Kuwait, secara resmi dikenal sebagai Negara Kuwait (Dawlat al-Kuwait), adalah sebuah negara monarki konstitusional yang terletak di ujung utara Teluk Persia. Meskipun memiliki luas daratan yang relatif kecil, pengaruh Kuwait di kancah global—khususnya dalam sektor energi dan keuangan—adalah luar biasa besar. Kekayaan minyaknya yang melimpah telah mengubah daerah yang dulunya merupakan pelabuhan kecil yang bergantung pada mutiara dan perdagangan menjadi salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia.
Eksistensi modern Kuwait adalah perpaduan harmonis, atau terkadang tegang, antara tradisi Bedouin yang mengakar kuat dengan modernitas yang didorong oleh kemakmuran minyak. Artikel ini akan melakukan eksplorasi mendalam, menggali jauh ke dalam sejarahnya yang penuh gejolak, fondasi ekonominya yang kompleks, sistem politiknya yang unik di kawasan Teluk, hingga kekayaan budaya yang dipertahankan di tengah arus globalisasi.
Asal usul nama 'Kuwait' diperkirakan berasal dari kata Arab 'Kut', yang berarti benteng kecil yang dibangun di dekat air. Pemukiman permanen di wilayah ini dimulai pada awal abad ke-18, ketika suku Anizah, khususnya keluarga Al Sabah, bermigrasi dari Najd (pedalaman Arab). Mereka mencari daerah pesisir yang lebih baik untuk perdagangan dan perlindungan air.
Pada masa awalnya, ekonomi Kuwait sangat bergantung pada dua pilar utama: penangkapan mutiara dan maritim. Kapal-kapal Dhow Kuwait terkenal di seluruh Samudra Hindia, berlayar hingga ke India dan Afrika Timur. Kota Kuwait menjadi pelabuhan penting yang menghubungkan rute perdagangan antara Mesopotamia dan anak benua India. Kepemimpinan keluarga Al Sabah menjadi stabil, diakui secara de facto sebagai penguasa yang memberikan perlindungan dan mengatur perdagangan, meskipun secara nominal berada di bawah Kekaisaran Ottoman.
Pada akhir abad ke-19, ketika Kekaisaran Ottoman mulai melemah dan pengaruh Inggris Raya di Teluk meningkat, Kuwait mencari cara untuk melindungi diri dari ancaman kekuatan regional, khususnya dari Kekaisaran Ottoman dan suku-suku pedalaman yang agresif. Pada tahun 1899, Sheikh Mubarak Al Sabah (Mubarak Agung) menandatangani Perjanjian Anglo-Kuwaiti. Perjanjian ini secara efektif menjadikan Kuwait sebagai protektorat Inggris. Meskipun Inggris mengendalikan urusan luar negeri dan pertahanan, Kuwait mempertahankan otonomi dalam urusan domestik.
Mubarak Agung dihormati sebagai tokoh sentral yang menjamin keberlanjutan Kuwait sebagai entitas politik yang berbeda. Masa protektorat ini sangat krusial, karena ia memberikan stabilitas yang memungkinkan Kuwait untuk mengembangkan infrastruktur perdagangannya tanpa gangguan signifikan dari kekuatan luar yang lebih besar. Perjanjian tersebut juga memastikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang dapat memperoleh wilayah atau konsesi tanpa persetujuan Inggris, yang merupakan garis pertahanan vital bagi keluarga penguasa.
Titik balik terbesar dalam sejarah Kuwait datang pada tahun 1938 dengan penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar. Namun, eksploitasi komersial terhenti selama Perang Dunia II. Produksi komersial penuh baru dimulai setelah perang berakhir, pada tahun 1946. Pendapatan yang dihasilkan mengubah lanskap fisik dan sosial negara secara dramatis. Sekolah, rumah sakit, jalan, dan layanan publik didirikan dalam skala besar, memberikan warga Kuwait salah satu standar hidup tertinggi di dunia.
Ilustrasi gabungan yang menunjukkan fondasi ekonomi ganda Kuwait: perdagangan maritim tradisional dan industri perminyakan modern.
