Kumai, sebuah nama yang mungkin terdengar sederhana, namun merupakan gerbang utama menuju salah satu harta karun ekologis terbesar di dunia: Taman Nasional Tanjung Puting. Berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Kumai bukan hanya sekadar dermaga atau kota transit. Ia adalah titik temu sejarah maritim, denyut nadi ekonomi lokal, dan penanda batas antara peradaban manusia dengan hutan hujan tropis dataran rendah yang masih perawan. Kehadirannya sebagai kota pelabuhan tua memberikan Kumai karakter unik yang memadukan budaya Melayu pesisir, pengaruh Dayak pedalaman, serta jejak-jejak perdagangan masa lalu.
Menjelajahi Kumai berarti memulai perjalanan yang melintasi waktu dan ekosistem. Dari hiruk pikuk pasar pagi yang menjual hasil laut segar hingga keheningan sungai yang berkelok, dikelilingi oleh hutan bakau dan nipah, setiap sudut Kumai menawarkan kisah yang berbeda. Artikel ini akan membawa pembaca menembus kedalaman Kumai, mulai dari akar sejarahnya, peran vital Sungai Kumai, hingga keajaiban konservasi di jantung Tanjung Puting yang telah menarik perhatian ilmuwan dan pelancong dari seluruh penjuru bumi.
Kumai memiliki kedudukan geografis yang strategis. Terletak di tepi Sungai Kumai yang bermuara langsung ke Laut Jawa, posisinya menjadikannya titik akses alami bagi kapal-kapal yang ingin menembus pedalaman Kalimantan. Sejak masa lampau, sebelum era modernisasi infrastruktur darat, sungai adalah jalan raya utama, dan Kumai berfungsi sebagai pelabuhan penting yang menghubungkan Kerajaan Kotawaringin dengan jalur perdagangan internasional.
Akar sejarah Kumai tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Kotawaringin. Meskipun pusat kerajaannya berada di Kotawaringin Lama, Kumai memainkan peran sebagai pelabuhan niaga utama. Berabad-abad lamanya, komoditas seperti hasil hutan (rotan, kayu ulin, damar), dan lada diangkut melalui sungai ini menuju pelabuhan, sebelum akhirnya diekspor. Arus pedagang dari Bugis, Melayu, Jawa, hingga Tiongkok, memberikan warna akulturasi yang kental pada masyarakat pesisir Kumai.
Peran Kumai semakin menonjol pada masa kolonial Belanda. Belanda menyadari potensi ekonomi dan militer dari pelabuhan ini. Meskipun sempat terjadi pasang surut kendali, posisi Kumai sebagai pintu gerbang ke pedalaman Kalimantan tetap tak tergantikan. Bukti sejarah ini masih dapat dilihat dari arsitektur beberapa bangunan tua di sekitar pelabuhan yang menampilkan perpaduan gaya lokal dan kolonial.
Secara geografis, wilayah Kumai didominasi oleh dataran rendah aluvial dan ekosistem rawa gambut. Karakteristik ini sangat memengaruhi mata pencaharian penduduk dan flora serta fauna yang ada. Sungai Kumai sendiri adalah urat nadi kehidupan, sebuah sungai yang lebar dan dalam di bagian hilir, namun berubah menjadi lorong-lorong kecil yang rumit saat memasuki kawasan hutan konservasi.
Kondisi iklim di Kumai adalah tropis basah, dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Perubahan musim tidak terlalu signifikan, namun musim kemarau pendek sangat penting bagi masyarakat lokal untuk kegiatan pertanian dan pengeringan hasil laut. Topografi yang datar dan tanah yang didominasi oleh gambut menjadikannya ekosistem yang rentan namun sangat kaya akan biodiversitas, khususnya jenis-jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengan tanah asam dan air hitam (blackwater river) yang khas.
