membawa persembahan hewan dan kain ikat. Kujung ini bukan hanya tentang belasungkawa, melainkan kontribusi nyata terhadap status sosial keluarga yang ditinggalkan. Lokasi pemakaman, yang seringkali merupakan pusat komunitas, menjadi tujuan kujung abadi, tempat di mana yang hidup dan yang mati saling berkomunikasi dan menjaga keseimbangan spiritual desa. Arsitektur rumah adat Sumba sendiri (Uma) merefleksikan kujung vertikal, di mana atap tinggi adalah tempat bersemayamnya roh leluhur, sebuah kujung tanpa pergerakan fisik.
Bagi suku-suku Dayak di Kalimantan, sungai adalah urat nadi kehidupan. Banyak praktik kujung diarahkan ke hulu sungai yang dianggap sebagai sumber kehidupan murni atau tempat bersemayamnya roh air. Kujung ini seringkali dilakukan dengan perahu panjang (jukung) yang dihiasi ukiran simbolis.
Salah satu bentuk kujung penting adalah perjalanan mencari bahan baku untuk ritual atau membangun rumah panjang (*Lamin*). Perjalanan ke hutan belantara ini diyakini penuh dengan cobaan spiritual. Sebelum memasuki hutan, ritual izin dan persembahan dilakukan. Selama perjalanan, segala bentuk konflik dilarang. Kujung ini bukan hanya eksplorasi sumber daya alam, tetapi juga negosiasi dengan roh penjaga hutan. Bagi Dayak, kujung adalah ekspresi dari hukum adat yang mengharuskan mereka untuk hidup harmonis dan tidak merusak alam, karena alam itu sendiri adalah entitas yang dihormati dan diziarahi.
Di luar ritual dan sejarah, kujung mencerminkan perjalanan eksistensial manusia dalam mencari makna dan jati diri. Setiap langkah adalah refleksi.
Seperti ziarah pada umumnya, kujung seringkali merupakan upaya untuk melepaskan diri sementara dari rutinitas dan keterikatan duniawi. Ketika seseorang meninggalkan kenyamanan rumah dan menghadapi kesulitan perjalanan—rasa lelah, lapar, bahaya alam—ia sedang melakukan pemurnian diri. Tantangan fisik menjadi alat untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Kelelahan yang dialami selama kujung dianggap sebagai penebusan dosa atau pengorbanan yang disukai oleh leluhur atau Tuhan.
Dalam tradisi kejawen, perjalanan *lelaku* (ritual berjalan kaki jarak jauh) adalah bentuk kujung yang keras. Tujuannya adalah untuk mencapai kondisi *suwung* (kekosongan), di mana ego dikesampingkan dan seseorang dapat menerima petunjuk ilahi. Filosofi ini menekankan bahwa perjalanan sejati adalah perjalanan ke dalam diri, dan pergerakan fisik hanyalah katalisator. Ketika peziarah kembali dari kujung, ia diharapkan membawa pulang bukan hanya keberkahan, tetapi juga transformasi karakter yang permanen.
Kujung sering kali dilakukan secara berulang mengikuti siklus waktu (musim panen, tahunan, atau siklus lima tahunan). Ini memperkuat konsep waktu yang melingkar, di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan saling terhubung. Ketika seseorang melakukan kujung, ia tidak hanya mengenang masa lalu; ia sedang mengulang tindakan leluhur di masa lalu, sehingga membawa kembali kekuatan masa lalu ke masa kini. Ini adalah cara efektif untuk mengatasi linearitas waktu modern.
Misalnya, pada saat *Sekaten* di Yogyakarta, prosesi ritual yang menyertai perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah bentuk kujung ritualistik yang diulang setiap tahun. Pergerakan keraton dan masyarakat ke alun-alun adalah pengulangan sejarah pendirian kerajaan, yang memastikan bahwa legitimasi kekuasaan spiritual dan politik tetap utuh. Kujung semacam ini adalah ritual pemeliharaan keberlanjutan peradaban.
Bagaimana tradisi kujung dapat bertahan di masa depan? Ancaman terbesar datang dari kerusakan lingkungan dan asimilasi budaya yang cepat.
