Jejak Kuno Nusantara: Menggali Warisan Peradaban Abadi

Menyelami Kedalaman Masa Kuno

Kata kuno tidak hanya merujuk pada rentang waktu yang telah lama berlalu, tetapi mengandung bobot makna peradaban, fondasi budaya, dan sistem kepercayaan yang membentuk identitas Nusantara. Menjelajahi masa kuno di kepulauan ini berarti membuka lembaran tebal yang membentang dari periode prasejarah yang sunyi hingga gemerlapnya kerajaan-kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan dunia. Warisan kuno adalah akar yang memberi makan pohon kebudayaan Indonesia modern. Penjelajahan ini akan membawa kita melewati lapisan-lapisan sejarah, mulai dari batu-batu megalit yang bisu, ukiran relief yang penuh narasi filosofis, hingga tata kelola pemerintahan yang sofisticated.

Nusantara, sebagai titik temu lempeng bumi dan jalur migrasi purba, menyimpan kekayaan arkeologi yang luar biasa. Setiap situs, setiap artefak, dan setiap naskah kuno yang ditemukan adalah kepingan puzzle yang menceritakan adaptasi, inovasi, dan spiritualitas nenek moyang kita. Keunikan masa kuno di sini terletak pada percampuran yang harmonis antara tradisi lokal yang kuat dengan pengaruh global, terutama dari India (Hindu-Buddha), yang menghasilkan sintesis budaya yang khas dan tak tertandingi.

I. Fondasi Abadi: Era Prasejarah dan Tradisi Megalitik

Sebelum munculnya aksara dan kerajaan-kerajaan terpusat, masa kuno Nusantara dimulai dari periode prasejarah yang panjang. Periode ini, yang sering terabaikan karena minimnya catatan tertulis, sejatinya merupakan era pembentukan dasar spiritualitas dan teknologi masyarakat awal. Jejak paling kentara dari periode ini adalah tradisi megalitik, sebuah sistem kepercayaan dan penghormatan terhadap leluhur yang diekspresikan melalui struktur batu besar.

1.1. Peradaban Batu Besar

Tradisi megalitik adalah praktik membangun monumen dari batu berukuran masif, yang berfungsi sebagai sarana ritual pemujaan roh nenek moyang. Praktik ini tersebar luas, mulai dari Nias, Toraja, Sumba, hingga Pasemah di Sumatera Selatan. Keberadaan situs-situs ini membuktikan adanya sistem sosial yang terstruktur dan kemampuan kolektif yang matang untuk memindahkan dan mendirikan batu-batu raksasa tanpa bantuan teknologi modern.

Beberapa bentuk utama warisan megalitik kuno meliputi:

• Menhir: Tiang batu tunggal yang didirikan sebagai simbol arwah leluhur atau tempat memusatkan kegiatan ritual. Diperkirakan menhir berfungsi sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia roh.
• Dolmen: Meja batu yang berfungsi sebagai tempat persembahan atau kuburan. Dolmen menunjukkan kompleksitas dalam konsep kematian dan kehidupan setelah mati.
• Sarkofagus dan Kubur Batu: Wadah kuburan yang dipahat dari batu utuh, seringkali ditemukan dengan bekal kubur seperti perhiasan, senjata, atau alat-alat rumah tangga, mencerminkan strata sosial yang mulai terbentuk.
• Punden Berundak: Bangunan suci berbentuk teras bertingkat yang diyakini sebagai cikal bakal arsitektur candi Hindu-Buddha. Struktur ini mewakili konsep gunung suci atau orientasi menuju tempat tertinggi (Hyang).

1.2. Manusia Purba dan Migrasi Awal

Jauh sebelum era megalitik, jejak manusia purba telah terekam di Jawa. Penemuan Homo erectus (Pithecanthropus erectus), seperti yang ditemukan di Trinil dan Sangiran, menunjukkan bahwa kepulauan ini telah dihuni oleh hominid selama jutaan tahun. Periode Paleolitikum hingga Neolitikum menandai transisi penting: dari pola hidup berburu dan meramu nomaden menjadi masyarakat yang mulai mengenal pertanian dan menetap. Masa kuno inilah yang membentuk jalur migrasi Austronesia, membawa bahasa, keterampilan maritim, dan praktik pertanian padi basah yang menjadi ciri khas Nusantara hingga saat ini.

II. Abad Emas Awal: Kerajaan Hindu-Buddha Tertua

Masa kuno mencapai babak baru dengan masuknya pengaruh India, yang membawa sistem politik terpusat (kerajaan), aksara, dan agama besar. Periode ini sering disebut sebagai periode klasik Nusantara, dimulai sekitar abad ke-4 Masehi.

2.1. Kutai Martadipura (Kalimantan Timur)

Kutai diyakini sebagai kerajaan bercorak Hindu tertua di Nusantara, dibuktikan dengan penemuan tujuh prasasti Yupa yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Yupa-yupa tersebut mendeskripsikan kedermawanan Raja Mulawarman yang memberikan sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Catatan ini penting karena menunjukkan adopsi sistem kasta dan ritual Veda yang telah berjalan di Kalimantan pada abad ke-4 Masehi. Masa kuno Kutai menjadi bukti bahwa hubungan perdagangan dan budaya dengan India telah terjalin sangat awal.