Tak mungkin membicarakan Kumai tanpa secara mendalam membahas Tanjung Puting. Kota Kumai adalah titik awal resmi dan logistik bagi setiap ekspedisi ke Taman Nasional Tanjung Puting. TNTP adalah kawasan konservasi seluas lebih dari 415.000 hektar yang diakui secara global, terutama karena perannya dalam pelestarian orangutan (Pongo pygmaeus) dan penelitian primata.
Akses utama ke jantung TNTP adalah melalui jalur air, menyusuri Sungai Sekonyer yang merupakan anak sungai Kumai. Transportasi andalan di sini adalah klotok—perahu kayu tradisional yang dimodifikasi khusus untuk membawa wisatawan dan peneliti. Klotok bukan sekadar alat transportasi; ia adalah rumah terapung selama perjalanan konservasi. Perahu-perahu ini dirancang untuk bergerak lambat, memungkinkan penumpang untuk menikmati setiap detik perjalanan, mulai dari menyaksikan bekantan (Proboscis monkey) yang bergelantungan di pohon nipah hingga buaya yang berjemur di tepian sungai.
Pelayaran klotok memberikan pengalaman multisensori. Mesin diesel tua klotok menghasilkan suara khas ‘klotok-klotok’ (dari sinilah namanya berasal), yang berpadu dengan suara serangga hutan di malam hari. Di atas klotok, wisatawan tidur di dek yang telah disiapkan dengan kelambu, memberikan koneksi intim dengan lingkungan hutan yang mengelilingi mereka. Kesederhanaan dan kedekatan dengan alam inilah yang menjadi daya tarik utama ekowisata Kumai.
TNTP dikenal melalui tiga lokasi utama pusat rehabilitasi dan penelitian orangutan yang didirikan oleh Dr. Biruté Galdikas, salah satu dari ‘The Trimates’ (bersama Dian Fossey dan Jane Goodall).
Camp Leakey adalah pusat penelitian tertua dan paling terkenal di TNTP. Didirikan pada tahun 1971, Camp Leakey dinamai untuk menghormati mentor Dr. Galdikas, Louis Leakey. Tempat ini bukan hanya stasiun pemberian pakan, tetapi juga pusat studi jangka panjang tentang perilaku, demografi, dan ekologi orangutan liar dan hasil rehabilitasi. Penelitian di Camp Leakey telah mengubah pemahaman global tentang primata besar ini.
Kunjungan ke Camp Leakey sering kali memerlukan perjalanan yang lebih panjang ke hulu sungai Sekonyer. Di sini, pengunjung dapat melihat sisa-sisa infrastruktur penelitian awal dan, yang paling penting, bertemu dengan orangutan yang datang ke area pakan. Setiap individu orangutan yang hidup di sekitar camp ini memiliki nama dan sejarah yang tercatat, memberikan kedalaman narasi konservasi yang luar biasa.
Pondok Tanggui berperan sebagai lokasi rehabilitasi untuk orangutan yang berada pada tahap transisi. Orangutan di sini biasanya lebih muda atau baru saja diselamatkan dan memerlukan pengawasan intensif sebelum dilepaskan sepenuhnya. Lokasinya yang lebih dekat ke muara Sungai Sekonyer menjadikannya titik persinggahan kedua yang sering dikunjungi. Interaksi di Pondok Tanggui cenderung lebih terstruktur, fokus pada edukasi tentang pentingnya pemulihan hutan dan perlindungan individu orangutan muda.
Tanjung Harapan adalah stasiun rehabilitasi pertama yang didirikan. Ia terletak paling dekat dengan permukiman Kumai. Selain sebagai tempat pemberian pakan, Tanjung Harapan juga memiliki peran sosial yang penting. Di dekatnya terdapat Desa Tanjung Harapan, salah satu desa penyangga taman nasional. Interaksi di sini mencakup tidak hanya konservasi satwa, tetapi juga upaya pemberdayaan masyarakat lokal agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan konservasi alam.
