Kutai Kartanegara (Kukar) adalah sebuah nama yang resonansinya melampaui batas geografis semata. Wilayah ini bukan hanya sekadar kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, tetapi merupakan palang pintu peradaban tertua di Nusantara. Berdiri di atas bekas kejayaan kerajaan Hindu-Buddha pertama dan Kesultanan Islam yang bertahan hingga era modern, Kukar menyajikan narasi sejarah, kekayaan alam, dan kompleksitas budaya yang tak tertandingi.
Terletak di jantung Kalimantan Timur, daerah ini dilintasi oleh Sungai Mahakam yang legendaris, urat nadi kehidupan yang menghubungkan pegunungan pedalaman dengan Selat Makassar. Dari batu-batu prasasti Yupa hingga kemegahan Istana Sultan di Tenggarong, Kutai Kartanegara adalah etalase yang memamerkan evolusi peradaban dan tantangan pembangunan di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Prasasti Yupa, bukti fisik Kerajaan Kutai Martadipura, cikal bakal peradaban di Kalimantan.
Sejarah Kutai Kartanegara adalah sejarah tentang kesinambungan dan perubahan, sebuah rentang waktu yang membentang hampir dua milenium. Narasi ini dibagi menjadi tiga babak besar: Kerajaan Kutai Martadipura (Hindu), Kerajaan Kutai Kartanegara (yang kemudian menjadi Islam), dan peleburan keduanya di bawah nama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Kutai Martadipura diyakini sebagai kerajaan tertua yang ada di wilayah Indonesia modern, jauh mendahului Sriwijaya atau Mataram Kuno. Lokasi pusatnya diperkirakan berada di Muara Kaman. Bukti tunggal dan paling sahih dari eksistensi kerajaan ini adalah tujuh buah prasasti batu yang dikenal sebagai Yupa, ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Prasasti Yupa tidak hanya mengisahkan tentang keberadaan raja, tetapi juga memberikan gambaran utuh mengenai kehidupan sosial, spiritual, dan ekonomi masa itu. Isi utamanya adalah puji-pujian terhadap Raja Mulawarman, cucu dari Raja Kudungga. Yupa mencatat:
Kutai Martadipura perlahan menghilang dari catatan sejarah setelah abad ke-7 atau ke-8, meninggalkan ruang kosong yang kemudian diisi oleh entitas politik baru di wilayah hulu Sungai Mahakam.
Di wilayah hulu, muncul kerajaan baru bernama Kutai Kartanegara. Pusat pemerintahan awalnya berada di Tepian Batu atau Kutai Lama, sebelum akhirnya pindah ke Jembayan, kemudian ke Tenggarong. Kerajaan ini awalnya berdiri sejajar (atau bahkan bersaing) dengan sisa-sisa Martadipura.
Momentum penting terjadi pada abad ke-16, ketika Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa, berhasil menaklukkan Kutai Martadipura. Penyatuan ini menandai peleburan dua entitas menjadi satu kerajaan besar yang berpusat di Tenggarong, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Meskipun Islam telah menyebar di pesisir Kalimantan, Islamisasi Kutai Kartanegara terjadi secara formal pada awal abad ke-17. Penyebarannya sangat terkait dengan peran Tuan Tunggang Parangan. Raja Aji Dilanggar menjadi raja pertama yang memeluk Islam dan bergelar Sultan, meskipun gelar Sultan baru sepenuhnya digunakan oleh keturunan berikutnya.
Era Kesultanan (sekitar abad ke-17 hingga ke-20) adalah periode di mana kekuasaan monarki semakin terstruktur, dengan pengaruh Islam yang kuat dalam hukum dan adat istiadat. Ibu kota Tenggarong berkembang menjadi pusat perdagangan dan budaya di sepanjang Sungai Mahakam.
