Kusu (Cuscus), salah satu marsupial arboreal yang menjadi ikon keanekaragaman hayati wilayah Indonesia Timur.
Kusu, yang secara ilmiah dikenal dalam keluarga besar Phalangeridae, merupakan salah satu jenis marsupial arboreal yang paling menawan dan unik di dunia. Fauna ini berfungsi sebagai penanda penting dari kekayaan ekologis yang terkandung di dalam Garis Wallace dan Garis Lydekker, khususnya di wilayah Nusantara bagian timur, termasuk Papua, Maluku, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Kehadirannya bukan hanya sekadar catatan biologis, melainkan juga sebuah narasi panjang mengenai adaptasi evolusioner di lingkungan hutan hujan tropis yang lebat dan dinamis.
Marsupial ini memiliki ciri khas yang membedakannya dari mamalia plasental biasa—ia membawa anaknya yang lahir prematur di dalam kantung (marsupium) hingga siap untuk bertahan hidup secara mandiri. Meskipun sering disalahpahami sebagai oposum atau monyet karena kebiasaannya yang mahir memanjat, Kusu memiliki garis keturunan yang terpisah, menjadikannya salah satu simbol keunikan faunal di wilayah biogeografis Sahul. Penelitian mendalam mengenai spesies ini membuka jendela pemahaman tentang bagaimana ekosistem kepulauan dapat mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman genetik yang luar biasa. Kajian ini akan merentang dari klasifikasi taksonomi yang kompleks hingga peran esensial Kusu dalam jaring-jaring makanan, serta interaksi spiritualnya dengan budaya masyarakat adat yang telah hidup berdampingan dengannya selama ribuan tahun.
Identifikasi Kusu seringkali menimbulkan kebingungan karena genusnya yang beragam, yang mencakup beberapa kelompok utama seperti Phalanger (Kusu Umum) dan Spilocuscus (Kusu Bertotol). Kedua genus ini, meskipun memiliki morfologi dasar yang serupa, menampilkan perbedaan signifikan dalam pola warna bulu, ukuran tubuh, dan preferensi habitat spesifik. Pemahaman yang akurat mengenai taksonomi sangat vital, terutama dalam upaya konservasi, karena ancaman yang dihadapi oleh satu spesies mungkin berbeda secara fundamental dari spesies lainnya.
Salah satu kelompok yang paling mencolok adalah Kusu Bertotol, yang diwakili oleh spesies seperti Spilocuscus maculatus. Spesies ini terkenal karena dimorfisme seksual yang ekstrem dalam hal pewarnaan: jantan seringkali ditandai dengan bercak atau totol-totol yang kontras (biasanya berwarna putih di latar belakang kemerahan atau abu-abu), sementara betina cenderung memiliki warna yang lebih seragam atau pola bercak yang kurang jelas. Fenomena dimorfisme ini tidak hanya berfungsi estetika, tetapi dipercaya memainkan peran penting dalam komunikasi visual dan pemilihan pasangan, terutama di habitat hutan yang redup.
Kusu Bertotol memiliki penyebaran geografis yang luas, membentang dari Papua hingga Kepulauan Solomon. Di setiap lokasi, evolusi isolasi telah menghasilkan subspesies unik, masing-masing beradaptasi terhadap sumber daya makanan dan predator lokal. Sebagai contoh, varian yang ditemukan di dataran tinggi Papua mungkin memiliki bulu yang lebih tebal dan adaptasi fisiologis yang memungkinkan mereka bertahan dalam suhu yang lebih dingin dibandingkan kerabatnya yang tinggal di hutan pesisir dataran rendah. Analisis genetik terus dilakukan untuk memetakan kekerabatan sejati di antara populasi-populasi yang terfragmentasi ini, memberikan wawasan kritis tentang sejarah geologis wilayah Sahul.
Genus Phalanger, yang sering disebut Kusu Umum atau Kusu Kelabu, mencakup sejumlah besar spesies yang tersebar lebih merata di seluruh Nusantara bagian timur. Contoh ikonik termasuk Phalanger orientalis (Kusu Timur) dan Phalanger gymnotis (Kusu Tanah atau Kusu Berbulu Pendek). Spesies dalam genus ini umumnya menampilkan warna bulu yang lebih homogen, berkisar dari abu-abu pucat hingga cokelat kemerahan pekat, tanpa totol-totol mencolok seperti Spilocuscus.