Meskipun orangutan adalah daya tarik utama, ekosistem Kumai dan Tanjung Puting menawarkan spektrum biodiversitas yang jauh lebih luas. Hutan tropis dataran rendah ini adalah mozaik dari berbagai tipe hutan, termasuk hutan rawa gambut, hutan riparian (tepian sungai), dan hutan bakau.
Satwa primata endemik Kalimantan yang paling mudah ditemui di sepanjang Sungai Kumai adalah bekantan (Nasalis larvatus). Dengan hidung besar yang unik (terutama pada jantan), bekantan hidup berkelompok dan sangat bergantung pada ekosistem hutan bakau dan nipah di tepi sungai. Saat senja tiba, pemandangan ratusan bekantan yang meloncat dari pohon ke pohon di tepi sungai menjadi tontonan spektakuler yang disukai wisatawan. Keberadaan bekantan adalah indikator kunci kesehatan hutan riparian di wilayah ini.
Wilayah Kumai adalah surga bagi pengamat burung (birdwatcher). Tercatat ratusan spesies burung hidup di sini, termasuk burung rangkong (Hornbill) yang ikonik, berbagai jenis raja-udang (Kingfishers) yang berwarna-warni, dan elang laut yang melayang di atas muara. Suara kokok rangkong sering menjadi soundtrack alami saat klotok berlayar jauh ke pedalaman.
Di perairan, kehidupan reptil juga mendominasi. Buaya air tawar dan buaya muara menghuni sungai-sungai besar. Walaupun keberadaan mereka menuntut kewaspadaan, mereka adalah bagian integral dari rantai makanan yang menjaga keseimbangan ekosistem. Selain itu, berbagai jenis biawak dan ular sanca juga sering terlihat di dahan-dahan pohon yang menjuntai ke air.
Hutan rawa gambut adalah ekosistem yang rapuh namun unik. Pohon-pohon di sini harus mampu bertahan dalam kondisi air yang stagnan dan sangat asam. Tumbuh-tumbuhan khas seperti Nipah (Nypa fruticans) mendominasi area muara, memberikan perlindungan bagi fauna dan bahan baku bagi kerajinan lokal. Spesies pohon seperti jelutung dan ramin, yang pernah menjadi komoditas kayu penting, kini dilindungi, mencerminkan peralihan fokus dari eksploitasi ke konservasi.
Keheningan di tengah hutan Kumai saat malam tiba hanya dipecahkan oleh orkestrasi alam—suara katak pohon, dengungan serangga, dan panggilan malam orangutan. Pengalaman ini mengajarkan kerendahan hati akan kompleksitas kehidupan tropis yang tak tertandingi.
Masyarakat Kumai adalah perpaduan harmonis antara berbagai kelompok etnis, yang paling dominan adalah Melayu pesisir, suku Dayak, dan pendatang dari Jawa, Bugis, dan Banjar. Kebudayaan mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan sungai dan laut, membentuk pola hidup yang adaptif dan erat.
Mayoritas penduduk Kumai menggantungkan hidup pada perairan. Mereka adalah nelayan handal, pedagang hasil laut, dan penyedia jasa pariwisata (terutama operator klotok). Pelabuhan Kumai, meskipun kini lebih fokus pada lalu lintas kapal kargo logistik dan kayu, tetap menjadi pusat distribusi yang vital.
Sistem sosial di Kumai cenderung terbuka dan komunal. Nilai-nilai gotong royong sangat kuat, terutama dalam kegiatan besar seperti perayaan keagamaan atau perbaikan fasilitas umum. Rumah-rumah tradisional Kumai sering dibangun dengan tiang tinggi untuk mengatasi pasang surut air sungai dan lembabnya udara pesisir.
Kerajinan di Kumai banyak memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Kerajinan dari rotan, anyaman daun nipah (untuk atap atau tikar), dan ukiran kayu ulin adalah beberapa produk khas. Khususnya dalam industri pariwisata, kerajinan ukiran orangutan menjadi oleh-oleh wajib. Selain itu, pengaruh Dayak dari pedalaman membawa serta unsur-unsur seni ukir dan tenun khas Kalimantan yang kaya akan motif fauna dan flora.
