*Kuripan dalam Perspektif Etimologis: Tempat di mana kehidupan bermula dan bertumbuh.*
Nama Kuripan bukanlah sekadar penanda geografis biasa di peta Nusantara. Lebih dari itu, ia adalah sebuah entitas kultural dan historis yang kaya, mencerminkan filosofi mendalam tentang ‘kehidupan’ (*urip* dalam bahasa Jawa) dan pusat peradaban. Keberadaan toponimi Kuripan yang tersebar luas, mulai dari dataran rendah Jawa, pegunungan di Lombok, hingga sisa-sisa kerajaan kuno, mengindikasikan bahwa istilah ini pernah memiliki makna administratif dan spiritual yang universal di masa lampau.
Artikel ini akan menelusuri jejak Kuripan secara holistik, menggali etimologi, lintasan sejarah panjang, keunikan arsitektur tata ruang, sistem sosial yang mengikat masyarakatnya, hingga kearifan lokal yang terwarisi lintas generasi. Pemahaman atas Kuripan memberikan kunci untuk membuka tabir bagaimana masyarakat tradisional Indonesia memaknai eksistensi, keberlanjutan, dan hubungan harmonis dengan alam dan sesama.
Secara bahasa, Kuripan berasal dari akar kata Jawa Kuno, urip, yang berarti hidup, kehidupan, atau sumber kehidupan. Penambahan awalan 'ka-' dan akhiran '-an' membentuk kata benda yang merujuk pada 'tempat di mana kehidupan berlangsung' atau 'pusat kehidupan.' Konotasi ini jauh melampaui deskripsi fisik sebuah desa atau kelurahan. Ia membawa beban makna spiritual.
Dalam kosmologi Jawa, konsep Urip adalah energi fundamental yang menjiwai seluruh alam semesta. Kuripan, oleh karena itu, dianggap sebagai wilayah yang diberkahi, tempat di mana energi kehidupan ini paling kuat bermanifestasi. Ini menjelaskan mengapa banyak wilayah yang dinamai Kuripan seringkali berada di lokasi strategis, dekat sumber air, atau di tanah yang subur, menjadikannya pusat pertanian dan permukiman utama.
Filosofi ini mencakup tiga dimensi utama:
Memahami Kuripan berarti memahami bagaimana masyarakat Nusantara berusaha mewujudkan ketiga dimensi kehidupan ini dalam tata kelola sehari-hari.
Nama Kuripan sering muncul dalam prasasti dan naskah kuno, menempatkannya sebagai wilayah penting dalam sistem administrasi kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan sekitarnya, terutama pada era Majapahit dan Mataram Kuno.
Beberapa ahli sejarah menduga bahwa Kuripan, atau varian namanya, sudah eksis jauh sebelum Majapahit, kemungkinan besar sebagai desa *sima* (tanah bebas pajak) yang diberikan oleh raja karena memiliki kekayaan sumber daya alam atau fungsi ritual yang penting. Pada masa Kerajaan Kediri, wilayah-wilayah yang menjadi pusat produksi padi sering diberi nama yang mengandung unsur *urip* untuk menekankan kesuburan dan keberlanjutan.
Pada puncak kekuasaan kerajaan, Kuripan sering difungsikan sebagai benteng pertahanan atau pos militer karena lokasinya yang strategis di persimpangan jalur perdagangan atau di tepi sungai. Status administratif ini memberinya otoritas lokal yang lebih tinggi dibandingkan desa-desa biasa. Pemimpin Kuripan (*Bebahu* atau *Lurah*) biasanya memiliki hubungan langsung dengan *Bupati* atau bahkan istana kerajaan.
Saat hegemoni Majapahit meluas, sistem penamaan wilayah yang berlandaskan filosofi kehidupan ikut menyebar. Di Jawa Timur, nama Kuripan mengacu pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan surplus hasil bumi. Distribusi nama ini meluas hingga Bali dan Lombok, dibawa oleh para administrator dan migran yang mengikuti ekspansi kerajaan.
"Toponimi Kuripan adalah cerminan dari idealisme tata negara Nusantara kuno: bahwa pemerintahan yang baik haruslah menjamin 'kehidupan yang layak' bagi rakyatnya, baik secara fisik maupun spiritual."
