Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem paling unik dan krusial di dunia, khususnya di wilayah tropis seperti Indonesia. Ekosistem ini bukan sekadar tanah basah biasa; ia adalah gudang karbon raksasa yang terbentuk dari akumulasi material organik yang tidak terurai secara sempurna selama ribuan tahun. Pemahaman komprehensif mengenai mekanisme pembentukan, fungsi hidrologi, dan peran iklim global dari lahan gambut menjadi sangat penting, terutama mengingat laju kerusakan yang masif akibat aktivitas manusia.
Ekosistem gambut menutupi sekitar 3% dari total luas daratan global, namun perannya dalam siklus biogeokimia jauh melampaui proporsi luasan tersebut. Di Indonesia, lahan gambut tersebar luas, terutama di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Keberadaannya membentuk bentang alam yang khas dan menopang keanekaragaman hayati unik yang telah beradaptasi dengan kondisi air yang asam dan miskin nutrisi. Sayangnya, lahan gambut tropis adalah ekosistem yang rapuh dan sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan, terutama perubahan ketinggian muka air.
Secara definitif, lahan gambut atau peatland adalah ekosistem daratan basah yang dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang sangat kaya material organik. Lapisan ini dikenal sebagai gambut, yang tersusun dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi dan terawetkan dalam kondisi jenuh air dan anaerobik (tanpa oksigen). Kriteria internasional sering kali mensyaratkan kedalaman minimal lapisan gambut untuk diklasifikasikan sebagai lahan gambut, biasanya melebihi 30 hingga 50 sentimeter.
Pembentukan gambut adalah proses geologis dan ekologis yang sangat lambat. Berbeda dengan tanah mineral yang terbentuk dari pelapukan batuan, gambut terbentuk dari sisa-sisa vegetasi, seperti batang, daun, akar, dan lumut (terutama Sphagnum di zona boreal). Di wilayah tropis, seperti Indonesia, pembentuk utama gambut adalah pohon dan vegetasi hutan rawa gambut.
Kunci dari proses ini adalah kondisi hidrologi yang konstan: kejenuhan air permanen. Ketika sisa-sisa tanaman jatuh ke tanah, air menghambat masuknya oksigen ke dalam lapisan tanah. Tanpa oksigen, aktivitas mikroorganisme dekomposer—yang bertanggung jawab untuk mengurai materi organik menjadi karbon dioksida—menjadi sangat terbatas. Akibatnya, proses pembusukan terhenti, dan materi organik terakumulasi perlahan. Kecepatan akumulasi gambut sangat rendah, diperkirakan hanya bertambah 1 hingga 5 milimeter setiap tahunnya, yang berarti lapisan gambut setebal 10 meter membutuhkan waktu ribuan hingga puluhan ribu tahun untuk terbentuk.
Lahan gambut di Indonesia umumnya diklasifikasikan berdasarkan sumber air dan morfologinya:
Karakteristik gambut sangat berbeda dari tanah mineral. Pemahaman terhadap sifat-sifat ini menjelaskan mengapa kerusakan pada gambut memiliki dampak yang sangat besar:
Diagram profil lahan gambut sehat yang tergenang air, menunjukkan pentingnya muka air tanah yang tinggi untuk mempertahankan kondisi anaerobik dan mencegah pelepasan karbon.
Peran lahan gambut jauh melampaui sekadar hamparan lahan basah. Ekosistem ini menyediakan serangkaian jasa ekosistem (ecosystem services) yang sangat penting bagi lingkungan lokal, regional, dan stabilitas iklim global. Ada dua fungsi utama yang paling menonjol: regulator hidrologi dan penyimpan karbon.
Lahan gambut tropis, meskipun hanya menempati sebagian kecil dari permukaan bumi, menyimpan sejumlah besar karbon organik. Secara global, gambut diperkirakan menyimpan sekitar 500 hingga 700 gigaton karbon, jumlah ini setara dengan hampir setengah dari seluruh karbon yang ada di atmosfer saat ini, atau lebih banyak dari karbon yang tersimpan di seluruh biomassa hutan lainnya di dunia, termasuk hutan hujan Amazon.
Proses penyimpanan karbon di gambut adalah hasil langsung dari pembentukan gambut itu sendiri: akumulasi biomassa yang lambat dan terhenti. Selama ribuan tahun, ekosistem gambut telah bertindak sebagai penyerap karbon bersih. Tumbuhan menyerap CO2 melalui fotosintesis, dan ketika mati, karbon tersebut tidak kembali ke atmosfer karena kondisi anaerobik. Karbon ini efektif tersimpan di dalam tanah dalam bentuk gambut hingga waktu yang tidak terbatas, asalkan kondisi jenuh air tetap terjaga.