Seperti banyak kerajaan lain di Nusantara, Kutai Kartanegara tidak luput dari intervensi kolonial Belanda. Serangkaian perjanjian dan ‘kontrak politik’ pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara bertahap mengurangi kedaulatan Kesultanan, terutama terkait eksploitasi sumber daya alam seperti batubara dan minyak. Meskipun demikian, Kesultanan tetap diakui sebagai penguasa lokal hingga pendudukan Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, status Kesultanan Kutai Kartanegara mengalami transisi. Pada tahun 1960, pemerintahan swapraja Kesultanan dihapuskan dan wilayahnya dilebur menjadi Daerah Tingkat II Kutai, dengan Tenggarong sebagai ibu kotanya. Proses panjang reformasi dan otonomi daerah kemudian membagi wilayah Kutai yang sangat luas ini menjadi beberapa kabupaten, dengan Kutai Kartanegara tetap menjadi inti historis dan budaya, menjadikannya kabupaten yang menyimpan memori kolektif seluruh wilayah Kutai raya.
Mahkota Kesultanan Kutai, salah satu artefak terpenting dalam sejarah kebudayaan Kukar.
Kutai Kartanegara adalah mozaik budaya yang kaya, dihasilkan dari percampuran harmonis antara tradisi Melayu Kesultanan, adat Dayak pedalaman, dan pengaruh migrasi dari Jawa, Bugis, Banjar, dan suku lainnya. Tenggarong, sebagai pusat Kesultanan, menjadi poros utama pelestarian adat dan ritual.
Erau adalah puncak perayaan budaya Kukar, sebuah festival adat yang diakui secara nasional. Nama Erau sendiri berasal dari bahasa Kutai yang berarti ‘ria’ atau ‘ramai’. Awalnya, Erau adalah upacara ritual kerajaan untuk menandai penobatan Sultan, atau perayaan besar seperti kelahiran putera mahkota atau perkawinan agung. Setelah Kesultanan tidak lagi memiliki fungsi politik, Erau dihidupkan kembali sebagai festival budaya rakyat.
Pelaksanaan Erau sangat detail dan terbagi dalam beberapa tahapan penting, biasanya diadakan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kota Tenggarong atau Hari Jadi Kesultanan:
Saat Erau, berbagai kesenian Dayak dari hulu Mahakam juga diundang untuk tampil, menciptakan kolaborasi budaya yang kaya antara Kutai Pesisir dan Dayak Pedalaman.
Seni pertunjukan Kutai didominasi oleh tari-tarian istana yang halus dan sarat makna filosofis, serta seni musik Dayak yang kuat dan spiritual.
Meskipun Kukar identik dengan Kesultanan Melayu Kutai, wilayah ini mencakup daerah hulu yang didiami oleh berbagai sub-suku Dayak, seperti Dayak Kenyah, Dayak Tunjung, dan Dayak Benuaq. Mereka memainkan peran vital dalam menjaga ekologi hutan dan melestarikan kearifan lokal. Kehidupan mereka masih terikat erat dengan hutan dan sungai, dengan rumah adat Lamin yang panjang sebagai pusat kehidupan komunal. Ritual seperti Ngarong (upacara penyembuhan) dan adat lamin tetap dijaga di desa-desa pedalaman.
Secara geografis, Kutai Kartanegara adalah salah satu kabupaten terluas di Indonesia, membentang dari pesisir hingga pedalaman pegunungan Muller. Topografinya didominasi oleh dataran rendah yang subur, perbukitan landai, dan tentu saja, jaringan sungai yang rumit.
Sungai Mahakam adalah arteri utama yang membelah Kutai Kartanegara. Sejak zaman kerajaan, Mahakam berfungsi sebagai jalur transportasi vital, media interaksi budaya, dan sumber pangan. Semua pusat peradaban kuno, dari Martadipura hingga Tenggarong, berada di tepian sungai ini.
Pesut Mahakam, lumba-lumba air tawar yang merupakan kekayaan fauna endemik Kukar.
Kukar dikenal sebagai lumbung energi Kalimantan Timur. Sektor pertambangan, khususnya batubara dan minyak bumi, telah menjadi pilar ekonomi utama selama beberapa dekade. Kehadiran sumber daya ini membawa kemakmuran, namun sekaligus menimbulkan dilema pembangunan berkelanjutan.
