Lalang, dikenal secara ilmiah sebagai Imperata cylindrica, adalah tumbuhan yang membawa dualitas ekstrem. Di satu sisi, ia diakui sebagai salah satu dari sepuluh gulma terburuk di dunia, mengancam lahan pertanian dan ekosistem alami. Di sisi lain, ia adalah sumber daya penting dalam pengobatan tradisional, konstruksi, dan stabilisasi tanah. Artikel ini mengupas tuntas segala aspek lalang, mulai dari taksonomi botani yang memungkinkannya bertahan hidup, sejarah penyebarannya, hingga strategi pengendalian paling mutakhir dan potensi pemanfaatannya yang belum tereksplorasi secara maksimal.
Ilustrasi Kunci Morfologi Imperata cylindrica
Lalang, yang termasuk dalam famili Poaceae (rumput-rumputan), memiliki nama ilmiah Imperata cylindrica. Tanaman ini dikenal dengan puluhan nama lokal di seluruh dunia, mencerminkan jangkauan geografisnya yang luas. Di Indonesia saja, ia dikenal sebagai alang-alang, kogon (Filipina), dan cogongrass (Inggris) di Amerika Serikat. Keberhasilannya sebagai gulma global bukan kebetulan, melainkan hasil dari adaptasi botani yang luar biasa.
Secara taksonomi, I. cylindrica ditempatkan dalam genus Imperata, yang di dalamnya terdapat sekitar delapan spesies. Namun, I. cylindrica adalah yang paling penting secara ekonomi dan ekologis. Lalang menunjukkan variasi genetik yang signifikan di berbagai wilayah, yang memicu perdebatan mengenai sub-spesies dan varietas. Di Asia Tenggara, varietasnya cenderung lebih tinggi dan lebih agresif dalam produksi rimpang dibandingkan dengan varietas yang ditemukan di Amerika Utara atau Eropa Selatan.
Lalang dibedakan dari rumput lain melalui beberapa ciri khas. Daunnya tegak lurus, seringkali berwarna hijau kekuningan di daerah terbuka, dan memiliki tulang daun tengah (midrib) berwarna putih pucat yang sangat mencolok. Tepi daunnya tajam karena kandungan silika yang tinggi, mekanisme pertahanan yang membuat ternak enggan memakannya. Struktur terpenting adalah sistem akar: rimpang (rhizome).
Rimpang lalang adalah kunci ketangguhannya. Rimpang ini berwarna putih, keras, dan tajam, mampu menembus tanah padat dan bahkan bahan keras seperti plastik pertanian. Mereka dapat tumbuh secara horizontal dengan kecepatan hingga 2 meter per tahun dan menembus kedalaman hingga 1,2 meter. Setiap potongan rimpang, sekecil 1 cm, berpotensi menumbuhkan tanaman baru. Kapasitas regeneratif ini menjadikan lalang hampir mustahil dihilangkan hanya dengan cara pengolahan tanah dangkal.
Lalang bereproduksi melalui dua cara utama, yang keduanya sangat efektif dalam penyebaran cepat.
Lalang menghasilkan perbungaan (panicle) yang khas, tampak seperti bulu-bulu halus berwarna putih perak, seringkali muncul setelah kebakaran atau musim hujan. Setiap perbungaan dapat menghasilkan ribuan biji kecil. Biji ini dilengkapi dengan rambut-rambut halus (pappus), memungkinkannya tersebar jauh oleh angin (anemokori). Masa viabilitas biji biasanya pendek, namun produksi massal biji memastikan kolonisasi cepat lahan terbuka.
Ini adalah metode reproduksi dan bertahan hidup yang paling dominan dan merusak. Rimpang memungkinkan lalang membentuk matras padat di bawah tanah, yang berfungsi sebagai bank energi cadangan. Matras ini menyimpan karbohidrat dan nutrisi, memungkinkan tanaman untuk pulih dengan cepat setelah dipangkas, dibakar, atau disemprot. Kepadatan rimpang dapat mencapai 20 ton per hektar, menciptakan persaingan hebat dengan tanaman budidaya.
