Konsep kultivar menempati posisi sentral dalam ilmu pemuliaan tanaman, hortikultura, dan konservasi sumber daya genetik. Meskipun sering disalahartikan atau dipertukarkan dengan istilah lain seperti "varietas," kultivar memiliki definisi yang sangat spesifik yang diatur oleh kode internasional.
Menurut Kode Internasional Nomenklatur untuk Tanaman Budidaya (*International Code of Nomenclature for Cultivated Plants* - ICNCP), kultivar didefinisikan sebagai sekelompok tanaman yang, jika diberikan ciri-ciri tertentu, termasuk morfologi, fisiologi, sitologi, kimia, atau ciri-ciri molekuler lainnya, dapat dibedakan dari kelompok tanaman lain. Yang paling penting, ciri-ciri ini harus dipertahankan ketika diperbanyak di bawah kondisi tertentu.
Pembedaan kunci antara varietas botani (istilah taksonomi) dan kultivar (istilah hortikultura/agronomi) adalah asal usulnya. Varietas botani muncul secara alami dan memiliki ciri yang diwariskan dalam populasi liar, sedangkan kultivar adalah hasil intervensi manusia melalui seleksi yang disengaja atau hibridisasi. Semua kultivar adalah varietas (dalam arti umum), tetapi tidak semua varietas adalah kultivar.
Agar suatu kelompok tanaman diakui sebagai kultivar yang sah, ia harus memenuhi tiga kriteria fundamental yang dikenal sebagai DUS (Distinctness, Uniformity, Stability):
Dalam konteks genetika tumbuhan dan perdagangan, sering muncul kebingungan antara kultivar dengan istilah lain. Pemahaman yang tepat sangat krusial:
Pemuliaan tanaman bukan fenomena modern; ia berakar pada domestikasi tanaman oleh masyarakat Neolitik sekitar 10.000 tahun yang lalu. Namun, formalisasi konsep kultivar sebagai unit yang terdefinisi secara ilmiah dan hukum adalah perkembangan yang relatif baru.
Pada awalnya, petani purba melakukan seleksi massal—memilih biji dari tanaman terbaik (paling besar, paling enak, atau paling tahan hama) untuk ditanam di musim berikutnya. Proses seleksi yang berkelanjutan ini secara bertahap memisahkan tanaman budidaya dari kerabat liarnya, menciptakan variasi yang mendasar. Contoh klasik adalah evolusi jagung dari *teosinte* liar.
Abad ke-19, dengan penemuan kembali karya Gregor Mendel, menandai transisi dari seleksi berdasarkan pengamatan menjadi pemuliaan berdasarkan pemahaman genetika. Pemuliaan mulai menjadi proses yang lebih terstruktur dan prediktif. Konsep galur murni (pure line) yang diperkenalkan oleh Wilhelm Johannsen pada awal 1900-an sangat mempengaruhi pemuliaan tanaman biji-bijian, menghasilkan kultivar dengan stabilitas dan keseragaman yang lebih baik.
Penggunaan nama-nama kultivar yang seragam menjadi penting seiring meningkatnya perdagangan global tanaman hias dan pertanian. Pada tahun 1953, Kode Internasional Nomenklatur untuk Tanaman Budidaya (ICNCP) pertama kali diterbitkan, menyediakan kerangka kerja formal untuk penamaan dan pendaftaran kultivar. Kode ini memastikan bahwa setiap kultivar memiliki nama unik yang tidak ambigu, mencegah kebingungan dalam perdagangan dan penelitian.
Pengembangan kultivar baru adalah proses yang memakan waktu lama, seringkali memerlukan 10 hingga 20 tahun. Proses ini melibatkan pemuliaan yang intensif, pengujian yang ketat, dan stabilisasi genetik untuk memastikan karakteristik DUS terpenuhi.
Pemuliaan dimulai dengan mendapatkan keragaman genetik. Sumber variasi termasuk persilangan antara tetua yang berbeda, penggunaan plasma nutfah liar, dan induksi mutasi (baik alami maupun buatan). Persilangan, khususnya, dilakukan untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari dua tanaman berbeda ke dalam satu keturunan.