2.2. Tarumanegara (Jawa Barat)

Abad ke-5 Masehi di Jawa Barat ditandai dengan kemunculan Kerajaan Tarumanegara. Raja Purnawarman adalah tokoh sentral yang dicatat dalam beberapa prasasti, termasuk Ciaruteun, Kebon Kopi, dan Jambu. Prasasti Ciaruteun sangat terkenal karena adanya pahatan tapak kaki Raja Purnawarman, yang disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu, menunjukkan legitmasi kekuasaan ilahi (Dewa Raja). Fokus utama Tarumanegara adalah tata kelola air dan irigasi, seperti yang dideskripsikan dalam proyek penggalian Sungai Gomati, vital bagi pertanian di kawasan tersebut.

2.3. Sriwijaya: Imperium Maritim Kuno

Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13 Masehi) mewakili puncak kejayaan maritim masa kuno di Sumatera. Berpusat di Palembang, Sriwijaya tidak hanya menjadi kerajaan dagang terbesar yang mengontrol Selat Malaka dan Selat Sunda, tetapi juga pusat pembelajaran agama Buddha Vajrayana yang sangat dihormati. Bukti kekuasaannya terekam dalam prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno, seperti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo, dan Telaga Batu.

Aspek penting dari Sriwijaya:

1. Kekuasaan Thalassokrasi (Kemaritiman): Sriwijaya mengandalkan kekuatan angkatan laut dan monopoli perdagangan rempah-rempah dan komoditas dari Tiongkok dan India.
2. Pusat Pendidikan Buddha: Seorang peziarah Tiongkok, I-Tsing, mencatat bahwa Sriwijaya adalah tempat bagi para biksu asing untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan Melayu sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Ini menunjukkan tingkat intelektualitas yang tinggi di masa kuno Sriwijaya.
3. Prasasti Kutukan (Telaga Batu): Prasasti ini mengandung sumpah dan kutukan yang ditujukan kepada siapa pun yang berkhianat kepada raja, menggarisbawahi sistem hukum dan tata kelola yang ketat.

III. Memori Gemilang: Masa Kuno di Jawa Tengah dan Timur

Periode Medang (Mataram Kuno) dan Majapahit dianggap sebagai puncak ekspresi budaya dan politik masa kuno di Jawa, menghasilkan karya arsitektur, sastra, dan sistem politik yang paling canggih.

3.1. Mataram Kuno (Abad Ke-8 hingga Ke-10)

Kerajaan ini terbagi menjadi dua wangsa besar yang hidup berdampingan di Jawa Tengah: Wangsa Syailendra (Buddha) dan Wangsa Sanjaya (Hindu Siwa). Persaingan damai dan kolaborasi ini menghasilkan warisan arsitektur kuno yang monumental.

3.1.1. Borobudur: Mandala Alam Semesta

Dibangun oleh Wangsa Syailendra, Candi Borobudur adalah stupa Buddha terbesar di dunia dan lambang kosmologi Buddha Mahayana. Strukturnya mewakili tiga tingkatan kosmos:

• Kamadhatu (Dunia Nafsu): Bagian dasar yang menggambarkan kehidupan manusia yang terikat hawa nafsu (meski saat ini tertutup).
• Rupadhatu (Dunia Rupa): Bagian tengah yang terdiri dari empat teras bujur sangkar dengan relief cerita Jataka (kisah kelahiran Buddha terdahulu) dan Lalitavistara (riwayat hidup Siddharta Gautama). Relief ini adalah perpustakaan visual yang tak ternilai harganya.
• Arupadhatu (Dunia Tanpa Rupa): Tiga teras melingkar di atas yang puncaknya adalah stupa induk. Ini melambangkan nirwana, tempat spiritualitas murni tanpa bentuk fisik.

3.1.2. Prambanan: Manifestasi Trimurti

Sebagai respons dan penyeimbang Borobudur, Wangsa Sanjaya membangun Candi Prambanan (Loro Jonggrang), sebuah kompleks candi Hindu yang didedikasikan untuk Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Candi Siwa di tengah adalah yang tertinggi dan paling megah, mencerminkan dominasi pemujaan Siwa di Jawa Tengah masa itu. Reliefnya menceritakan epik Ramayana dan Krishnayana, yang diukir dengan detail yang luar biasa.

3.2. Kerajaan Majapahit (Abad Ke-13 hingga Ke-15)

Setelah perpindahan pusat kekuasaan ke Jawa Timur, Majapahit muncul sebagai kerajaan terbesar dan terakhir di masa kuno Nusantara. Didirikan oleh Raden Wijaya, kejayaannya mencapai puncak di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.

