Istilah kulir, yang sering kali disingkat menjadi 'kuli' dalam penggunaan sehari-hari, bukan sekadar sebuah kata benda yang merujuk pada profesi. Ia adalah sebuah kapsul waktu, sebuah terminologi yang menyimpan lapisan-lapisan sejarah, penderitaan, eksploitasi, dan sekaligus ketahanan luar biasa dari rakyat Nusantara. Kulir mendefinisikan seorang pekerja manual, biasanya buruh kasar yang terlibat dalam pekerjaan fisik intensitas tinggi—mulai dari memindahkan material, membangun infrastruktur, hingga menggarap lahan pertanian skala besar.
Asal usul kata ini diperkirakan berakar dari bahasa Asia Selatan (Hindi: kuli), yang dibawa ke kawasan maritim Asia Tenggara melalui jalur perdagangan atau, yang lebih dominan, melalui mekanisme kerja paksa dan kontrak di era kolonial. Dalam konteks Hindia Belanda, istilah ini memperoleh makna yang sangat spesifik dan meresap dalam struktur sosial. Kulir bukanlah pekerja bebas biasa; ia seringkali terikat pada sistem kontrak yang keras, yang membatasi hak-haknya dan menempatkannya dalam posisi tawar yang nyaris nol di hadapan pemodal atau penguasa perkebunan.
Memahami kulir berarti harus menelusuri bagaimana tenaga kerja massal diorganisir untuk memproduksi kekayaan bagi imperium kolonial. Mulai dari pembangunan rel kereta api di Jawa, pembukaan perkebunan tembakau raksasa di Deli, hingga penambangan timah di Bangka dan Belitung, semua bergantung pada keringat dan tulang punggung para kulir. Mereka adalah pahlawan tanpa nama yang membangun fondasi fisik dari sebuah negara yang kelak merdeka, namun sejarah mereka seringkali ditulis dengan tinta yang samar.
Periode kolonial menandai puncak eksploitasi terhadap tenaga kerja manual, yang dilembagakan melalui serangkaian regulasi yang kejam. Di antara regulasi yang paling terkenal dan paling memengaruhi kehidupan para pekerja adalah Koeli Ordonnantie (Ordonansi Kulir) yang diterapkan secara ketat, terutama di wilayah perkebunan luar Jawa, seperti Sumatra Timur. Ordonansi ini memberikan dasar hukum bagi sistem kerja kontrak yang represif, memastikan bahwa pekerja tidak dapat melarikan diri dari majikannya sebelum masa kontrak berakhir, seringkali di bawah ancaman sanksi pidana yang dikenal sebagai Poenale Sanctie.
Poenale Sanctie adalah instrumen hukum yang sangat efektif dalam menahan mobilitas tenaga kerja dan mempertahankan disiplin kerja yang brutal. Jika seorang kulir melanggar kontrak—entah itu karena tidak datang bekerja, mogok, atau mencoba melarikan diri dari lingkungan perkebunan yang penuh penyakit dan tekanan—ia dapat dijatuhi hukuman penjara, kerja paksa tambahan, atau denda, yang semuanya justru semakin mengikatnya pada majikan. Keberadaan sanksi pidana ini menciptakan sebuah penjara ekonomi raksasa yang membentang di seluruh perkebunan, memastikan pasokan tenaga kerja yang murah dan patuh demi keuntungan maksimal pihak Eropa.
Eksistensi Poenale Sanctie ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan inti dari trauma kolektif yang diwariskan oleh generasi kulir. Ia bukan hanya mengatur jam kerja, tetapi juga mengatur kehidupan pribadi, kesehatan, dan bahkan pernikahan para pekerja. Kondisi hidup yang disediakan seringkali sangat minim, pondok-pondok semi-permanen yang disebut kampong kulir menjadi saksi bisu atas tingginya angka kematian dan penyakit tropis yang merajalela. Catatan sejarah mencatat bagaimana perusahaan-perusahaan perkebunan melihat kulir lebih sebagai aset yang dapat diganti daripada sebagai manusia dengan hak asasi.
Perlakuan terhadap kulir juga bervariasi tergantung lokasi geografisnya. Di Jawa, dengan populasi yang padat dan tradisi pertanian yang panjang, tenaga kerja seringkali digunakan untuk proyek infrastruktur publik (jalan, irigasi, bendungan) atau dalam sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), meskipun bentuk eksploitasinya berbeda dengan sistem kontrak di Sumatra. Di Sumatra dan Kalimantan, di mana populasi asli jarang, terjadi impor besar-besaran kulir dari Jawa, Tiongkok, dan India. Kulir migran ini, terpisah dari komunitas asalnya, menjadi lebih rentan terhadap kontrol ketat dan Poenale Sanctie.