Setelah persilangan, ribuan tanaman turunan (misalnya, populasi F2) harus diuji. Seleksi awal berfokus pada sifat-sifat yang memiliki heritabilitas tinggi, seperti tinggi tanaman atau warna bunga. Proses ini sangat padat karya dan sering dibantu oleh penanda molekuler (MAS - Marker-Assisted Selection) untuk mengidentifikasi gen-gen spesifik dengan cepat, terutama gen ketahanan penyakit.
Jika kultivar diperbanyak secara seksual (dengan biji), penting untuk mencapai homozigositas (kemurnian genetik) melalui swakawin berulang (selfing) selama beberapa generasi (biasanya F5 hingga F8). Ini memastikan bahwa sifat-sifat yang dipilih tidak akan memisah di generasi mendatang, memenuhi kriteria stabilitas.
Calon kultivar terbaik diuji di berbagai lokasi dan kondisi lingkungan (multilokasi testing) selama beberapa tahun. Tujuannya adalah memastikan bahwa kinerja unggul kultivar tersebut stabil dan tidak hanya bergantung pada lingkungan tertentu. Setelah terbukti unggul, data DUS dikumpulkan secara formal dan diverifikasi oleh otoritas pendaftaran nasional atau internasional.
Metode ini umum digunakan untuk serealia (padi, gandum) dan beberapa sayuran. Fokusnya adalah homogenitas melalui biji:
Digunakan untuk tanaman buah, tanaman hias, dan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (misalnya kentang, tebu, mawar). Begitu individu superior diidentifikasi, ia diperbanyak secara klonal. Keuntungan utamanya adalah keseragaman genetik 100% dan stabil. Tantangannya adalah kerentanan terhadap penyakit sistemik (virus) karena perbanyakan yang dilakukan dari bagian tanaman yang sama.
Meskipun memerlukan pemeliharaan dua galur inbrida tetua yang terpisah, hibrida F1 memberikan hasil panen yang lebih tinggi (vigor hibrida). Kultivar ini mendominasi pasar jagung, tomat, dan banyak bunga potong. Petani harus membeli benih baru setiap tahun karena benih F2 akan kehilangan keseragaman dan vigor.
ICNCP mengakui berbagai kategori kultivar, yang menunjukkan bagaimana tanaman tersebut dihasilkan dan bagaimana ia harus diperbanyak untuk mempertahankan karakteristiknya.
Berasal dari satu individu tanaman yang homozigot dan diizinkan untuk swakawin. Sangat seragam dan stabil melalui benih. Contoh: banyak varietas gandum dan padi modern.
Setiap individu dalam kultivar berasal dari satu tanaman induk melalui perbanyakan vegetatif. Keanekaragaman genetik sangat rendah, sehingga keseragaman fenotipe tinggi. Contoh: Apel 'Fuji', Mawar 'Bunga Kenangan', Pisang Cavendish.
Kelompok tanaman menyerbuk silang yang diperlakukan sebagai satu kesatuan. Meskipun ada variasi genetik yang lebih besar daripada galur murni, variasi ini berada dalam batas yang dapat diterima oleh standar DUS. Contoh: beberapa varietas rumput padang atau forage crops.
Dihasilkan dari persilangan yang terkontrol. Harus diperbanyak ulang setiap kali dari tetua yang sama. Contoh: Jagung hibrida Bima-19.
Penamaan kultivar tunduk pada aturan ketat. Nama kultivar yang sah harus terdiri dari nama genus atau spesies diikuti oleh julukan (epithet) kultivar, yang harus unik dan tidak menyesatkan. Pendaftaran resmi kultivar biasanya dilakukan melalui Otoritas Pendaftaran Internasional (IRA) yang ditunjuk atau melalui badan registrasi nasional.
IRA bertanggung jawab memelihara daftar nama kultivar untuk genus atau kelompok tanaman tertentu secara global. Ini mencegah duplikasi nama kultivar, yang merupakan masalah serius dalam hortikultura (misalnya, ribuan kultivar *Rosa*).