3.2.1. Konsep Negara Kertagama

Sumber utama sejarah Majapahit adalah Kakawin Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi. Teks kuno ini tidak hanya mendeskripsikan wilayah kekuasaan yang luas (Nusantara), tetapi juga tata kota Trowulan sebagai ibu kota, sistem upacara, dan hubungan diplomatik. Dokumen ini adalah cetak biru politik Majapahit yang sangat rinci.

3.2.2. Sistem Pemerintahan dan Filosofi Kuno

Majapahit mengembangkan sistem pemerintahan yang kompleks, yang dikenal sebagai ‘mandala’ (lingkaran pengaruh), yang mengintegrasikan berbagai wilayah melalui sumpah setia dan hubungan dagang, bukan hanya melalui pendudukan militer langsung. Filosofi utamanya adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran yang mendua), sebuah prinsip toleransi yang terdapat dalam naskah kuno Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, yang membuktikan koeksistensi Hindu dan Buddha yang damai pada masa itu.

Ekonomi Majapahit berbasis pertanian (padi) dan perdagangan maritim. Pelabuhan-pelabuhan seperti Canggu dan Hujung Galuh menjadi gerbang pertukaran komoditas rempah-rempah, emas, dan keramik dari Tiongkok. Masa kuno Majapahit adalah masa di mana Nusantara menjadi hub ekonomi dan budaya yang tak tertandingi di Asia Tenggara.

IV. Arsitektur, Seni Rupa, dan Simbolisme Kuno

Warisan kuno tidak hanya berbentuk kerajaan, tetapi juga diekspresikan melalui karya seni dan arsitektur yang penuh makna filosofis. Candi bukan sekadar tempat ibadah, melainkan replika kosmos yang diturunkan ke bumi.

4.1. Kosmologi Candi Jawa

Arsitektur candi di Nusantara dipengaruhi kuat oleh konsep Meru (Gunung Mahameru), tempat bersemayamnya para dewa. Struktur candi selalu berorientasi pada kesatuan mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta).

Setiap bagian candi memiliki representasi:

1. Kaki Candi (Bhur Loka): Melambangkan dunia bawah, tempat manusia biasa yang masih dikuasai hawa nafsu.
2. Tubuh Candi (Bhuvar Loka): Melambangkan dunia tengah, tempat manusia mulai membersihkan diri menuju kesucian. Di sinilah ruang utama (garbhagriha) berada, tempat arca dewa dipuja.
3. Atap Candi (Svar Loka): Melambangkan dunia atas atau surga, tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan.

4.2. Relief dan Narasi Visual

Relief pada candi-candi kuno adalah medium komunikasi visual yang paling efektif. Relief di Borobudur (Jataka, Lalitavistara) dan Prambanan (Ramayana, Krishnayana) berfungsi sebagai pengajaran moral dan agama bagi masyarakat yang belum semuanya melek aksara. Karakteristik relief di Jawa Kuno berbeda dari India; mereka cenderung lebih naratif, bergerak dari kiri ke kanan (pradakshina), dan menampilkan detail kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, mengintegrasikan latar belakang Jawa ke dalam cerita Hindu-Buddha.

4.3. Seni Patung dan Simbol Dewa

Seni patung pada masa kuno mencapai tingkat kematangan tinggi. Patung-patung dewa, seperti arca Durga Mahisasuramardhini, Siwa Mahadewa, atau Boddhisatva, dipahat berdasarkan pedoman ikonografi (Agama) yang ketat. Misalnya, Patung Siwa di Candi Singasari menunjukkan perpaduan antara keagungan dewa dan interpretasi lokal yang halus. Arca tidak hanya berfungsi sebagai objek pemujaan, tetapi juga sebagai manifestasi dewa di bumi (Arcamurti).

V. Warisan Intelektual: Hukum, Sastra, dan Aksara Kuno

Masa kuno Nusantara adalah masa keemasan literasi. Meskipun seringkali prasasti batu menjadi penanda utama, warisan intelektual sejati tersimpan dalam ribuan naskah yang ditulis di daun lontar, memuat ajaran agama, hukum, sejarah, dan puisi epik.

5.1. Sastra Kakawin dan Kidung

Sastra kuno berkembang pesat, khususnya di Jawa Timur. Sastra dibagi menjadi dua kategori utama:

• Kakawin: Puisi panjang yang terikat pada aturan metrum India (Weda), ditulis dalam bahasa Jawa Kuno yang sangat dipengaruhi Sanskerta. Contoh puncaknya adalah Kakawin Ramayana (adaptasi epik India dengan nuansa Jawa), Sutasoma, dan Nagarakretagama.
• Kidung: Puisi yang lebih bebas, menggunakan metrum lokal (tembang) dan seringkali menceritakan kisah lokal, seperti legenda Panji atau sejarah kerajaan, lebih dekat dengan bahasa Jawa Tengahan.

Karya-karya kuno ini tidak hanya bernilai seni tinggi, tetapi juga menjadi sumber primer untuk memahami struktur sosial, politik, dan kepercayaan masyarakat pada zamannya.