Meskipun memiliki akar filosofis yang sama, karakteristik Kuripan berbeda-beda tergantung pada konteks geografis dan budaya setempat. Tiga lokasi utama menunjukkan variasi adaptasi kearifan Kuripan.
Kuripan di Jawa Tengah (sering ditemukan di area Kedu atau wilayah bekas Kesultanan Mataram) cenderung mempertahankan pola permukiman tradisional yang sangat terintegrasi dengan sistem pertanian sawah. Di sini, Kuripan identik dengan konservasi tradisi.
Tata ruang desa Kuripan di Jawa Tengah sering mencerminkan konsep Memayu Hayuning Bawana (memperindah keindahan dunia). Rumah-rumah dibangun menghadap kiblat atau arah tertentu sesuai perhitungan primbon, menunjukkan integrasi antara spiritualitas dan arsitektur. Pusat desa selalu dihiasi dengan Balai Desa (pusat pemerintahan), Masjid (pusat spiritual), dan Lapangan (pusat sosial dan ritual).
Inilah yang menjadi pondasi kuat bagi desa-desa Kuripan. Kekuatan kolektif masyarakat dipertahankan melalui mekanisme:
Di Lombok (misalnya, Kuripan di Lombok Barat), nama ini memiliki konotasi sejarah yang erat kaitannya dengan Kerajaan Mataram Taliwang dan pengaruh Islam. Kuripan di sini menjadi pusat pertemuan budaya Jawa, Bali, dan Sasak.
Meskipun sistem pertanian tetap penting, Kuripan di Lombok sering kali menjadi pusat pengembangan kerajinan tangan dan perdagangan hasil laut. Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas filosofi urip, yang tidak hanya terbatas pada hasil bumi, tetapi juga pada sumber daya laut dan kreativitas manusia.
Rumah adat di Kuripan Lombok, seperti rumah Sasak, didesain untuk menghadapi iklim tropis yang kering. Fondasi yang ditinggikan, penggunaan alang-alang untuk atap, dan pembagian ruang yang ketat (misalnya, bale-bale sebagai ruang publik) mencerminkan adaptasi cerdas untuk mempertahankan kenyamanan dan keamanan, yang merupakan aspek penting dari 'kehidupan yang layak'.
Kuripan yang terletak di Jawa Timur, terutama di wilayah dekat pelabuhan atau jalur logistik, sering menunjukkan dinamika sosial dan ekonomi yang lebih cepat. Walaupun tetap menghormati tradisi, masyarakat Kuripan di sini lebih terbuka terhadap inovasi, terutama dalam pengelolaan hasil pertanian komoditas tinggi seperti tebu atau tembakau.
Peran Kyai dan ulama sangat kuat di Kuripan Jawa Timur, menggabungkan kearifan lokal dengan nilai-nilai keislaman yang mendalam. Hal ini menciptakan sebuah lingkungan yang berpegang teguh pada etika sosial (akhlaq) sambil tetap beradaptasi dengan perubahan ekonomi modern. Struktur kepemimpinan adat dan agama berjalan beriringan, memastikan harmoni dalam pengambilan keputusan kolektif.
Desa Kuripan dirancang bukan secara acak, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip kosmologi Jawa dan etika sosial. Tata ruang desa mencerminkan hirarki sosial dan spiritual masyarakat.
Tata ruang Kuripan mengikuti prinsip Catur Gatra Tunggal, yang menekankan integrasi empat elemen penting:
Elemen-elemen ini selalu berada di lokasi paling strategis, dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang terbagi berdasarkan profesi atau kekerabatan. Jalan utama desa selalu menghubungkan pusat-pusat ini, memastikan sirkulasi kehidupan berjalan lancar.
Rumah adat di Kuripan, khususnya di Jawa, seperti Omah Joglo atau Limasan, adalah manifestasi arsitektur dari konsep urip. Rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga mikrokosmos dari alam semesta.
Empat tiang utama (soko guru) yang menopang atap Joglo melambangkan empat arah mata angin dan juga empat elemen dasar kehidupan: api, air, tanah, dan udara. Struktur ini mencerminkan harapan agar rumah tangga yang tinggal di dalamnya selalu dilindungi dan diberi keberlanjutan hidup (urip).