Banyak situs kujung terikat erat dengan ekosistem yang rentan, seperti hutan adat, pegunungan yang masih perawan, atau terumbu karang yang suci. Praktik kujung tradisional seringkali memiliki aturan konservasi yang ketat. Larangan memetik tumbuhan atau berburu di area tertentu saat kujung berfungsi sebagai hukum adat yang melindungi lingkungan.
Di masa depan, kujung dapat dihidupkan kembali sebagai alat advokasi lingkungan. Dengan menyoroti pentingnya situs-situs suci ini bagi identitas dan spiritualitas, masyarakat dapat memobilisasi perlindungan terhadap ancaman seperti pertambangan ilegal atau deforestasi. Kujung modern harus mencakup etika konservasi yang kuat, di mana peziarah tidak hanya mencari restu, tetapi juga berkomitmen untuk melindungi tempat yang mereka ziarahi. Ini adalah pergeseran dari kujung *mencari* ke kujung *melindungi*.
Contohnya di Mentawai, Sumatra Barat, kujung ke hutan bagi *Sikerei* (dukun adat) adalah perjalanan yang esensial untuk mendapatkan obat-obatan dan berkomunikasi dengan roh hutan. Perjalanan ini mengajarkan mereka tentang batas-batas pemanfaatan alam. Jika hutan musnah, tradisi kujung dan seluruh pengetahuan penyembuhan mereka juga akan hilang. Pelestarian kujung adalah pelestarian keanekaragaman hayati.
Tantangan terbesar dalam melestarikan kujung adalah menarik minat generasi muda yang lebih terfokus pada budaya global dan teknologi instan. Pendidikan formal dan informal harus memasukkan pemahaman tentang kujung, bukan hanya sebagai sejarah, tetapi sebagai praktik yang relevan.
Sekolah dapat mendorong "kujung pendidikan" ke situs-situs adat. Orang tua dan tokoh adat harus secara aktif melibatkan anak-anak dalam ritual kujung sejak usia dini, mengajarkan mereka pantangan dan etika perjalanan. Hanya melalui partisipasi aktiflah makna mendalam dari kujung dapat diinternalisasi. Pewarisan ini tidak boleh hanya berupa teori, tetapi harus berupa pengalaman yang meresap ke dalam jiwa. Kujung yang efektif adalah yang mampu menanamkan rasa hormat dan koneksi yang mendalam, bukan hanya memori visual.
Kita perlu menciptakan narasi yang kuat bahwa kujung adalah warisan yang tak ternilai. Ini adalah peta spiritual yang menunjukkan di mana leluhur kita meletakkan fondasi peradaban. Tanpa kujung, kita akan menjadi bangsa yang terputus dari akar spiritual dan sejarahnya sendiri, tercerabut di tengah hiruk pikuk modernitas yang serba cepat dan fana. ***
Setelah menjelajahi dimensi sejarah, spiritual, dan antropologi dari konsep kujung, kita dapat melihat bahwa ia adalah salah satu pilar utama yang menyangga kerangka kebudayaan Nusantara. Kujung adalah pergerakan yang bermakna, sebuah ritus transisi yang mengubah peziarah dan pada saat yang sama memperkuat ikatan antara manusia, alam, dan yang Ilahi. Baik dalam bentuk ziarah Wali Sanga yang ramai, perjalanan sunyi ke puncak gunung, atau pelayaran penuh risiko di lautan lepas, kujung adalah bahasa universal di Indonesia yang berbicara tentang pencarian makna abadi. Ia adalah warisan yang harus terus dipraktikkan, dipahami, dan dijaga kesuciannya agar generasi mendatang tetap menemukan arah di peta spiritual Nusantara yang tiada batas.
Tradisi kujung mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati sebuah bangsa tidak terletak pada kemegahan bangunan atau kecepatan teknologinya, melainkan pada kedalaman hubungan spiritual yang terjalin antara masa lalu dan masa kini. Kujung adalah janji abadi untuk selalu kembali ke asal, untuk menghormati sumber kehidupan, dan untuk melanjutkan kisah yang dimulai oleh para pendahulu kita ribuan tahun yang lalu. ***
Filsafat Jawa dan Sunda menawarkan pemahaman yang sangat mendalam mengenai konsep kujung, sering kali dikaitkan dengan istilah *tapa* atau *tirakat*. Kujung dalam tradisi ini bukanlah sekadar bepergian, tetapi proses penempaan diri yang ekstrem. Sebagai contoh, tradisi kunjungan ke makam-makam kuno raja atau tokoh sakti (seperti makam Sunan Kalijaga atau situs prasejarah di Gunung Padang) menuntut persiapan yang detail, mulai dari puasa mutih (hanya makan nasi putih dan minum air putih) hingga larangan tidur selama beberapa malam. Tujuannya adalah mencapai kondisi *waskita*, yaitu pandangan atau pemahaman yang jernih dan gaib, yang hanya bisa diperoleh setelah melewati berbagai rintangan fisik dan mental. Kujung semacam ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak dapat dibeli, melainkan harus diperjuangkan melalui pengorbanan yang disengaja.