Apabila lahan gambut dikeringkan—misalnya melalui pembuatan kanal drainase—oksigen masuk ke dalam lapisan gambut yang semula terawetkan. Masuknya oksigen memicu aktivitas mikroba aerobik (yang membutuhkan oksigen). Mikroba ini mulai menguraikan materi organik yang kaya karbon, melepaskannya kembali ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan, dalam kondisi tertentu, metana (CH4). Proses ini disebut oksidasi gambut. Laju oksidasi ini sangat tinggi dan menjadikan lahan gambut yang dikeringkan sebagai sumber emisi gas rumah kaca yang sangat signifikan, melebihi emisi dari sebagian besar industri atau sektor transportasi.
Fungsi hidrologi lahan gambut seringkali disebut sebagai "spons raksasa." Kubah gambut (ombrogen) bertindak sebagai reservoir air alami yang luar biasa, menjaga ketersediaan air di sekitarnya, terutama selama musim kemarau. Lahan gambut menyerap air hujan secara perlahan-lahan dan melepaskannya kembali ke sungai dan aliran air dengan laju yang teratur. Ini memberikan dua manfaat ekologis utama:
Kerusakan hidrologi, melalui pembuatan kanal drainase, merusak sistem ini sepenuhnya. Kanal berfungsi memotong kubah gambut, mempercepat pengeringan, dan membuat lahan gambut kehilangan kemampuannya untuk menahan air. Air yang seharusnya tersimpan kini cepat terlepas, menyebabkan banjir besar di musim hujan dan kekeringan ekstrem (dan kerentanan kebakaran) di musim kemarau.
Meskipun kondisi gambut yang asam, miskin nutrisi, dan jenuh air tampak tidak ramah, ia menopang komunitas flora dan fauna yang sangat terspesialisasi dan endemik. Hutan rawa gambut di Indonesia adalah habitat penting bagi spesies langka dan terancam punah. Adaptasi unik telah berkembang untuk mengatasi kekurangan nutrisi, misalnya melalui pertumbuhan pohon yang lambat dan sistem perakaran yang dangkal tetapi luas untuk menjaga stabilitas di atas lapisan gambut yang lembek.
Spesies kunci yang bergantung pada ekosistem ini antara lain adalah Orangutan Sumatera dan Kalimantan, Harimau Sumatera, beberapa jenis Ikan Air Hitam (blackwater fish) yang khas, serta flora seperti Ramin (Gonystylus bancanus) dan Jelutung (Dyera costulata). Kerusakan gambut berarti hilangnya habitat yang tidak dapat digantikan, mendorong spesies-spesies ini menuju ambang kepunahan.
Meskipun memiliki nilai ekologis yang tak ternilai, lahan gambut tropis menghadapi tekanan yang sangat intens dari aktivitas ekonomi. Ancaman terbesar adalah konversi lahan dan modifikasi hidrologi yang mendasar, yang menyebabkan pengeringan dan pada akhirnya, kerentanan terhadap kebakaran.
Ancaman terbesar terhadap gambut adalah upaya untuk mengubahnya menjadi lahan produktif, terutama untuk perkebunan monokultur skala besar seperti kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan Akasia (bahan baku pulp dan kertas). Tanaman industri ini tidak toleran terhadap kondisi jenuh air yang menjadi ciri khas gambut sehat.
Untuk menanam tanaman ini, dilakukan pembangunan jaringan kanal drainase yang rumit. Tujuannya adalah menurunkan muka air tanah (MAT) hingga di bawah zona perakaran tanaman, biasanya 40 hingga 80 cm di bawah permukaan. Penurunan muka air ini memiliki konsekuensi fatal:
Ketika lahan gambut dikeringkan, ia berubah dari media yang tahan api menjadi bahan bakar yang sangat mudah terbakar. Gambut kering memiliki kandungan bahan organik yang padat dan berfungsi seperti briket. Kebakaran di atas lahan mineral hanya membakar biomassa di permukaan, tetapi kebakaran gambut adalah kebakaran bawah permukaan (sub-surface peat fire).
