Dalam khazanah epos Mahabharata, nama Kurawa tidak hanya merujuk pada sekelompok antagonis, melainkan sebuah entitas yang secara kolektif mewakili intisari dari keangkuhan, keserakahan, dan kegagalan dalam menegakkan dharma. Mereka adalah seratus putra Raja Dritarastra dan Dewi Gandari, pewaris takhta Kerajaan Kuru di Hastinapura. Keberadaan mereka, sejak momen kelahiran yang ajaib dan tak lazim, telah ditakdirkan untuk berbenturan dengan sepupu mereka, Pandawa, sebuah pertentangan yang memuncak dalam Perang Bharatayuddha, konflik terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah mitologi India kuno.
Kurawa, secara etimologi, berarti keturunan dari Kuru. Namun, dalam konteks sempit epik ini, istilah ini hampir selalu digunakan untuk merujuk pada anak-anak Dritarastra, yang dipimpin oleh putra sulung mereka, Duryodhana. Kisah mereka adalah cerminan dari bagaimana ikatan keluarga dapat terkoyak oleh ambisi yang tak terkendali, dan bagaimana pilihan moral individu dapat menentukan nasib jutaan jiwa.
Kisah Kurawa dimulai jauh sebelum mereka dilahirkan, berakar pada keinginan Gandari untuk memiliki seratus putra, setara dengan jumlah putra yang dimiliki oleh Ratu Sumitra dari ikshvaku. Suaminya, Dritarastra, yang terlahir buta, memerintah Hastinapura di bawah pengawasan Bhisma. Ketika Kunti, istri Pandu (adik Dritarastra), melahirkan Yudhistira, Gandari dipenuhi kecemburuan dan putus asa. Ia membawa kehamilan yang sangat panjang, melebihi batas normal.
Setelah dua tahun mengandung tanpa hasil, dan mendengar kabar kelahiran Bhima, Gandari yang frustrasi memukul perutnya dengan keras. Akibatnya, yang keluar bukanlah bayi, melainkan segumpal daging keras yang menyerupai bongkahan besi. Gandari, dalam keputusasaan, berniat membuang gumpalan tersebut, meyakini dirinya gagal sebagai seorang ibu.
Pada saat kritis inilah Resi Wyasa, kakek buyut Kurawa dan Pandawa, muncul. Wyasa mengetahui janji yang pernah ia berikan kepada Gandari bahwa ia akan mendapatkan seratus putra. Wyasa kemudian memerintahkan agar bongkahan daging itu dipotong menjadi seratus satu bagian. Setiap bagian, yang besarnya seukuran ibu jari, diletakkan dalam bejana yang diisi minyak atau air suci. Bagian yang tersisa disimpan untuk dijadikan seorang putri.
Proses ini memakan waktu yang lama, menunjukkan betapa tidak alaminya kelahiran Kurawa. Setelah satu tahun, bejana-bejana itu mulai terbuka, dan dari setiap bejana muncul seorang bayi laki-laki, yang kemudian dikenal sebagai seratus Kurawa. Putri tunggal mereka, yang lahir belakangan, dinamai Dursala. Ini bukan hanya sebuah keajaiban; itu adalah manifestasi kekuatan gaib yang menciptakan sebuah keluarga besar yang ditakdirkan untuk membawa kekacauan.
Putra sulung yang lahir adalah Duryodhana. Kelahirannya segera diikuti oleh pertanda-pertanda yang sangat buruk. Langit menjadi gelap, angin kencang bertiup, dan serigala melolong. Para pendeta dan sesepuh, terutama Widura, segera memperingatkan Dritarastra. Mereka menasihati raja buta itu bahwa anak sulung ini adalah manifestasi dari kejahatan dan akan menghancurkan wangsa Kuru. Mereka menyarankan agar Duryodhana dibuang untuk menyelamatkan kerajaan.
Dritarastra, terbutakan oleh cinta seorang ayah dan ambisinya sendiri, mengabaikan semua peringatan ilahi. Keputusan untuk mempertahankan Duryodhana adalah benih pertama yang ditanam, yang kelak tumbuh menjadi pohon tragedi Bharatayuddha.
