Kumango bukan sekadar nama sebuah nagari atau desa di dataran tinggi Minangkabau. Ia adalah palungan sejarah, tempat berkumpulnya pemikiran tradisional, dan pusat spiritual yang memainkan peran krusial dalam peta peradaban Sumatra Barat, khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Nagari ini dikenal luas sebagai salah satu ‘Nagari tuo’ (desa tua) yang menyimpan kekayaan filosofis Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) secara mendalam, menjadikannya rujukan penting bagi pemahaman sosiokultural Minangkabau secara keseluruhan.
Sejak masa pra-kolonial, Kumango telah menjadi poros bagi dinamika sosial, politik, dan keagamaan. Posisi geografisnya yang strategis di wilayah Luhak Nan Tigo, khususnya Luhak Tanah Datar, memungkinkannya menjadi saksi bisu sekaligus pelaku aktif dalam berbagai transformasi besar, mulai dari konflik internal adat hingga gejolak Perang Paderi yang mengubah wajah Minangkabau secara permanen. Pemahaman mendalam tentang Kumango memerlukan penelusuran lapis demi lapis, dari struktur adatnya yang rumit hingga kontribusi ulama-ulamanya yang berpengaruh besar.
Kumango terletak di jantung daratan Minangkabau, yang secara historis dikenal sebagai Luhak Tanah Datar. Luhak ini, bersama dengan Agam dan Lima Puluh Kota, membentuk ‘Luhak Nan Tigo’—tiga kawasan utama yang menjadi inti peradaban Minangkabau. Kumango sendiri berada di lingkungan yang subur, dikelilingi oleh perbukitan yang hijau dan dialiri oleh sungai-sungai kecil yang menopang sistem pertanian sawah. Kesuburan tanah di Kumango bukan hanya menopang pangan, tetapi juga membentuk etos kerja masyarakatnya yang agraris dan mandiri.
Sebagai nagari, Kumango memiliki batas wilayah yang jelas dan otonomi yang kuat, dipegang teguh oleh sistem Kerapatan Adat Nagari (KAN). Secara tradisional, nagari ini terbagi menjadi beberapa jorong atau korong, yang masing-masing memiliki peran spesifik dalam administrasi dan pelaksanaan adat. Pembagian ini bukan sekadar administratif, melainkan cerminan dari struktur kekerabatan (suku) yang membentuk pola pemukiman. Wilayah nagari adalah ruang hidup komunal, di mana setiap jengkal tanah memiliki ikatan dengan garis keturunan tertentu (maternal).
Posisi geografis Kumango sering digambarkan sebagai jembatan antara dataran tinggi dan kawasan pesisir (rantau), menjadikannya simpul perdagangan dan pertukaran budaya. Hubungan dengan nagari tetangga di sekitar Batusangkar dan Payakumbuh sangat erat, baik melalui ikatan perkawinan maupun kerjasama ekonomi. Keberadaan Kumango di jalur utama pergerakan masyarakat Minangkabau pada masa lampau, terutama yang menuju ke wilayah Kerajaan Pagaruyung, semakin menggarisbawahi pentingnya nagari ini dalam narasi sejarah regional.
Faktor topografi yang berbukit-bukit mempengaruhi tata letak pemukiman yang cenderung berkelompok. Sawah terbentang di lembah, sementara rumah-rumah adat (rumah gadang) dan tempat ibadah (surau atau masjid) dibangun di dataran yang lebih tinggi. Pembagian ruang ini mencerminkan kosmologi Minangkabau: alam takambang jadi guru (alam terkembang menjadi guru). Setiap elemen geografis memiliki makna filosofis yang tertanam kuat dalam pandangan hidup masyarakat Kumango. Mereka memahami bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari menjaga tatanan adat.
Sejarah Kumango tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan Kerajaan Pagaruyung dan penyebaran Islam di dataran tinggi Minangkabau. Kumango diyakini telah berdiri sebagai nagari yang matang jauh sebelum kedatangan pengaruh kolonial, dengan sistem adat yang telah terinstitusionalisasi. Nagari ini adalah salah satu yang pertama mengadopsi dan menyintesiskan ajaran Islam dengan hukum adat, sebuah proses yang menghasilkan formula khas Minangkabau: ABS-SBK.