Kebakaran gambut sangat sulit dipadamkan karena api membakar lapisan gambut yang dalam, seringkali menyebar secara horizontal di bawah permukaan tanah tanpa terlihat. Api ini dapat bertahan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, terutama selama periode El Niño yang kering dan berkepanjangan.
Kebakaran gambut melepaskan jumlah asap (kabut asap atau haze) yang sangat besar, mengandung partikel halus (PM2.5) dan berbagai gas beracun (CO, CH4). Kabut asap ini tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan masyarakat di Indonesia (menyebabkan ISPA), tetapi juga melintasi batas negara, mempengaruhi negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, menjadikannya masalah transnasional.
Dari sisi iklim, kebakaran gambut tropis adalah salah satu sumber emisi karbon terbesar dalam waktu singkat. Selama peristiwa kebakaran hebat, seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998, 2015, dan 2019, emisi karbon dari Indonesia dilaporkan melebihi emisi tahunan seluruh negara industri besar lainnya, menunjukkan betapa berbahayanya kerusakan ekosistem ini bagi upaya mitigasi perubahan iklim global.
Ilustrasi lahan gambut yang mengalami pengeringan akibat kanal drainase. Rendahnya muka air tanah menyebabkan gambut menjadi rentan terbakar di bawah permukaan, melepaskan kabut asap dan emisi karbon yang masif.
Mengingat peran kritikal gambut dalam mitigasi perubahan iklim dan bencana, upaya untuk menghentikan kerusakan dan merestorasi ekosistem yang telah terdegradasi menjadi prioritas utama lingkungan di Indonesia. Strategi restorasi harus bersifat holistik, menggabungkan aspek hidrologi, ekologi, dan sosial-ekonomi.
Pemerintah Indonesia, melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), mengadopsi pendekatan restorasi yang dikenal sebagai 3R:
Rewetting adalah langkah awal dan paling fundamental. Tujuannya adalah mengembalikan muka air tanah ke level yang mendekati kondisi alami (ideal), yaitu sedekat mungkin dengan permukaan gambut, untuk menghentikan oksidasi dan mencegah kebakaran. Teknik utama dalam rewetting adalah penyekatan kanal (canal blocking).
Penyekatan kanal melibatkan pembangunan bendungan atau sekat permanen maupun semi-permanen di kanal-kanal drainase yang ada. Sekat ini berfungsi menahan laju aliran air keluar, memaksa air meresap kembali ke dalam badan kubah gambut, dan menaikkan muka air tanah. Penyekatan harus direncanakan secara strategis, memperhitungkan elevasi kubah gambut, curah hujan, dan kebutuhan air masyarakat atau perkebunan di sekitarnya. Tantangan besar dalam rewetting adalah subsidence; karena permukaan gambut yang turun, banyak area yang sulit dibasahi kembali tanpa membangun infrastruktur air yang sangat kompleks.
Setelah kondisi hidrologi membaik dan potensi kebakaran berkurang, langkah selanjutnya adalah revegetasi. Tujuannya adalah mengembalikan fungsi ekologis hutan rawa gambut yang asli. Penanaman kembali tidak boleh menggunakan tanaman monokultur yang rakus air, melainkan spesies lokal yang adaptif terhadap kondisi asam dan genangan air, seperti Ramin, Jelutung, atau Punak.
Proses revegetasi membutuhkan perhatian khusus karena tingkat keasaman dan nutrisi gambut yang rendah. Seringkali diperlukan penanaman pendahuluan (pioneer species) untuk memperbaiki mikro-lingkungan sebelum spesies hutan utama dapat ditanam. Keberhasilan revegetasi jangka panjang sangat bergantung pada stabilisasi muka air tanah. Jika gambut kembali kering, benih dan tanaman muda akan mati atau menjadi bahan bakar bagi kebakaran berikutnya.
Restorasi ekologis tidak akan berkelanjutan tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat lokal. Revitalisasi mata pencaharian bertujuan menyediakan alternatif ekonomi yang ramah gambut (peat-friendly), sehingga masyarakat tidak bergantung pada praktik perusakan (seperti pembukaan lahan dengan cara membakar atau drainase untuk perkebunan monokultur).
Contoh kegiatan revitalisasi meliputi: pengembangan budidaya tanaman lokal yang cocok di lahan basah (misalnya Sagu, Nenas, Purun), perikanan yang berkelanjutan, atau agroforestri berbasis komoditas non-kayu. Pendekatan ini memastikan bahwa restorasi bukan hanya proyek lingkungan, tetapi juga investasi sosial yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan gambut.