Bahkan pembagian ruang memiliki makna khusus:
*Prinsip Catur Gatra Tunggal yang menjadi fondasi tata ruang desa Kuripan.*
Inti dari masyarakat Kuripan adalah kearifan lokal yang berfokus pada keseimbangan dan harmoni. Filosofi ini bukan sekadar ajaran lisan, tetapi termanifestasi dalam praktik sosial, ekonomi, dan ritual sehari-hari yang menjamin kelangsungan hidup komunal.
Masyarakat Kuripan secara implisit mempraktikkan konsep harmoni yang mirip dengan Tri Hita Karana (meskipun istilahnya mungkin berbeda di setiap daerah), berfokus pada menjaga keseimbangan antara:
Pelaksanaan tiga pilar ini memastikan bahwa kehidupan (urip) tidak hanya berlangsung, tetapi juga berkualitas dan berkelanjutan, jauh dari konflik dan kelaparan.
Gotong royong di Kuripan melampaui sekadar membantu. Ia adalah sistem asuransi sosial tak tertulis yang menjamin setiap individu memiliki dukungan saat menghadapi kesulitan. Ada tingkatan gotong royong yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan:
Ini adalah praktik kerja sama dalam mengolah sawah, mulai dari menanam, memanen, hingga membersihkan saluran irigasi. Sistem ini memastikan efisiensi dan mengurangi beban kerja individu, sekaligus menguatkan ikatan kekeluargaan antar petani. Contoh spesifiknya adalah Lumbung Desa, di mana hasil panen disimpan bersama untuk cadangan pangan komunal, menjamin bahwa tidak ada anggota masyarakat yang kelaparan.
Gotong royong jenis ini terjadi dalam siklus kehidupan, seperti pembangunan rumah baru, pernikahan, atau upacara kematian. Masyarakat Kuripan berprinsip, jika seseorang mengadakan hajat, seluruh desa adalah bagian dari proses tersebut. Dukungan tidak hanya berbentuk tenaga, tetapi juga sumbangan materi (beras, gula, kopi) yang disebut Urunan.
Ritual tahunan seperti Bersih Desa (atau Sedekah Bumi) adalah manifestasi kolektif terpenting. Ini melibatkan seluruh warga Kuripan untuk membersihkan desa secara fisik dan spiritual, memohon keselamatan, dan bersyukur atas hasil panen. Ini menegaskan identitas Kuripan sebagai komunitas yang hidup berdasarkan prinsip syukur dan penghormatan terhadap leluhur.
Signifikansi Kuripan juga terekam kuat dalam mitologi dan cerita rakyat lokal. Dalam banyak legenda, Kuripan sering digambarkan sebagai tempat asal mula pahlawan, pusat spiritual yang sakral, atau lokasi penemuan pusaka penting.
Karena Kuripan secara etimologis terkait dengan kehidupan dan kesuburan, ia tak terpisahkan dari kultus Dewi Sri, dewi padi dan kemakmuran. Banyak desa Kuripan memiliki *Punden* atau *Petilasan* yang dikhususkan untuk memuja Dewi Sri sebelum masa tanam atau panen. Ini menekankan bahwa keberlangsungan hidup Kuripan sangat bergantung pada siklus alam dan berkah spiritual.
Masyarakat Kuripan memandang bahwa proses menanam padi adalah sebuah ritual sakral. Setiap langkah—mulai dari pembibitan, penanaman, hingga panen—dikelilingi oleh pantangan dan doa. Hal ini bukan takhayul belaka, tetapi merupakan bentuk manajemen risiko ekologis yang dijaga melalui sistem kepercayaan komunal.
Setiap Kuripan memiliki kisah tentang Danyang atau pendiri desa. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai konstitusi tak tertulis yang mengatur hubungan antara warga dengan wilayahnya. Danyang biasanya digambarkan sebagai sosok bijaksana atau wali yang berhasil membuka hutan dan menciptakan sumber air, sehingga memungkinkan kehidupan (urip) dimulai di tempat tersebut. Menghormati Danyang berarti menghormati prinsip-prinsip awal pendirian Kuripan, termasuk batas-batas wilayah dan tata krama sosial.