Kumango sering diklasifikasikan sebagai nagari tuo, menandakan usianya yang tua dan perannya sebagai sumber rujukan adat bagi nagari-nagari yang lebih muda. Konsep nagari tuo membawa serta tanggung jawab untuk melestarikan tradisi dan menjaga kemurnian hukum adat yang diwariskan oleh Laras Nan Duo (sistem Bodi Caniago dan Koto Piliang). Di Kumango, dialektika antara kedua laras ini telah lama menyatu, menghasilkan harmonisasi yang unik dalam pengambilan keputusan komunal.
Pada masa awal pembentukan nagari, Kumango dikenal memiliki sistem permusyawaratan yang sangat kuat, melibatkan para Penghulu (pemimpin adat), Manti (pelaksana), Malin (pemimpin agama), dan Dubalang (penjaga keamanan). Empat unsur ini, yang dikenal sebagai Tungku Tigo Sajarangan ditambah Alim Ulama, memastikan bahwa kebijakan yang dibuat selalu sejalan dengan nilai-nilai adat dan syariat Islam. Kepatuhan terhadap struktur ini adalah kunci stabilitas politik nagari selama berabad-abad.
Salah satu babak paling menentukan dalam sejarah Kumango adalah keterlibatannya dalam Perang Paderi (awal abad ke-19). Nagari ini berada di zona inti konflik antara kaum Adat yang mempertahankan tradisi lama dan kaum Paderi yang berupaya memurnikan praktik Islam. Kumango menjadi tempat munculnya tokoh-tokoh ulama yang berpengaruh, yang pada awalnya mendukung gerakan pemurnian, namun kemudian juga terlibat dalam perdebatan sengit mengenai penerapan syariat dan hubungannya dengan adat.
Ulama-ulama dari Kumango memiliki reputasi tinggi dalam penguasaan ilmu agama, terutama fikih dan tasawuf. Mereka bukan hanya teolog, tetapi juga tokoh pergerakan sosial. Kehadiran pusat-pusat pendidikan agama (surau dan pondok) di Kumango menjadikannya target penting bagi gerakan Paderi. Meskipun terjadi pertumpahan darah dan kerusakan sosial, pengalaman Perang Paderi justru memperkuat tekad masyarakat Kumango untuk mencari titik temu antara adat dan syarak, yang puncaknya ditandai dengan konsensus di Bukit Marapalam.
Pasca-Paderi, ketika kolonial Belanda mulai menancapkan kuku di Tanah Datar, Kumango tetap mempertahankan independensi struktural adatnya sebisa mungkin. Para penghulu dan ulama bekerja sama untuk melindungi identitas nagari dari intervensi asing. Periode ini menuntut adaptasi kultural yang luar biasa, di mana Kumango harus menghadapi sistem birokrasi kolonial tanpa kehilangan akar matrilinealnya.
Kumango adalah perwujudan ideal dari sistem matrilineal Minangkabau. Di sini, garis keturunan, pewarisan harta pusaka, dan gelar adat (penghulu) diturunkan melalui jalur ibu. Sistem ini membentuk fondasi sosial yang sangat stabil namun juga kompleks, di mana peran ninik mamak (paman dari pihak ibu) menjadi sangat sentral dalam pengambilan keputusan komunal.
Masyarakat Kumango terbagi ke dalam beberapa suku (klan), dan setiap suku memiliki rumah adatnya (rumah gadang) sendiri. Rumah gadang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi simbol kekerabatan dan pusat aktivitas adat. Fungsi rumah gadang ini melampaui fungsi fisik; ia adalah manifestasi fisik dari pusako (harta pusaka) yang diwariskan turun-temurun. Setiap suku memiliki gelar penghulu yang spesifik, dan gelar ini harus dijaga serta dipertanggungjawabkan oleh pemegang gelar kepada kaumnya.
Di Kumango, peran Bundo Kanduang (ibu adat) sangat menonjol. Meskipun keputusan formal dan gelar penghulu dipegang oleh laki-laki, kontrol terhadap harta pusaka dan moralitas kaum berada di tangan Bundo Kanduang. Dialah yang menjadi penyeimbang, penjaga moralitas, dan penentu arah dalam urusan rumah tangga besar. Kekuatan perempuan dalam struktur matrilineal Kumango adalah salah satu ciri khas yang membuatnya tetap lestari di tengah gempuran modernisasi.