Dalam konteks Sunda, konsep *Jati Diri* (identitas sejati) sering dicari melalui kujung ke situs-situs yang memiliki kekuatan alam (*Pancer*). Misalnya, perjalanan ke Curug (air terjun) yang dianggap keramat atau batu-batu besar (*batu tapak*) yang dipercaya menyimpan jejak langkah para dewa atau leluhur. Kujung ini bertujuan untuk menyelaraskan energi pribadi dengan energi kosmis, memastikan bahwa individu hidup sesuai dengan *wibawa* (kharisma) yang telah ditetapkan oleh leluhur. Tanpa kujung yang teratur, dipercaya bahwa wibawa seseorang akan luntur dan ia akan kehilangan arah hidupnya. Oleh karena itu, kujung adalah ritual pemeliharaan spiritual yang harus dilakukan secara periodik, bukan hanya sekali seumur hidup.
Hubungan antara kujung dan pertanian juga sangat erat. Sebelum memulai musim tanam, petani di Jawa sering melakukan kujung ke *Sendang* (mata air suci) terdekat untuk mengambil air suci (*Tirta*) yang kemudian dipercikkan di sawah. Ini adalah kujung permohonan agar panen berhasil dan terhindar dari hama. Kujung semacam ini menunjukkan bahwa praktik spiritual meresap ke dalam aktivitas ekonomi sehari-hari, membuktikan bahwa bagi masyarakat Nusantara, tidak ada pemisahan yang jelas antara urusan duniawi dan urusan spiritual. Keduanya terjalin erat dalam setiap perjalanan dan pergerakan.
Konsep kujung juga dapat dilihat sebagai dialektika abadi antara pusat kekuasaan (Keraton, Pusat Agama) dan pinggiran (Desa, Wilayah Adat). Kujung dari pinggiran ke pusat selalu membawa persembahan—baik itu hasil bumi, upeti, atau pertunjukan seni. Ini adalah penegasan hierarki dan pengakuan otoritas. Sebaliknya, kujung dari pusat ke pinggiran (misalnya, kunjungan raja atau ulama) adalah bentuk legitimasi dan penyebaran pengaruh.
Namun, kujung juga memberikan kekuatan tersembunyi kepada pinggiran. Situs-situs yang paling sakral seringkali terletak di lokasi terpencil—puncak gunung yang sulit dijangkau, gua yang gelap, atau makam yang tersembunyi di hutan. Ini berarti bahwa pusat harus tunduk pada kesulitan perjalanan untuk mendapatkan restu dari pinggiran yang dianggap lebih murni dan dekat dengan alam atau leluhur. Kekuatan spiritual berada di pinggiran, sementara kekuatan politik berada di pusat. Kujung adalah jembatan yang menyeimbangkan kedua kekuatan ini.
Dalam konteks Minangkabau, Sumatra Barat, tradisi kujung ke *Nagari* (desa adat) oleh para perantau (*Marapulai*) merupakan ritual penting. Meskipun perantau telah sukses di kota, mereka wajib melakukan kujung ke tanah asal untuk menegaskan kembali statusnya di mata kaum ibu (Matrilineal). Perjalanan pulang ini adalah pengakuan bahwa identitas dan hak mereka tetap terikat pada tanah leluhur. Kujung ini memastikan bahwa kekayaan dan pengetahuan yang didapat di perantauan kembali disuntikkan ke dalam sistem adat di Nagari. Kegagalan melakukan kujung dapat mengakibatkan pengucilan spiritual dan sosial.