Eksploitasi batubara telah meninggalkan jejak lingkungan yang signifikan, termasuk lubang-lubang bekas galian yang luas dan masalah degradasi lahan. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada tugas berat untuk merehabilitasi lahan dan melakukan diversifikasi ekonomi agar tidak sepenuhnya bergantung pada sektor ekstraktif yang tidak terbarukan. Selain itu, masalah deforestasi juga menjadi tantangan besar, terutama dengan adanya tekanan untuk konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Meskipun terkenal dengan tambang, Kukar memiliki potensi pertanian yang besar, terutama di kawasan transmigrasi yang tersebar di beberapa kecamatan. Komoditas unggulan meliputi padi, palawija, dan hortikultura. Program ketahanan pangan menjadi fokus penting, terutama mengingat posisi Kukar yang berdekatan dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di masa depan.
Wisata di Kutai Kartanegara menawarkan perpaduan unik antara sejarah monarki, keindahan alam sungai, dan tradisi pedalaman yang otentik. Tenggarong adalah pusat gravitasi wisata Kukar.
Berlokasi di tepi Sungai Mahakam di Tenggarong, Museum Mulawarman dulunya adalah Istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Bangunan bergaya kolonial yang megah ini kini menyimpan koleksi benda-benda pusaka Kesultanan yang tak ternilai harganya.
Pulau Kumala adalah pulau kecil yang terbentuk secara alami di tengah aliran Sungai Mahakam, tepat di depan kota Tenggarong. Pulau ini dikembangkan sebagai taman rekreasi modern, menawarkan berbagai fasilitas hiburan dan pemandangan kota dari tengah sungai. Meskipun sempat sepi, Pulau Kumala terus berupaya menjadi destinasi favorit keluarga dengan wahana permainan dan taman yang terawat.
Kukar menawarkan pesona alam air tawar yang masif:
Ekonomi Kutai Kartanegara telah lama didominasi oleh sektor primer yang berorientasi pada ekspor. Namun, tantangan utama adalah bagaimana menggeser ketergantungan ini menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan diversifikasi.
Hingga saat ini, kontributor utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kukar adalah pertambangan dan penggalian, diikuti oleh industri pengolahan dan pertanian. Strategi pembangunan Kukar diarahkan pada pengembangan tiga pilar utama selain tambang:
Pembangunan infrastruktur di Kukar sangat vital, mengingat wilayahnya yang luas dan kebutuhan koneksi antara Tenggarong dengan daerah-daerah pedalaman. Pembangunan jalan bebas hambatan, peningkatan kualitas jembatan (termasuk Jembatan Kutai Kartanegara yang ikonik), dan perbaikan akses ke pelabuhan menjadi prioritas untuk mendukung kelancaran logistik dan mobilitas penduduk.
Keputusan pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara telah mengubah total peta pembangunan di Kalimantan Timur. Walaupun kawasan inti IKN Nusantara berada di perbatasan Kukar, wilayah Kukar memainkan peran krusial sebagai daerah penyangga (buffer zone) yang menopang kehidupan dan logistik IKN.
Kukar akan berfungsi sebagai penyedia utama kebutuhan IKN, meliputi:
Pembangunan IKN memicu gelombang urbanisasi dan migrasi yang akan berdampak langsung pada Kukar, terutama pada kota-kota penyangga seperti Tenggarong dan kecamatan yang berbatasan langsung dengan IKN. Tantangannya adalah bagaimana mengelola pertumbuhan penduduk, menyediakan fasilitas sosial yang memadai (pendidikan, kesehatan), dan mencegah konflik sosial akibat perebutan sumber daya atau lahan.
Dalam konteks penyangga IKN, Kukar dituntut untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan prinsip-prinsip konservasi. Program hijau, rehabilitasi lahan bekas tambang, dan perlindungan habitat Pesut Mahakam menjadi sangat penting agar Kukar dapat mendukung citra IKN sebagai kota hutan yang berkelanjutan.