Proses pengangkatan penghulu di Kumango, atau yang dikenal dengan malewakan gala, adalah ritual adat yang sangat sakral. Prosesnya melibatkan musyawarah mufakat yang panjang di antara seluruh anggota suku dan harus mendapat persetujuan dari KAN. Penghulu adalah pemimpin yang mengemban amanah seluruh kaumnya. Tugasnya sangat berat: ia harus mampu menjadi hakim, mediator, pengayom, dan perwakilan kaumnya dalam forum nagari.
Filosofi kepemimpinan penghulu di Kumango didasarkan pada prinsip “duduk samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi), yang menekankan egalitarianisme dalam permusyawaratan. Keputusan yang diambil harus berdasarkan kemaslahatan bersama, dan penghulu tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Kumango secara ketat memegang teguh hukum adat yang bersumber dari Undang-Undang Nan Duo Puluh dan ajaran Limo Budi.
Keunikan Kumango terletak pada ketegasan penerapan hukum syarak dalam penyelesaian sengketa adat. Setelah konsensus Marapalam, Kumango mengintegrasikan Syariat Islam sebagai sumber hukum kedua setelah adat, memastikan bahwa sanksi adat seringkali diperkuat oleh sanksi agama. Ini menciptakan sistem yudisial komunal yang unik, sangat menghargai musyawarah dan menghindari sebisa mungkin sanksi yang merusak hubungan kekerabatan.
Jika ada satu aspek yang membuat Kumango terkenal di seluruh Minangkabau, itu adalah perannya sebagai pusat pendidikan Islam tradisional. Sebelum institusi pendidikan formal modern menyebar, Kumango telah memiliki jaringan surau dan pondok pesantren yang melahirkan ulama-ulama besar yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi keilmuan di Kumango sudah mengakar sejak abad ke-17. Surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sekolah, asrama, dan pusat diskusi keilmuan. Murid-murid datang dari berbagai pelosok Minangkabau (dan bahkan dari luar Sumatra) untuk belajar Fikih Syafi'i, Ushuluddin, Tafsir, dan Tasawuf.
Salah satu ulama besar yang identik dengan Kumango adalah Tuanku Kumango, meskipun nama ini merujuk kepada beberapa generasi ulama yang memimpin pusat keilmuan di sana. Mereka dikenal karena keahliannya dalam ilmu tarekat (khususnya Naqsyabandiyah) dan perannya dalam mendamaikan perselisihan adat. Ajaran mereka berfokus pada keseimbangan spiritual (syarak) dan keduniaan (adat), yang sangat selaras dengan filosofi Minangkabau.
Sistem pendidikan di surau Kumango sangat menekankan pada pengabdian. Para santri (murid) tidak hanya belajar teori tetapi juga praktik hidup mandiri dan sosial. Ini selaras dengan filosofi "hidup di Kumango berarti hidup dalam ilmu dan pengabdian". Ilmu yang diperoleh harus bermanfaat bagi nagari dan kaum, bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Tradisi ini memastikan bahwa setiap ulama yang lulus dari Kumango membawa serta tanggung jawab sosial yang besar.
Surau di Kumango memiliki peran ganda: sebagai lembaga agama dan sebagai pranata adat. Surau adalah tempat bagi anak laki-laki Minangkabau belajar hidup mandiri sebelum menikah. Mereka tidak tidur di rumah gadang, melainkan di surau, di bawah bimbingan ninik mamak dan malin. Di sinilah mereka ditempa menjadi individu yang mengerti syarak, beradab (adat), dan siap memimpin kaumnya kelak.
Kurikulum Surau Kumango sangat ketat, mencakup studi mendalam tentang kitab-kitab kuning klasik, dikombinasikan dengan pelajaran praktis tentang kato nan ampek (empat macam kata, etika berbicara) yang wajib dikuasai oleh setiap laki-laki Minangkabau. Konsep ini adalah landasan penting dalam komunikasi adat: kato mandaki (kepada yang lebih tua), kato manurun (kepada yang lebih muda), kato mandata (kepada sebaya), dan kato malereng (kepada mertua/pihak yang dihormati). Penguasaan etika ini memastikan harmoni sosial dalam permusyawaratan nagari.