Meskipun jumlah Kurawa adalah seratus, perhatian epik hampir sepenuhnya terfokus pada beberapa figur kunci yang menjadi poros dari seluruh konspirasi dan kejahatan. Duryodhana adalah pemimpin ideologis, Dursasana adalah pelaksana kebrutalan, sementara Vikarna berdiri sebagai suara hati nurani yang terabaikan.
Nama asli Duryodhana adalah Suyodhana, yang berarti ‘pejuang yang baik’. Namun, karena sifatnya yang jahat, ia lebih dikenal dengan nama Duryodhana, yang berarti ‘pejuang yang buruk’ atau ‘sulit dikalahkan’. Duryodhana adalah gambaran sempurna dari seorang pangeran yang dibesarkan dalam kemewahan tanpa batasan moral. Ia memiliki kekuatan fisik dan keberanian, tetapi semua itu dikaburkan oleh kecemburuan yang membara terhadap Pandawa.
Duryodhana percaya bahwa karena ayahnya adalah raja tertua, ia, sebagai putra tertua raja yang berkuasa, memiliki hak mutlak atas Hastinapura, mengabaikan klaim Yudhistira yang merupakan putra Pandu (yang memerintah sebelum Dritarastra, meskipun Pandu meninggal lebih dulu).
Dursasana adalah Kurawa kedua. Ia tidak memiliki kecerdasan politis seperti Duryodhana, tetapi ia adalah pengikut yang sangat loyal dan pelaksana kebrutalan. Perannya paling menonjol dan paling tercela adalah selama permainan dadu yang terkenal.
Ketika Yudhistira kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, akhirnya ia mempertaruhkan Draupadi. Setelah Draupadi kalah, Dursasana diperintahkan oleh Duryodhana untuk membawa Draupadi ke ruang sidang. Dengan kasar, Dursasana menyeret Draupadi, yang saat itu sedang haid, ke hadapan semua tetua, mencoba melucuti pakaiannya di depan umum—sebuah tindakan yang secara universal dianggap sebagai puncak dari *adharma* (ketidakbenaran) dan penghinaan terhadap kaum wanita. Tindakan ini menghasilkan sumpah mengerikan dari Bhima, yang bersumpah akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya di medan perang.
Tidak semua Kurawa sepenuhnya jahat. Vikarna adalah salah satu dari sedikit Kurawa yang berpegangan pada prinsip dharma. Ia adalah yang ketiga paling senior setelah Duryodhana dan Dursasana. Dalam adegan permainan dadu, Vikarna adalah satu-satunya yang berdiri dan menentang penghinaan terhadap Draupadi.
Vikarna berargumen bahwa Yudhistira tidak memiliki hak untuk mempertaruhkan Draupadi karena ia sendiri sudah kehilangan kebebasannya sebelum taruhan itu dibuat. Ia menyerukan agar taruhan tersebut dibatalkan. Namun, suaranya diabaikan dan dibungkam oleh Karna dan Duryodhana. Vikarna terus berjuang di sisi Kurawa dalam perang, bukan karena keyakinan pada tujuan Duryodhana, tetapi karena kesetiaan yang tak terhindarkan kepada klannya. Nasibnya tragis, gugur di tangan Bhima, sebagai harga dari kesetiaan yang salah tempat.
Persaingan antara Kurawa dan Pandawa bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba; ia merambat perlahan sejak masa kecil mereka. Kedua kelompok dibesarkan bersama di bawah atap istana yang sama di Hastinapura.
Saat berlatih di bawah bimbingan Guru Drona dan Kripacharya, perbedaan antara Kurawa dan Pandawa semakin jelas. Pandawa unggul dalam kesopanan, kerendahan hati, dan ketekunan, sementara Kurawa, dipimpin oleh Duryodhana, menunjukkan keangkuhan dan kecenderungan untuk curang.
Duryodhana secara khusus iri pada Bhima, yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, dan Arjuna, yang merupakan pemanah tak tertandingi. Kecemburuan ini mendorong Kurawa melakukan upaya pembunuhan pertama terhadap Pandawa:
Ketika Pandawa menjadi semakin populer di kalangan rakyat, Duryodhana dan Sangkuni menyusun rencana keji. Mereka membujuk Dritarastra untuk mengirim Pandawa ke Waranawata dengan dalih perayaan. Di sana, seorang arsitek bernama Purocana diperintahkan untuk membangun istana megah dari bahan yang sangat mudah terbakar: lak, lilin, dan minyak (Laksa Gṛha).