Kuwait mencapai kemerdekaan penuh pada 19 Juni 1961, mengakhiri perjanjian protektorat dengan Inggris. Setelah kemerdekaan, Kuwait dengan cepat merancang konstitusi yang diumumkan pada tahun 1962. Konstitusi ini unik di kawasan Teluk, karena mendirikan monarki konstitusional parlementer, meskipun kekuasaan tetap terpusat di tangan keluarga Al Sabah. Pembentukan Majlis Al-Umma (Dewan Nasional) menciptakan ruang bagi partisipasi politik dan debat publik, menjadikannya salah satu sistem politik paling terbuka di wilayah tersebut.
Periode paling traumatis dalam sejarah modern Kuwait adalah invasi oleh Irak pada Agustus 1990. Invasi ini, yang dipicu oleh sengketa perbatasan dan utang, mengakibatkan pendudukan brutal selama tujuh bulan. Invasi ini meluluhlantakkan infrastruktur negara, dan pasukan Irak melakukan penghancuran lingkungan yang disengaja dengan membakar lebih dari 700 sumur minyak saat mundur.
Pembebasan Kuwait dicapai pada Februari 1991 melalui intervensi militer koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat (Operasi Badai Gurun). Pemulihan setelah perang berlangsung cepat dan intensif. Pemerintah Kuwait berinvestasi besar-besaran untuk memadamkan sumur minyak yang terbakar dan membangun kembali infrastruktur. Meskipun meninggalkan luka mendalam dalam memori kolektif, episode ini memperkuat identitas nasional Kuwait dan hubungan strategisnya dengan sekutu Barat.
Dampak dari invasi Irak tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga politis dan demografis. Setelah pembebasan, terjadi pergeseran besar dalam kebijakan tenaga kerja, di mana ratusan ribu pekerja asing, terutama dari Palestina (yang dianggap sebagian besar mendukung Irak), diusir. Hal ini mengubah komposisi demografi negara secara permanen dan memicu pencarian tenaga kerja alternatif, terutama dari Asia Selatan dan Tenggara.
Kuwait memiliki sekitar 8% dari cadangan minyak mentah global yang telah terbukti, menjadikannya pemain kunci dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Mayoritas cadangan terletak di ladang minyak Burgan, yang merupakan ladang minyak pasir terbesar kedua di dunia. Kualitas minyak Kuwait cenderung 'berat' dan 'asam', namun teknologi modern memungkinkan pemrosesan yang efisien. Produksi minyak dan gas menyumbang lebih dari 90% pendapatan ekspor Kuwait dan sekitar setengah dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Industri minyak dikelola oleh Kuwait Petroleum Corporation (KPC), sebuah badan usaha milik negara yang sepenuhnya mengendalikan eksplorasi, produksi, pemurnian, pemasaran, dan transportasi minyak. KPC membawahi beberapa anak perusahaan spesialis:
Kapasitas pemurnian Kuwait telah ditingkatkan secara signifikan melalui proyek-proyek modernisasi besar, termasuk proyek Clean Fuels yang bertujuan meningkatkan kualitas bahan bakar untuk memenuhi standar lingkungan global yang lebih ketat, serta megaproyek Kilang Al Zour yang sangat besar, dirancang untuk memproses minyak mentah berat Kuwait.
Salah satu aspek ekonomi Kuwait yang paling menarik adalah Dana Kekayaan Berdaulat (Sovereign Wealth Fund/SWF) yang dikelola oleh Kuwait Investment Authority (KIA). KIA adalah SWF tertua di dunia, didirikan pada tahun 1953, bahkan sebelum Kuwait merdeka. Dana ini bertujuan untuk melindungi generasi mendatang dari ketergantungan pada sumber daya yang habis, yaitu minyak.
KIA mengelola dua dana utama:
Melalui KIA, Kuwait telah menjadi pemegang saham signifikan di perusahaan-perusahaan global terkemuka, memberikan stabilitas finansial yang luar biasa, bahkan saat harga minyak berfluktuasi. Kekuatan finansial ini memungkinkan Kuwait untuk bertahan dari krisis ekonomi regional dan global dengan relatif mudah.
Meskipun kaya, Kuwait menyadari bahaya sindrom 'penyakit Belanda' dan ketergantungan tunggal pada hidrokarbon. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah meluncurkan "New Kuwait Vision 2035," sebuah rencana pembangunan jangka panjang yang dipimpin oleh Yang Mulia Emir. Visi ini berfokus pada diversifikasi ekonomi, transformasi Kuwait menjadi pusat keuangan dan komersial regional, serta meningkatkan peran sektor swasta.