5.2. Sistem Hukum dan Tata Kelola Kuno

Kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara memiliki sistem hukum yang terperinci. Salah satu yang paling terkenal adalah Undang-Undang Kutara Manawa (atau Kutarasastra), sebuah kompilasi hukum yang diyakini berasal dari masa Majapahit, yang mengatur berbagai aspek, mulai dari pidana, perdata, hingga tata niaga.

Prinsip hukum kuno seringkali bersifat komunal dan sangat terikat pada legitimasi raja. Raja adalah pemegang kekuasaan hukum tertinggi, yang dipercaya sebagai penjelmaan dewa (konsep Dewa Raja). Keberadaan hukum tertulis menunjukkan adanya birokrasi yang kompleks dan upaya untuk menciptakan stabilitas sosial melalui norma-norma yang baku.

5.3. Perkembangan Aksara Kuno

Aksara adalah penanda penting transisi dari prasejarah ke masa kuno. Dari aksara Pallawa yang digunakan di Kutai dan Tarumanegara, berkembanglah aksara Kawi atau Jawa Kuno. Aksara Kawi adalah aksara lokal yang paling dominan di Jawa dan Bali selama berabad-abad, digunakan untuk menulis prasasti dan naskah-naskah lontar. Di Sumatera, aksara Melayu Kuno (seperti yang ditemukan di Sriwijaya) menjadi dasar bagi perkembangan aksara-aksara lokal lainnya, menunjukkan keragaman literasi di masa kuno.

Filosofi di balik penggunaan aksara kuno ini seringkali terkait dengan upaya mengabadikan *dharma* (kebenaran universal) dan *karma* (perbuatan baik). Menulis, terutama prasasti, adalah tindakan spiritual yang dimaksudkan untuk kebaikan raja dan rakyatnya, serta menjamin keabadian kekuasaan.

VI. Membaca Kehidupan Sehari-hari Masa Kuno

Untuk memahami masa kuno secara utuh, kita tidak hanya harus melihat istana dan candi, tetapi juga kehidupan masyarakat biasa: petani, pedagang, dan perajin yang membangun peradaban ini. Rekonstruksi kehidupan sehari-hari banyak didasarkan pada interpretasi relief candi dan isi naskah kuno.

6.1. Sistem Pertanian dan Irigasi

Padi adalah komoditas utama dan fondasi ekonomi di Jawa kuno. Sistem irigasi subak, yang di Bali masih bertahan hingga kini, mungkin telah memiliki cikal bakal sejak periode Mataram Kuno, mencerminkan organisasi sosial yang terpusat untuk mengelola air secara adil. Lahan sawah dikelola secara komunal, dan ritual pertanian (seperti pemujaan Dewi Sri, dewi padi) memainkan peran sentral dalam kalender sosial.

6.2. Tata Kota dan Permukiman

Melalui penggalian di situs-situs seperti Trowulan (ibu kota Majapahit), terungkap tata kota kuno yang maju. Kota-kota dilengkapi dengan tembok pertahanan, saluran air, gapura, dan permukiman yang terpisah berdasarkan profesi. Bangunan-bangunan didominasi oleh material yang mudah rusak (kayu dan bambu), itulah sebabnya warisan arsitektur non-religiusnya lebih sulit ditemukan daripada candi batu.

6.3. Pakaian, Perhiasan, dan Hiburan

Relief candi memberikan gambaran jelas tentang gaya hidup kuno. Masyarakat mengenakan kain lilit (kain panjang), baik yang sederhana maupun yang dihiasi perhiasan emas dan batu mulia bagi kaum bangsawan. Pertunjukan seni, seperti tari, musik, dan wayang (yang kemungkinan besar sudah ada dalam bentuk awal sebelum Hindu-Buddha), adalah bagian integral dari ritual dan hiburan sosial. Penggambaran alat musik seperti gamelan (walau dalam bentuk yang lebih sederhana) sering ditemukan dalam relief kuno.

VII. Kontinuitas dan Transformasi Warisan Kuno

Masa kuno tidak berakhir secara tiba-tiba, tetapi bertransisi dan beradaptasi. Ketika pengaruh Islam mulai masuk dan berkembang di Nusantara, banyak tradisi kuno yang tidak hilang, melainkan mengalami sinkretisme—percampuran harmonis—yang membentuk budaya Jawa dan Melayu modern.

7.1. Perpindahan dan Pelestarian di Bali

Salah satu jalur penting pelestarian tradisi kuno adalah migrasi elit dan intelektual Majapahit ke Bali pada abad ke-15. Bali menjadi "museum hidup" bagi kebudayaan Hindu-Jawa kuno. Bahasa, sastra (termasuk Kakawin), sistem kasta, dan ritual keagamaan yang kita lihat di Bali saat ini adalah kontinuitas langsung dari peradaban masa kuno di Jawa Timur.