Hingga hari ini, meskipun telah terintegrasi dengan sistem pendidikan modern, warisan surau Kumango tetap dipertahankan melalui lembaga-lembaga pesantren dan majelis taklim, menunjukkan dedikasi nagari ini terhadap pemeliharaan ilmu agama sebagai benteng kebudayaan.
Kumango adalah salah satu nagari yang paling konsisten dalam menjaga implementasi falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Falsafah ini bukan sekadar slogan, melainkan sistem nilai yang mengatur setiap aspek kehidupan, mulai dari penanaman padi, pembagian warisan, hingga cara berpakaian dan berbicara.
Di Kumango, adat dan syarak (hukum Islam) dilihat sebagai entitas yang saling melengkapi, bukan bertentangan. Adat adalah cerminan dari budaya lokal yang telah difilter oleh nilai-nilai Islam, sementara Syarak adalah fondasi moral yang memastikan adat tidak melenceng dari kebenaran universal. Keseimbangan ini direpresentasikan dalam pepatah: "Adat dipakai, syarak dipegang".
Implementasi filosofi ini terlihat dalam Musyawarah Adat dan Syarak. Ketika terjadi sengketa, penyelesaiannya selalu melalui dua jalur konsultasi: dengan ninik mamak yang merujuk pada undang-undang adat, dan dengan alim ulama yang merujuk pada fikih Islam. Hasil dari kedua konsultasi ini kemudian disatukan untuk menghasilkan keputusan yang adil dan bermoral. Kumango mengajarkan bahwa kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang mampu merangkul kedua sayap ini.
Harta pusaka di Kumango dibagi menjadi dua jenis: pusako tinggi (harta warisan kaum, tidak dapat dijual) dan pusako randah (harta pencaharian pribadi). Filosofi di balik pusako tinggi adalah memastikan keberlangsungan kaum dan menjaga ikatan matrilineal. Sawah, ladang, dan rumah gadang adalah milik bersama kaum, dikelola oleh ninik mamak, tetapi manfaatnya adalah untuk kebutuhan kaum perempuan dan anak-anak.
Sistem ekonomi ini menuntut kerjasama dan gotong royong yang tinggi, yang dikenal sebagai basosoh atau badoncek. Kumango percaya bahwa kekayaan sejati nagari terletak pada kekuatan ikatan kekerabatan dan kemampuan untuk saling menanggung beban, bukan pada akumulasi kekayaan individu. Prinsip ini sangat penting dalam menjaga kerukunan, terutama di lingkungan agraris yang sangat tergantung pada curah hujan dan musim tanam.
Meskipun terkenal sebagai pusat adat dan agama, Kumango juga kaya akan ekspresi budaya dan kesenian tradisional yang mencerminkan sejarah panjang nagari tersebut.
Kumango dikenal memiliki aliran pencak silatnya sendiri yang sangat legendaris, disebut Silek Kumango. Aliran ini terkenal karena tekniknya yang sangat efektif dan filosofinya yang mendalam, yang menyelaraskan gerakan fisik dengan prinsip spiritual (tasawuf). Silek Kumango bukan hanya bela diri, tetapi juga sebuah seni gerak yang diajarkan di surau-surau, menekankan kerendahan hati, kecepatan, dan pemanfaatan energi lawan.
Silek Kumango mengajarkan bahwa kekuatan sejati berasal dari pengendalian diri dan ketaatan kepada agama. Pepatah yang sering diucapkan adalah: "Ado kalonyo tagak, ado kalonyo duduak, ado kalonyo diam, sadoalahnyo manuruik syarak" (Ada saatnya berdiri, ada saatnya duduk, ada saatnya diam, semuanya mengikuti syariat). Latihan silat di Kumango seringkali diawali dan diakhiri dengan zikir, menegaskan integrasi antara fisik dan spiritual.
Kuliner Kumango mencerminkan kekayaan hasil buminya. Salah satu tradisi kuliner yang paling penting adalah saat perayaan adat atau kenduri, di mana makanan disajikan secara komunal. Masakan yang disajikan umumnya kaya rempah, seperti Gulai Kuning atau Randang Dagiang yang disiapkan dengan teknik memasak tradisional yang memakan waktu berjam-jam, melambangkan kebersamaan dan kesabaran.