Narasi tentang kulir di Deli, misalnya, adalah narasi yang penuh dengan kisah ketidakadilan. Mereka bekerja di bawah terik matahari, mengolah tembakau Deli yang dikenal mahal di pasar Eropa. Setiap daun tembakau yang dipetik adalah hasil dari pengorbanan fisik dan mental. Studi menunjukkan bahwa tingkat produktivitas yang dicapai oleh perkebunan Deli tidak mungkin terjadi tanpa adanya mekanisme kontrol yang memaksa individu untuk bekerja melampaui batas kemampuan fisik normal.
Meskipun ditempatkan dalam kondisi yang menindas, komunitas kulir mengembangkan mekanisme ketahanan dan budaya yang unik. Dalam keterbatasan pondok-pondok kerja, mereka membangun solidaritas yang kuat. Solidaritas ini sering kali termanifestasi dalam bentuk ritual, lagu-lagu kerja (seringkali berisi ratapan tersembunyi terhadap nasib), dan cara-cara informal untuk saling membantu di luar jangkauan pengawasan mandor.
Dalam lingkungan multietnis seperti perkebunan di Sumatra, para kulir dari berbagai latar belakang (Jawa, Sunda, Tiongkok, Melayu, dan lainnya) terpaksa menciptakan bahasa komunikasi baru, yang seringkali menjadi cikal bakal bahasa Melayu Pasar atau dialek lokal yang berbeda. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga media perlawanan pasif, memungkinkan mereka berbagi informasi atau merencanakan protes kecil tanpa dipahami oleh pengawas. Identitas ‘kulir’ itu sendiri, yang awalnya adalah cap status sosial rendah, perlahan bertransformasi menjadi sebuah identitas berbasis pengalaman bersama—pengalaman hidup di bawah sistem penindasan yang sama.
Filosofi yang diwariskan dari kehidupan kulir adalah tentang ketabahan (endurance). Mereka adalah representasi fisik dari pepatah "Biar lambat asal selamat, biar lelah asal tercapai." Kerja keras bukan lagi pilihan, melainkan syarat untuk bertahan hidup. Etos kerja ini, yang sering disalahartikan oleh pihak kolonial sebagai kepatuhan yang buta, sebenarnya adalah strategi adaptasi terhadap lingkungan yang sangat bermusuhan. Setelah Indonesia merdeka, etos kerja keras ini diserap dan disalurkan kembali ke dalam semangat pembangunan nasional, di mana ‘kuli bangunan’ (pekerja konstruksi) dihormati sebagai motor penggerak fisik bangsa.
Sejarah mencatat bahwa setiap batu fondasi, setiap bentangan rel, dan setiap hektar perkebunan yang memberi kekayaan kepada kolonialisme diukir oleh tetesan keringat dan air mata kulir. Mereka adalah pilar bisu yang menopang arsitektur kekuasaan.
Ketika sistem kolonial runtuh, terminologi kulir mengalami proses dekolonisasi makna. Walaupun Poenale Sanctie dihapuskan dan sistem kontrak paksa secara resmi berakhir, tantangan ekonomi baru muncul. Dalam masa-masa awal kemerdekaan, negara membutuhkan upaya pembangunan besar-besaran, yang kembali membutuhkan tenaga kerja manual dalam skala besar. Peran kulir tidak hilang, namun transformasinya menjadi ‘pekerja’ atau ‘buruh’ mencerminkan upaya untuk menghapus konotasi perbudakan dan eksploitasi yang melekat pada istilah lama.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan infrastruktur (waduk, jalan tol, pelabuhan, dan pabrik) menjadi fokus utama. Tenaga kerja yang dulu disebut kulir kini menjadi bagian integral dari proyek-proyek pembangunan ini. Mereka yang bekerja di sektor konstruksi dianggap sebagai 'pahlawan pembangunan.' Meskipun kondisi kerja seringkali masih jauh dari ideal dan upah tetap rendah, setidaknya ikatan kontraktual yang mengancam nyawa dan kebebasan fisik sudah tiada.