Aspek ini sangat relevan dalam konteks modern, di mana banyak pemuda Nusantara merantau ke kota-kota besar. Tradisi kujung ke kampung halaman (mudik/pulang kampung) pada dasarnya adalah adaptasi modern dari ritual ziarah adat ini. Walaupun kini didorong oleh liburan, akar terdalamnya tetaplah kewajiban untuk memperbarui ikatan dengan keluarga dan situs leluhur, sebuah bentuk kujung yang tak terhindarkan bagi setiap anak bangsa yang merantau.
Banyak bentuk seni pertunjukan Nusantara lahir dari atau merupakan bagian integral dari praktik kujung. Seni ini seringkali digunakan untuk mengiringi atau merayakan kedatangan peziarah di lokasi sakral.
Di Bali, tarian sakral seperti Tari Sang Hyang Dedari sering kali dilakukan sebagai bagian dari ritual kujung ke pura tertentu pada hari-hari besar. Tarian ini berfungsi sebagai medium komunikasi dengan roh leluhur dan dewa. Gerakan tarian itu sendiri adalah representasi dari perjalanan spiritual, sebuah narasi visual tentang pencarian kesucian. Seni menjadi penanda bahwa kujung yang dilakukan telah diterima dan roh telah berkenan hadir.
Di Jawa, seni wayang kulit sering dipentaskan dalam rangkaian ritual kujung ke makam keramat. Lakon-lakon yang dipilih biasanya mengandung pesan moral tentang kesetiaan, pengorbanan, dan perjalanan spiritual para pahlawan. Para peziarah duduk semalam suntuk, menjadikan pertunjukan wayang sebagai bagian dari tirakat mereka. Mendengarkan cerita-cerita epik tersebut adalah bentuk kujung mental, yang memperkaya batin peziarah dan memberikan mereka kekuatan untuk melanjutkan perjalanan hidup.
Bahkan dalam tradisi musik, instrumen gamelan memiliki peran penting. Irama gamelan yang dimainkan selama prosesi kujung berfungsi sebagai pemandu, menyelaraskan langkah kaki peziarah dengan ritme alam semesta. Gamelan tidak hanya menghibur; ia adalah alat ritual yang menciptakan ruang sakral, memastikan bahwa niat kujung tetap murni dan terarah. Seni, dalam konteks kujung, adalah jembatan yang menghubungkan yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Di wilayah Timur Indonesia, di mana lautan mendominasi, konsep kujung mengambil bentuk yang sangat maritim dan bersifat komunal.
Di Maluku, tradisi *Pela Gandong* (persaudaraan abadi) mewajibkan desa-desa yang terikat sumpah persatuan untuk saling mengunjungi dalam ritual tertentu. Perjalanan ini, yang merupakan bentuk kujung, melibatkan pelayaran antar-pulau dengan perahu tradisional. Kujung *Pela* adalah perwujudan janji leluhur; komunitas harus melakukan perjalanan jauh untuk membantu desa *Pela* mereka, baik dalam pembangunan, perayaan, atau saat bencana. Perjalanan ini memperkuat identitas regional yang melampaui batas agama dan etnis. Kesulitan yang dialami selama perjalanan melambangkan pengorbanan dan kesetiaan abadi.
Di Papua, terutama di wilayah pegunungan, kujung antar-lembah sering dilakukan dalam rangka perang suku yang telah disepakati atau upacara perdamaian. Perjalanan ini menempuh medan yang sangat ekstrem. Bagi suku Dani di Lembah Baliem, misalnya, kujung ke tempat penyimpanan mumi leluhur adalah ritual suci untuk meminta nasihat sebelum mengambil keputusan besar atau memulai musim tanam. Kujung ini menuntut ketahanan fisik yang luar biasa, yang secara inheren dianggap sebagai ujian kelayakan spiritual. Hutan dan gunung yang dilewati adalah bagian dari ritual, bukan sekadar latar belakang. Mereka yang berhasil menuntaskan kujung dianggap memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.
Di wilayah pesisir Papua, kujung terkait dengan ritual laut. Suku Asmat melakukan perjalanan kano ke tempat-tempat di mana kayu suci terbaik dapat ditemukan untuk ukiran mereka (Patung Bis). Perjalanan ini dianggap sebagai kujung kreatif, di mana seni dihubungkan langsung dengan sumber daya alam yang sakral. Setiap ukiran adalah hasil dari kujung yang bermakna, membawa serta kekuatan dari hutan dan roh leluhur yang mengawasi proses pembuatan seni tersebut.