Phalanger orientalis khususnya, merupakan salah satu marsupial yang paling sering ditemui dan memiliki toleransi habitat yang relatif luas, seringkali ditemukan di hutan sekunder atau bahkan perkebunan yang berdekatan dengan area hutan primer. Kemampuan adaptasi ini, yang meliputi diet yang fleksibel, telah memungkinkan mereka untuk bertahan dalam menghadapi tekanan antropogenik yang meningkat. Namun, toleransi ini tidak berarti kebal terhadap kepunahan. Kepadatan populasi yang tinggi di beberapa area membuatnya rentan terhadap perburuan dan penyakit yang menular.
Kusu bukan sekadar marsupial; ia adalah pemelihara ekologis yang tersebar di kanopi hutan, memainkan peran penting sebagai penyebar biji dan penyerbuk yang sering kali terabaikan dalam studi ekologi makro.
Kusu adalah makhluk arboreal sejati. Kehidupan mereka hampir sepenuhnya bergantung pada kanopi hutan. Struktur anatomi mereka telah berevolusi secara sempurna untuk gaya hidup memanjat, termasuk kaki depan yang kuat, cakar yang tajam dan melengkung, serta yang paling khas, ekor prehensile (ekor yang dapat menggenggam) yang berfungsi sebagai anggota tubuh kelima. Ekor ini bukan hanya alat penyeimbang; ia adalah jangkar hidup yang memungkinkan Kusu bergerak dengan aman melalui celah-celah dahan yang tinggi dan licin, bahkan saat membawa makanan atau anak.
Ciri fisik lain yang mendukung kehidupan arboreal adalah mata besar yang menonjol ke depan. Mata ini merupakan adaptasi penting untuk gaya hidup nokturnal (aktif di malam hari). Penglihatan malam Kusu sangat sensitif terhadap cahaya rendah, memungkinkan mereka untuk mencari makan dan menghindari predator dalam kegelapan total. Pada siang hari, Kusu biasanya beristirahat di lubang pohon, celah dahan besar, atau sarang yang mereka buat sendiri dari dedaunan tebal. Periode istirahat ini sangat krusial untuk menghemat energi, mengingat tingginya biaya energi yang diperlukan untuk bergerak di kanopi yang kompleks.
Diet Kusu didominasi oleh buah-buahan, daun, nektar, dan bunga—menjadikan mereka omnivora dengan preferensi herbivora dan frugivora yang kuat. Fleksibilitas diet ini bervariasi antara spesies. Spesies yang hidup di hutan dataran tinggi yang dingin mungkin lebih bergantung pada daun dan lumut karena kelangkaan buah musiman, sedangkan spesies dataran rendah menikmati kelimpahan buah-buahan tropis seperti ara (ficus) dan buah-buahan berdaging lainnya. Peran mereka dalam penyebaran biji sangatlah vital; dengan mengonsumsi buah di satu lokasi dan menjatuhkan bijinya di lokasi lain melalui kotoran, Kusu secara aktif membantu regenerasi hutan hujan tropis.
Kusu umumnya bersifat soliter, kecuali selama musim kawin atau ketika betina merawat anaknya. Mereka menetapkan wilayah jelajah yang seringkali tumpang tindih dengan individu lain, namun interaksi langsung biasanya diminimalkan melalui komunikasi tidak langsung. Komunikasi ini sebagian besar dilakukan melalui penandaan aroma (skent marking) yang dihasilkan dari kelenjar bau khusus di dagu, dada, dan daerah genital. Dengan menggosokkan kelenjar ini pada dahan pohon, mereka meninggalkan pesan kimiawi yang memberi tahu Kusu lain tentang status reproduksi, batas teritorial, dan identitas individu. Pemahaman mendalam tentang strategi komunikasi ini esensial untuk studi konservasi populasi, membantu menentukan kepadatan populasi yang sehat.