Tujuannya adalah membakar istana itu saat Pandawa tidur di dalamnya, menjadikan kematian mereka terlihat seperti kecelakaan. Namun, Pandawa diperingatkan oleh Widura. Mereka berhasil melarikan diri melalui terowongan rahasia yang telah mereka siapkan, dan yang terbakar adalah Purocana sendiri. Insiden ini, yang dikenal sebagai pembakaran Istana Lak, adalah bukti nyata niat pembunuhan Kurawa.
Setelah kembali dari pelarian, Pandawa mendirikan Kerajaan Indraprasta dan melaksanakan upacara Rajasuya yang sukses besar. Kemakmuran dan kekayaan Indraprasta membuat Duryodhana semakin cemburu, terutama setelah ia merasa dipermalukan di aula sidang Yudhistira (tempat ia mengira lantai yang bercahaya adalah air, dan air adalah lantai, memicu tawa Draupadi).
Dipicu oleh Sangkuni, yang merupakan ahli dalam permainan dadu, Duryodhana membujuk Dritarastra untuk mengundang Pandawa kembali ke Hastinapura untuk permainan dadu, sebuah undangan yang diyakini Yudhistira sebagai kewajiban ksatria untuk tidak menolak.
Permainan itu adalah bencana moral. Yudhistira, yang dikenal karena kelemahan fatalnya terhadap dadu, kehilangan kerajaannya, kekayaannya, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, dan yang paling mengerikan, Draupadi.
Saat Draupadi dibawa ke balairung dan Dursasana mencoba melucuti pakaiannya (Vastrapaharana), Kurawa menunjukkan titik terendah moralitas mereka. Para tetua seperti Bhisma dan Drona tetap diam, terikat oleh kesetiaan mereka kepada takhta Hastinapura.
Peran Kurawa lainnya dalam momen ini:
Hanya intervensi ilahi Kresna yang menyelamatkan kehormatan Draupadi. Momen ini menandai titik tidak bisa kembali. Sumpah Bhima, sumpah Arjuna, dan sumpah Draupadi sendiri menjadikan perang tidak terhindarkan. Penghinaan ini adalah kesalahan terbesar yang dilakukan Kurawa, mengukuhkan nasib mereka yang tragis.
Selama persiapan Perang Bharatayuddha, meskipun tahu bahwa dharma berada di pihak Pandawa, Dritarastra mendukung anaknya. Kurawa berhasil mengumpulkan pasukan yang jauh lebih besar daripada Pandawa. Mereka mengumpulkan sebelas Akshauhini (satuan militer yang sangat besar), namun empat Akshauhini dikumpulkan oleh Pandawa (meskipun sumber lain menyebut Pandawa memiliki tujuh dan Kurawa sebelas). Secara umum disepakati bahwa Kurawa memiliki keunggulan jumlah yang signifikan.
Keunggulan Kurawa tidak hanya pada jumlah prajurit, tetapi juga pada kualitas para jenderal yang memimpin mereka. Para ksatria agung, yang terikat sumpah kepada Hastinapura, dipaksa bertarung di pihak Duryodhana, meskipun hati nurani mereka menentang:
Bhisma, kakek buyut yang agung, adalah jenderal pertama Kurawa. Ia adalah perwujudan kesetiaan dan sumpah. Meskipun tahu Pandawa benar, sumpah pengabdiannya kepada Hastinapura dan Raja Dritarastra mengikatnya. Bhisma memiliki anugerah untuk memilih waktu kematiannya sendiri (ichcha mrityu).
Guru Drona adalah guru bagi Kurawa dan Pandawa. Ia sangat mencintai Arjuna, tetapi hutang budinya kepada Hastinapura dan fakta bahwa putranya, Aswatama, berada di pihak Duryodhana, memaksanya memimpin pasukan Kurawa.
Karna adalah sekutu terpenting Duryodhana. Loyalitasnya kepada Duryodhana sangat kuat karena Duryodhana adalah satu-satunya yang pernah mengakui status dan kemampuannya, setelah ia ditolak oleh dunia karena status kelahirannya yang misterius. Karna bersumpah untuk mengalahkan Arjuna atau mati dalam upaya tersebut.