Kuliner Kumai didominasi oleh kekayaan hasil laut dan adaptasi rempah Melayu. Beberapa hidangan yang wajib dicoba mencerminkan kekayaan sumber daya alam mereka:
Kopi dan teh juga menjadi bagian penting dari interaksi sosial di warung-warung kopi pinggir sungai, tempat berita dan cerita lokal dibagikan dari pagi hingga larut malam.
Bagi wisatawan yang tertarik mengunjungi Kumai dan Tanjung Puting, perencanaan logistik yang matang adalah kunci. Perjalanan ini memerlukan kesabaran dan penghargaan mendalam terhadap ekowisata berbasis komunitas.
Titik masuk utama adalah melalui Bandara Iskandar di Pangkalan Bun (PBU), kota tetangga yang lebih besar. Dari Pangkalan Bun, Kumai dapat dicapai dalam waktu 30-45 menit perjalanan darat. Di Kumai inilah semua tur klotok berawal. Sebelum berangkat, wisatawan harus mengurus izin masuk ke Taman Nasional di Kantor Balai TNTP di Kumai.
Klotok yang digunakan untuk pariwisata sangat bervariasi, mulai dari yang sederhana hingga yang dilengkapi fasilitas cukup mewah (toilet duduk, kamar tidur yang lebih tertutup). Kapasitas klotok biasanya berkisar antara 2 hingga 8 orang. Keputusan memilih klotok akan sangat memengaruhi pengalaman perjalanan, karena klotok berfungsi sebagai akomodasi, dapur, dan dek observasi selama 2 hingga 4 hari perjalanan di sungai.
Sopir klotok (nakhoda) dan koki/pemandu adalah tulang punggung perjalanan. Mereka biasanya berasal dari komunitas lokal Kumai. Keahlian mereka dalam menavigasi sungai, mengidentifikasi satwa liar, dan menyediakan hidangan lokal yang lezat adalah aset tak ternilai. Memilih operator tur lokal di Kumai secara langsung membantu mendukung ekonomi masyarakat setempat.
Sebagian besar wisatawan memilih paket 3 hari 2 malam, yang memungkinkan eksplorasi Camp Leakey dan stasiun pakan lainnya tanpa terburu-buru.
Meskipun Kumai adalah gerbang konservasi yang sukses, wilayah ini tidak luput dari tantangan lingkungan dan pembangunan. Masa depan Kumai bergantung pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian ekosistem yang rapuh.
Ancaman terbesar bagi ekosistem Tanjung Puting, dan daerah penyangga Kumai, adalah konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan, yang lebih parah, kebakaran hutan. Hutan rawa gambut sangat mudah terbakar, dan sekali terbakar, mereka melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer, menciptakan bencana asap regional (Haze). Upaya konservasi tidak hanya berfokus pada satwa, tetapi juga pada restorasi hidrologi gambut melalui pembangunan sekat kanal untuk menjaga kelembaban lahan.
Seiring meningkatnya tekanan lahan, konflik antara manusia dan orangutan atau satwa liar lainnya menjadi masalah serius. Orangutan yang kehilangan habitatnya kadang memasuki area perkebunan atau pemukiman. Organisasi konservasi, seperti Orangutan Foundation International (OFI) yang berpusat di dekat Kumai, memainkan peran krusial dalam penyelamatan dan rehabilitasi satwa yang terancam.
Ekowisata menjadi kunci solusi ekonomi di Kumai. Dengan meningkatnya kesadaran global, pariwisata berbasis konservasi menyediakan sumber pendapatan alternatif yang lebih berkelanjutan daripada eksploitasi sumber daya alam. Namun, harus ada manajemen yang ketat untuk memastikan bahwa masuknya wisatawan tidak mengganggu perilaku satwa liar atau merusak lingkungan sungai. Prinsip ‘tinggalkan jejak minimal’ (leave no trace) harus dipegang teguh oleh setiap pengunjung.