Ketika kultivar dipasarkan, namanya harus diikuti oleh singkatan cv. (cultivar) atau diapit oleh tanda kutip tunggal. Misalnya, *Oryza sativa* cv. 'Ciherang' atau Padi 'Ciherang'. Penggunaan simbol (PBR) menunjukkan bahwa kultivar tersebut dilindungi oleh Hak Pemulia Tanaman.
Kultivar adalah tulang punggung produksi pangan global dan industri hortikultura. Tanpa kultivar yang dimuliakan, ketahanan pangan modern tidak akan mungkin tercapai.
Kultivar modern dirancang untuk menghadapi tantangan spesifik yang tidak dapat diatasi oleh varietas liar atau landrace. Dampak terbesarnya terlihat pada Revolusi Hijau, di mana pengembangan kultivar padi dan gandum semi-kerdil yang responsif terhadap pupuk dan tahan penyakit meningkatkan hasil panen secara dramatis di Asia dan Amerika Latin.
Kultivar hasil pemuliaan memiliki sifat seperti toleransi terhadap input tinggi (pupuk), hasil per hektar yang lebih tinggi, dan periode pertumbuhan yang lebih pendek, memungkinkan panen ganda (indeks panen yang lebih baik).
Pemuliaan fokus pada pengembangan kultivar yang tahan terhadap hama (misalnya, Wereng Coklat pada padi) atau penyakit (misalnya, karat pada gandum). Selain itu, adaptasi terhadap stres abiotik seperti kekeringan, salinitas (kadar garam tinggi), dan suhu ekstrem menjadi semakin penting di bawah perubahan iklim.
Dalam hortikultura (tanaman hias dan buah-buahan), nilai ekonomi kultivar ditentukan oleh estetika, umur simpan, dan kemudahan pengiriman.
Meskipun kritikus sering menuding bahwa kultivar modern mengurangi keanekaragaman genetik di ladang (monokultur), pemuliaan kultivar juga memainkan peran penting dalam konservasi.
Karena investasi besar dalam waktu dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan kultivar baru, mekanisme hukum diperlukan untuk melindungi hak pemulia. Perlindungan ini diakui secara internasional melalui Hak Pemulia Tanaman (PBR).
PBR, juga dikenal sebagai Hak Varietas Tanaman (Plant Variety Rights - PVR), adalah bentuk kekayaan intelektual (KI) yang diberikan kepada orang yang menciptakan atau menemukan dan mengembangkan kultivar baru. PBR memberi pemulia hak eksklusif untuk memproduksi dan menjual materi perbanyakan kultivar tersebut selama jangka waktu tertentu (biasanya 20 hingga 25 tahun).
Uni Internasional untuk Perlindungan Varietas Tanaman (UPOV) adalah organisasi internasional yang menyediakan kerangka hukum untuk perlindungan PBR. Negara-negara anggota UPOV setuju untuk memberikan perlindungan berdasarkan kriteria DUS.
Di banyak negara, sistem PBR memiliki pengecualian yang memungkinkan petani untuk menyimpan dan menggunakan benih dari hasil panen mereka sendiri (farm-saved seed) untuk penanaman berikutnya tanpa membayar royalti tambahan. Namun, pengecualian ini bervariasi secara signifikan antar negara dan jenis tanaman.
Di Indonesia, perlindungan kultivar diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), yang sejalan dengan prinsip-prinsip UPOV. Kementerian Pertanian melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) adalah otoritas yang bertanggung jawab untuk:
Dalam beberapa yurisdiksi, terutama di Amerika Serikat, kultivar yang diperbanyak secara aseksual dapat dilindungi oleh Paten Tanaman. Selain itu, sekuens genetik, metode pemuliaan, atau modifikasi genetik (GMO) yang digunakan untuk menciptakan kultivar dapat dilindungi oleh paten utilitas, yang jauh lebih kuat daripada PBR karena tidak mengandung pengecualian petani.
Kultivar hasil rekayasa genetika (seperti Jagung Bt atau Kedelai Roundup Ready) adalah kultivar yang harus memenuhi kriteria DUS, tetapi mereka juga membawa hak KI tambahan pada teknologi transgenik yang digunakan untuk memasukkan sifat baru tersebut.