Tradisi makan bajamba (makan bersama-sama dalam satu nampan besar) di Kumango memiliki makna filosofis yang kuat. Ini melambangkan kesetaraan, kebersamaan, dan penghormatan kepada tamu. Setiap jamba (nampan) disusun berdasarkan hirarki: ninik mamak, alim ulama, dan bundo kanduang memiliki posisi duduk dan porsi yang diatur ketat oleh adat.
Untuk memahami sepenuhnya signifikansi Kumango, kita harus menempatkannya dalam konteks regional Minangkabau yang lebih luas, yaitu Luhak Nan Tigo (Tiga Daerah Inti). Kumango terletak di Luhak Tanah Datar, yang dikenal sebagai 'Luhak Rajo' atau sumber hukum dan tradisi Minangkabau.
Luhak Tanah Datar dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban Minangkabau. Ini adalah tempat berdirinya Kerajaan Pagaruyung, dan dengan demikian, Luhak Tanah Datar memiliki otoritas tertinggi dalam hal adat. Kumango, sebagai salah satu nagari tuo di wilayah ini, berfungsi sebagai penjaga ‘undang-undang’ adat yang paling murni.
Peran Kumango dalam Luhak Tanah Datar adalah sebagai pusat intelektual dan spiritual. Sementara nagari-nagari lain mungkin fokus pada aspek politik atau militer, Kumango selalu menonjol dalam hal keilmuan agama dan filsafat adat. Ini membuat para pemangku adat dari nagari lain sering merujuk kepada ulama dan penghulu Kumango ketika menghadapi dilema dalam menafsirkan hukum adat yang kompleks.
Masyarakat Kumango sangat memahami konsep Rantau (wilayah perantauan) dan Darek (dataran tinggi atau inti). Meskipun Kumango adalah Darek sejati, tradisi perantauan juga kuat. Anak-anak muda didorong untuk merantau setelah masa pendidikan surau selesai, dengan tujuan mencari ilmu, pengalaman, dan kekayaan, tetapi selalu dengan kewajiban untuk kembali membawa hasil dan membangun nagari.
Filosofi perantauan Kumango adalah: "Karimbo dibaliak, kaluruih ditampuah, ka nan batua dituruik" (Yang bengkok diluruskan, yang lurus ditempuh, yang benar diikuti). Perantauan dipandang sebagai ujian moral dan intelektual. Para perantau Kumango seringkali membentuk komunitas yang kuat, yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan nagari di luar batas geografisnya, memastikan bahwa tradisi dan ilmu pengetahuan Kumango terus tersebar luas.
Seperti banyak nagari tua lainnya, Kumango menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan struktur adat dan nilai-nilai tradisionalnya di era globalisasi. Urbanisasi, migrasi kaum muda, dan pengaruh budaya luar menguji ketahanan sistem matrilineal dan otonomi nagari.
Salah satu isu paling krusial adalah regenerasi penghulu. Mencari calon penghulu yang tidak hanya memiliki garis keturunan yang sah (maternal) tetapi juga memiliki penguasaan mendalam atas adat dan syarak semakin sulit. Kaum muda Kumango yang berpendidikan tinggi seringkali memilih karir profesional di kota-kota besar, meninggalkan peran adat yang menuntut pengorbanan waktu dan komitmen terhadap nagari.
Untuk mengatasi hal ini, KAN Kumango telah aktif menyelenggarakan pelatihan adat (bimbingan teknis adat) dan mendorong program pulang kampung bagi perantau. Upaya ini bertujuan untuk menanamkan kembali rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap pusaka kaum dan nagari. Pelestarian bahasa Minangkabau dialek Kumango yang khas juga menjadi bagian dari upaya pelestarian identitas.
Kumango berusaha mengintegrasikan potensi ekonominya dengan sistem adat. Pengembangan agrowisata berbasis tradisi, di mana pengunjung dapat mempelajari sistem pertanian sawah Minangkabau yang ramah lingkungan, adalah salah satu inisiatif. Selain itu, keterampilan tradisional seperti kerajinan tangan dan kuliner khas Kumango didorong untuk menjadi komoditas ekonomi yang dapat menopang nagari tanpa merusak struktur sosialnya.