Pengalaman di Kumai dan Tanjung Puting sering kali didefinisikan oleh momen-momen kecil yang menakjubkan, jauh dari keramaian pakan orangutan.
Di malam hari, setelah klotok merapat, beberapa bagian Sungai Sekonyer diterangi oleh ribuan kunang-kunang yang berkedip secara sinkron di pohon-pohon. Pemandangan ini menciptakan kesan magis, seperti pohon Natal yang dihidupkan oleh alam. Fenomena ini hanya terjadi di lingkungan sungai yang sangat bersih dan sehat, menjadikannya bukti nyata keberhasilan konservasi di wilayah tersebut.
Pagi hari di atas klotok sering disambut oleh lapisan kabut tebal yang menyelimuti sungai. Saat kabut perlahan menipis, hutan mulai ‘bangun’. Suara siamang yang melolong dari kejauhan, panggilan rangkong yang berat, dan embusan napas buaya yang tersembunyi, semuanya menciptakan simfoni alam yang mendalam. Momen ini adalah kesempatan terbaik untuk memahami mengapa hutan tropis Kumai dianggap sebagai salah satu tempat paling berharga di Bumi.
Peran Kumai sebagai gerbang konservasi tidak lepas dari kontribusi besar peneliti asing, khususnya Dr. Biruté Galdikas. Dedikasi puluhan tahunnya telah menempatkan Tanjung Puting di peta dunia.
Sejak tiba pada tahun 1971, Galdikas melakukan penelitian pionir yang membuka mata dunia terhadap kecerdasan dan kompleksitas kehidupan orangutan. Penelitiannya melampaui observasi; ia juga aktif dalam upaya rehabilitasi dan perlindungan orangutan yang menjadi korban perdagangan satwa ilegal atau kehilangan habitat. Keberadaan Camp Leakey, Pondok Tanggui, dan Yayasan OFI di sekitar Kumai adalah warisan nyata dari komitmen tersebut. Generasi peneliti Indonesia kini meneruskan pekerjaan ini, memperkuat kapasitas konservasi lokal.
Sungai Kumai dan anak sungainya memiliki ciri khas air berwarna cokelat gelap, sering disebut sebagai air hitam (blackwater). Warna ini berasal dari tanin dan asam organik yang larut dari pembusukan vegetasi di hutan rawa gambut. Meskipun terlihat gelap, air ini adalah rumah bagi ekosistem yang unik.
Kondisi air asam ini membatasi jenis ikan yang dapat hidup di dalamnya, namun menghasilkan spesies-spesies khusus yang mampu bertahan dalam kondisi ekstrem. Perubahan warna air ini juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, mengurangi penetrasi sinar matahari yang berlebihan ke dasar sungai dan menciptakan lingkungan yang stabil bagi banyak mikroorganisme dan serangga air yang menjadi sumber makanan bagi bekantan dan satwa air lainnya.
Meskipun Kumai dikenal karena alam liarnya, kota ini terus berkembang. Pengembangan infrastruktur jalan dan pelabuhan modern bertujuan untuk meningkatkan konektivitas ekonomi Kalimantan Tengah. Namun, pengembangan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak daerah penyangga Taman Nasional.
Upaya pengembangan komunitas di Kumai berfokus pada pelatihan pemandu wisata, operator klotok, dan penyedia homestay, memastikan bahwa manfaat ekonomi pariwisata dirasakan langsung oleh penduduk lokal. Program-program pendidikan lingkungan juga dijalankan secara intensif untuk menanamkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap perlindungan orangutan dan habitatnya kepada generasi muda Kumai.
Kehadiran TNTP memberikan Kumai identitas yang kuat: perpaduan antara kota pelabuhan yang sibuk dan pintu gerbang menuju keajaiban alami yang sunyi. Ini adalah dikotomi yang harus dikelola dengan bijak, di mana pelestarian budaya lokal dan konservasi alam berjalan seiring dengan modernisasi.