Transformasi ini juga menuntut perubahan dalam cara pandang masyarakat. Negara berusaha mengangkat martabat pekerjaan manual, menekankan pentingnya kontribusi fisik terhadap kemajuan ekonomi. Namun, secara sosiologis, masih ada garis tipis yang memisahkan antara menghormati kontribusi buruh dan mengakui upah yang layak. Seringkali, sektor pekerjaan manual terus menjadi pekerjaan dengan upah minimum, mencerminkan warisan sejarah di mana tenaga kerja fisik dianggap sebagai komoditas yang murah dan melimpah.
Seiring berjalannya waktu, gerakan buruh modern muncul, menuntut hak-hak yang jauh melampaui sekadar kebebasan fisik. Mereka menuntut keselamatan kerja, asuransi, upah minimum yang adil, dan hak berserikat. Perjuangan ini adalah kelanjutan dari perlawanan pasif yang dilakukan oleh para kulir di masa lalu. Gerakan buruh modern berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun belenggu fisik telah dilepas, belenggu ekonomi dan struktural masih seringkali menjerat pekerja manual.
Sehingga, istilah kulir tidak benar-benar mati; ia hanya bereinkarnasi. Ia menjadi simbol perjuangan kelas pekerja yang terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang setara dengan nilai pekerjaan mereka yang berat dan penting. Studi mendalam mengenai perbandingan antara buruh perkebunan tembakau Deli abad ke-19 dan pekerja pabrik modern menunjukkan adanya pola-pola eksploitasi yang berulang, meskipun dalam bentuk yang lebih terselubung dan terindustrialisasi.
Di abad ke-21, dalam hiruk pikuk revolusi digital dan ekonomi berbasis aplikasi, muncul bentuk-bentuk baru dari pekerjaan manual yang dapat disebut sebagai ‘kulir modern.’ Mereka adalah para pekerja kurir (ojek online, pengiriman makanan), pekerja gudang, dan pekerja lepas harian yang tidak memiliki jaminan pekerjaan tetap. Meskipun mereka sering dianggap 'mitra' oleh perusahaan platform, realitas ekonomi menempatkan mereka dalam posisi yang sangat mirip dengan kulir masa lalu: tenaga kerja fleksibel, mudah diganti, dan minim jaminan sosial.
Inti dari pekerjaan kulir modern adalah fleksibilitas yang menipu. Pekerja memiliki 'kebebasan' untuk memilih jam kerjanya, namun tekanan untuk mencapai target pendapatan menuntut mereka untuk bekerja dalam waktu yang sangat lama dan intensif. Mereka menanggung sendiri risiko operasional (perawatan kendaraan, bensin, asuransi kesehatan), sementara perusahaan platform menikmati keuntungan dari tenaga kerja yang tersentralisasi namun terdesentralisasi secara tanggung jawab. Ini adalah bentuk baru dari Poenale Sanctie, di mana 'hukuman' bagi kegagalan adalah hilangnya pendapatan harian dan rating yang buruk, yang secara efektif mengeluarkannya dari pasar kerja.
Penggunaan algoritma untuk mengelola dan menilai kinerja semakin memperkuat isolasi pekerja individual. Jika kulir kolonial berhadapan dengan mandor manusia yang kejam, kulir modern berhadapan dengan algoritma yang dingin dan tanpa emosi. Algoritma ini menentukan upah, distribusi kerja, dan potensi pemutusan hubungan kerja, menciptakan ketidakpastian yang konstan dan memaksa pekerja untuk terus bekerja keras demi menjaga rating yang stabil.
Di kota-kota besar Indonesia, pekerjaan kulir tradisional—seperti tukang becak, pemulung, dan buruh bongkar muat di pelabuhan—masih menjadi denyut nadi perekonomian informal. Mereka ini adalah kulir yang paling terlihat, yang menghadapi tantangan ganda dari kurangnya regulasi pemerintah dan persaingan yang ketat. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa meskipun ekonomi telah bertransformasi, kebutuhan dasar akan tenaga fisik kasar untuk memindahkan barang dan jasa tidak pernah hilang.
Diskusi mengenai kulir modern ini penting karena mengingatkan kita bahwa masalah mendasar dari nilai tenaga kerja manual masih belum terpecahkan. Bagaimana masyarakat menghargai dan melindungi mereka yang pekerjaannya mengharuskan mereka untuk menukar energi fisik dengan upah minimum? Ini adalah pertanyaan yang diwariskan langsung dari masa Ordonansi Kulir ke dalam era digital saat ini.