Siklus hidup Kusu adalah perwujudan klasik dari biologi marsupial. Proses reproduksi mereka berbeda drastis dari mamalia plasental (seperti manusia atau primata). Gestasi (masa kehamilan) Kusu sangat singkat, seringkali hanya berkisar antara 15 hingga 25 hari, menghasilkan anak yang luar biasa kecil dan belum berkembang, sering disebut sebagai 'joey'. Joey ini, meskipun masih dalam tahap embrionik, memiliki insting dan kekuatan yang cukup untuk melakukan perjalanan yang sangat berbahaya segera setelah lahir.
Setelah lahir, joey yang buta, telanjang, dan seukuran kacang jeli, harus merangkak dari saluran lahir melalui perut induknya menuju kantung (marsupium). Perjalanan ini sepenuhnya dilakukan oleh joey, didorong oleh insting primitif. Setelah mencapai kantung, joey segera menempel pada salah satu puting susu. Puting ini akan membengkak di dalam mulut joey, secara efektif menjangkar anak tersebut ke tempat yang aman dan menyediakan nutrisi konstan. Ini adalah fase perkembangan yang paling rentan dan paling penting.
Joey akan menghabiskan beberapa bulan berikutnya di dalam kantung, menyusu dan berkembang. Selama waktu ini, suhu, kelembaban, dan komposisi susu diatur secara ketat oleh induk Kusu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi spesifik joey yang sedang tumbuh. Setelah tahap kantung, anak Kusu akan mulai sesekali keluar, menunggangi punggung induknya saat menjelajah hutan, secara bertahap belajar keterampilan memanjat dan mencari makan. Proses transisi dari ketergantungan penuh hingga kemandirian total membutuhkan waktu yang lama, menegaskan betapa berharganya setiap kelahiran dalam populasi Kusu liar.
Di wilayah Papua, Maluku, dan sekitarnya, Kusu tidak hanya dilihat sebagai hewan liar; ia terintegrasi secara mendalam ke dalam kerangka budaya, spiritual, dan ekonomi masyarakat adat. Hewan ini muncul dalam mitos penciptaan, menjadi subjek dalam seni ukir dan lukisan, serta memainkan peran penting dalam ritual tradisional tertentu. Status Kusu bervariasi; di beberapa tempat ia dihormati sebagai totem atau leluhur, sementara di tempat lain ia merupakan sumber protein yang penting.
Dalam banyak kelompok etnis di Papua Nugini dan Indonesia Timur, Kusu memiliki signifikansi totemis. Totemisme melibatkan kepercayaan bahwa kelompok manusia (klaim atau marga) memiliki hubungan spiritual dengan spesies hewan atau tumbuhan tertentu. Marga yang menganggap Kusu sebagai totem mereka mungkin memiliki pantangan (tabu) untuk memburunya atau memakan dagingnya. Kusu dianggap sebagai simbol kecerdasan arboreal, kemampuan beradaptasi, dan koneksi dengan dunia spiritual kanopi. Kisah-kisah rakyat sering menggambarkan Kusu sebagai pemegang rahasia hutan, pandai menyembunyikan diri, dan memiliki pengetahuan tentang musim buah-buahan terbaik.
Penggambaran Kusu dalam seni seringkali menonjolkan mata besar dan ekornya yang melilit, menekankan sifatnya yang misterius dan kemampuannya untuk bergerak di antara dunia bawah (tanah) dan dunia atas (kanopi). Keseimbangan antara kehidupan di darat (walaupun jarang) dan kehidupan di udara mencerminkan keseimbangan kosmik dalam pandangan dunia tradisional.
Di komunitas di mana Kusu bukan totem, ia seringkali menjadi target perburuan tradisional untuk konsumsi. Perburuan Kusu diatur oleh hukum adat yang ketat, yang bertujuan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya. Hukum adat ini seringkali membatasi jumlah yang dapat diburu, menentukan metode perburuan yang diizinkan (biasanya panah atau jerat sederhana, menghindari metode modern yang merusak), dan melarang perburuan betina yang sedang menyusui. Ketaatan terhadap hukum adat ini, yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, telah menjadi benteng pelindung bagi populasi Kusu selama berabad-abad.
Namun, masuknya budaya luar dan perubahan ekonomi modern telah mengikis beberapa praktik konservasi tradisional ini. Permintaan pasar yang lebih tinggi, penggunaan senapan, dan perusakan habitat berskala besar telah mengubah status Kusu dari sumber daya yang dikelola menjadi spesies yang terancam di beberapa lokasi. Tensi antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian budaya/ekologi menjadi salah satu tantangan terbesar dalam konservasi Kusu modern.