Meskipun kemajuan dalam pemuliaan sangat signifikan, pengembangan kultivar dihadapkan pada tantangan global yang memerlukan inovasi teknologi dan perubahan kebijakan.
Perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang lebih tidak menentu (banjir ekstrem, periode kekeringan berkepanjangan). Pemuliaan masa depan harus berfokus pada kultivar yang memiliki plastisitas fenotipe tinggi—mampu berkinerja baik di bawah berbagai kondisi stres—dan kultivar yang toleran terhadap panas ekstrem atau salinitas yang meningkat akibat naiknya permukaan air laut.
Dasar genetik kultivar komersial seringkali sempit, membuat mereka rentan terhadap serangan hama atau penyakit baru. Pemuliaan memerlukan akses berkelanjutan ke plasma nutfah liar dan landrace untuk memperkenalkan gen ketahanan baru.
Isu legal, terutama Protokol Nagoya yang mengatur akses dan pembagian manfaat dari sumber daya genetik, menjadi tantangan. Memastikan bahwa pemulia dapat mengakses gen yang diperlukan sambil menghormati hak masyarakat adat dan negara asal adalah keseimbangan yang sulit.
Teknologi baru mengubah kecepatan dan ketepatan pemuliaan kultivar:
Ada dorongan untuk menciptakan kultivar yang lebih beragam secara genetik untuk menghindari kerentanan monokultur. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan varietas multi-garis (multiline varieties) atau kultivar campuran (cultivar mixtures) yang terdiri dari beberapa galur yang berbeda tetapi memiliki sifat agronomi yang serupa.
Memahami kultivar membutuhkan melihat contoh-contoh spesifik yang telah membentuk pertanian dan hortikultura global.
‘Ciherang’ adalah salah satu kultivar padi sawah irigasi paling populer di Indonesia. Dikembangkan di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), kultivar ini dirilis pada awal abad ke-21. Keberhasilannya terletak pada kombinasi sifat-sifat unggul:
Keberhasilan ‘Ciherang’ menunjukkan pentingnya pemuliaan adaptif regional yang memadukan produktivitas tinggi dengan preferensi pasar lokal. Kultivar ini menjadi tolok ukur (benchmark) bagi pengembangan kultivar padi lainnya di Indonesia.
Pisang Cavendish adalah kultivar klonal yang mendominasi perdagangan pisang ekspor global. Hampir 99% pisang yang diperdagangkan secara internasional adalah klon Cavendish.
Namun, ketergantungan yang ekstrem pada satu kultivar klonal (Cavendish) menciptakan risiko besar. Munculnya Panama Disease Tropical Race 4 (TR4), yang kini menyerang Cavendish, mengancam industri pisang global, memaksa pemulia untuk mencari atau mengembangkan kultivar klonal baru yang tahan terhadap TR4.
Mawar ‘Peace’ adalah kultivar hias yang paling terkenal di dunia, menjadi ikon dalam sejarah hortikultura modern. Diciptakan oleh pemulia Prancis Francis Meilland pada akhir 1930-an, kultivar ini diperkenalkan kepada dunia pada akhir Perang Dunia II.
Kisah 'Peace' sering digunakan untuk menggambarkan pentingnya perlindungan kultivar. Karena dikembangkan selama Perang Dunia II, materi genetiknya diselundupkan dari Prancis ke AS dan Jerman. Keberhasilannya secara komersial pasca-perang mendorong pemahaman tentang nilai finansial dari kultivar yang unggul.
Dikembangkan di University of Minnesota, 'Honeycrisp' adalah kultivar apel modern yang sangat populer di Amerika Utara dan Eropa, dirilis pada tahun 1991.
'Honeycrisp' adalah contoh sempurna bagaimana kultivar, meskipun mahal untuk dikembangkan, dapat menghasilkan royalti yang signifikan bagi pemulia dan institusi publik, membiayai penelitian pemuliaan generasi berikutnya.