Indonesia telah mengeluarkan sejumlah regulasi penting untuk melindungi lahan gambut. Salah satu kebijakan paling krusial adalah larangan pembukaan lahan gambut baru untuk perkebunan dan larangan pembakaran. Secara hukum, kebijakan saat ini menggariskan bahwa lahan gambut, terutama yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter, harus dikategorikan sebagai fungsi lindung (konservasi) dan tidak boleh dikonversi.
Selain itu, regulasi mewajibkan pemegang konsesi untuk menjaga tinggi muka air tanah di dalam areal konsesinya agar tidak melebihi batas toleransi kering (misalnya, di atas 40 cm dari permukaan). Implementasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran, khususnya yang menyebabkan kebakaran, menjadi kunci keberhasilan perlindungan lahan gambut di masa depan.
Untuk memahami sepenuhnya urgensi perlindungan lahan gambut, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai kapasitas penyimpanan karbonnya dan dampak emisi yang dilepaskan ketika ekosistem ini terdegradasi. Kapasitas ini tidak hanya berhubungan dengan iklim, tetapi juga dengan geologi dan kimia tanah yang unik.
Massa karbon yang tersimpan di bawah permukaan gambut sangatlah padat. Sebagai perbandingan, rata-rata hutan hujan tropis di tanah mineral menyimpan sekitar 250 ton karbon per hektar (sebagian besar di biomassa di atas permukaan). Sementara itu, satu hektar lahan gambut tropis yang tebal (misalnya 5-8 meter) dapat menyimpan antara 1.000 hingga 3.000 ton karbon per hektar. Perbedaan ini menunjukkan mengapa hilangnya lahan gambut memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap emisi global dibandingkan deforestasi hutan mineral biasa.
Ketika hutan di tanah mineral ditebang, sebagian besar emisi dilepaskan dalam waktu singkat (saat biomassa dibakar atau membusuk). Namun, di lahan gambut yang dikeringkan, pelepasan karbon adalah proses yang berkelanjutan dan berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun selama gambut terus teroksidasi. Bahkan tanpa kebakaran, gambut yang dikeringkan akan terus-menerus memancarkan CO2 ke atmosfer selama kanal drainase berfungsi, menciptakan "bom waktu" emisi jangka panjang.
Meskipun CO2 adalah gas rumah kaca utama yang dilepaskan dari gambut yang teroksidasi, ekosistem gambut yang sehat (jenuh air) juga merupakan sumber alami dari metana (CH4). Metana dihasilkan oleh mikroorganisme metanogen dalam kondisi anaerobik yang ketat.
Metana memiliki potensi pemanasan global (GWP) sekitar 28 kali lebih kuat daripada CO2 dalam rentang waktu 100 tahun. Dalam gambut sehat, emisi metana terjadi, tetapi ini diimbangi oleh sekuestrasi CO2 yang jauh lebih besar. Namun, ketika gambut dikeringkan, emisi CH4 dapat berkurang, tetapi pengurangan ini dikalahkan oleh emisi CO2 yang sangat besar akibat oksidasi. Oleh karena itu, dari perspektif iklim, mempertahankan kondisi jenuh air sangat penting untuk menjaga keseimbangan karbon bersih di ekosistem gambut.
Upaya restorasi lahan gambut di Indonesia mencakup jutaan hektar yang tersebar di banyak pulau, menghadapi berbagai tantangan teknis, sosial, dan finansial yang kompleks. Keberhasilan restorasi memerlukan komitmen jangka panjang dan inovasi dalam teknologi dan tata kelola.
Restorasi hidrologi adalah yang paling sulit. Kubah gambut seringkali terpotong oleh kanal-kanal yang sangat panjang dan lebar, yang telah dibangun selama puluhan tahun. Menyekat kanal-kanal ini seringkali menghadapi resistensi dari pengguna lahan hilir yang masih membutuhkan drainase, atau tantangan teknis karena topografi yang sudah mengalami penurunan drastis (subsidence).
Banyak lahan gambut yang terdegradasi berada di dalam atau berbatasan dengan area konsesi perusahaan (HTI, HGU) atau kawasan penggunaan lain yang dikelola oleh masyarakat. Konflik kepentingan antara tujuan konservasi/restorasi dan kepentingan ekonomi jangka pendek perusahaan menjadi hambatan serius.