Pendekatan yang diambil Kumango adalah pembangunan berbasis nagari, di mana perencanaan ekonomi dan infrastruktur selalu harus disetujui melalui musyawarah adat di KAN. Ini memastikan bahwa modernisasi tidak berjalan tanpa kontrol dan tetap menghormati batas-batas wilayah pusaka.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai Kumango, kita harus menggali lebih dalam pada lapisan filosofis yang mendasari setiap keputusan dan norma sosial. Kumango adalah laboratorium hidup di mana interaksi antara kosmologi Minangkabau, sosiologi matrilineal, dan teologi Islam dipraktikkan secara ketat.
Di Kumango, filosofi Alam Takambang Jadi Guru (alam terkembang menjadi guru) sangat nyata dalam sistem pertanian mereka. Musim tanam, irigasi (bandar), dan pembagian air diatur oleh adat dan dirumuskan berdasarkan pengamatan alam yang turun-temurun. Keteraturan alam diyakini mencerminkan keteraturan Tuhan, dan kegagalan panen seringkali diinterpretasikan bukan hanya sebagai bencana alam, tetapi juga sebagai peringatan moral karena adanya pelanggaran adat atau syarak.
Dalam pengelolaan irigasi, misalnya, terdapat petugas adat yang disebut Urang Bandaro, yang bertugas memastikan pembagian air adil. Sistem ini adalah contoh nyata bagaimana sumber daya alam yang vital dikelola bukan berdasarkan hak milik individu, melainkan berdasarkan kebutuhan komunal yang diatur oleh hukum adat yang disepakati bersama. Hal ini mencerminkan prinsip Kumango tentang kepemilikan kolektif dan tanggung jawab bersama terhadap lingkungan.
Retorika adat (pasambahan) di Kumango sangat dijaga kemurniannya. Bahasa adalah kunci untuk membuka pintu adat. Setiap pertemuan adat, mulai dari pernikahan hingga musyawarah sengketa, dimulai dengan pidato-pidato adat yang sarat dengan metafora, pantun, dan perumpamaan. Kemampuan seorang penghulu untuk menyampaikan pasambahan yang indah dan tepat adalah indikator kecakapan kepemimpinannya.
Pendidikan di Surau Kumango juga mencakup pelajaran retorika adat ini, memastikan bahwa generasi penerus tidak hanya menguasai isi adat, tetapi juga cara penyampaiannya. Ketidakmampuan dalam berpasambahan dianggap sebagai kegagalan dalam beradat, karena adat Minangkabau adalah tradisi lisan yang diwariskan melalui kata-kata yang terstruktur dan bermakna mendalam.
Lebih jauh lagi, pemahaman mendalam tentang kato nan ampek (empat jenis kata) adalah esensi dari interaksi sosial Kumango. Ini adalah kode etik komunikasi. Kato mandaki (kata mendaki) adalah bentuk bahasa paling formal dan hormat yang digunakan saat berbicara dengan orang yang memiliki status lebih tinggi (misalnya orang tua atau mertua), menggunakan diksi yang merendah dan penuh sanjungan. Sebaliknya, kato manurun (kata menurun) digunakan untuk komunikasi dengan yang lebih muda, namun tetap harus mendidik dan bijaksana, bukan meremehkan. Kepatuhan terhadap kode bahasa ini menjaga harmoni sosial Kumango dari gesekan interpersonal.
Setelah reformasi daerah di Indonesia, nagari Kumango kembali mendapatkan pengakuan yang kuat sebagai entitas pemerintahan paling dasar, menggantikan sistem desa yang sempat diterapkan pada masa Orde Baru. Struktur pemerintahan Kumango saat ini merupakan sintesis antara lembaga adat dan lembaga modern.
KAN adalah badan tertinggi dalam hal penetapan dan pengawasan adat. KAN dipimpin oleh para penghulu yang menjabat seumur hidup (selama tidak melanggar adat). Tugas KAN sangat luas, mencakup penentuan batas wilayah pusaka, pengawasan pelaksanaan ritual adat, dan penyelesaian sengketa tanah yang terkait dengan harta pusaka tinggi. Di Kumango, KAN memiliki legitimasi yang sangat kuat, seringkali lebih kuat daripada struktur pemerintahan formal di mata masyarakat lokal.