Untuk memahami kedalaman warisan kulir, kita perlu menganalisis filosofi ketahanan yang memungkinkan mereka bertahan dari generasi ke generasi. Ini bukan sekadar tentang kekuatan otot, tetapi kekuatan mental dan sosial yang terstruktur di sekitar sembilan pilar fundamental:
Kulir belajar hidup dalam kondisi yang paling tidak menentu, dari cuaca ekstrem hingga kekurangan gizi kronis. Adaptabilitas mereka melampaui fisik; itu adalah kemampuan untuk membaca dinamika kekuasaan dan menemukan celah kecil untuk bertahan hidup atau mencari keuntungan minimal. Mereka ahli dalam menanggapi perubahan pasar, cuaca, dan kebijakan mendadak.
Di perkebunan, para kulir membentuk ikatan yang lebih kuat daripada ikatan darah. Solidaritas ini adalah sistem asuransi sosial pertama mereka, memastikan bahwa jika satu individu sakit atau terluka, komunitas akan turun tangan membantu keluarga tersebut. Solidaritas ini adalah antitesis dari sistem individualistis yang diterapkan oleh penguasa kolonial.
Meskipun jam kerja panjang, momen-momen kecil waktu luang dimanfaatkan untuk ekspresi budaya, cerita rakyat, dan penyebaran informasi anti-kolonial secara halus. Cerita dan lagu yang mereka ciptakan menjadi arsip sejarah lisan yang menyimpan memori kolektif penderitaan.
Meskipun pekerjaan mereka direndahkan, kulir mengembangkan keahlian yang sangat spesifik—kemampuan mengangkut beban ekstrem, mengoperasikan alat berat primitif, atau mengolah tanah dengan efisiensi tinggi. Keahlian ini adalah sumber kebanggaan internal yang tak bisa dirampas oleh majikan.
Menghadapi angka kematian yang tinggi, komunitas kulir mengembangkan pandangan hidup yang fatalistik namun juga penuh harapan spiritual. Mereka menerima penderitaan saat ini sebagai bagian dari siklus yang lebih besar, dengan harapan bahwa generasi berikutnya akan hidup lebih baik. Harapan ini yang mendorong mereka untuk terus bekerja.
Kulir harus menjadi manajer risiko yang ulung. Mereka harus memperhitungkan risiko cedera, penyakit, dan hukuman dalam setiap langkah fisik yang mereka ambil. Perhitungan ini adalah ilmu pengetahuan tak tertulis yang menentukan kelangsungan hidup mereka di tengah bahaya konstan.
Dengan alat yang minim dan bahan baku yang terbatas, kulir seringkali menjadi inovator dalam teknik pembangunan dan pertanian. Mereka menemukan cara-cara untuk mempermudah pekerjaan berat melalui pengetahuan lokal dan improvisasi, sebuah kecerdasan praktis yang sering diabaikan oleh sejarawan.
Alih-alih meninggalkan monumen, kulir meninggalkan warisan berupa infrastruktur yang berfungsi—jalan, irigasi, dan lahan yang subur. Warisan mereka senyap, terukir di lanskap fisik negara, bukan di buku sejarah resmi.
Mereka mampu mempertahankan identitas etnis asli mereka (Jawa, Sunda, dll.) sekaligus mengadopsi identitas kolektif sebagai kulir. Dualisme ini memberikan mereka fleksibilitas sosial untuk berinteraksi dalam lingkungan multikultural yang diciptakan oleh perkebunan atau proyek pembangunan.
Meskipun sering diabaikan dalam catatan sejarah politik, sosok kulir memainkan peran signifikan dalam sastra dan seni rupa Indonesia. Seniman dan penulis sering menggunakan figur kulir untuk melambangkan penderitaan rakyat kecil, ketidakadilan ekonomi, dan kekuatan kolektif bangsa yang tertindas. Figur kulir menjadi metafora universal untuk kaum proletar di Nusantara.
Dalam karya-karya era Balai Pustaka hingga tahun 1960-an, kulir muncul sebagai karakter sentral yang menggambarkan dampak modernisasi kolonial yang kejam. Penulis menggunakan penderitaan kulir untuk mengkritik sistem kapitalisme perkebunan dan feodalisme yang bekerja sama dengan penjajah. Novel-novel yang mengangkat tema ini berfungsi sebagai arsip emosional yang melengkapi data statistik tentang kematian dan upah.