Pengaruh Danyang ini terlihat jelas dalam praktik ziarah ke makam leluhur atau tempat keramat desa (petilasan), yang dilakukan secara rutin, terutama pada malam Jumat Kliwon atau bulan Suro, sebagai bagian integral dari upaya melestarikan keberlanjutan hidup komunal. Upacara ini memastikan bahwa ingatan kolektif masyarakat Kuripan tetap tajam dan prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan oleh pendahulu tidak pernah terlupakan.
Model ekonomi di Kuripan didasarkan pada prinsip subsistensi yang kuat, berfokus pada ketahanan pangan lokal. Namun, seiring berjalannya waktu, Kuripan menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap pasar modern tanpa mengorbankan nilai-nilai kolektif.
Ekonomi Kuripan secara historis didominasi oleh pertanian padi sawah, didukung oleh peternakan kecil dan perkebunan pekarangan. Sistem irigasi di Kuripan sering dikelola secara independen oleh desa melalui organisasi petani air (misalnya, *Ulu-ulu*), yang memastikan keadilan dalam pembagian sumber daya vital—air—yang merupakan prasyarat mutlak bagi urip.
Meskipun padi adalah komoditas utama, masyarakat Kuripan sangat terampil dalam diversifikasi pangan. Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk menanam obat-obatan tradisional (TOGA), sayuran, dan buah-buahan. Praktik ini tidak hanya menyediakan variasi gizi tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasar luar, meningkatkan ketahanan pangan, dan meminimalkan risiko kegagalan panen tunggal. Sistem ini adalah model ideal dari ekonomi berbasis kehidupan.
Di banyak Kuripan, kerajinan tangan berkembang sebagai sektor pendukung, terutama pada musim paceklik. Ini bisa berupa anyaman bambu, batik, atau kerajinan gerabah. Kerajinan ini tidak hanya menambah pendapatan, tetapi juga melestarikan keterampilan warisan yang diturunkan secara turun-temurun.
Di Kuripan Lombok, misalnya, tenun ikat Sasak menjadi identitas ekonomi yang kuat. Setiap motif tenunan membawa makna filosofis mendalam tentang urip, keberanian, dan kesuburan. Dengan demikian, produk ekonomi yang dihasilkan Kuripan bukan hanya bernilai guna, tetapi juga bernilai budaya yang tinggi.
Tantangan terbesar bagi Kuripan modern adalah tekanan urbanisasi dan konversi lahan. Banyak wilayah Kuripan yang berada di dekat kota besar menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi agraris mereka atau menjual tanah untuk pembangunan industri. Di sinilah kearifan lokal Kuripan diuji.
Beberapa Kuripan berhasil mengembangkan model agrowisata berbasis komunitas, di mana pengunjung diajak untuk mengalami ‘kehidupan’ tradisional desa, sekaligus memberikan nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat tanpa harus mengorbankan lahan pertanian. Model ini menunjukkan bahwa konsep urip (kehidupan) dapat dipertahankan melalui inovasi sosial-ekonomi yang cerdas.
Struktur sosial di Kuripan adalah hirarkis namun egaliter dalam semangat musyawarah. Kepemimpinan didasarkan pada kombinasi garis keturunan, usia, dan kemampuan spiritual.
Kepala Desa, sering disebut *Lurah* atau *Petinggi* pada masa lampau, adalah poros administratif. Namun, kekuasaannya dibatasi dan diimbangi oleh lembaga adat dan lembaga keagamaan. Petinggi bertanggung jawab memastikan ketertiban, keadilan dalam pembagian sumber daya, dan menjaga hubungan yang baik antara desa dengan otoritas di atasnya (kabupaten/kerajaan).
Keputusan-keputusan penting di Kuripan harus melalui musyawarah (*rembug desa*) yang melibatkan sesepuh, tokoh agama (Kyai/Modin), dan perwakilan kelompok tani. Prinsip utama musyawarah adalah mencari mufakat, yaitu kesepakatan bulat yang menjamin bahwa kepentingan semua pihak, terutama yang paling lemah, terwakili. Ini adalah jaminan bahwa kehidupan sosial Kuripan berjalan harmonis.