Para jenderal lainnya juga merupakan ksatria hebat. Salya dipaksa bergabung dengan Kurawa setelah ditipu Duryodhana. Aswatama, putra Drona, adalah pejuang yang tak terkalahkan yang akhirnya menjadi jenderal terakhir Kurawa setelah kematian Karna.
Meskipun memiliki jenderal-jenderal yang luar biasa, Kurawa terus menerus mengalami kerugian. Ini sebagian besar disebabkan oleh kepemimpinan Duryodhana yang arogan. Ia sering mengabaikan nasihat strategis dari Bhisma dan Drona, dan lebih memilih mengikuti hasutan Sangkuni atau keputusannya sendiri yang didasarkan pada emosi, bukan strategi militer yang bijaksana. Ketidakpercayaannya terhadap jenderal-jenderal yang loyal namun simpatik kepada Pandawa (seperti Bhisma) juga melemahkan moral pasukannya.
Perang Kuruksetra berlangsung selama delapan belas hari. Setiap hari menjadi babak baru dalam penghancuran wangsa Kuru. Kematian Kurawa sebagian besar dikaitkan langsung dengan pemenuhan sumpah yang dibuat oleh Bhima dan Arjuna.
Bhima memegang peran sentral dalam menghancurkan barisan Kurawa. Ia bersumpah untuk membunuh seratus Kurawa, sebuah tugas yang ia laksanakan dengan kegigihan yang menakutkan. Bhima adalah perwujudan kemarahan Pandawa atas penghinaan yang dialami Draupadi.
Setiap hari, Bhima membantai puluhan Kurawa. Kematian mereka sering kali mengerikan, diinjak-injak, atau dihancurkan dengan gada Bhima. Ini adalah bentuk karma atas kejahatan kolektif yang mereka lakukan selama bertahun-tahun.
Klimaks dari pembantaian Kurawa terjadi pada hari ketujuh belas perang, dengan kematian Dursasana. Bhima mengejar Dursasana dan, setelah menjatuhkannya, Bhima memotong lengan Dursasana yang telah menyeret Draupadi, lalu merobek dada Dursasana dan menepati sumpahnya untuk meminum darah Dursasana, sebuah tindakan barbar yang sengaja dilakukan untuk menakuti Duryodhana dan memenuhi sumpah Draupadi untuk tidak mengikat rambutnya sebelum dicuci dengan darah Dursasana. Momen ini adalah titik balik psikologis bagi kedua belah pihak.
Selain Dursasana, banyak Kurawa lain yang gugur di tangan Bhima:
Pada akhir perang, hanya tiga Kurawa yang tersisa hidup, tetapi mereka bukanlah bagian dari 'Seratus Putra' Dritarastra yang mati di Kuruksetra. Namun, para sekutu utama Kurawa, seperti Sangkuni dan Karna, juga telah gugur.
Setelah hampir semua jenderalnya dan sembilan puluh sembilan adiknya gugur, Duryodhana tetap menolak menyerah. Pada hari terakhir perang, Duryodhana melarikan diri dan bersembunyi di dasar danau, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk bersembunyi di bawah air.
Pandawa, dipimpin oleh Kresna, menemukan tempat persembunyiannya dan memprovokasi Duryodhana untuk keluar dan bertarung. Duryodhana, seorang ahli gada (dilatih oleh Balarama), menghadapi Bhima dalam duel gada yang epik.
Meskipun Duryodhana adalah petarung gada yang lebih mahir dan memiliki perlindungan ilahi karena dilindungi oleh kutukan Gandari, Bhima berhasil mengalahkannya. Kresna memberi isyarat kepada Arjuna dan Bhima untuk memukul paha Duryodhana. Melanggar aturan duel gada (yang melarang pukulan di bawah pinggang), Bhima menghantam paha Duryodhana. Ini adalah pemenuhan sumpah lain yang dibuat Bhima setelah penghinaan Draupadi (Duryodhana pernah mengejek Draupadi dengan menepuk pahanya, memintanya duduk di sana).
Duryodhana jatuh dan terluka parah, tetapi ia belum mati. Ia menghabiskan malam terakhirnya di medan perang, meratapi kehancuran yang ia sebabkan.