Pilar utama dari Visi 2035 meliputi:
Kuwait adalah sebuah emirat (monarki) konstitusional. Kepala negara adalah Emir, yang berasal dari keluarga Al Sabah. Garis suksesi ditetapkan dalam Konstitusi dan diatur oleh tradisi, berpindah di antara dua cabang utama keluarga penguasa: Al-Ahmad dan Al-Salem. Emir memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif, dan ia menunjuk Perdana Menteri (yang secara tradisional juga merupakan anggota senior keluarga Al Sabah) dan Dewan Menteri (Kabinet).
Peran Emir sangat dihormati dan dianggap sebagai penengah tertinggi dalam perselisihan politik dan sosial. Meskipun konstitusi memberikan batasan, pada praktiknya, kekuasaan keluarga Al Sabah tetap dominan, terutama melalui kontrol atas pos-pos kunci kementerian seperti Pertahanan, Luar Negeri, dan Dalam Negeri.
Elemen paling unik dalam politik Kuwait di kawasan Teluk adalah keberadaan Majlis Al-Umma, parlemen unikameral yang dipilih langsung oleh rakyat. Majlis Al-Umma terdiri dari 50 anggota terpilih ditambah anggota kabinet (yang dapat berjumlah hingga 16 orang, tetapi dianggap sebagai anggota ex officio tanpa hak suara dalam mosi tidak percaya).
Majlis Al-Umma memiliki kekuatan legislatif yang signifikan, termasuk:
Dinamika antara pemerintah dan parlemen seringkali tegang. Parlemen Kuwait dikenal sangat vokal dan independen, sering menggunakan hak interpelasi untuk mempertanyakan kebijakan menteri, yang terkadang menyebabkan krisis politik, pembubaran parlemen dini, dan pengunduran diri kabinet. Meskipun ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik jangka pendek, hal itu dipandang oleh banyak warga Kuwait sebagai demonstrasi vitalitas demokrasi mereka.
Salah satu isu politik dan hak asasi manusia yang paling pelik di Kuwait adalah masalah 'Bidoon' (secara harfiah berarti "tanpa"). Ini merujuk pada populasi besar orang yang tinggal di Kuwait tetapi tidak memiliki kewarganegaraan resmi. Mereka umumnya adalah keturunan suku Bedouin yang gagal mendaftarkan diri setelah kemerdekaan atau imigran dari negara tetangga yang lama menetap.
Status Bidoon membatasi akses mereka terhadap layanan publik penting seperti kesehatan, pendidikan gratis, dan pekerjaan di sektor publik. Pemerintah telah mencoba berbagai solusi, namun isu ini tetap menjadi sumber ketegangan internal dan kritik internasional, menyoroti tantangan dalam definisi kewarganegaraan di negara yang mengalami pertumbuhan pesat dan imigrasi masif pasca-minyak.
Dinamika politik Kuwait diwakili oleh struktur parlementernya, sebuah ciri khas demokrasi terbatas di wilayah Teluk.
Masyarakat Kuwait ditandai oleh dikotomi yang jelas antara warga negara Kuwait (yang hanya berjumlah sekitar 30% dari total populasi) dan komunitas ekspatriat (70%). Warga negara Kuwait, yang sebagian besar menikmati manfaat sistem kesejahteraan negara yang sangat murah hati, mempertahankan budaya yang homogen. Komunitas ekspatriat sangat beragam, terdiri dari pekerja profesional Barat, pekerja terampil dari negara-negara Arab lain, dan pekerja migran berketerampilan rendah dari Asia Selatan (terutama India, Filipina, dan Bangladesh).
Perbedaan ini menciptakan tantangan sosial dan ekonomi, terutama dalam hal tenaga kerja. Warga Kuwait cenderung didominasi oleh pekerjaan sektor publik, sementara sektor swasta dan pekerjaan manual didominasi oleh pekerja asing. Upaya untuk 'Kuwaitisasi' tenaga kerja (mewajibkan persentase tertentu dari staf adalah warga negara Kuwait) terus dilakukan namun menghadapi kendala budaya dan struktural.