Lalang diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan Asia Timur. Melalui perdagangan dan pergerakan manusia kuno, ia menyebar ke seluruh wilayah tropis dan subtropis dunia. Penyebaran ini difasilitasi oleh kontaminasi material penanaman, pengangkutan tanah ballast kapal, dan sengaja dibawa sebagai tanaman penutup atau pakan ternak di beberapa kasus awal.
Meskipun namanya paling sering dikaitkan dengan Asia Tenggara (di mana ia dianggap endemik), kehadirannya kini mencakup lebih dari 70 negara. Ia telah menjadi masalah serius di Amerika Serikat (khususnya negara-negara bagian selatan seperti Florida, Alabama, dan Mississippi), Afrika Barat, Australia, dan kawasan Mediterania.
Di Amerika Serikat, I. cylindrica diperkenalkan pada awal abad ke-20, diduga sebagai bahan pengepakan atau sengaja ditanam sebagai tanaman penahan erosi. Kesalahan fatal ini kini memerlukan biaya pengendalian jutaan dolar setiap tahun.
Keragaman nama lokal lalang menunjukkan betapa eratnya tanaman ini terjalin dengan kehidupan masyarakat setempat, baik sebagai ancaman maupun sumber daya:
Di banyak budaya, keberadaan lalang di ladang adalah simbol kemiskinan tanah dan pengabaian. Sebuah ladang yang ditumbuhi lalang secara total seringkali dianggap sebagai lahan yang 'mati' untuk pertanian intensif, yang memerlukan upaya pemulihan masif.
Peran lalang dalam ekosistem sangat kontroversial. Ia adalah tanaman pionir yang sangat efektif, mampu dengan cepat mengkolonisasi lahan yang terdegradasi, tererosi, atau yang baru dibuka. Namun, strategi ini membawa konsekuensi negatif yang serius terhadap biodiversitas dan siklus api alami.
Lalang dikenal sebagai "rumput api" (fire grass) karena kandungan silika dan minyak esensialnya. Daun lalang yang kering sangat mudah terbakar dan menghasilkan panas yang sangat tinggi. Lalang memanfaatkan api sebagai senjata ekologis:
Di wilayah konservasi, dominasi lalang mengubah struktur habitat, mengurangi keragaman spesies tanaman asli, dan mengancam hewan yang bergantung pada ekosistem hutan atau padang rumput yang berbeda.
Meskipun lalang mampu menahan erosi berkat matras rimpangnya yang padat, kehadirannya seringkali merupakan indikator tanah yang sudah terdegradasi. Lalang tumbuh subur di tanah miskin nitrogen, asam, dan berkadar fosfor rendah. Namun, begitu ia mendominasi, matras rimpang yang terlalu tebal dapat menghambat infiltrasi air dan mempersulit penanaman pohon atau tanaman penutup lainnya, memperparah masalah degradasi jangka panjang.
Terlepas dari reputasinya sebagai gulma perusak, lalang telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat tradisional di Asia dan Afrika selama berabad-abad. Pemanfaatan ini berpusat pada bagian atas (daun dan batang) dan bagian bawah (rimpang).
Daun lalang yang telah dikeringkan memiliki sifat yang sangat baik sebagai bahan atap (jerami) karena kuat, ringan, dan tahan air jika diikat dengan benar. Atap lalang (atap ilalang) adalah pemandangan umum di desa-desa Asia Tenggara, memberikan isolasi termal yang baik. Selain itu:
Di daerah yang sangat rawan longsor atau erosi parah (seperti tepi jalan atau tebing yang curam), lalang sering ditanam sebagai solusi darurat. Kepadatan rimpangnya yang luar biasa efektif menahan partikel tanah, menjadikannya agen penahan erosi biologis yang handal. Penggunaan ini, bagaimanapun, harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak terjadi penyebaran ke area pertanian yang berdekatan.
Pemanfaatan lalang dalam pengobatan tradisional, terutama di Tiongkok, Jepang, dan seluruh Asia Tenggara, adalah yang paling menonjol. Bagian yang paling sering digunakan adalah rimpangnya, yang dikenal sebagai Bai Mao Gen dalam Pengobatan Tradisional Tiongkok (TCM).