Memahami orangutan di Tanjung Puting memerlukan observasi yang sabar. Orangutan Kumai (subspesies Pongo pygmaeus wurmbii) menunjukkan perilaku yang sedikit berbeda dari populasi di Sumatera atau Kalimantan Timur.
Orangutan adalah frugivora (pemakan buah) utama, tetapi pola makannya sangat adaptif. Di musim buah (musim buah), mereka menghabiskan sebagian besar waktu di puncak pohon mencari buah-buahan seperti durian liar, nangka, dan ficus. Namun, di musim paceklik, mereka beralih ke daun muda, kulit kayu, dan serangga. Penelitian menunjukkan bahwa mereka memiliki memori spasial yang luar biasa, mengingat lokasi pohon buah yang matang dalam siklus waktu yang panjang.
Setiap malam, orangutan membangun sarang baru dari ranting dan daun. Kualitas dan lokasi sarang sering mencerminkan status dan pengalaman individu tersebut. Sarang ini sangat penting untuk isolasi termal dan perlindungan dari predator malam. Observasi sarang yang ditinggalkan menjadi salah satu metode penting bagi peneliti untuk memantau kepadatan populasi di area hutan yang sulit dijangkau.
Orangutan jantan dewasa mengembangkan bantalan pipi besar (flanges) yang menandakan kematangan dan dominasi. Jantan ber-flange berkomunikasi melalui panggilan panjang dan bergetar (long call) yang dapat terdengar hingga radius kilometer. Panggilan ini berfungsi untuk menarik betina dan memberi peringatan kepada jantan saingan. Mendengar ‘long call’ yang menggema di hutan adalah pengalaman paling otentik bagi pengunjung di TNTP.
Kumai, dalam esensinya, adalah sebuah persimpangan. Secara fisik, ia adalah persimpangan sungai dan laut; secara ekologis, ia adalah persimpangan peradaban dan alam liar; dan secara kultural, ia adalah persimpangan Melayu, Dayak, dan pendatang. Keberadaannya sebagai gerbang ke salah satu ekosistem paling penting di Asia Tenggara memberikan tanggung jawab besar.
Konservasi di Kumai bukan hanya tentang melindungi orangutan yang karismatik, tetapi juga tentang memastikan kelestarian gaya hidup masyarakat lokal yang telah beradaptasi dengan sungai selama berabad-abad, menjaga hutan gambut yang vital bagi mitigasi perubahan iklim global, dan melestarikan sejarah maritim yang kaya.
Setiap kunjungan ke Kumai bukan hanya liburan, tetapi investasi kecil dalam kelangsungan hidup ekosistem ini. Kisah Kumai adalah kisah tentang harapan, tentang bagaimana kolaborasi antara sains, masyarakat lokal, dan pemerintah dapat menghasilkan model konservasi yang patut dicontu.
Sungai Kumai akan terus mengalir, membawa air hitam yang kaya tanin dari kedalaman hutan, melalui kota pelabuhan yang berdenyut, menuju laut. Dan di sepanjang aliran itu, orangutan akan terus bergelantungan, bekantan akan terus melompat, dan masyarakat Kumai akan terus menjaga gerbang ini untuk generasi mendatang. Kumai adalah janji bahwa hutan Kalimantan yang legendaris masih bernapas.
***
Untuk memahami sepenuhnya Kumai dan Tanjung Puting, kita harus mendalami ekosistem rawa gambut. Kawasan hutan ini bukan hanya tanah basah; ia adalah spons karbon raksasa global. Pembentukan gambut membutuhkan waktu ribuan tahun di mana materi organik yang mati tidak terurai sempurna karena kondisi air yang jenuh dan asam. Di Kumai, kedalaman gambut dapat mencapai beberapa meter.