Saat Duryodhana sekarat, Aswatama (putra Drona), yang kini diangkat menjadi Panglima Tertinggi oleh Duryodhana, bersumpah untuk membalas dendam. Dalam kegilaan dan kesedihan, Aswatama, bersama Kripacharya dan Kritavarma, melakukan serangan malam hari ke perkemahan Pandawa. Mereka membantai sisa-sisa pasukan Pandawa yang sedang tidur, termasuk Drestadyumna, Skhikandi, dan kelima putra Draupadi (Upapandawa). Aswatama membawa kepala kelima putra Draupadi ke hadapan Duryodhana, yang merasa puas sesaat sebelum ia menghembuskan napas terakhir, menjadi Kurawa yang terakhir gugur di Kuruksetra.
Setelah perang usai, Gandari, yang telah menutup matanya seumur hidup untuk berbagi kebutaan suaminya, membuka matanya dan menyaksikan kehancuran total wangsa Kuru. Ia melihat tubuh seratus putranya dan ribuan ksatria tergeletak di medan perang.
Gandari dipenuhi kesedihan dan kemarahan. Ia mengarahkan kemarahannya kepada Kresna. Meskipun Kresna telah memberikan nasihat perdamaian dan mencoba mencegah perang, Gandari melihat Kresna sebagai penyebab utama. Ia percaya Kresna memiliki kekuatan ilahi untuk menghentikan perang tetapi memilih untuk tidak melakukannya, membiarkan pertumpahan darah terjadi demi penegakan dharma.
Gandari kemudian mengutuk Kresna, bahwa seluruh wangsa Yadawa (klan Kresna) juga akan hancur dan mati dengan cara yang sama, saling membunuh dalam waktu tiga puluh enam tahun. Kresna menerima kutukan itu, yang kelak benar-benar terjadi, menandai bahwa tragedi yang dimulai oleh Kurawa tidak hanya berakhir di Kuruksetra.
Kisah Kurawa adalah salah satu studi karakter terbesar dalam literatur dunia. Mereka berfungsi sebagai cerminan kegagalan kepemimpinan, bahaya kecemburuan tak berujung, dan konsekuensi fatal dari menolak nasihat orang bijak. Dalam perspektif yang lebih luas, Kurawa dan kekalahan mereka memberikan landasan filosofis bagi seluruh Mahabharata.
Duryodhana dan Kurawa mewakili kama (hasrat) dan lobha (keserakahan) yang ekstrem. Mereka tidak mencari dharma; mereka mencari kekuasaan mutlak, didorong oleh pemikiran bahwa kekayaan dan takhta adalah hak kelahiran mereka, terlepas dari kelayakan moral. Kegagalan mereka menegaskan kembali konsep bahwa kerajaan yang dibangun di atas *adharma* pasti akan runtuh, betapapun kuatnya pasukan mereka.
Sangkuni dari Gandhara adalah katalisator utama kejahatan Kurawa. Dendamnya terhadap Bhisma dan wangsa Kuru (karena kematian tragis saudara perempuannya) menjadi bahan bakar bagi kebencian Duryodhana. Sangkuni adalah representasi dari manipulasi dan kelicikan murni. Tanpa Sangkuni, kebencian Duryodhana mungkin tidak akan pernah terwujud dalam bentuk rencana keji seperti permainan dadu dan pembakaran Istana Lak.
Peran Sangkuni memperjelas bahwa pemimpin yang lemah moral, seperti Duryodhana, selalu rentan terhadap bisikan jahat, dan kejahatan sering kali membutuhkan seorang penasihat licik untuk mencapai tingkat kehancuran total.
Untuk memahami Kurawa, kita harus melihat lebih dari sekadar aksi jahat mereka; kita harus melihat struktur psikologis yang membuat mereka begitu bertekad pada kehancuran diri. Mereka adalah produk dari lingkungan, ambisi buta, dan kegagalan pengasuhan.
Faktor penentu utama dalam perkembangan karakter Kurawa adalah kebutaan ayahnya, Raja Dritarastra—bukan hanya kebutaan fisik, tetapi juga kebutaan moral. Dritarastra tahu apa yang benar; ia tahu bahwa Yudhistira adalah pewaris yang sah dan bahwa tindakan Duryodhana salah. Namun, cintanya (atau keterikatannya) yang berlebihan terhadap putra sulungnya membuatnya tidak mampu memberikan disiplin atau pengekangan yang diperlukan.