Islam adalah agama resmi Kuwait. Mayoritas penduduk Kuwait adalah Muslim, dibagi antara Sunni (mayoritas) dan Syiah (minoritas signifikan). Islam memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, sistem hukum, dan budaya. Sekolah-sekolah dan institusi didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, dan praktik sosial dipengaruhi oleh adat istiadat Islam. Kuwait dikenal relatif lebih toleran dibandingkan beberapa tetangganya, namun hukum Syariah tetap menjadi sumber utama legislasi.
Meskipun kemakmuran datang dari darat (minyak), jiwa Kuwait tetap terikat pada laut. Kapal Dhow, yang dulunya digunakan untuk perjalanan mutiara dan perdagangan jarak jauh, masih dirayakan sebagai simbol warisan maritim negara. Peringatan Dhow (penuh) dan perlombaan Dhow modern masih sering diadakan.
Masakan Kuwait adalah perpaduan antara hidangan Teluk Arab, Persia, dan India. Hidangan nasional meliputi:
Penyambutan tamu (Diwaniya) adalah institusi sosial yang sangat penting. Diwaniya adalah pertemuan rutin yang diadakan oleh laki-laki Kuwait di rumah mereka, berfungsi sebagai forum sosial, politik, dan bisnis informal, yang memperkuat kohesi sosial dan bertindak sebagai barometernya opini publik.
Kuwait menawarkan salah satu sistem kesejahteraan paling komprehensif di dunia bagi warganya. Layanan kesehatan dan pendidikan sepenuhnya gratis hingga tingkat universitas. Subsidi yang besar diberikan pada bahan bakar, air, dan listrik. Pemerintah juga menyediakan perumahan dengan harga yang sangat terjangkau bagi warga negara. Kesejahteraan ini adalah kontrak sosial implisit: loyalitas politik dipertukarkan dengan kemakmuran ekonomi yang dijamin negara.
Kuwait City adalah pusat politik, budaya, dan ekonomi negara. Kota ini adalah representasi modernitas Timur Tengah, ditandai dengan gedung pencakar langit kaca dan jalan raya yang luas. Namun, ia juga berhasil mempertahankan beberapa jejak sejarahnya.
Kuwait Towers adalah simbol nasional yang paling dikenal, diresmikan pada tahun 1979. Tiga menara yang elegan ini berfungsi sebagai menara air, restoran, dan dek observasi. Mereka mewakili pembangunan pasca-minyak dan ketahanan negara setelah perusakan yang dialami selama invasi Irak. Desain arsitektur mereka, yang menggabungkan elemen tradisional Arab dengan teknologi modern, telah menjadikannya ikon global.
Berbeda dengan modernitas menara, Souq Mubarakiya menawarkan pengalaman pasar tradisional otentik yang telah ada sejak lebih dari 200 tahun lalu. Souq ini selamat dari Invasi Irak dan telah direnovasi secara hati-hati, mempertahankan struktur dan karakternya. Pengunjung dapat menemukan rempah-rempah, parfum, emas, kurma, kerajinan tangan, dan makanan tradisional Kuwait. Pasar ini menjadi jendela menuju kehidupan Kuwait sebelum minyak, menawarkan kontras yang menarik dengan pusat perbelanjaan mewah di sekitarnya.
Infrastruktur jalan raya Kuwait sangat maju, mencerminkan kepemilikan mobil yang tinggi per kapita. Proyek infrastruktur utama telah menjadi fokus Visi 2035, yang paling menonjol adalah Jembatan Sheikh Jaber Al-Ahmad, salah satu jembatan laut terpanjang di dunia. Jembatan ini secara dramatis mengurangi waktu tempuh ke wilayah utara negara, membuka peluang pembangunan di daerah Subiya.
Kuwait International Airport (KWI) juga sedang menjalani ekspansi besar-besaran, termasuk pembangunan Terminal 2 yang dirancang oleh arsitek terkemuka Foster + Partners. Ekspansi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penumpang secara signifikan, menegaskan kembali posisi Kuwait sebagai penghubung regional.
Kuwait sebagian besar adalah dataran gurun yang datar, dengan titik tertinggi hanya sedikit di atas permukaan laut. Ia memiliki iklim gurun yang ekstrem. Musim panasnya terkenal sebagai salah satu yang terpanas di dunia, dengan suhu rutin melebihi 45°C, dan terkadang mendekati 50°C. Curah hujan sangat minim, yang menciptakan tantangan besar dalam hal pasokan air.