7.2. Sinkretisme dalam Seni dan Mistisisme

Di Jawa, tradisi kuno diintegrasikan ke dalam ajaran baru. Konsep Dewa Raja bertransformasi menjadi konsep Ratu Adil atau pemimpin yang memiliki legitimasi spiritual. Seni pewayangan, yang akarnya jauh di masa Hindu-Buddha, dipertahankan dan digunakan sebagai media dakwah Islam. Bahasa Jawa Baru dan Kawi Modern masih mempertahankan banyak kosakata dan struktur filosofis dari bahasa Jawa Kuno.

7.3. Nilai Kuno dalam Konteks Modern

Prinsip-prinsip yang dicetuskan di masa kuno, seperti konsep persatuan Majapahit dan filosofi toleransi dalam Sutasoma, menjadi pilar penting bagi negara modern. Penemuan dan penelitian artefak kuno terus berlangsung, memungkinkan kita untuk mendefinisikan kembali identitas bangsa berdasarkan kebesaran masa lalu.

VIII. Penelusuran Lebih Lanjut: Kedalaman Struktur Sosial Kuno

Untuk benar-benar menghargai masa kuno, perlu dibedah lebih jauh mengenai bagaimana masyarakat, di luar kerangka kerajaan besar, mengorganisir diri. Struktur sosial dan sistem kepercayaan kuno memiliki lapisan kompleks yang jauh mendahului prasasti aksara.

8.1. Ritual Kematian di Era Megalitik Nusantara

Di masa kuno prasejarah, ritual kematian adalah titik fokus kehidupan. Penguburan tidak hanya sekadar penempatan jenazah, melainkan sebuah proses transisi yang memastikan arwah leluhur menjadi pelindung komunitas. Situs-situs seperti Pasemah, dengan batu-batu berukir (arca menhir) yang menggambarkan prajurit atau tokoh dengan perhiasan, menunjukkan pentingnya status sosial dalam kehidupan dan kematian. Keberadaan wadah kubur seperti sarkofagus di Bali atau kubur batu di Kuningan menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki konsep hierarki spiritual dan material yang kuat.

Batu-batu besar ini (megalit) berfungsi sebagai media komunikasi. Ketika batu didirikan, ia diyakini menjadi tempat bersemayam sementara bagi roh suci (Hyang), yang kemudian akan memberikan kemakmuran, kesuburan, dan kemenangan dalam perang. Masa kuno pada dasarnya adalah peradaban yang sangat menghormati keseimbangan antara alam, manusia, dan roh.

8.2. Sistem Ekonomi di Sriwijaya: Pelabuhan dan Monopoli

Kekuasaan Sriwijaya sebagai imperium kuno tidak hanya dibangun di atas kapal perang, melainkan juga sistem ekonomi yang cerdik. Sriwijaya mempraktikkan monopoli perdagangan komoditas eksotis dari pedalaman Sumatera (seperti kemenyan dan emas) dan memungut pajak atas kapal asing yang melintasi Selat Malaka. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya berfungsi ganda: sebagai pasar internasional yang ramai dan sebagai basis angkatan laut untuk memastikan keamanan jalur pelayaran.

Keunikan Sriwijaya adalah perpaduan antara pusat dagang yang materialistis dengan pusat spiritualitas yang intens. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kekayaan yang diperoleh Sriwijaya seringkali digunakan untuk mensponsori pusat-pusat pembelajaran Buddha, menarik biksu dari seluruh Asia, termasuk India dan Tiongkok.

IX. Struktur Internal Majapahit: Birokrasi dan Wilayah Kuno

Majapahit, sebagai puncak masa kuno, memiliki sistem administrasi yang sangat rinci, jauh melampaui kerajaan sebelumnya. Pemahaman tentang birokrasi ini penting untuk memahami mengapa Majapahit mampu mempertahankan wilayah mandala yang luas.

9.1. Birokrasi Pusat (Raja dan Pejabat Tinggi)

Di istana Majapahit, raja (Sri Maharaja) didampingi oleh dewan menteri yang disebut Bhattara Saptaprabhu (Tujuh Pangeran/Tuan), yang biasanya terdiri dari kerabat dekat raja. Di bawah mereka terdapat para pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas berbagai aspek kerajaan:

• Rakryan Mahamantri Hino, Sirikan, dan Haluk: Jabatan utama yang sering kali dipegang oleh putra mahkota atau kerabat terdekat, berfungsi sebagai penasihat dan pelaksana kebijakan.
• Rakryan Patih (Mahapatih): Jabatan eksekutif tertinggi (Gajah Mada adalah contoh paling terkenal), yang mengurus administrasi dan urusan militer sehari-hari.
• Dharmmadhyaksa: Dua kementerian penting yang mengurus masalah keagamaan. Satu untuk Hindu (Siwa) dan satu untuk Buddha. Ini adalah bukti nyata toleransi agama yang diabadikan dalam hukum negara.