Dalam seni rupa, terutama setelah kemerdekaan, kulir sering digambarkan sebagai sosok yang monumental, dengan otot yang kencang, memegang alat kerja (cangkul, linggis), dan tatapan mata yang penuh tekad. Simbolisme ini bertujuan mengangkat martabat mereka dari korban eksploitasi menjadi simbol kekuatan nasional. Gambar-gambar ini seringkali menghiasi poster-poster pembangunan, mengubah citra mereka menjadi ikon kerja keras yang diperlukan untuk membangun cita-cita bangsa.
Pemanfaatan simbol kulir ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif bahwa tanpa kontribusi fisik dari lapisan masyarakat ini, kemerdekaan dan pembangunan mustahil tercapai. Namun, terdapat bahaya dalam romantisasi penderitaan; penting untuk mengingat bahwa penggambaran artistik harus selalu disertai dengan upaya nyata untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan hak-hak pekerja di masa kini.
Kajian mendalam tentang folklore yang berkembang di sekitar perkebunan juga mengungkapkan pandangan dunia kulir yang kompleks. Mereka menciptakan mitos dan legenda tentang ‘Ratu Adil’ atau tokoh pahlawan yang akan membebaskan mereka dari kontrak kerja. Kisah-kisah ini bukan hanya hiburan; itu adalah bentuk perlawanan spiritual yang memelihara harapan di tengah kegelapan sistem Poenale Sanctie yang menakutkan.
Menjelang paruh pertama abad ini, tantangan terbesar bagi pekerjaan manual adalah ancaman otomasi dan disrupsi teknologi. Banyak pekerjaan yang dulunya hanya dapat dilakukan oleh kulir, kini dapat digantikan oleh mesin dan robot (di pabrik, gudang, atau bahkan di sektor pertanian presisi). Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai peran manusia dalam rantai produksi di masa depan.
Otomasi menjanjikan efisiensi dan peningkatan produksi, tetapi ia juga berpotensi menciptakan gelombang pengangguran struktural di kalangan pekerja manual. Negara-negara dengan sejarah panjang ketergantungan pada tenaga kerja murah, seperti Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam melakukan transisi keterampilan. Pekerja yang memiliki keterampilan fisik spesifik harus segera dilatih ulang untuk menguasai keterampilan digital atau pemeliharaan mesin, atau mereka berisiko terlempar ke sektor informal yang semakin rentan.
Tantangan yang tak kalah mendesak adalah kebutuhan untuk meregulasi pekerjaan yang didorong oleh platform. Jika kulir modern dianggap sebagai ‘mitra independen,’ mereka tidak memiliki akses ke hak-hak dasar buruh (cuti sakit, pensiun, pesangon). Pemerintah dan serikat pekerja harus mencari solusi inovatif untuk memperluas jaminan sosial dan perlindungan kerja kepada pekerja yang bersifat fleksibel dan terdesentralisasi ini. Solusi ini harus mengakui bahwa meskipun mekanismenya berbeda, kerentanan yang dihadapi kulir abad ke-21 serupa dengan yang dihadapi oleh para pekerja kontrak di masa kolonial.
Pekerjaan manual selalu menjadi fondasi yang tak terlihat dari setiap peradaban maju. Menghormati warisan kulir berarti tidak hanya mengakui penderitaan masa lalu, tetapi juga memastikan keadilan ekonomi bagi mereka yang terus menjalankan pekerjaan fisik yang berat hari ini. Pemberian upah yang layak, jaminan kesehatan yang komprehensif, dan kesempatan untuk peningkatan keterampilan adalah prasyarat untuk memastikan bahwa istilah kulir di masa depan benar-benar hanya menjadi artefak sejarah, bukan deskripsi yang relevan tentang kondisi kerja yang dieksploitasi.
Penguatan serikat pekerja, baik di sektor formal maupun informal (termasuk serikat ojek online), adalah kunci. Serikat-serikat ini berperan sebagai suara kolektif yang menuntut negosiasi yang adil, melawan isolasi yang diciptakan oleh sistem kerja berbasis algoritma. Ini adalah perpanjangan dari solidaritas komunal yang dulu dibangun di kampong kulir, diadaptasi untuk medan pertempuran ekonomi digital yang baru.
Salah satu cara untuk memastikan warisan kulir dihargai adalah melalui pendidikan sejarah yang inklusif. Kurikulum sekolah harus memasukkan kisah-kisah para pekerja, petani, dan buruh sebagai bagian integral dari narasi pembangunan bangsa, bukan hanya sebagai latar belakang. Pengakuan formal atas kontribusi mereka akan membantu mengangkat martabat pekerjaan fisik dan menanamkan nilai empati terhadap pekerja manual di kalangan generasi muda.