Pemerintah perlu memperjelas batas-batas kawasan lindung gambut dan memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di area gambut wajib mematuhi standar tinggi pengelolaan air. Di area yang tumpang tindih, negosiasi dan fasilitasi antara BRGM, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan sektor swasta menjadi sangat penting untuk mencapai kesepakatan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Restorasi gambut adalah upaya yang sangat mahal, tidak hanya dalam pembangunan infrastruktur awal (sekat kanal) tetapi juga dalam biaya pemeliharaan infrastruktur dan program revitalisasi mata pencaharian. Sumber pendanaan seringkali berasal dari APBN, bantuan internasional, dan, semakin hari, melalui mekanisme pembiayaan berbasis pasar seperti Karbon Biru (Blue Carbon) dan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Integrasi restorasi gambut ke dalam mekanisme mitigasi iklim global dan pasar karbon menjadi kunci untuk mendapatkan pendanaan jangka panjang yang diperlukan. Keberlanjutan restorasi tidak hanya diukur dari jumlah sekat yang dibangun, tetapi dari seberapa efektif ekosistem gambut mampu kembali menyerap dan menyimpan karbon secara mandiri.
Perlindungan dan restorasi lahan gambut merupakan bagian integral dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama yang berkaitan dengan aksi iklim (SDG 13), kehidupan di darat (SDG 15), dan air bersih (SDG 6). Kerusakan gambut menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan bencana yang bertentangan langsung dengan agenda pembangunan.
Meskipun gambut secara alami kurang subur untuk tanaman pangan konvensional, pengelolaan air yang bijaksana memungkinkan pengembangan komoditas pangan lokal yang adaptif. Contohnya adalah sagu (Metroxylon sagu), tanaman karbohidrat yang sangat cocok dengan kondisi lahan basah dan memiliki peran penting dalam ketahanan pangan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia Timur.
Alih-alih memaksakan tanaman yang membutuhkan drainase dalam (seperti kelapa sawit), fokus pada sistem agroforestri yang mempertahankan ketinggian muka air yang aman (misalnya, budidaya ikan di parit-parit kecil di antara tanaman) dapat memberikan hasil ekonomi tanpa mengorbankan fungsi ekologis gambut. Ini membutuhkan pergeseran paradigma dari eksploitasi lahan gambut menjadi pemanfaatan jasa ekosistemnya.
Banyak lahan gambut Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, terletak di wilayah pesisir. Ketika kubah gambut di dekat pantai dikeringkan dan mengalami subsidence (penurunan permukaan), permukaan tanah menjadi lebih rendah daripada permukaan laut. Hal ini meningkatkan risiko banjir rob (pasang surut) dan intrusi air laut ke dalam sistem air tawar. Intrusi air laut merusak ekosistem gambut lebih lanjut dan mencemari sumber air minum masyarakat.
Dengan menjaga hidrologi gambut yang sehat dan muka air tanah yang tinggi, lahan gambut pesisir bertindak sebagai penyangga alam, mencegah intrusi air laut dan mempertahankan cadangan air tawar. Restorasi di wilayah pesisir seringkali harus diintegrasikan dengan upaya restorasi mangrove untuk menciptakan zona perlindungan ganda.
Masyarakat adat dan komunitas lokal telah hidup berdampingan dengan ekosistem gambut selama berabad-abad. Mereka mengembangkan sistem pengetahuan tradisional (kearifan lokal) untuk mengelola lahan basah ini secara berkelanjutan, yang kini menjadi kunci keberhasilan restorasi modern.
Berbagai suku di Kalimantan dan Sumatera memiliki praktik tradisional yang menunjukkan pemahaman mendalam tentang hidrologi gambut. Misalnya, praktik pertanian padi di lahan pasang surut yang memanfaatkan fluktuasi air secara alami tanpa perlu drainase dalam. Atau sistem perladangan yang tidak menggunakan api (non-bakar) dan menghormati batas ekologis lahan gambut yang rentan.
Restorasi yang sukses harus bersifat inklusif dan mengakui peran serta pengetahuan masyarakat adat sebagai garda terdepan perlindungan. Program revitalisasi mata pencaharian harus didasarkan pada pengetahuan lokal ini, bukan hanya mengimpor solusi teknis dari luar. Pemberdayaan komunitas lokal sebagai pengawas dan pengelola sekat kanal adalah elemen penting untuk memastikan pemeliharaan infrastruktur rewetting jangka panjang.