Kekuatan kujung juga terletak pada kemampuannya untuk menegakkan hukum adat. Tempat-tempat yang menjadi tujuan kujung otomatis mendapatkan perlindungan dari komunitas.
Di Toraja, Sulawesi Selatan, *Tongkonan* (rumah adat) dan *Rante* (lapangan upacara pemakaman) adalah situs-situs yang dikunjungi terus-menerus. Hukum adat menetapkan bahwa lokasi-lokasi ini harus dihormati dan tidak boleh dirusak. Pelanggaran terhadap kesucian situs kujung ini dapat dikenai sanksi berat, mulai dari denda adat hingga pengucilan. Ini menunjukkan bahwa kujung adalah mekanisme regulasi sosial yang efektif dalam masyarakat adat. Situs-situs yang penting untuk kujung menjadi jantung dari sistem hukum adat yang berlaku.
Bahkan di desa-desa yang modern, tradisi *Nyadran* di Jawa, sebuah kujung massal ke makam leluhur sebelum Ramadan, berfungsi sebagai penegasan kembali batas-batas desa dan kepemilikan komunal atas tanah. Kujung ini bukan hanya tentang doa, tetapi juga tentang pertemuan sosial di mana sengketa diselesaikan dan kewajiban komunal dipenuhi. Ini adalah parlemen berjalan di mana setiap peziarah, melalui kehadirannya, menegaskan kembali hukum dan tatanan sosial yang berlaku.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang pelestarian budaya, kita harus fokus pada pelestarian tradisi kujung itu sendiri. Selama masyarakat masih melakukan perjalanan ziarah ini, situs-situs suci akan terus dijaga, dan hukum adat yang melingkupinya akan tetap dihormati. Kujung adalah kunci keberlanjutan budaya yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, esensi dari kujung adalah siklus. Setiap kujung memiliki akhir fisik—peziarah kembali ke rumah. Namun, akhir ini adalah permulaan dari kehidupan baru. Peziarah kembali sebagai individu yang berbeda, yang telah melewati cobaan dan menerima *barakah*.
Pengalaman dari perjalanan—kebersamaan dengan sesama peziarah, kesunyian di hadapan alam, atau momen pencerahan di situs keramat—semuanya dibawa kembali dan diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kujung adalah pembaruan kontrak antara manusia dan dunia spiritual. Kontrak ini memastikan bahwa kehidupan berjalan selaras dengan prinsip-prinsip leluhur dan hukum kosmik.
Nusantara, sebagai kepulauan yang dipersatukan oleh laut, telah lama menjadi arena bagi kujung agung ini. Dari Sabang hingga Merauke, jutaan perjalanan telah dilakukan, meninggalkan jejak spiritual yang tak terhapuskan. Kujung bukan hanya sebuah kata kerja; ia adalah identitas, sebuah cara hidup yang merayakan pergerakan, pengorbanan, dan pencarian abadi akan kesucian di tengah kekayaan budaya yang tak terhingga. Tradisi kujung adalah inti sari dari jiwa petualang dan spiritualitas kolektif bangsa Indonesia, sebuah warisan yang akan terus bergulir seiring roda zaman.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang kujung, kita memahami bahwa kita semua adalah peziarah dalam perjalanan abadi. Tugas kita adalah memastikan bahwa rute-rute suci ini tetap terbuka, bahwa cerita-cerita tentang perjalanan para leluhur terus diceritakan, dan bahwa semangat pengorbanan serta penghormatan yang melekat pada kujung terus menjadi kompas moral bagi bangsa ini.
Mari kita terus merawat tradisi kujung. Mari kita pahami bahwa setiap perjalanan ke tempat suci, setiap kunjungan ke rumah adat, setiap kepulangan ke tanah leluhur, adalah sebuah deklarasi komitmen terhadap pelestarian identitas Nusantara. Kujung adalah panggilan untuk selalu mengingat asal-usul, menghormati lingkungan, dan menemukan makna sejati dalam setiap langkah yang kita ambil di bumi pertiwi. Inilah warisan terbesar yang kita miliki: kemampuan untuk selalu kembali, untuk selalu berziarah, untuk selalu melakukan kujung.