Peran ekologis gambut sangat multifungsi. Pertama, ia adalah penampung air alami. Selama musim hujan, gambut menyerap air, mencegah banjir di daerah hilir. Kedua, ia adalah salah satu cadangan karbon terbesar di dunia. Ketika gambut kering atau dibakar, karbon ini dilepaskan sebagai gas rumah kaca, berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Konservasi Kumai, dengan demikian, memiliki relevansi global.
Hidrologi gambut yang terganggu, misalnya akibat pembuatan kanal drainase untuk logging atau perkebunan, adalah penyebab utama kekeringan gambut dan rentannya terhadap kebakaran. Upaya pemulihan di sekitar Kumai saat ini sering melibatkan penutupan kanal-kanal ilegal untuk mengembalikan kondisi air ke tingkat alaminya (rewetting).
Flora dan fauna yang hidup di hutan gambut Kumai telah mengembangkan adaptasi yang luar biasa terhadap tanah yang miskin nutrisi dan air yang asam. Beberapa jenis pohon mengembangkan akar nafas (pneumatofor) untuk mengambil oksigen dari udara. Ikan-ikan di sungai blackwater, seperti beberapa spesies ikan arwana dan ikan gabus, juga memiliki toleransi tinggi terhadap pH rendah.
Kedalaman hutan gambut juga memberikan perlindungan alami bagi satwa liar yang sangat rentan terhadap gangguan manusia. Keberhasilan Tanjung Puting sebagian besar disebabkan oleh kesulitan akses yang membuat eksploitasi di masa lalu menjadi kurang intensif dibandingkan area lainnya di Kalimantan.
Kumai juga menjadi basis penting bagi kegiatan pendidikan dan riset selain di Camp Leakey. Beberapa organisasi non-pemerintah (NGO) internasional dan lokal beroperasi dari Pangkalan Bun dan Kumai, fokus pada edukasi masyarakat dan pemuda mengenai pentingnya pelestarian lingkungan.
Program-program ini sering melibatkan pelatihan patroli hutan oleh masyarakat lokal, program kesadaran lingkungan di sekolah-sekolah Kumai, dan pengembangan proyek mata pencaharian berkelanjutan yang mengurangi ketergantungan pada hasil hutan yang dieksploitasi. Adanya interaksi antara peneliti asing, mahasiswa universitas lokal, dan masyarakat tradisional menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan mendorong inovasi dalam solusi konservasi.
Para penjaga hutan (ranger) yang direkrut dari komunitas Kumai dan sekitarnya adalah garis depan pertahanan TNTP. Pengetahuan mendalam mereka tentang medan, sungai, dan pola perilaku satwa liar tak tertandingi. Mereka bertanggung jawab untuk patroli anti-perburuan liar, pemantauan kebakaran, dan pengawasan batas-batas taman nasional. Kisah heroik dan dedikasi mereka jarang terdengar, namun sangat esensial bagi kelangsungan hidup orangutan di alam liar.
Pengalaman hidup di atas klotok adalah inti dari kunjungan ke Kumai. Klotok modern dilengkapi dapur kecil, yang memungkinkan koki lokal memasak makanan segar tiga kali sehari, sering kali dengan variasi hidangan khas Indonesia yang menakjubkan—jauh dari sekadar makanan turis biasa.
Fenomena kunang-kunang di Kumai, khususnya di Sungai Sekonyer, adalah hasil dari populasi pohon mangrove dan nipah yang sehat. Kunang-kunang ini cenderung berkumpul di satu jenis pohon tertentu, menciptakan ritme kedipan yang serempak. Ini berbeda dari kunang-kunang di banyak tempat lain di dunia dan menjadi subjek penelitian ekologi perilaku. Pengalaman ini hanya dapat dinikmati saat klotok merapat, setelah matahari terbenam sempurna, menambah dimensi magis pada perjalanan konservasi.