Di luar struktur formal pemerintahan desa, Kuripan sangat bergantung pada sesepuh (*pinisepuh*) dan tokoh agama. Sesepuh adalah penjaga kearifan lokal dan sejarah desa, yang berfungsi sebagai penengah konflik. Tokoh agama, seperti Kyai atau Pemangku Adat, memastikan bahwa kehidupan spiritual dan moral masyarakat tetap terjaga, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang diyakini mendukung keberlanjutan urip.
Interaksi antara Petinggi (kekuasaan formal), Sesepuh (kekuasaan adat), dan Kyai (kekuasaan spiritual) menciptakan sistem checks and balances yang khas di Kuripan. Ketiganya harus selalu sinkron untuk memastikan keberlangsungan kehidupan desa.
Kuripan masih menjalankan hukum adat yang kuat, terutama terkait masalah lahan, irigasi, dan moralitas. Pelanggaran terhadap norma adat tidak hanya dikenakan denda material tetapi juga sangsi sosial. Sangsi ini bisa berupa pengucilan sementara dari kegiatan komunal atau keharusan untuk melakukan ritual pembersihan. Karena nilai kolektivitas sangat tinggi, sangsi sosial seringkali lebih efektif daripada hukuman formal. Kehilangan dukungan komunitas berarti kehilangan sumber kehidupan (urip).
Contoh klasik dari penegakan hukum adat di Kuripan adalah pada pengelolaan sumber daya air. Jika seorang petani mengambil jatah air lebih dari yang ditetapkan, ia tidak hanya akan didenda tetapi juga harus meminta maaf secara terbuka kepada seluruh komunitas petani, mengakui bahwa tindakannya mengancam keberlangsungan hidup (urip) orang lain.
Filosofi urip menuntut penghormatan mendalam terhadap lingkungan. Masyarakat Kuripan mengembangkan teknik konservasi yang unik, memastikan bahwa sumber daya alam tidak dieksploitasi habis, tetapi dijaga untuk generasi mendatang.
Banyak Kuripan memiliki area hutan atau mata air yang ditetapkan sebagai *hutan larangan* atau *wana kretayasa*. Area ini tidak boleh dieksploitasi untuk kayu atau pertanian. Fungsinya adalah sebagai daerah tangkapan air alami dan menjaga keanekaragaman hayati. Larangan ini didasarkan pada mitos atau kepercayaan bahwa hutan tersebut dihuni oleh roh leluhur, sebuah cara yang efektif untuk menjaga ekosistem melalui kontrol sosial dan spiritual.
Penduduk Kuripan sangat memahami bahwa air adalah esensi dari urip. Jika hutan larangan dirusak, sumber air akan hilang, dan kehidupan akan mati. Oleh karena itu, menjaga hutan adalah menjaga diri sendiri.
Di Kuripan yang agraris, sistem irigasi adalah mahakarya sosial dan teknik. Di Bali dan Lombok, sistem Subak (atau adaptasi lokalnya di Jawa, seperti *Ulu-ulu*) adalah organisasi yang mengatur air berdasarkan siklus ritual, bukan hanya kebutuhan teknis. Pembagian air dilakukan berdasarkan jadwal yang disepakati melalui musyawarah di Pura Subak atau Balai Pertemuan air, memastikan bahwa semua anggota komunitas Kuripan mendapatkan hak yang sama atas sumber daya alam.
Struktur Subak ini menjamin bahwa setiap petani memiliki tanggung jawab kolektif terhadap saluran irigasi, menciptakan jaringan tanggung jawab yang sangat mendetail, mulai dari saluran primer hingga saluran tersier. Kegagalan satu petani dalam menjaga saluran akan berdampak pada seluruh Kuripan, sehingga tekanan untuk gotong royong sangat tinggi.
Meskipun memiliki fondasi filosofis yang kokoh, Kuripan saat ini menghadapi serangkaian tantangan modern yang mengancam keberlanjutan konsep urip tradisional.
Arus individualisme yang dibawa oleh globalisasi dan teknologi modern mulai mengikis semangat gotong royong dan *urun rembug*. Generasi muda Kuripan cenderung mencari pekerjaan di kota, meninggalkan tanah pertanian, yang pada gilirannya melemahkan struktur sosial tradisional seperti *sambatan* dan *kumpulan*.