9.2. Pembagian Wilayah Kuno dan Konsep Mandala

Wilayah Majapahit dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kedekatan dengan ibu kota Trowulan:

1. Negara Agung: Wilayah inti di Jawa Timur yang dikelola langsung oleh birokrasi pusat. Wilayah ini menyumbang sumber daya terbesar bagi kerajaan.
2. Mancanegara: Wilayah-wilayah di luar Negara Agung, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Sumatera/Bali, yang dikelola oleh bupati atau bangsawan lokal yang memiliki ikatan darah atau sumpah setia kepada raja.
3. Nusantara/Daerah Taklukan: Wilayah di luar Jawa yang tidak dikelola langsung, seperti Maluku, sebagian Borneo, dan Semenanjung Malaya. Wilayah ini mengirim upeti tahunan dan mengakui supremasi Majapahit, tetapi pemerintahan internalnya otonom.

Sistem Mandala ini menunjukkan fleksibilitas politik Majapahit dalam mengelola keragaman etnis dan geografis, sebuah pelajaran penting dari masa kuno.

9.3. Teks Hukum Kutarasastra: Keadilan di Masa Kuno

Hukum Kutarasastra (atau Manawassasana) adalah inti dari tata hukum Majapahit. Teks ini tidak hanya mencakup hukum pidana yang brutal (seperti hukuman mati atau denda yang berat), tetapi juga mengatur detail perdagangan, hak warisan, dan status budak. Hukum pada masa kuno sangat terikat pada sistem kasta atau *warna*. Misalnya, hukuman untuk pelanggaran yang sama dapat berbeda tergantung pada apakah pelakunya berasal dari kasta Brahmana atau Sudra. Teks ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana keadilan diinterpretasikan dalam masyarakat yang hierarkis.

X. Filsafat dan Spiritualisme dalam Karya Kuno

Inti dari warisan kuno Nusantara adalah spiritualitasnya. Filsafat yang mendasari pembangun candi dan penulisan kakawin jauh lebih dalam daripada sekadar pemujaan dewa-dewa dari India. Ini adalah upaya untuk mencapai harmoni kosmis.

10.1. Konsep Dewa Raja dan Kosmologi

Konsep Dewa Raja (Raja adalah penjelmaan dewa di bumi) adalah pilar legitimasi politik masa kuno. Raja tidak hanya berkuasa secara politik, tetapi juga secara spiritual. Candi-candi didirikan sebagai penghubung antara raja yang hidup dan dewa yang ia representasikan. Bahkan setelah raja meninggal, candi peringatan (seperti candi di Singasari atau candi Penataran) dibangun untuk menyatukan jiwa raja yang telah wafat dengan dewa pilihannya (moksa). Raja kemudian menjadi Dewa Bhatara, roh pelindung kerajaan.

10.2. Makna di Balik Kata ‘Bhinneka Tunggal Ika’

Frasa yang terkenal ini, yang diambil dari Kakawin Sutasoma, memiliki konteks filosofis yang spesifik: persatuan esensi Siwa dan Buddha. Mpu Tantular menulis bahwa Siwa dan Buddha adalah dua entitas yang berbeda, namun esensi kebenarannya (Dharma) adalah tunggal. Filosofi ini sangat penting pada masa kuno Majapahit karena menunjukkan upaya sadar para intelektual untuk mengatasi potensi konflik agama antara pemeluk Hindu aliran Siwa dan Buddha aliran Tantrayana/Vajrayana, yang saat itu berkembang pesat.

10.3. Transformasi Bahasa: Dari Sanskerta ke Jawa Kuno

Sanskerta adalah bahasa suci yang digunakan dalam ritual dan penulisan prasasti awal, sementara bahasa Jawa Kuno menjadi bahasa perantara (lingua franca) bagi para sastrawan. Transisi ini menunjukkan kedewasaan budaya kuno Nusantara. Mereka tidak hanya mengadopsi, tetapi menginternalisasi dan memodifikasi. Kosakata lokal (Austronesia) diserap ke dalam kerangka Sanskerta, menghasilkan bahasa yang kaya dan mampu mengungkapkan konsep-konsep filosofis yang kompleks, yang kemudian menjadi dasar bagi bahasa Jawa, Sunda, dan Bali modern.

XI. Keabadian Jejak Kuno

Jejak masa kuno Nusantara adalah sebuah warisan yang hidup, bukan sekadar relik masa lalu yang beku dalam batu. Dari menhir yang bisu di dataran tinggi, hingga gemerlap emas dan intrik politik di Majapahit, setiap babak menceritakan kisah adaptasi manusia terhadap alam, spiritualitas, dan kekuasaan. Peradaban kuno ini telah menanamkan prinsip-prinsip toleransi (Bhinneka Tunggal Ika), kedaulatan maritim, dan keunggulan sastra yang terus membentuk identitas kultural saat ini.

Menggali masa kuno adalah sebuah keharusan. Ini adalah kunci untuk memahami cara kita berinteraksi dengan dunia, mengapa kita menghargai harmoni sosial, dan dari mana datangnya keunikan spiritualitas kita. Warisan kuno adalah fondasi kokoh yang menopang keberagaman dan kemajuan masa kini.