Tidur di dek klotok, hanya dibatasi oleh kelambu, menawarkan kedekatan ekstrem dengan hutan. Suara-suara hutan malam—panggilan burung hantu, gemerisik bekantan yang berpindah tidur, dan suara air yang mengalir di lambung kapal—memberikan rasa keterpisahan total dari dunia modern. Ini adalah meditasi alami, di mana ritme manusia tunduk pada ritme alam. Sensasi bau tanah basah dan udara tropis yang tebal menjadi pengingat konstan akan letak geografis Kumai yang unik.
Selain daya tarik alam, Kumai menyimpan potensi besar untuk ekowisata budaya. Interaksi dengan desa-desa penyangga, seperti Desa Tanjung Harapan, menawarkan pandangan langsung tentang cara hidup yang telah lama berinteraksi dengan hutan.
Desa-desa ini sering menjadi showcase untuk kearifan lokal dalam mengelola sumber daya, mulai dari praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan hingga penggunaan tanaman obat tradisional. Mengembangkan tur budaya yang etis, di mana wisatawan dapat mempelajari kerajinan tangan lokal atau menyaksikan pertunjukan musik tradisional, dapat memberikan diversifikasi ekonomi yang penting bagi Kumai.
Penting untuk memastikan bahwa pariwisata budaya ini dikelola oleh komunitas, sehingga mereka mendapatkan manfaat langsung, dan budaya mereka tidak dipertunjukkan atau dikomodifikasi secara tidak hormat. Integrasi antara ekowisata alam (orangutan) dan ekowisata budaya (komunitas Kumai) adalah model masa depan yang menjanjikan.
Kumai adalah bagian dari jaringan sungai yang rumit di Kalimantan. Sungai Kumai sendiri adalah jalan air yang menghubungkan seluruh Kabupaten Kotawaringin Barat. Konektivitas air ini menentukan pola migrasi satwa, penyebaran flora, dan, secara historis, rute penyebaran budaya dan agama.
Di masa lalu, pelayaran dari Kumai bisa mencapai pedalaman yang sangat jauh. Meskipun transportasi darat kini lebih umum, pentingnya sungai sebagai arteri logistik untuk hasil bumi dan pariwisata tetap tinggi. Manajemen sungai, termasuk upaya pencegahan pencemaran dan sedimentasi, menjadi tugas penting bagi pemerintah daerah Kumai.
Ekosistem air di sekitar Kumai bukan hanya sungai utama, tetapi juga sistem parit dan danau kecil (oxbow lakes) yang terbentuk dari perubahan aliran sungai. Area-area ini menjadi habitat kritis bagi satwa air dan tempat perkembangbiakan ikan.
Masa depan Tanjung Puting dan peran Kumai sebagai gerbangnya sangat bergantung pada generasi muda. Sekolah-sekolah di sekitar Kumai kini semakin memasukkan kurikulum lingkungan yang mengajarkan tentang orangutan, gambut, dan pentingnya ekowisata.
Menciptakan peluang kerja yang menarik dan berkelanjutan di sektor konservasi dan pariwisata adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa anak-anak Kumai melihat hutan bukan sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi, melainkan sebagai warisan tak ternilai yang harus dijaga. Pelatihan menjadi pemandu lokal yang berlisensi, atau ahli konservasi, memberikan mereka rasa kepemilikan dan kebanggaan terhadap lingkungan tempat mereka dibesarkan.
Kumai berdiri sebagai simbol perlawanan ekologis—sebuah tempat di mana alam liar yang paling berharga di dunia bertemu dengan masyarakat yang kini bertekad melindunginya. Kisah Kumai adalah kisah optimisme bahwa konservasi jangka panjang dapat berhasil, asalkan didukung oleh ilmu pengetahuan, dedikasi, dan, yang paling penting, komitmen dari hati komunitas lokal.
Keindahan Kumai bukan hanya terletak pada orangutan yang melompat bebas, tetapi juga pada senja merah muda yang memantul di air hitam Sungai Sekonyer, diiringi suara klotok yang perlahan membawa kita pulang, membawa serta janji untuk kembali.