Meskipun Kusu tersebar luas, banyak spesies dan subspesies menghadapi ancaman eksistensial yang serius. Ancaman utama datang dari tiga arah: deforestasi skala industri, perburuan komersial, dan perubahan iklim yang memengaruhi ekosistem hutan hujan tropis.
Habitat utama Kusu adalah hutan primer dan sekunder yang lebat. Ketika hutan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, atau penebangan liar, Kusu kehilangan kanopi tempat mereka hidup, mencari makan, dan berkembang biak. Fragmentasi habitat—pemisahan hutan besar menjadi petak-petak kecil—adalah ancaman yang sama berbahayanya. Ketika wilayah jelajah terpecah, Kusu menjadi terisolasi. Isolasi ini menyebabkan penurunan keanekaragaman genetik, membuat populasi lebih rentan terhadap penyakit, dan menghambat kemampuan mereka untuk mencari pasangan baru.
Kusu yang terpaksa turun ke tanah untuk melintasi celah antara fragmen hutan menjadi sangat rentan terhadap predator terestrial (seperti anjing liar atau ular besar) dan juga manusia. Studi ekologis menunjukkan bahwa spesies Kusu dengan mobilitas rendah sangat menderita akibat fragmentasi, dengan tingkat keberhasilan reproduksi yang menurun drastis di petak-petak hutan yang kecil.
Meskipun perburuan tradisional seringkali berkelanjutan, perburuan komersial yang didorong oleh pasar gelap dan permintaan daging satwa liar yang meningkat di perkotaan menimbulkan tekanan yang tidak berkelanjutan. Kusu, karena ukurannya yang relatif besar dan dagingnya yang dianggap lezat, seringkali menjadi target utama. Kontrol dan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar di daerah terpencil seringkali lemah, memungkinkan eksploitasi berlebihan yang dapat menghapus populasi lokal dalam waktu singkat.
Konservasi Kusu memerlukan pendekatan multi-disiplin. Pertama, perlindungan habitat primer melalui penetapan kawasan konservasi dan penegakan hukum yang ketat terhadap penebangan liar adalah prioritas utama. Kedua, program pendidikan lingkungan harus dikembangkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dan pembuat kebijakan tentang nilai ekologis Kusu sebagai penyebar biji. Ketiga, integrasi pengetahuan tradisional dengan ilmu konservasi modern sangat penting. Mendukung hukum adat yang mengatur perburuan dapat memperkuat keberlanjutan populasi Kusu, mengakui bahwa masyarakat adat adalah penjaga hutan yang paling efektif.
Beberapa spesies Kusu kini terdaftar di dalam daftar merah IUCN, menunjukkan status rentan (Vulnerable) hingga terancam punah (Endangered). Status ini menuntut perhatian internasional dan pendanaan yang lebih besar untuk penelitian lapangan, pemantauan populasi, dan program penangkaran konservasi (ex-situ conservation) sebagai jaring pengaman genetik terakhir.
Memahami posisi Kusu dalam pohon kehidupan marsupial membantu menjelaskan mengapa ia memiliki ciri khas yang berbeda. Kusu (Phalangeridae) adalah bagian dari kelompok besar marsupial Australia dan Sahul, yang berbeda dari marsupial Amerika (oposum Amerika) dan mamalia plasental Asia.
Meskipun kata "posum" (Australian Possum) dan "oposum" (American Opossum) sering digunakan secara bergantian, Kusu memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Posum Australia. Namun, Kusu menunjukkan spesialisasi yang lebih besar. Sementara Posum Australia (seperti Posum Ekor Sikat) adalah oportunis yang sukses di berbagai lingkungan, Kusu seringkali lebih terikat pada hutan hujan yang spesifik dan menunjukkan adaptasi yang lebih jelas untuk diet frugivora. Ekor Kusu, yang memiliki bagian tanpa rambut di ujungnya, menunjukkan tingkat prehensilitas yang sangat tinggi, memungkinkan pegangan yang lebih baik pada dahan yang basah dan licin.