Penelitian modern telah mengidentifikasi berbagai senyawa aktif dalam rimpang lalang, yang sebagian besar berkontribusi pada sifat diuretik, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan anti-inflamasi:
Senyawa-senyawa ini bekerja sinergis untuk menghasilkan efek pendinginan (cooling effect) yang sangat dicari dalam pengobatan herbal untuk mengatasi kondisi 'panas' atau radang dalam tubuh.
Rimpang lalang digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penggunaannya umumnya melibatkan perebusan rimpang kering atau segar untuk diminum sebagai teh atau sup obat.
Ini adalah penggunaan lalang yang paling umum dan diakui. Rimpang digunakan untuk membersihkan panas dan mendorong buang air kecil. Ini efektif untuk mengobati:
Lalang secara tradisional digunakan untuk mengontrol berbagai jenis pendarahan, termasuk mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis), dan pendarahan internal (misalnya, pada saluran pencernaan atau saat batuk). Sifatnya yang sejuk membantu menenangkan kondisi yang diasosiasikan dengan "panas darah" dalam terminologi TCM.
Dalam kasus demam tinggi yang disertai rasa haus yang intens, rimpang lalang direbus untuk diminum sebagai minuman pendingin yang membantu rehidrasi dan menurunkan suhu tubuh secara bertahap. Hal ini relevan dalam pengobatan demam tropis ringan.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa penggunaan lalang sebagai obat herbal harus dilakukan di bawah pengawasan ahli, dan penelitian klinis lebih lanjut masih diperlukan untuk memvalidasi sepenuhnya efektivitas dan dosis yang aman.
Di sisi negatifnya, lalang diakui oleh CABI (Centre for Agriculture and Bioscience International) sebagai salah satu dari sepuluh gulma terburuk di dunia. Kerusakan ekonomi yang ditimbulkannya pada tanaman budidaya tropis dan subtropis, seperti kelapa sawit, karet, tebu, dan jagung, sangat besar.
Lalang merusak pertanian melalui beberapa mekanisme yang saling terkait:
Matras rimpang yang padat memungkinkan lalang menyerap nutrisi dan air dari lapisan tanah atas secara intensif, menyebabkan kelaparan nutrisi pada tanaman budidaya yang akarnya lebih dangkal. Lalang juga efisien dalam menggunakan air, membuatnya bertahan dalam kondisi kering yang mematikan bagi tanaman komersial.
Lalang memproduksi senyawa alelopati (zat kimia penghambat) yang dilepaskan ke tanah, secara aktif menghambat perkecambahan dan pertumbuhan bibit tanaman lain di sekitarnya. Senyawa seperti asam ferulat dan asam p-hidroksibenzoat telah diidentifikasi sebagai penghambat pertumbuhan akar pada beberapa spesies tanaman.
Rimpang yang keras dan tajam dapat merusak akar tanaman muda dan menyulitkan operasi pengolahan tanah. Jika lalang sudah mendominasi, menanam kembali lahan membutuhkan upaya mekanis yang sangat intensif dan mahal.
Di Asia Tenggara, kerugian hasil panen akibat lalang dapat mencapai 50-80% pada tahun-tahun awal penanaman perkebunan baru. Biaya pengendalian lalang seringkali merupakan porsi terbesar dari anggaran pengelolaan gulma, terutama di perkebunan kelapa sawit dan karet.
Masalah ini diperparah di lahan pertanian kecil, di mana petani tidak mampu membeli herbisida yang efektif atau tidak memiliki akses ke alat berat untuk pengolahan tanah yang mendalam. Hal ini menciptakan lingkaran setan degradasi lahan: petani meninggalkan lahan yang didominasi lalang, yang kemudian menyebar ke lahan yang masih produktif.
Pengendalian Imperata cylindrica memerlukan pendekatan terpadu (Integrated Weed Management/IWM) karena resistensi bawaannya. Tidak ada satu metode pun yang efektif secara tunggal; kombinasi strategi mekanis, kimiawi, dan kultural wajib diterapkan secara konsisten dalam jangka waktu yang panjang.
Strategi kultural berfokus pada perubahan lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan lalang. Prinsip utamanya adalah penggunaan naungan, karena lalang tidak toleran terhadap kurangnya cahaya.