Stabilitas kultivar bukanlah hal yang terjadi secara kebetulan; ia memerlukan program pemeliharaan yang cermat dan pemahaman mendalam tentang genetika reproduksi tanaman tersebut.
Untuk kultivar yang diperbanyak melalui benih (galur murni atau populasi), pemeliharaan melibatkan tiga tahapan benih utama untuk memastikan kemurnian genetik:
Kontaminasi silang dengan varietas lain dan mutasi spontan adalah ancaman utama terhadap stabilitas kultivar benih.
Kultivar klon memiliki tantangan yang berbeda. Karena mereka identik secara genetik, mereka rentan terhadap penumpukan penyakit sistemik (virus). Pemeliharaan klon harus fokus pada sanitasi dan peremajaan.
Mutasi somatik (perubahan genetik spontan pada sel vegetatif) dapat menyebabkan sport (cabang mutan). Jika sport memiliki sifat unggul yang stabil, ia dapat didaftarkan sebagai kultivar baru—misalnya, variasi warna pada jeruk atau mawar yang berasal dari kultivar induk.
Perbanyakan in vitro (kultur jaringan) telah merevolusi produksi kultivar, terutama klon. Ini memungkinkan produksi massal tanaman yang identik secara genetik, bebas dari penyakit, dalam waktu singkat dan ruang yang terbatas. Metode ini sangat penting untuk orkida, pisang, dan tanaman hias lainnya, memastikan ketersediaan kultivar yang stabil di pasar global.
Kontras antara kultivar yang dimuliakan secara industrial dan kultivar yang dikembangkan secara lokal (seringkali dianggap sebagai landrace yang ditingkatkan) menunjukkan keragaman nilai kultivar.
Tomat adalah contoh sempurna dari dampak pemuliaan terhadap kualitas. Selama paruh kedua abad ke-20, pemulia fokus pada pengembangan kultivar tomat yang keras, seragam, dan tahan lama untuk pengiriman jarak jauh—mengorbankan rasa.
Kultivar modern seperti 'Moneymaker' atau 'Tomat Cherry' yang ditanam untuk skala industri didominasi oleh sifat transportasi. Namun, meningkatnya permintaan konsumen akan "tomat pusaka" (heirloom varieties) menunjukkan dorongan balik untuk kultivar yang fokus pada profil rasa dan estetika yang tidak seragam, meskipun sulit untuk dikirim.
Kultivar kedelai 'Roundup Ready' (RR), yang tahan terhadap herbisida glifosat, adalah salah satu kultivar transgenik paling sukses di dunia. Kultivar ini diciptakan dengan menambahkan gen dari bakteri untuk memberikan ketahanan terhadap herbisida, memungkinkan petani mengontrol gulma secara lebih efisien.
Meskipun kontroversial, kultivar RR dan turunannya mendominasi produksi kedelai di Amerika dan Amerika Selatan. Kultivar ini harus tetap melewati pengujian DUS—mereka harus berbeda, seragam, dan stabil, terlepas dari modifikasi genetik yang diembannya.
Kultivar adalah manifestasi fisik dari pengetahuan manusia dan investasi genetik. Mereka adalah jembatan antara genetika liar yang kaya dan kebutuhan spesifik peradaban manusia akan pangan, serat, dan keindahan. Proses yang panjang dan ketat untuk menciptakan kultivar, didukung oleh regulasi DUS dan PBR, memastikan bahwa produk yang sampai ke petani dan konsumen bersifat dapat diandalkan dan konsisten.
Masa depan pengembangan kultivar akan didominasi oleh perpaduan teknologi presisi (CRISPR), pemahaman genomik yang lebih dalam, dan kebutuhan mendesak untuk beradaptasi dengan iklim yang berubah. Kultivar baru tidak hanya harus memberikan hasil yang lebih tinggi, tetapi juga harus lebih efisien dalam penggunaan air dan nutrisi, memastikan keberlanjutan sistem pertanian global. Perlindungan yang kuat atas hak kekayaan intelektual (PVT) akan terus mendorong inovasi yang sangat dibutuhkan ini, demi memastikan bahwa pemuliaan kultivar tetap menjadi salah satu disiplin ilmu paling vital di dunia.