Konflik lahan sering kali berakar pada ketidakjelasan batas-batas wilayah adat dan hak kelola. Pengakuan resmi terhadap wilayah kelola masyarakat adat yang berada di kawasan gambut memberikan insentif yang lebih kuat bagi komunitas untuk melindungi lahan tersebut. Masyarakat yang merasa memiliki hak dan tanggung jawab atas lahan cenderung lebih termotivasi untuk menjaga gambut dari praktik-praktik yang merusak.
Kerja sama antara pemerintah, lembaga konservasi, dan organisasi masyarakat adat harus difokuskan pada pemetaan partisipatif dan penegakan hukum adat yang relevan dengan konservasi lahan gambut. Ini memastikan bahwa restorasi tidak hanya memperbaiki ekologi, tetapi juga memperkuat keadilan sosial.
Lahan gambut tropis adalah aset global yang tak ternilai harganya. Mereka memainkan peran yang tak tergantikan dalam penyimpanan karbon, regulasi hidrologi, dan pelestarian keanekaragaman hayati yang khas. Namun, ancaman konversi, drainase, dan kebakaran telah menempatkan ekosistem ini pada titik kritis, mengubahnya dari penyerap karbon menjadi sumber emisi besar yang memperburuk krisis iklim global.
Upaya restorasi di Indonesia, yang berfokus pada pembasahan kembali, revegetasi, dan revitalisasi mata pencaharian, menunjukkan komitmen kuat untuk membalikkan kerusakan ini. Namun, skala tantangan membutuhkan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, sektor swasta, ilmuwan, dan masyarakat lokal. Keberhasilan dalam memulihkan fungsi lahan gambut akan menjadi tolok ukur penting keberhasilan Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim dan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Di masa depan, pengelolaan lahan gambut harus bergerak melampaui sekadar "melindungi dari kebakaran" menjadi "memulihkan fungsi ekosistem penuh." Hal ini mencakup pengembangan sistem ekonomi yang sepenuhnya ramah gambut, yang menghargai air sebagai modal utama, dan memandang karbon yang tersimpan sebagai aset yang tidak boleh dilepaskan. Investasi dalam penelitian hidrologi gambut, pengembangan tanaman pangan lokal yang toleran genangan, dan penguatan kelembagaan di tingkat tapak akan menentukan nasib ekosistem ini untuk generasi mendatang. Lahan gambut bukan hanya tentang tanah; ia adalah tentang air, karbon, dan masa depan iklim global.
Penting untuk terus menekankan bahwa restorasi lahan gambut adalah proses jangka panjang yang memerlukan kesabaran dan sumber daya yang konsisten. Pemulihan lapisan gambut yang telah menyusut atau teroksidasi selama puluhan tahun tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Setiap sekat kanal yang dibangun, setiap bibit pohon lokal yang ditanam, dan setiap program pelatihan mata pencaharian ramah gambut adalah langkah investasi kritis dalam menjaga stabilitas iklim dan ketahanan ekologis Indonesia. Melindungi lahan gambut berarti melindungi paru-paru bumi yang rentan dan menjaga stabilitas ekologis regional. Tanpa gambut yang sehat, risiko bencana alam dan dampak perubahan iklim di wilayah tropis akan meningkat secara eksponensial.
Aksi kolektif dan kebijakan yang tegas, terutama terkait dengan penegakan hukum terhadap praktik drainase ilegal dan konversi di kawasan lindung, akan menjadi penentu utama. Komitmen untuk menjadikan lahan gambut sebagai aset konservasi dan bukan komoditas eksploitasi adalah pergeseran filosofis yang mendasar dan mutlak diperlukan demi kelangsungan hidup ekosistem ini. Program restorasi harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan setiap lapisan masyarakat, dari pemerintah pusat hingga petani di tapak, mengingat betapa besarnya skala dan kerumitan ekosistem yang unik dan vital ini.
Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi dalam memprediksi risiko kekeringan dan kebakaran, serta pengembangan model hidrologi yang lebih akurat untuk memandu rewetting, juga sangat diperlukan. Data yang tepat tentang kedalaman gambut, tingkat dekomposisi, dan komposisi kimia harus diintegrasikan dalam setiap rencana tata ruang regional. Semua ini memastikan bahwa intervensi restorasi didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang kokoh dan berkelanjutan. Lahan gambut adalah cerminan dari tantangan lingkungan global yang kompleks, dan respons kita terhadap ancamannya akan mendefinisikan warisan lingkungan kita.