Dalam konteks global, Indonesia memiliki pengalaman unik dengan istilah kulir yang dapat dijadikan pelajaran penting. Pengalaman ini mengajarkan bahwa perkembangan ekonomi tidak boleh mengorbankan martabat manusia. Sebuah bangsa yang besar harus mampu merawat dan melindungi mereka yang tangannya kotor oleh lumpur dan keringat, karena merekalah yang sesungguhnya membangun fondasi tempat kita semua berpijak.
Oleh karena itu, perjuangan untuk upah yang adil, lingkungan kerja yang aman, dan hak-hak berserikat bagi pekerja hari ini adalah pengulangan dari perjuangan kolektif para kulir yang menentang Koeli Ordonnantie lebih dari satu abad yang lalu. Bentuk penindasannya mungkin berubah, dari cambuk mandor menjadi algoritma yang tak terlihat, namun esensi perjuangan—untuk martabat manusia dalam pekerjaan—tetap sama.
Sejauh mana sebuah masyarakat menghargai dan melindungi pekerja manualnya adalah cerminan dari kemanusiaan kolektifnya. Kulir, dalam segala bentuknya historis dan kontemporer, adalah cermin tersebut. Ia memaksa kita untuk melihat ke belakang pada sejarah kelam eksploitasi dan ke depan pada tantangan keadilan ekonomi yang belum terselesaikan. Kekuatan fisik dan ketahanan mental mereka adalah warisan yang tak ternilai yang patut diabadikan.
Perluasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan vokasional juga merupakan bagian krusial dari penghormatan terhadap kulir. Dengan memberikan keterampilan yang relevan dengan masa depan, kita memungkinkan mereka untuk bertransisi dari pekerjaan yang sangat menguras fisik ke peran yang lebih berkelanjutan secara ekonomi dan kesehatan. Ini adalah investasi jangka panjang dalam martabat pekerja manual, memastikan bahwa mereka tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan berbasis upah rendah dan kerja keras yang tidak terjamin.
Pada akhirnya, sejarah kulir mengajarkan kita bahwa pembangunan sejati haruslah pembangunan yang manusiawi. Ia bukan hanya tentang angka-angka GDP atau panjang jalan tol yang dibangun, tetapi tentang kualitas hidup individu yang bekerja keras untuk mewujudkan pembangunan tersebut. Selama masih ada individu yang menukar energi fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, warisan kulir akan terus relevan, menuntut keadilan, dan mengingatkan kita akan ketabahan yang tak terbatas.
Tingkat detail dalam dokumentasi sejarah kolonial mengenai kulir, meskipun ditujukan untuk kontrol, secara ironis memberikan kita data mentah tentang kehidupan sehari-hari mereka. Kita tahu apa yang mereka makan (sedikit), berapa jam mereka bekerja (banyak), dan di mana mereka dimakamkan (seringkali tanpa nama). Mengolah data ini menjadi narasi kemanusiaan adalah tugas sejarawan dan masyarakat kontemporer. Ini adalah upaya untuk memberikan suara kepada mereka yang sejarahnya dibungkam oleh kepentingan ekonomi raksasa.
Fenomena pekerja migran, baik di dalam negeri (dari desa ke kota) maupun ke luar negeri (Tenaga Kerja Indonesia), dapat dilihat sebagai kelanjutan modern dari migrasi kulir. Motivasi dasarnya tetap sama: mencari pekerjaan dengan harapan upah yang lebih baik, terlepas dari risiko dan isolasi sosial. Kebijakan perlindungan pekerja migran, oleh karena itu, harus belajar dari kegagalan masa lalu dalam melindungi kulir dari eksploitasi di lingkungan yang terisolasi dan asing.
Kulir adalah simbol daya tahan. Daya tahan dalam menghadapi cuaca, penyakit, kekejaman, dan ketidakpastian ekonomi. Daya tahan ini telah menjadi salah satu karakter fundamental bangsa Indonesia. Setiap individu yang bekerja keras di bawah tekanan, entah itu di pabrik, di sawah, atau di jalanan mengantar paket, membawa warisan spiritual dari para kulir masa lalu. Ini adalah warisan yang menuntut pengakuan yang layak, bukan sekadar pujian yang kosong tanpa disertai komitmen terhadap keadilan ekonomi struktural.