Menanam tanaman penutup yang tumbuh cepat dan padat, seperti kacang-kacangan (misalnya, Pueraria phaseoloides atau Mucuna pruriens), adalah metode yang sangat efektif. Tanaman penutup yang berhasil dapat mengurangi intensitas cahaya yang mencapai lalang hingga di bawah 30% dari cahaya matahari penuh. Dalam kondisi naungan ekstrem, lalang akan menipis dan mati karena rimpangnya tidak dapat mengisi kembali cadangan energi.
Rotasi dengan tanaman yang membutuhkan pengolahan tanah intensif (misalnya, ubi jalar atau talas) dapat secara fisik memotong dan mengeluarkan rimpang secara berkala. Intensifikasi pertanian, dengan penanaman rapat dan pemeliharaan kanopi yang cepat, juga mencegah kolonisasi lalang.
Metode mekanis melibatkan pemotongan atau penggalian fisik rimpang. Efektivitasnya sangat bergantung pada alat yang digunakan dan waktu pelaksanaannya.
Pembajakan dangkal seringkali kontraproduktif karena memotong rimpang menjadi fragmen-fragmen kecil, yang masing-masing dapat tumbuh menjadi tanaman baru. Pembajakan yang efektif harus dalam (lebih dari 30 cm) dan diikuti oleh garu intensif untuk mengeluarkan fragmen rimpang ke permukaan, di mana mereka dapat mengering dan mati karena paparan matahari (solarization).
Pemotongan (mowing) daun di atas permukaan tanah harus dilakukan secara teratur (idealnya setiap 4-6 minggu) untuk secara bertahap menghabiskan cadangan energi dalam rimpang. Ini adalah strategi jangka panjang yang mahal tetapi dapat berhasil jika dikombinasikan dengan metode lain.
Penggunaan herbisida sistemik tetap menjadi pilar utama dalam pengendalian lalang di lahan skala besar, terutama pada tahap persiapan lahan sebelum penanaman.
Glifosat adalah herbisida sistemik yang paling umum digunakan. Agar efektif melawan lalang, glifosat harus diterapkan dalam dosis tinggi dan pada saat yang tepat—yaitu, ketika tanaman aktif tumbuh dan memiliki area daun yang cukup untuk menyerap herbisida, tetapi sebelum pembentukan bunga. Seringkali diperlukan aplikasi berulang (sequential applications) dengan interval 6-8 minggu untuk membunuh sistem rimpang secara total.
Beberapa wilayah menggunakan herbisida non-selektif lain seperti imazapyr, yang memiliki residu tanah lebih panjang dan dapat memberikan kontrol yang lebih baik pada rimpang, meskipun ini dapat membatasi jenis tanaman yang dapat ditanam setelahnya. Penggunaan kombinasi glifosat dan imazapyr dalam aplikasi yang terpisah sering direkomendasikan untuk menembus ketahanan rimpang lalang.
Peringatan Penting: Karena lalang adalah gulma abadi yang sangat tangguh, kegagalan dalam pengendalian kimiawi sering disebabkan oleh dosis yang terlalu rendah, aplikasi yang tidak tepat waktu (misalnya, saat tanaman stres), atau tidak adanya tindak lanjut yang konsisten.
Pengendalian biologis masih dalam tahap penelitian, karena belum ada musuh alami (serangga atau patogen) yang terbukti secara signifikan mengurangi populasi lalang tanpa mengancam tanaman budidaya lain.
Namun, penggunaan hewan ternak dapat menjadi bagian dari strategi IWM:
Penggembalaan harus dikelola secara ketat agar tidak menyebabkan kerusakan tanah yang berlebihan, dan tujuannya adalah penekanan, bukan penghilangan total lalang.
Memahami ketahanan lalang memerlukan penyelaman lebih dalam ke fisiologi internal dan kimia daunnya. Inilah yang membedakannya dari gulma tahunan biasa.
Sel-sel epidermal pada daun lalang mengandung kandungan silika dioksida (SiO2) yang sangat tinggi. Silika berfungsi sebagai lapisan pelindung fisik yang membuat daun sangat keras dan tajam. Fungsi silika ini berlipat ganda:
Lalang termasuk dalam kategori tanaman C4, sebuah mekanisme fotosintesis yang sangat efisien dalam kondisi panas dan intensitas cahaya tinggi, umum di daerah tropis. Efisiensi C4 memungkinkan lalang tumbuh lebih cepat dan memanfaatkan sumber daya cahaya dan CO2 dengan lebih baik dibandingkan banyak tanaman C3 (seperti padi, kedelai, atau kentang) ketika suhu tinggi. Inilah sebabnya lalang sangat kompetitif di lahan terbuka dan terik.