Kelemahan Dritarastra memberi Duryodhana lisensi untuk berbuat jahat. Setiap kali kejahatan Kurawa terungkap (seperti pembakaran istana lak atau penghinaan Draupadi), Dritarastra akan menyatakan kecemasan, tetapi selalu menyerah pada rayuan Duryodhana atau intimidasi Sangkuni, menegaskan bahwa Kurawa adalah produk dari kegagalan otoritas tertinggi mereka.
Jumlah Kurawa yang fantastis (seratus putra dan satu putri) memiliki makna simbolis. Jumlah yang besar ini melambangkan kekuasaan, keangkuhan, dan kerumunan yang mudah dipimpin. Seratus putra yang bergerak sebagai satu kesatuan di bawah kepemimpinan Duryodhana menunjukkan kekuatan kuantitas. Sebaliknya, Pandawa hanya berjumlah lima, mewakili kualitas, persatuan moral, dan keterbatasan. Epik ini menggunakan perbandingan ini untuk menunjukkan bahwa pada akhirnya, kebenaran (lima Pandawa) akan mengalahkan kejahatan, meskipun didukung oleh jumlah yang besar (seratus Kurawa).
Meskipun terkenal karena seratus putra, Dritarastra juga memiliki seorang putra lain, Yuyutsu, yang lahir dari seorang pelayan (seorang *vaishya*). Yuyutsu adalah satu-satunya 'Kurawa' yang berhati nurani sejati. Sama seperti Vikarna, Yuyutsu sangat menentang kejahatan Duryodhana dan penghinaan terhadap Draupadi.
Ketika perang tak terhindarkan, Yuyutsu membuat keputusan yang monumental: ia meninggalkan pihak Kurawa dan memohon izin Pandawa untuk bertarung di pihak dharma. Kresna menyambutnya. Yuyutsu adalah simbol bahwa bahkan dalam keluarga yang paling gelap sekalipun, ada kemungkinan untuk memilih jalan kebenaran. Ia adalah satu-satunya saudara Duryodhana yang selamat dari Bharatayuddha, dan kemudian membantu Yudhistira dalam upacara terakhir setelah perang.
Kisah Kurawa adalah narasi peringatan yang mendalam tentang konsekuensi dari hasrat yang tidak terkendali. Mereka adalah motor penggerak bagi kehancuran kolektif yang menghapuskan hampir seluruh generasi ksatria di Jambudwipa (India kuno).
Kekalahan Kurawa tidak hanya berarti kemenangan Pandawa; itu berarti kehancuran total tatanan ksatria. Mereka memaksa pahlawan seperti Bhisma dan Drona untuk bertarung melawan murid-murid dan kerabat yang mereka cintai, dan pada akhirnya, seluruh generasi ksatria dimusnahkan. Ini adalah harga yang harus dibayar oleh Hastinapura atas dosa-dosa Kurawa.
Dalam interpretasi modern, Kurawa sering digambarkan sebagai simbol dari kegelapan politik dan kegagalan manusia. Duryodhana tidak dilihat hanya sebagai penjahat kartun, tetapi sebagai studi kasus tentang bagaimana hak istimewa, pengasuhan yang salah, dan hasutan dapat merusak jiwa yang berpotensi kuat. Mereka adalah representasi abadi dari kekuatan yang menghalangi kemajuan dharma.
Kisah seratus Kurawa, mulai dari kelahiran mistis mereka hingga akhir tragis mereka di medan Kuruksetra, menjadi pilar sentral yang menopang seluruh kerangka moral dan filosofis dari Mahabharata. Mereka tidak hanya berperan sebagai lawan, tetapi sebagai ujian bagi kebenaran, kasta, dan kesetiaan, membuktikan bahwa bahkan seratus orang yang bersatu dalam kejahatan pun akan dikalahkan oleh segelintir orang yang berpegangan teguh pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
Sisa-sisa Kerajaan Kuru yang dipimpin oleh Yudhistira setelah perang harus dibangun di atas puing-puing seratus ambisi yang hancur. Warisan Kurawa adalah suara peringatan yang bergema sepanjang zaman: bahwa kekuatan tanpa moralitas adalah resep pasti untuk kehancuran diri.