Kekayaan Kutai Kartanegara tidak hanya terletak pada kekayaan materialnya, tetapi juga pada warisan intelektual dan linguistik yang telah diwariskan secara turun-temurun. Bahasa Kutai, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu, memiliki kekhasan dialek dan tata bahasa yang membedakannya dari bahasa Melayu pesisir lainnya.
Bahasa Kutai terbagi dalam beberapa dialek, yang mencerminkan sejarah migrasi dan interaksi antarsuku. Dialek Tenggarong, Kota Bangun, dan Muara Kaman memiliki variasi pelafalan dan kosakata yang menarik. Bahasa ini mengandung banyak serapan dari bahasa Banjar, Bugis, dan Jawa, menunjukkan betapa dinamisnya interaksi masyarakat di sepanjang Sungai Mahakam.
Kesultanan Kutai Kartanegara juga meninggalkan sejumlah naskah kuno yang berisi silsilah raja, hukum adat (seperti Kitab Kuntara Raja Niti), dan catatan sejarah yang ditulis dalam aksara Jawi (Arab Melayu) atau Lontara. Pelestarian naskah-naskah ini menjadi tugas penting untuk menjaga kesinambungan sejarah lokal yang otentik. Selain naskah tertulis, terdapat pula kekayaan sastra lisan, seperti mantra, cerita rakyat (misalnya legenda Putri Junjung Buih yang juga populer di Banjar), dan pantun-pantun Kutai yang kaya akan nasihat.
Menjelang era baru sebagai daerah penyangga IKN, Kutai Kartanegara menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks, yang memerlukan strategi pembangunan yang adaptif dan inklusif.
Prioritas utama adalah mengatasi warisan kerusakan lingkungan akibat tambang. Pemerintah daerah perlu tegas dalam penegakan hukum lingkungan dan memastikan perusahaan pertambangan memenuhi kewajiban reklamasi mereka. Fokus pada energi terbarukan dan pengembangan ekonomi biru (berbasis perairan dan sungai) harus menjadi alternatif nyata untuk mengurangi ketergantungan pada batubara.
Mengingat lonjakan kebutuhan tenaga kerja terampil di sektor jasa dan teknologi yang akan dipicu oleh IKN, Kukar harus berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan pelatihan vokasi. Keterampilan yang relevan dengan ekonomi digital, manajemen lingkungan, dan pariwisata berbasis budaya harus menjadi fokus kurikulum lokal.
Kukar tidak bisa berdiri sendiri. Kerjasama yang erat dengan Kota Samarinda, Balikpapan, dan khususnya IKN Nusantara (di bawah Otorita IKN) adalah kunci. Sinkronisasi rencana tata ruang, pembangunan infrastruktur konektivitas, dan manajemen lingkungan harus dilakukan secara terpadu untuk memastikan pertumbuhan yang saling menguntungkan di seluruh klaster IKN-Kukar-Samarinda.
Kutai Kartanegara, dengan sejarahnya yang membanggakan sebagai cikal bakal Nusantara, kini berdiri di ambang transformasi besar. Wilayah ini bukan hanya tentang masa lalu yang agung, tetapi juga tentang masa depan yang menjanjikan, di mana tradisi Kesultanan bertemu dengan modernitas, dan kekayaan alam dikelola dengan bijaksana demi generasi yang akan datang. Kukar adalah simbol ketahanan peradaban Kalimantan.
Erau yang terus dirayakan, keberadaan Kesultanan yang masih dihormati, dan Sungai Mahakam yang tak pernah berhenti mengalir, semuanya menegaskan bahwa Kutai Kartanegara adalah poros sejarah dan budaya yang tak akan pernah pudar di peta Indonesia. Inilah warisan yang harus dijaga, dan inilah potensi yang harus dioptimalkan untuk menyongsong era baru peradaban di timur Kalimantan.