Rimpang adalah gudang penyimpanan karbohidrat non-struktural (pati dan fruktan). Siklus penyimpanan dan penggunaan ini sangat penting untuk strategi pengendalian. Setelah lalang dipotong atau dibakar, tanaman menggunakan cadangan rimpang untuk menumbuhkan tunas baru. Cadangan ini akan habis jika tanaman dipotong berulang kali sebelum ia sempat memproduksi cukup daun untuk fotosintesis, yang dapat memakan waktu 4 hingga 8 minggu. Pengendalian yang paling efektif adalah aplikasi herbisida tepat setelah periode pengisian rimpang, di mana bahan kimia dapat ditranslokasikan ke sistem bawah tanah secara maksimal.
Mengingat persistensi lalang, penelitian terus berlanjut untuk menemukan solusi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Penelitian saat ini berfokus pada isolasi patogen spesifik (bioherbisida) yang dapat menyerang lalang. Contohnya adalah jamur atau bakteri yang menyebabkan penyakit pada rimpang. Tantangannya adalah menemukan agen yang sangat spesifik dan aman bagi tanaman budidaya lain serta lingkungan.
Salah satu strategi jangka panjang adalah mengembangkan varietas tanaman budidaya (misalnya, kelapa sawit atau karet) yang memiliki toleransi lebih tinggi terhadap keberadaan lalang, atau yang mampu tumbuh cukup cepat untuk memberikan naungan yang memadai sebelum lalang mendominasi.
Sistem agroforestri, di mana pepohonan ditanam bersama tanaman pangan, dapat dimanfaatkan. Karena naungan pepohonan menekan lalang secara alami, integrasi ini dapat mengurangi kebutuhan akan herbisida dan meningkatkan kesehatan tanah secara keseluruhan, menjadikannya model pertanian yang lebih berkelanjutan di kawasan yang rentan terhadap lalang.
Model agroforestri ini mengharuskan perencanaan tata ruang yang cermat. Pohon yang cepat menutup tajuk, seperti beberapa jenis pohon buah atau kayu, ditanam dengan jarak tanam yang optimal untuk memaksimalkan naungan di antara barisan tanaman utama, sehingga secara efektif "membuat lapar" rimpang lalang.
Di perkebunan karet, fase kritis pengendalian lalang adalah selama 3-5 tahun pertama pertumbuhan pohon. Jika lalang dibiarkan mendominasi, pertumbuhan karet dapat terhambat secara permanen. Strategi IWM modern sering melibatkan kombinasi:
Meningkatkan nilai ekonomi lalang dapat mengubah persepsi petani dari "gulma" menjadi "komoditas." Penelitian perlu didorong untuk mengoptimalkan ekstraksi senyawa farmasi dari rimpang atau mengembangkan lalang secara komersial sebagai bahan baku serat atau biomassa energi yang layak secara ekonomi. Jika lalang dapat ditanam dan dipanen untuk tujuan yang menguntungkan, pengendaliannya di lahan budidaya akan menjadi lebih termotivasi.
Sebagai contoh, pengembangan teknologi yang efisien untuk memanen rimpang lalang dalam jumlah besar dan mengolahnya menjadi ekstrak farmasi standar dapat menciptakan pasar baru. Saat ini, ekstraksi skala besar masih terhambat oleh kesulitan memanen rimpang keras dari tanah.
Dalam konteks perubahan iklim global, lalang diprediksi akan menjadi ancaman yang semakin besar. Sebagai tanaman C4, ia sangat diuntungkan oleh peningkatan suhu. Lahan yang dulunya terlalu dingin untuk invasi lalang, kini menjadi rentan seiring dengan pemanasan global. Selain itu, kondisi kering yang lebih sering terjadi (kekeringan) justru menguntungkan lalang karena sistem rimpangnya yang dalam memungkinkannya mengakses air yang tidak dapat dijangkau oleh tanaman budidaya yang akarnya lebih dangkal.