Secara evolusioner, Kusu mewakili radiasi marsupial yang terjadi setelah pemisahan benua Sahul (Australia-Papua) dari Gondwana. Spesies Kusu saat ini adalah hasil dari isolasi geografis yang panjang di kepulauan yang membentang dari Wallacea hingga Melanesia, menciptakan keragaman yang luar biasa dalam ukuran, pola bulu, dan adaptasi perilaku. Studi molekuler menunjukkan bahwa evolusi Kusu telah melalui periode percepatan dan perlambatan, dipengaruhi oleh naik turunnya permukaan laut selama zaman es yang berulang kali menyatukan dan memisahkan pulau-pulau di wilayah tersebut, memicu spesiasi baru.
Perbedaan penting lainnya terletak pada mobilitas. Posum Australia cenderung lebih gesit dan cepat, sementara Kusu dikenal bergerak lambat dan metodis. Gerakan yang tenang dan terukur ini diduga merupakan adaptasi untuk menghemat energi dan mengurangi risiko deteksi oleh predator di kanopi, serta memungkinkan mereka untuk memilih buah-buahan dan daun-daun yang paling bergizi.
Untuk memahami Kusu secara utuh, kita harus mendalami arsitektur tubuh mereka yang disempurnakan. Anatomi Kusu adalah perpaduan adaptasi kuno dan evolusi spesifik lingkungan. Tubuh mereka yang relatif gemuk dan padat ditutupi oleh bulu tebal, yang berfungsi sebagai isolasi termal, sangat penting saat malam hari di hutan hujan yang lembap dan dingin. Variasi warna bulu membantu kamuflase, entah itu totol-totol pada Spilocuscus yang menyerupai cahaya yang menembus kanopi, atau warna kelabu seragam Phalanger yang menyatu dengan kulit kayu.
Susunan gigi Kusu mencerminkan diet mereka yang fleksibel, tetapi cenderung berorientasi pada vegetasi. Mereka memiliki gigi seri yang tajam untuk menggigit buah dan daun, serta geraham yang relatif datar untuk menggiling materi tanaman yang keras. Beberapa spesies Kusu memiliki gigi geraham yang lebih berkembang, yang memungkinkan mereka memproses serat tanaman yang lebih keras, sebuah adaptasi yang sangat berguna di musim kering ketika buah-buahan langka dan harus bergantung pada daun yang lebih tua.
Sistem pencernaan Kusu juga menunjukkan adaptasi untuk mengolah materi tanaman. Mereka memiliki sekum (caecum) yang berfungsi sebagai ruang fermentasi mikroba yang membantu memecah selulosa yang sulit dicerna. Efisiensi pencernaan ini memastikan bahwa Kusu dapat mengekstrak nutrisi maksimal dari diet mereka yang sebagian besar terdiri dari materi tanaman berserat rendah energi.
Kaki Kusu adalah mahakarya evolusi arboreal. Jari kaki kedua dan ketiga pada kaki belakang (seperti pada banyak marsupial) menyatu (syndactyly), membentuk semacam sisir yang digunakan untuk merapikan bulu dan menjaga kebersihan. Namun, jari kaki pertama (hallux) sangat penting; ia bersifat oposisi (dapat digerakkan berlawanan dengan jari lainnya), memungkinkan Kusu untuk mencengkeram dahan seperti halnya primata. Adaptasi ini, dikombinasikan dengan bantalan telapak yang kasar dan cakar yang kuat, memastikan cengkeraman yang stabil, bahkan saat bergerak terbalik di bawah dahan.
Ekor prehensile, yang dilapisi dengan sisik kecil yang berfungsi meningkatkan traksi, adalah organ yang sangat peka. Kusu menggunakannya untuk menguji stabilitas dahan sebelum memindahkan berat badan mereka. Ekor ini juga dapat menopang seluruh berat badan mereka untuk waktu yang singkat, membebaskan tangan untuk memanipulasi makanan atau merapikan bulu. Kehilangan ekor atau cedera pada ekor dapat sangat menghambat kemampuan Kusu untuk bertahan hidup di alam liar.
Kusu memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bioindikator, yaitu spesies yang kehadirannya, kemakmurannya, atau kesehatannya mencerminkan kondisi lingkungan secara keseluruhan. Karena Kusu membutuhkan hutan yang relatif matang dan kanopi yang utuh, penurunan populasi Kusu seringkali menjadi sinyal peringatan dini bahwa ekosistem hutan sedang mengalami degradasi atau fragmentasi serius.