Kurangnya sumber air tawar alami (kecuali beberapa oase kecil) membuat Kuwait sangat bergantung pada desalinasi air laut. Desalinasi adalah proses yang sangat intensif energi, menghubungkan langsung konsumsi air negara dengan produksi energi dan emisi karbonnya. Pabrik-pabrik desalinasi adalah infrastruktur vital yang menjamin kelangsungan hidup populasi.
Kuwait mengklaim sembilan pulau lepas pantai, yang paling penting adalah Bubiyan (terbesar), Failaka, dan Warbah. Pulau Bubiyan adalah fokus pembangunan utama di bawah Visi 2035, dengan rencana untuk menjadikannya pusat logistik dan perdagangan regional. Pulau Failaka memiliki nilai sejarah yang signifikan, menjadi situs pemukiman kuno yang berasal dari peradaban Dilmun.
Warisan lingkungan terberat Kuwait datang dari Invasi Irak, ketika sumur-sumur minyak dibakar dan melepaskan jutaan ton jelaga ke atmosfer dan menciptakan "danau minyak" di gurun. Meskipun pemulihan dilakukan, polusi tanah dan air tetap menjadi masalah jangka panjang di beberapa area.
Saat ini, tantangan utama lingkungan meliputi polusi udara (akibat emisi kendaraan dan industri minyak), pengelolaan limbah yang tidak memadai, dan dampak perubahan iklim global, terutama kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang mengancam daerah pesisir dataran rendah. Pemerintah telah berinvestasi dalam proyek energi terbarukan, termasuk rencana untuk mencapai 15% dari kebutuhan listrik dari sumber terbarukan pada masa depan, meskipun kemajuannya lambat.
Kuwait dikenal karena kebijakan luar negerinya yang hati-hati dan netral. Setelah menderita invasi, negara ini sangat menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan penyelesaian konflik secara damai. Kuwait sering bertindak sebagai mediator yang efektif di antara negara-negara Arab yang berselisih, memanfaatkan kekayaan finansialnya dan reputasinya sebagai mitra yang andal.
Kuwait adalah anggota aktif Dewan Kerjasama Teluk (GCC), Liga Arab, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam GCC, Kuwait telah menjadi suara moderat, sering mencoba menjembatani perpecahan, seperti yang terlihat dalam upaya mediasi yang dipimpin Emir selama krisis diplomatik Qatar.
Hubungan Kuwait dengan Amerika Serikat dan Inggris tetap menjadi fondasi kebijakan pertahanannya sejak Operasi Badai Gurun. Kuwait menampung pangkalan militer AS yang signifikan dan berpartisipasi dalam latihan militer gabungan, memastikan bahwa kedaulatannya dilindungi di wilayah yang volatile.
Dalam konteks regional, hubungan dengan Irak telah dinormalisasi secara bertahap, meskipun sengketa perbatasan, khususnya yang melibatkan pulau-pulau di dekat mulut Shatt al-Arab, tetap menjadi isu sensitif yang memerlukan negosiasi berkelanjutan. Perbatasan darat yang panjang dengan Arab Saudi juga merupakan hubungan vital, baik secara ekonomi maupun keamanan.
Meskipun ukurannya kecil, Kuwait adalah salah satu donor bantuan pembangunan dan kemanusiaan terbesar di dunia relatif terhadap PDB-nya. Kuwait Fund for Arab Economic Development (KFAED), didirikan pada tahun 1961, memberikan pinjaman dan bantuan lunak untuk proyek-proyek di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Peran kemanusiaan Kuwait diakui secara internasional, bahkan PBB pernah menobatkan mantan Emir, Sheikh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah, sebagai "Pemimpin Kemanusiaan Global."
Sektor keuangan Kuwait adalah salah satu yang paling mapan di Teluk. Bank Sentral Kuwait (CBK) mengawasi industri perbankan yang stabil. Kuwait memiliki beberapa bank komersial terkemuka yang beroperasi di kawasan tersebut, termasuk National Bank of Kuwait (NBK), yang merupakan institusi keuangan terdepan dalam hal aset dan kapitalisasi pasar.