Peningkatan CO2 di atmosfer juga dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis lalang di beberapa kondisi, meskipun dampaknya bervariasi tergantung pada ketersediaan air dan nutrisi. Namun, secara umum, suhu yang lebih tinggi di wilayah subtropis akan meningkatkan tekanan lalang pada ekosistem dan pertanian yang sudah ada.
Oleh karena itu, strategi pengendalian di masa depan tidak hanya harus fokus pada penghapusan, tetapi juga pada adaptasi sistem pertanian agar lebih tangguh terhadap invasi gulma yang diuntungkan oleh kondisi iklim ekstrem.
Aspek alelopati lalang telah menjadi topik studi yang intens. Para peneliti sedang mencoba memanfaatkan zat-zat kimia alami yang dilepaskan oleh lalang untuk tujuan biokontrol. Jika senyawa alelopati ini dapat diisolasi dan disintesis, mereka mungkin dapat digunakan sebagai herbisida alami untuk gulma lain, meskipun ironisnya, mekanisme ini adalah bagian dari mengapa lalang sangat merusak pertanian.
Senyawa fenolik seperti asam p-coumaric, asam ferulat, dan asam vanilat, yang dilepaskan dari rimpang dan sisa tanaman yang membusuk, terbukti mengganggu pembelahan sel dan perpanjangan akar pada tanaman budidaya seperti tomat dan kedelai. Konsentrasi zat-zat ini dalam tanah meningkat secara dramatis di bawah hamparan lalang yang padat.
Salah satu harapan terbesar dalam biokontrol adalah agen yang menyerang rimpang, yang merupakan pusat vitalitas lalang. Misalnya, jamur patogen Fusarium semitectum atau Bipolaris sp. telah diuji untuk potensi sebagai mikoherbisida. Tantangannya adalah mencapai efektivitas di lapangan, di mana suhu tinggi dan persaingan mikroba tanah menghambat aksi patogen. Namun, jika strain yang virulen dan spesifik dapat diidentifikasi, ini dapat menjadi komponen kunci dalam strategi IWM, mengurangi ketergantungan pada herbisida kimia.
Penelitian di Australia menunjukkan bahwa mengelola kelembaban tanah dan meningkatkan kandungan bahan organik dapat membantu patogen tanah alami menyerang rimpang lalang yang stres, tetapi mekanisme ini sulit diseragamkan dalam skala pertanian komersial.
Lalang (Imperata cylindrica) adalah contoh sempurna dari dualisme alam. Ia adalah simbol daya tahan yang luar biasa—mampu pulih dari api, kekeringan, dan serangan. Keberadaannya di lanskap tropis dan subtropis merupakan tantangan abadi bagi pertanian modern, menuntut strategi pengendalian yang cerdas, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Dari pengobatan tradisional yang memanfaatkan rimpangnya untuk mengobati 'panas dalam' dan pendarahan, hingga perannya sebagai penghancur hasil panen global, lalang terus memaksa manusia untuk berinovasi. Pengendalian yang berhasil memerlukan perubahan paradigma, dari sekadar memusnahkan gulma menjadi mengelola ekosistem agar tercipta kondisi yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhannya—menggunakan naungan, tanaman penutup, dan pemahaman mendalam tentang fisiologi rimpang yang tak kenal menyerah. Kehadiran lalang mengajarkan bahwa dalam pertanian modern, pengetahuan botani mendalam adalah pertahanan terbaik melawan musuh yang paling tangguh.
***
Pengendalian yang efektif terhadap lalang selalu kembali pada manajemen rimpang. Rimpang tidak hanya menyimpan energi; ia juga berfungsi sebagai alat perambatan cepat. Di tanah yang gembur, satu tanaman lalang dapat menghasilkan jaringan rimpang sepanjang puluhan meter dalam satu musim tanam. Kecepatan pertumbuhan rimpang ini, ditambah dengan kedalamannya, menuntut presisi dalam setiap strategi pengendalian.