XII. Detail Arkeologi dan Aspek Keagamaan Lokal Kuno

12.1. Sinkretisme di Candi Dieng dan Gedong Songo

Sebelum kemegahan Prambanan dan Borobudur, masa kuno di Jawa Tengah juga melahirkan kompleks candi yang lebih kecil dan lebih tua, seperti Dieng dan Gedong Songo. Candi-candi ini dibangun pada masa transisi dan menunjukkan bentuk awal Hindu-Siwa yang lebih sederhana. Arsitektur Dieng menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan pegunungan, seringkali berorientasi pada mata air atau puncak gunung, memperkuat konsep pemujaan Hyang (roh gunung) yang merupakan tradisi asli Nusantara yang bercampur dengan ajaran Siwa.

Candi Dieng, misalnya, didedikasikan untuk berbagai manifestasi Siwa dan Durga. Skala candinya yang intim dan penempatannya di dataran tinggi vulkanik mencerminkan praktik spiritual yang erat kaitannya dengan kekuatan alam. Ini adalah bukti bahwa pada masa kuno, adopsi agama India tidak menghilangkan sepenuhnya kepercayaan animisme dan dinamisme lokal, tetapi merangkulnya.

12.2. Peran Wanita dalam Masyarakat Kuno

Meskipun catatan sejarah kuno didominasi oleh tokoh laki-laki (raja, patih, biksu), prasasti dan relief memberikan indikasi penting tentang peran wanita. Di Kerajaan Mataram Kuno, ada beberapa ratu yang berkuasa, seperti Pramodhawardhani (Wangsa Syailendra) dan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (Majapahit). Relief di Borobudur dan Prambanan sering menggambarkan wanita sebagai pendamping spiritual, penari istana, pedagang, dan bahkan sebagai tokoh utama dalam kisah Jataka. Posisi Ratu atau Ibu Suri seringkali memiliki kekuatan politik yang signifikan, terutama dalam sistem matrilineal yang mungkin masih bertahan di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan di masa kuno.

12.3. Sistem Kalender dan Astronomi Kuno

Masyarakat kuno Nusantara sangat bergantung pada astronomi untuk navigasi maritim dan penentuan waktu ritual pertanian. Prasasti kuno seringkali mencantumkan tanggal dengan sangat detail menggunakan sistem Candra Sengkala (penanggalan berdasarkan tahun Saka India). Pengetahuan tentang siklus bulan dan bintang digunakan untuk menentukan musim tanam padi dan pelayaran. Ilmu perbintangan kuno ini merupakan integrasi antara pengetahuan navigasi Austronesia yang sudah ada dengan ilmu astrologi Veda dari India.

12.4. Seni Musik dan Gamelan

Gamelan, ansambel musik tradisional Jawa dan Bali, memiliki akar yang sangat kuno. Relief di Candi Borobudur dan Prambanan menampilkan berbagai alat musik gesek, tiup, dan perkusi yang menyerupai alat gamelan purba. Pada masa kuno Majapahit, musik istana dan tarian ritual merupakan bagian integral dari upacara keagamaan dan penyambutan tamu kerajaan. Gamelan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pengiring spiritual yang diyakini dapat memanggil energi kosmik dan roh leluhur.

12.5. Teknologi Maritim dan Kapal Borobudur

Kekuatan Sriwijaya dan Majapahit tidak terlepas dari teknologi maritim mereka. Salah satu penggambaran paling spektakuler dari kemampuan pelayaran masa kuno adalah relief kapal di Borobudur. Kapal-kapal ini digambarkan memiliki cadik (penyeimbang samping) yang khas, menunjukkan desain yang sangat adaptif terhadap pelayaran samudra yang panjang, menghubungkan Nusantara dengan Madagaskar, Tiongkok, dan Afrika Timur. Kapal-kapal ini membuktikan kemampuan navigasi yang canggih yang telah dimiliki masyarakat kuno sebelum masuknya teknologi kapal layar Eropa.

XIII. Mendalami Konsep Filosofi Pemujaan Kuno

13.1. Pemujaan Akṣobhya dan Lima Dhyani Buddha

Dalam Buddhisme Mahayana di Jawa Kuno, khususnya yang terlihat di Borobudur, konsep Lima Dhyani Buddha adalah sentral. Mereka adalah perwujudan dari lima kebijaksanaan Buddha. Akṣobhya, yang biasanya digambarkan menghadap Timur, melambangkan ketidakgoyahan dan tanah air. Tata letak Borobudur menempatkan patung-patung ini secara strategis di setiap arah mata angin, menciptakan sebuah mandala raksasa yang tidak hanya memandu peziarah secara fisik tetapi juga spiritual menuju pencerahan.

Ritual pradakshina—berjalan mengelilingi candi searah jarum jam—adalah praktik kuno yang memaksa peziarah untuk secara bertahap meninggalkan dunia material (Kamadhatu) dan memasuki dunia spiritual (Arupadhatu) melalui meditasi visual terhadap relief naratif.