Meskipun ada upaya diversifikasi, pasar modal Kuwait masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang terkait dengan energi atau properti. Bursa Saham Kuwait (Boursa Kuwait) telah mengalami modernisasi yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir, termasuk restrukturisasi menjadi entitas swasta dan adopsi standar regulasi yang lebih ketat, yang membantu meningkatkan likuiditas dan transparansi.
Pengembangan keuangan syariah (Islamic finance) juga merupakan sektor yang berkembang pesat di Kuwait. Beberapa bank Islam besar beroperasi, memberikan alternatif pendanaan dan investasi yang sesuai dengan prinsip Syariah, seperti Kuwait Finance House (KFH).
Sebagian besar visi ekonomi jangka panjang Kuwait terpusat pada Proyek Pembangunan Utara, sering disebut sebagai "Gerbang Sutra" (Silk City). Rencana ambisius ini melibatkan pembangunan sebuah kota baru di Subiya yang akan mencakup zona ekonomi bebas, pusat inovasi, dan kawasan perumahan modern. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan lokasi geografis Kuwait yang strategis—di antara Irak, Iran, dan Arab Saudi—untuk menjadi hub perdagangan yang menghubungkan Asia dan Eropa.
Proyek ini mencakup pembangunan Pelabuhan Mubarak Al-Kabeer, yang dirancang untuk menjadi pelabuhan peti kemas utama yang mengurangi ketergantungan regional pada pelabuhan di Emirat dan Bahrain. Keberhasilan Gerbang Sutra sangat bergantung pada stabilitas regional dan keberhasilan reformasi birokrasi domestik.
Tantangan terbesar yang dihadapi Kuwait adalah kebutuhan untuk melaksanakan reformasi fiskal yang sulit. Anggaran negara sangat bergantung pada harga minyak. Selain itu, porsi pengeluaran publik yang besar dialokasikan untuk gaji dan subsidi, yang menciptakan beban struktural. Usulan untuk memotong subsidi, memperkenalkan pajak pertambahan nilai (PPN), atau mengenakan pajak penghasilan telah berulang kali terhambat oleh oposisi keras dari Majlis Al-Umma, yang takut akan dampak pada standar hidup warga.
Hubungan yang tegang antara eksekutif dan legislatif sering memperlambat pengambilan keputusan ekonomi yang krusial, seperti privatisasi atau pembangunan infrastruktur vital, menciptakan siklus ketidakstabilan kabinet dan pembubaran parlemen yang menunda implementasi Visi 2035.
Mengingat iklim gurun yang ekstrem, ketahanan air dan pangan adalah prioritas keamanan nasional. Kuwait berinvestasi dalam teknologi irigasi canggih, meskipun sebagian besar kebutuhan pangan tetap diimpor. Dalam hal air, desalinasi merupakan garis pertahanan pertama. Pemerintah terus mencari cara untuk mengelola sumber daya air secara lebih efisien, termasuk penggunaan air limbah daur ulang untuk tujuan non-konsumsi, seperti irigasi lanskap.
Investasi dalam akuisisi lahan pertanian di luar negeri (seperti di Sudan atau Asia Tenggara) juga merupakan strategi untuk menjamin pasokan pangan yang stabil, memitigasi risiko dari gangguan rantai pasokan global.
Kuwait memiliki sejarah panjang dalam dukungan terhadap seni visual. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Kuwait menjadi pusat kebudayaan regional, menarik seniman dan intelektual dari seluruh dunia Arab. Museum Seni Modern Kuwait dan Museum Nasional Kuwait (meskipun mengalami kerusakan besar saat invasi) adalah institusi penting yang menampilkan karya seni tradisional dan kontemporer.
Arsitektur Kuwait mencerminkan perjuangan antara modernitas dan tradisi. Sementara gedung pencakar langit mengikuti tren Barat, banyak bangunan publik dan masjid utama menggabungkan elemen desain Islam dan material lokal. Misalnya, Grand Mosque (Masjid Agung) di Kuwait City adalah contoh menakjubkan dari arsitektur Islam kontemporer yang dihiasi kaligrafi dan mozaik yang rumit.