Studi mengenai kesehatan Kusu (misalnya, tingkat parasit, kadar stres hormon, dan paparan polutan) dapat memberikan data yang tak ternilai tentang dampak aktivitas manusia di wilayah terpencil. Hewan ini berada di tingkat trofik yang cukup tinggi dan memiliki wilayah jelajah yang terbatas, menjadikannya 'termometer' yang sensitif terhadap perubahan lingkungan mikro dan makro. Misalnya, jika Kusu di suatu wilayah menunjukkan tingkat konsentrasi merkuri yang tinggi, hal itu dapat menunjukkan adanya kontaminasi pertambangan yang tidak terdeteksi di sumber air atau rantai makanan hutan.
Pemantauan jangka panjang terhadap populasi Kusu, menggunakan teknik seperti penandaan radio atau kamera jebak, adalah alat penting bagi para konservasionis. Data yang terkumpul tidak hanya membantu mengukur keberhasilan program restorasi habitat, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana spesies marsupial yang berbeda bereaksi terhadap fluktuasi iklim ekstrem, seperti El Niño yang menyebabkan musim kering berkepanjangan dan mengurangi ketersediaan buah.
Di beberapa daerah, Kusu masih ditangkap dan dipelihara sebagai hewan peliharaan. Namun, sifatnya yang liar dan kebutuhan ekologisnya yang kompleks menjadikannya hewan yang sulit untuk dipelihara di penangkaran, apalagi di lingkungan rumah tangga. Kusu adalah hewan nokturnal yang membutuhkan ruang vertikal yang luas untuk memanjat, diet yang sangat spesifik (bukan sekadar buah-buahan sisa), dan lingkungan yang tenang untuk beristirahat di siang hari.
Penangkaran Kusu tanpa pengetahuan biologi yang memadai seringkali menyebabkan penderitaan pada hewan, termasuk masalah tulang (karena kekurangan kalsium dalam diet yang tidak tepat), obesitas, dan stres perilaku (stereotipik) akibat kurangnya stimulasi. Edukasi publik sangat penting untuk menekan permintaan Kusu sebagai hewan peliharaan ilegal, menekankan bahwa habitat alami mereka, hutan Nusantara, adalah satu-satunya tempat di mana mereka dapat menjalankan fungsi ekologis dan perilaku alamiah mereka secara optimal.
Di sisi lain, kebun binatang dan pusat penangkaran konservasi memainkan peran vital dalam penelitian dan pendidikan. Fasilitas ini, ketika dijalankan dengan standar tinggi, dapat memastikan kelangsungan hidup genetik spesies yang paling terancam dan menyediakan materi penelitian untuk studi reproduksi, perilaku, dan kebutuhan nutrisi. Program penangkaran yang sukses bertujuan, pada akhirnya, untuk melepaskan individu kembali ke alam liar yang telah direstorasi, memastikan bahwa upaya konservasi bersifat sirkular dan berkelanjutan.
Kusu adalah warisan evolusi yang hidup, sebuah bukti atas kekayaan alam Marsupialia di timur Garis Wallace. Mulai dari totol-totol khas Spilocuscus hingga ketahanan Phalanger orientalis, setiap spesies menyimpan kunci untuk memahami ekologi hutan hujan tropis yang rumit. Keberadaan Kusu terkait erat dengan kesehatan kanopi, dan kelangsungan hidup mereka merupakan cerminan langsung dari bagaimana kita mengelola hutan-hutan di Nusantara.
Melindungi Kusu berarti melindungi habitat mereka, menghormati hukum adat yang telah lama menjaga keseimbangan alam, dan berinvestasi dalam penelitian ilmiah yang terus mengungkap rahasia marsupial arboreal ini. Kusu bukanlah sekadar satwa langka, ia adalah penjaga ekologis yang membutuhkan perhatian dan perlindungan kita semua. Masa depan Kusu, dan masa depan hutan hujan Indonesia Timur, berjalan beriringan, menuntut komitmen yang teguh untuk konservasi yang cerdas dan berwawasan jauh ke depan.