Kepala Nagari (Wali Nagari) adalah pemimpin eksekutif yang dipilih melalui pemilihan langsung dan bertugas mengelola urusan administrasi, pembangunan, dan anggaran desa. Wali Nagari harus bekerja erat dan harmonis dengan KAN serta Badan Musyawarah Nagari (Bamus), yang berfungsi sebagai dewan legislatif nagari. Sinergi antara Wali Nagari yang fokus pada pembangunan modern dan KAN yang fokus pada pelestarian adat adalah kunci keberhasilan Kumango dalam menyeimbangkan tradisi dan modernitas. Segala kebijakan pembangunan harus mendapatkan restu (soko) dari KAN.
Dialektika antara Wali Nagari (pemimpin modern) dan Penghulu (pemimpin tradisional) adalah refleksi abadi dari perjuangan Minangkabau untuk mengintegrasikan nilai-nilai lama dengan tuntutan baru. Di Kumango, hal ini diatasi melalui prinsip musyawarah yang transparan. Setiap rencana pembangunan, misalnya proyek infrastruktur jalan atau irigasi, akan dibahas dalam forum bersama yang melibatkan empat unsur nagari (penghulu, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang), memastikan bahwa setiap keputusan mencerminkan suara kolektif, dan yang terpenting, tidak melanggar garis adat dan pusaka.
Kumango bukan hanya mewarisi sejarah yang kaya, tetapi juga memproyeksikan masa depan yang terikat pada warisan tersebut. Pelestarian Kumango adalah pelestarian salah satu cetak biru peradaban Minangkabau yang paling otentik.
Salah satu upaya pelestarian yang dilakukan Kumango adalah mendokumentasikan secara ketat silsilah (genealogi) setiap suku dan pergantian gelar penghulu. Pencatatan ini sangat penting karena legitimasi sistem matrilineal bergantung pada keakuratan garis keturunan. Arsip-arsip adat, termasuk catatan-catatan kuno (tarombo) dan naskah-naskah surau, menjadi harta karun yang dijaga ketat oleh para pemangku adat.
Kumango telah lama menjadi objek penelitian bagi para antropolog, sejarawan, dan sosiolog yang mempelajari Minangkabau dan sistem matrilineal. Kejelasan struktur adat, kekokohan institusi surau, dan keberhasilan integrasi Syarak menjadikannya studi kasus yang ideal. Perhatian akademik ini turut membantu meningkatkan kesadaran lokal tentang pentingnya warisan yang mereka miliki.
Meskipun Kumango berada di tengah arus perubahan zaman, komitmennya terhadap prinsip-prinsip Adat Basandi Syarak tetap tak tergoyahkan. Nagari ini berdiri sebagai pengingat bahwa modernitas tidak harus berarti penanggalan identitas, tetapi harus menjadi kesempatan untuk memperkuat akar budaya yang telah teruji oleh waktu, menjadikannya pilar peradaban yang kokoh di tengah Ranah Minang.
Keberhasilan Kumango dalam memelihara keseimbangan antara kepemimpinan adat, spiritualitas Islam, dan tuntutan pembangunan modern memberikan pelajaran berharga bagi banyak komunitas tradisional lainnya di Indonesia dan dunia. Nagari ini membuktikan bahwa otonomi lokal dan sistem nilai tradisional dapat menjadi kekuatan pendorong untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berakar pada identitas yang mendalam.
Setiap detail arsitektur Rumah Gadang, setiap langkah dalam Silek Kumango, setiap larik dalam pasambahan adat, dan setiap pelajaran di Surau, semuanya adalah bagian tak terpisahkan dari narasi besar Kumango. Narasi yang mengajarkan tentang harmoni, tanggung jawab kolektif, dan kearifan yang lahir dari sintesis antara alam, adat, dan iman. Kumango bukan hanya warisan yang harus dijaga, tetapi sumber inspirasi abadi tentang bagaimana peradaban dapat bertahan melintasi waktu dengan berpegang teguh pada filosofi dasarnya.