Pembangunan Pusat Kebudayaan Sheikh Jaber Al-Ahmad, yang dibuka pada tahun 2016, menandai kembalinya investasi besar-besaran Kuwait dalam budaya. Kompleks ini, yang dijuluki 'The Kuwait Opera House', adalah salah satu pusat kebudayaan terbesar di Timur Tengah, menyelenggarakan pertunjukan seni, musik klasik, teater, dan konferensi. JACC merupakan manifestasi nyata dari aspirasi Kuwait untuk menjadi pusat budaya regional yang vital.
Dibandingkan dengan negara-negara Teluk lainnya, media di Kuwait relatif bebas, meskipun tunduk pada batasan tertentu terkait kritik terhadap Emir atau isu agama. Pers Kuwait yang dinamis dan kehadiran media sosial yang kuat memastikan adanya debat publik yang berkelanjutan mengenai kebijakan pemerintah dan isu-isu sosial.
Sastra Kuwait juga menonjol, dengan penulis-penulis seperti Ismail Fahd Ismail dan Laila Al Othman yang mendapatkan pengakuan internasional, seringkali membahas ketegangan antara modernitas dan tradisi serta isu-isu peran perempuan dalam masyarakat.
Sistem hukum Kuwait adalah campuran antara hukum sipil berbasis tradisi Prancis/Mesir dan prinsip-prinsip Syariah (hukum Islam), terutama dalam hal hukum status pribadi (perkawinan, warisan, dan perceraian). Pengadilan terbagi menjadi pengadilan sipil, yang menangani sebagian besar kasus komersial dan pidana, dan pengadilan Syariah, yang khusus menangani masalah keluarga bagi Muslim.
Pemerintah Kuwait memiliki komitmen untuk memperkuat independensi yudisial, yang dianggap penting untuk menarik investasi asing dan memastikan kepastian hukum. Namun, proses peradilan, terutama yang melibatkan sengketa komersial atau kasus tenaga kerja asing, terkadang lambat dan rumit.
Hukum Kewarganegaraan Kuwait adalah salah satu yang paling ketat di dunia. Kewarganegaraan didasarkan pada prinsip jus sanguinis (hak darah), yang berarti bahwa kewarganegaraan umumnya diturunkan dari ayah Kuwait. Akuisisi kewarganegaraan oleh naturalisasi sangat jarang dan sangat diatur, yang merupakan faktor utama di balik isu Bidoon. Pemerintah sangat menjaga status kewarganegaraan ini karena ia menentukan akses penuh terhadap jaringan keamanan sosial dan kekayaan minyak negara.
Sebagai eksportir hidrokarbon utama, Kuwait menghadapi tantangan ganda terkait perubahan iklim: perlunya mempertahankan ekspor minyak sambil mengurangi jejak karbon domestik. Subsidi besar untuk listrik dan bahan bakar telah mendorong tingkat konsumsi energi domestik yang sangat tinggi, salah satu yang tertinggi di dunia per kapita.
Pemerintah menyadari bahwa menghentikan subsidi energi adalah langkah politik yang sangat sulit tetapi perlu untuk mendorong efisiensi energi. Upaya diarahkan pada peningkatan efisiensi pembangkit listrik dan eksplorasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), sebuah solusi yang memungkinkan mereka terus mengeksploitasi sumber daya hidrokarbon sambil mengurangi emisi.
Meskipun memiliki minyak, Kuwait juga harus memastikan keamanan energi domestiknya. Salah satu strategi adalah menggunakan gas alam (terutama gas terkait yang diproduksi sebagai produk sampingan minyak) dan gas yang diimpor (melalui fasilitas regasifikasi LNG) untuk pembangkit listrik, sehingga lebih banyak minyak mentah yang dapat diekspor. Investasi dalam energi surya dan angin, meskipun masih kecil, menandai pergeseran bertahap menuju portofolio energi domestik yang lebih seimbang.
Kuwait tetap menjadi pemain global yang kompleks, sebuah negara kecil yang berjuang untuk menyeimbangkan antara warisan gurun dan tuntutan modernitas, antara kekayaan minyak yang tak terbatas dan perlunya keberlanjutan masa depan. Melalui institusi politiknya yang unik dan kekuatan finansialnya, Kuwait terus menavigasi geopolitik yang bergejolak, mempertahankan posisinya sebagai negara makmur dan berpengaruh di jantung Timur Tengah.