Tantangan ini memerlukan revitalisasi peran lembaga adat. Beberapa Kuripan merespons dengan mengintegrasikan gotong royong ke dalam kurikulum sekolah lokal atau menjadikannya prasyarat untuk mendapatkan bantuan pembangunan desa, memastikan bahwa nilai urip komunal tetap relevan di tengah modernisasi.
Ketika Kuripan bertransformasi menjadi kelurahan yang padat atau terintegrasi ke dalam metropolitan, ia sering kehilangan identitas uniknya sebagai 'pusat kehidupan' agraris. Perubahan fungsi lahan dari sawah menjadi permukiman padat mengubah tata ruang, menghancurkan keseimbangan Catur Gatra Tunggal tradisional.
Untuk mengatasi ini, penting bagi pemerintah daerah untuk mengakui dan melindungi status Kuripan sebagai warisan budaya (cultural heritage) dan bukan sekadar unit administratif. Ini termasuk perlindungan zona hijau dan promosi arsitektur lokal dalam pembangunan baru.
Di tengah krisis iklim dan ketidakpastian pangan global, model Kuripan menawarkan solusi yang relevan. Fokusnya pada swasembada, diversifikasi pangan pekarangan, dan sistem irigasi komunal yang adil adalah pelajaran berharga bagi pembangunan berkelanjutan.
Filosofi urip, yang menekankan keberlanjutan dan harmoni dengan alam, dapat menjadi pijakan untuk mengembangkan desa-desa masa depan yang tangguh secara ekologis dan sosial. Kuripan bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan cetak biru untuk masa depan yang lebih harmonis.
Eksplorasi mendalam mengenai Kuripan menegaskan bahwa istilah ini melambangkan lebih dari sekadar nama tempat. Ia adalah personifikasi dari sebuah peradaban yang dibangun di atas fondasi kehidupan (urip) yang berkelanjutan, adil, dan harmonis.
Dari struktur arsitektur rumah adat yang simetris dengan kosmos, hingga sistem irigasi yang menjamin keadilan bagi setiap petani, Kuripan adalah warisan abadi yang mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Meskipun menghadapi tekanan modernisasi, kekuatan kolektif dan kearifan lokal yang tertanam dalam masyarakat Kuripan tetap menjadi sumber daya terpenting dalam menjaga keberlangsungan hidup Nusantara.
Menghargai Kuripan berarti menghargai makna sejati dari kehidupan itu sendiri. Ia adalah pengingat bahwa kemakmuran sejati tidak diukur dari kekayaan materi semata, melainkan dari kemampuan kita untuk menciptakan dan mempertahankan pusat-pusat kehidupan yang damai dan berkelanjutan bagi semua makhluk.
Filosofi ini terus hidup. Di setiap sawah yang dibajak, di setiap musyawarah yang diadakan di balai desa, dan di setiap ritual *bersih desa* yang dilakukan, semangat Kuripan — semangat kehidupan yang tak pernah padam — akan terus berdenyut. Warisan ini harus terus dipelajari, dijaga, dan diwariskan, agar makna sejati dari urip tidak pernah pudar dari ingatan kolektif bangsa.
Prinsip-prinsip Kuripan yang mendasari tata kelola air, pembagian lahan, dan sistem keamanan pangan komunal, adalah model yang sangat relevan untuk diaplikasikan di era modern. Ketika dunia bergulat dengan isu-isu perubahan iklim, Kuripan mengajarkan bahwa solusi terbaik seringkali ditemukan dalam praktik konservasi tradisional yang sudah teruji oleh waktu, didasarkan pada rasa hormat yang mendalam terhadap alam sebagai sumber utama kehidupan.
Generasi muda Kuripan kini memiliki tugas penting: menjembatani jurang antara tradisi leluhur dan tuntutan global. Melalui pendidikan budaya lokal yang kuat, mereka diharapkan mampu membawa nilai-nilai urip ke dalam kancah ekonomi dan politik modern, memastikan bahwa pembangunan yang terjadi di wilayah mereka adalah pembangunan yang berakar pada kearifan dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata. Melalui lensa Kuripan, kita melihat sebuah peradaban yang memandang bumi bukan sebagai sumber daya tak terbatas untuk dieksploitasi, melainkan sebagai ibu yang harus dipelihara agar kehidupan terus mengalir.