13.2. Konsep Lingga dan Yoni dalam Hindu Siwa Kuno

Di pihak Hindu-Siwa, pemujaan terhadap Lingga (simbol Siwa) dan Yoni (simbol sakti/pasangan Siwa) adalah inti dari kesuburan dan penciptaan. Di candi-candi seperti Prambanan dan kompleks Candi Penataran, Lingga-Yoni ditempatkan di dalam ruang utama (garbhagriha), melambangkan union kosmik dari unsur maskulin dan feminin yang melahirkan alam semesta. Konsep ini adalah adaptasi dari spiritualitas India, namun di Jawa Kuno, pemujaan ini seringkali disinkretiskan dengan penghormatan terhadap leluhur (Dewa Bhatara), di mana arca dewa diyakini mengandung roh suci raja yang telah wafat.

13.3. Sastra Kuno sebagai Pedoman Etika

Kakawin-kakawin tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pedoman etika bagi para bangsawan. Misalnya, kisah Pandawa dalam Kakawin Bharatayuddha (yang mengisahkan perang Kurukshetra) digunakan untuk mengajarkan tentang dharma (kewajiban), pengorbanan, dan bahaya keserakahan. Raja-raja Majapahit menggunakan cerita-cerita kuno ini untuk melegitimasi perang, menunjukkan bahwa konflik mereka adalah upaya untuk menegakkan kembali tatanan kosmik yang benar. Masa kuno sangat terikat pada narasi moral yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra dan seni pertunjukan.

13.4. Ajaran Tatwamasi Kuno

Dalam filsafat Hindu-Jawa kuno, ajaran Tatwamasi ("Engkau adalah Itu") menekankan kesatuan fundamental antara jiwa individu (Atman) dan realitas tertinggi (Brahman). Meskipun ajaran ini berasal dari Upanishad India, penafsiran lokalnya, terutama di Bali dan Jawa, seringkali ditekankan dalam konteks karma phala (hasil perbuatan). Masyarakat kuno percaya bahwa setiap tindakan, baik dalam urusan negara maupun kehidupan sehari-hari, memiliki konsekuensi spiritual yang abadi, mendorong mereka untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan dharma.

XIV. Ekonomi Global Masa Kuno: Jalur Rempah

14.1. Komoditas Utama Nusantara Kuno

Kunci kekayaan kerajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit adalah kontrol terhadap komoditas eksotis yang sangat dicari di Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Jalur rempah yang dilalui ini telah aktif jauh sebelum era Masehi. Komoditas utama meliputi:

• Rempah-rempah: Cengkeh dan pala dari Maluku, lada dari Sumatera, yang menjadi barang dagangan paling berharga.
• Emas: Sumatera dijuluki Swarnadwipa (Pulau Emas), menunjukkan sumber daya mineral yang dieksploitasi sejak masa kuno Sriwijaya.
• Hasil Hutan: Kemenyan, kapur barus (terutama dari Barus), dan kayu gaharu, yang digunakan untuk wewangian dan pengobatan.
• Barang Kerajinan: Kain tenun dan batik awal, yang menunjukkan kemampuan tekstil yang maju.

Perdagangan ini tidak hanya membawa kekayaan, tetapi juga pertukaran budaya. Bukti arkeologi berupa pecahan keramik Tiongkok (dinasti Tang hingga Yuan) yang ditemukan di Trowulan dan Palembang menunjukkan intensitas hubungan perdagangan antar benua pada masa kuno.

14.2. Bahasa Melayu Kuno sebagai Lingua Franca

Selama era Sriwijaya, bahasa Melayu Kuno menjadi bahasa perdagangan dan komunikasi di seluruh kepulauan. Kemampuan Sriwijaya untuk menyatukan banyak pelabuhan di bawah satu bahasa administrasi menunjukkan kecerdasan diplomatik dan ekonomi mereka. Bahasa Melayu Kuno memiliki struktur yang sederhana dan adaptif, memudahkannya digunakan oleh pedagang dari berbagai latar belakang etnis. Bahasa ini adalah warisan kuno yang paling lestari, menjadi fondasi bagi Bahasa Indonesia modern.

14.3. Situs-situs Kuno yang Tersembunyi

Banyak situs kuno yang belum sepenuhnya terungkap, tersembunyi di hutan atau di bawah lapisan sedimen. Di Sumatera Barat, penemuan prasasti di situs Pagaruyung menunjukkan keberadaan kerajaan Melayu yang kuat setelah Sriwijaya. Di Sulawesi, temuan gua prasejarah dengan lukisan tangan purba menunjukkan bahwa seni rupa kuno telah eksis puluhan ribu tahun yang lalu, jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha. Penelitian berkelanjutan terhadap situs-situs ini terus memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dan kedalaman masa kuno Nusantara.

Dengan demikian, masa kuno adalah periode transformatif yang membentuk cetak biru sosial, politik, dan spiritualitas Nusantara. Warisan ini adalah peta harta karun yang tak pernah habis untuk dieksplorasi.