Waktu aplikasi kimiawi harus sinkron dengan siklus translokasi nutrisi tanaman. Glifosat bekerja paling baik ketika ditranslokasikan ke rimpang bersama dengan produk fotosintesis (gula). Periode ideal adalah ketika lalang telah pulih dari stres (misalnya, pemotongan atau kekeringan) dan memiliki banyak daun hijau yang aktif berfotosintesis (sekitar 60-90 hari setelah pemotongan), namun sebelum dimulainya fase dormansi atau berbunga. Aplikasi pada tanaman yang sedang berbunga seringkali kurang efektif karena energi tanaman dialihkan ke produksi biji, bukan ke dalam rimpang.
Dalam skenario aplikasi ganda (sequential application), aplikasi pertama bertujuan untuk melumpuhkan pertumbuhan di atas tanah dan menghabiskan sebagian cadangan rimpang. Aplikasi kedua, yang terjadi beberapa minggu kemudian saat tunas baru muncul dan aktif, ditujukan untuk membunuh sisa rimpang yang lemah. Kegagalan untuk melakukan aplikasi kedua seringkali menjadi alasan mengapa lalang hanya "mati sementara" dan tumbuh kembali dengan cepat.
Pembajakan dangkal (di bawah 15 cm) adalah kesalahan fatal karena memecah rimpang menjadi propagul yang tersebar luas. Untuk pengolahan tanah mekanis yang berhasil, diperlukan dua tahap:
Metode ini sangat intensif energi, mahal, dan tidak dapat diterapkan di tanah yang curam atau sangat berlereng karena risiko erosi yang parah.
Dua komoditas utama yang sangat terpengaruh oleh lalang adalah tebu dan padi, yang menggambarkan masalah persaingan dalam sistem monokultur yang berbeda.
Tebu, sebagai tanaman C4, sebenarnya berbagi beberapa keunggulan fisiologis dengan lalang. Namun, lalang tetap menjadi ancaman utama, terutama pada saat penanaman baru (ratoon). Lalang bersaing ketat untuk air dan nutrisi, yang secara drastis mengurangi tinggi tebu dan kandungan sukrosa. Pengendalian di sini sering menggunakan herbisida pra-tumbuh selektif yang diikuti oleh pengendalian kimiawi atau mekanis di lorong-lorong tebu.
Meskipun padi sawah yang tergenang air biasanya tidak terpengaruh oleh lalang (karena lalang tidak toleran terhadap genangan air yang berkepanjangan), lalang menjadi masalah besar di lahan padi gogo (lahan kering) atau di tepi sawah. Di sini, lalang dapat dengan cepat menginvasi lahan gogo, dan persaingan alelopati serta fisik dari rimpang sangat merugikan pertumbuhan padi muda.
Untuk menghargai ketangguhan lalang, penting membandingkannya dengan gulma abadi lain, seperti Cynodon dactylon (Bermudagrass) atau Sorghum halepense (Johnson grass). Sementara gulma-gulma lain ini juga menyebar melalui rimpang, lalang seringkali memiliki kombinasi adaptasi yang lebih ekstrim:
Ketiga faktor ini menjadikan lalang sebagai "super-gulma" di kawasan tropis, memaksa petani untuk mengalokasikan sumber daya yang jauh lebih besar untuk pengendalian dibandingkan gulma lain yang lebih mudah dimusnahkan.
Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengelola lalang harus didasarkan pada pemahaman bahwa ia bukan hanya rumput, tetapi sebuah entitas ekologis yang dirancang untuk mendominasi, memanfaatkan api, dan bertahan hidup di lingkungan yang paling terdegradasi. Keberhasilan dalam pertanian tropis dan subtropis secara intrinsik terkait dengan kemampuan kita untuk mengelola gulma abadi yang luar biasa ini.
***
Penggunaan lalang tidak seragam di seluruh wilayah penyebarannya. Variasi ini mencerminkan perbedaan budaya, ketersediaan sumber daya lain, dan variasi genetik lokal lalang itu sendiri. Di beberapa pulau di Indonesia timur, rimpang lalang tidak hanya digunakan untuk obat demam, tetapi juga sebagai bahan makanan darurat setelah dimasak dan diolah untuk menghilangkan rasa pahitnya. Proses pengolahan ini umumnya melibatkan pencucian dan perebusan berulang. Di beberapa wilayah di Afrika Barat, khususnya di padang rumput yang dominan, lalang adalah komponen penting dalam pembuatan kompos dan pengolahan lumpur untuk konstruksi rumah tradisional (cob building), di mana serat-seratnya memberikan integritas struktural.
Di India, lalang (Darbha) memiliki makna ritual dan agama yang mendalam dalam tradisi Hindu, di mana rumput ini dianggap suci dan digunakan dalam upacara-upacara keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa gulma ini memiliki dimensi spiritual dan utilitas yang melampaui sekadar masalah pertanian. Penggunaan ritual ini seringkali berfokus pada varietas yang memiliki penampilan fisik yang ideal dan pertumbuhan yang lebih teratur dibandingkan dengan varietas yang agresif di lahan pertanian.
Meskipun rimpang lalang secara luas dianggap aman untuk penggunaan internal dalam dosis terapeutik tradisional, penting untuk mencatat bahwa daun dan batang lalang memiliki kandungan silika yang tinggi. Konsumsi berlebihan oleh ternak, meskipun jarang terjadi karena rasa yang tidak enak, dapat menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan. Dalam konteks manusia, tidak ada bukti toksisitas akut yang signifikan dari rimpang yang diolah dengan benar, menjadikannya salah satu obat herbal yang paling banyak digunakan dengan profil keamanan yang baik, asalkan tidak dicampur dengan bahan lain yang beracun. Kontrol kualitas bahan baku herbal adalah kunci, memastikan bahwa rimpang dipanen dari lokasi yang bebas dari kontaminasi herbisida berat.
Studi farmakologis modern telah mengeksplorasi potensi rimpang lalang di luar sifat diuretiknya. Beberapa penelitian in vitro menunjukkan bahwa ekstrak rimpang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap lini sel kanker tertentu. Senyawa flavonoid dan fenolik yang terkandung di dalamnya dihipotesiskan dapat menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram) pada sel-sel kanker. Meskipun data ini menarik, studi klinis yang valid masih diperlukan untuk menentukan efikasi dan keamanan sebelum dapat dipertimbangkan sebagai terapi kanker pelengkap.
Untuk memerangi penyebaran lalang di wilayah yang baru terinvasi (seperti Amerika Serikat Bagian Tenggara), ilmuwan menggunakan model prediksi ekologi. Model ini menggabungkan data iklim (suhu, curah hujan), jenis tanah, dan aktivitas manusia (lalu lintas kendaraan, pembangunan) untuk memprediksi area yang paling rentan terhadap kolonisasi lalang. Dengan mengidentifikasi "hotspot" potensial ini, otoritas dapat memfokuskan sumber daya pengendalian dan karantina secara lebih efisien. Keberhasilan model ini bergantung pada akurasi data mengenai toleransi suhu minimal dan kebutuhan curah hujan lalang.
Secara umum, lalang membutuhkan suhu rata-rata di atas 15°C dan curah hujan tahunan minimal 750 mm. Wilayah yang mengalami kekeringan ekstrem atau pembekuan es yang berkepanjangan (frost) biasanya menjadi batas penyebarannya. Namun, rimpang memiliki kemampuan untuk bertahan dari periode stres yang singkat, memperluas jangkauan invasi potensialnya.
Biaya pengendalian lalang tidak hanya terbatas pada harga herbisida. Biaya tenaga kerja, penggunaan mesin berat (untuk pengolahan tanah dalam), dan kerugian waktu tanam (karena lahan harus dibiarkan kosong selama proses eradikasi) harus diperhitungkan. Studi ekonomi menunjukkan bahwa pengendalian lalang paling efektif bila dilakukan pada tahap invasi awal. Setelah lalang mencapai kepadatan rimpang kritis, biaya eradikasi per hektar dapat melonjak hingga lima kali lipat dari biaya pencegahan.
Oleh karena itu, penekanan pada pencegahan, seperti sanitasi alat berat yang bergerak antar ladang (untuk menghindari pemindahan fragmen rimpang), dan penggunaan bibit yang bebas gulma, adalah investasi jangka panjang yang lebih hemat biaya daripada mencoba membasmi invasi yang sudah mapan.
***
Artikel ini didedikasikan untuk eksplorasi tanaman lalang (Imperata cylindrica) dalam segala kompleksitas ekologis, agronomis, dan kulturalnya.