Lampung Barat, atau yang akrab disebut Lambar, adalah sebuah permata hijau yang tersembunyi di punggung Bukit Barisan Sumatera. Wilayah ini tidak hanya dikenal sebagai lumbung kopi Robusta terbaik, tetapi juga sebagai benteng terakhir ekosistem Sumatera yang paling vital. Lambar adalah perwujudan sempurna dari harmoni antara manusia, adat istiadat yang kental, dan alam liar yang megah. Ia adalah tempat di mana sejarah kuno Sekala Bekhak berpadu dengan jerih payah petani yang menjaga tradisi tanam turun temurun.
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan, Lambar menawarkan ketenangan abadi dan kekayaan hayati yang luar biasa. Wilayah ini menantang para penjelajah, memanggil para konservasionis, dan memeluk mereka yang mencari kedamaian di tengah kemegahan pegunungan. Untuk memahami Lambar, kita harus menyelam jauh ke dalam setiap lapisannya: dari puncak Gunung Pesagi yang sakral, hingga aroma pekat biji kopi yang baru dipetik, serta detak jantung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Secara geografis, posisi Lambar sangat unik. Ia terletak di bagian barat Provinsi Lampung, berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah barat daya, dan dipagari oleh rantai pegunungan Bukit Barisan di sebelah timur. Topografinya didominasi oleh dataran tinggi dan perbukitan curam, menjadikannya salah satu kabupaten dengan elevasi rata-rata tertinggi di Lampung. Ibu kotanya, Liwa, berada di ketinggian yang sejuk, jauh dari kelembaban pesisir.
Kontur alam Lambar yang berbukit-bukit ini adalah anugerah sekaligus tantangan. Medan yang sulit menjaga hutan tetap lestari dan membuat akses ke beberapa wilayah tetap terbatas, yang ironisnya, berkontribusi besar pada perlindungan keanekaragaman hayati. Gunung Pesagi, yang menjulang dengan megah, tidak hanya berfungsi sebagai titik tertinggi, tetapi juga merupakan simbol spiritualitas dan asal-usul budaya Lampung.
Lambar menikmati iklim tropis basah dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, ideal untuk pertumbuhan vegetasi hutan hujan dan perkebunan kopi. Namun, karena perbedaan elevasi yang signifikan—mulai dari pesisir hingga puncak Pesagi—terdapat mikrozonasi iklim yang menarik. Wilayah dataran tinggi memiliki suhu yang jauh lebih dingin dan kabut sering menyelimuti, menciptakan kondisi sempurna bagi pertumbuhan kopi Arabika di beberapa kantung kecil, meskipun Robusta tetap menjadi primadona utama. Perbedaan suhu harian yang ekstrem inilah yang sangat mempengaruhi kualitas dan karakter rasa kopi Lambar.
Lanskap pegunungan yang diselimuti kabut tebal, ciri khas topografi Lambar yang sejuk.Lambar memiliki akar sejarah yang sangat dalam, terkait erat dengan Kerajaan Sekala Bekhak, sebuah entitas politik dan kultural yang dianggap sebagai cikal bakal kebudayaan masyarakat Lampung. Sekala Bekhak diyakini merupakan pusat peradaban Lampung kuno sebelum menyebar ke berbagai wilayah. Meskipun sisa-sisa fisiknya sulit ditemukan secara utuh, warisan Sekala Bekhak tetap hidup dalam adat istiadat, bahasa, dan sistem kekerabatan masyarakat Lambar.
Nama Sekala Bekhak sendiri sering diartikan sebagai ‘tempat awal’ atau ‘tanah leluhur’. Gunung Pesagi diyakini sebagai lokasi spiritual utama kerajaan ini. Keturunan Sekala Bekhak—terutama marga-marga besar yang kini menjadi pondasi masyarakat adat—masih memegang teguh filosofi hidup yang diwariskan, termasuk konsep Piil Pesenggiri yang menjunjung tinggi kehormatan, keberanian, dan kerukunan.
Dalam konteks administrasi modern, Lambar dibentuk melalui pemekaran wilayah yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang tersebar di wilayah pegunungan yang sulit dijangkau. Pembentukan kabupaten ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mengelola sumber daya alam dan melestarikan budaya di wilayah hulu Bukit Barisan. Meskipun telah mengalami pemekaran kembali (membentuk Pesisir Barat), Lambar yang tersisa tetap mempertahankan identitasnya sebagai kawasan pegunungan inti dan penghasil komoditas utama.
Sebagian besar wilayah Lambar adalah kawasan konservasi inti, termasuk sepotong besar dari TNBBS, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO yang dikenal karena peranannya sebagai rumah bagi tiga satwa karismatik yang terancam punah: Harimau Sumatera, Badak Sumatera, dan Gajah Sumatera. TNBBS di Lambar adalah paru-paru vital yang menyediakan air bersih, mengatur iklim mikro, dan menjaga stabilitas ekologis regional.
TNBBS mencakup beragam tipe ekosistem, mulai dari hutan hujan dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hingga hutan lumut di ketinggian. Keanekaragaman flora di sini mencengangkan, dengan ribuan spesies tumbuhan endemik. Dua ikon bunga raksasa dunia, Rafflesia Arnoldii dan Amorphophallus Titanium (Bunga Bangkai), dapat ditemukan mekar secara sporadis di kawasan hutan Lambar. Fenomena mekarnya bunga-bunga ini menarik perhatian ilmuwan dan wisatawan konservasi dari seluruh dunia.
Perlindungan terhadap Harimau Sumatera di Lambar menjadi prioritas utama. Kawasan hutan yang masih utuh ini menyediakan koridor jelajah yang luas dan sumber makanan yang memadai. Upaya mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar, terutama gajah dan harimau, merupakan tantangan harian bagi aparat konservasi dan masyarakat pekon yang berbatasan langsung dengan hutan lindung.
Selain mamalia besar, Lambar juga merupakan surga bagi para pengamat burung (bird watching). Spesies langka seperti Kuau Raja (Argusianus argus) dan beberapa jenis Rangkong (Hornbill) hidup bebas di kanopi hutan. Sungai-sungai yang berhulu dari pegunungan juga menjadi habitat penting bagi berbagai jenis ikan air tawar endemik.
Keberhasilan konservasi di Lambar sangat bergantung pada partisipasi masyarakat yang tinggal di zona penyangga (buffer zone). Pekon-pekon (desa adat) di sekitar TNBBS sering kali menjadi mitra terdepan dalam patroli konservasi dan pencegahan perambahan hutan. Konsep kearifan lokal, yang mengajarkan rasa hormat terhadap hutan sebagai sumber kehidupan, masih kuat dipegang. Misalnya, terdapat area hutan yang oleh adat ditetapkan sebagai kawasan yang hanya boleh diambil hasilnya (madu, rotan) tanpa merusak pohon inti.
Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan ini menjadi kunci utama. Masyarakat Lambar sangat menyadari bahwa kelestarian hutan adalah kelestarian mata air yang mengairi sawah dan perkebunan kopi mereka. Filosofi ini bukan sekadar retorika, melainkan praktik hidup sehari-hari yang menjamin keseimbangan ekologis di tengah kebutuhan ekonomi yang terus meningkat.
Tidak mungkin membicarakan Lambar tanpa membahas kopi. Kabupaten ini adalah salah satu produsen kopi Robusta terbesar dan terpenting di Indonesia. Kopi dari Lambar, sering dipasarkan dengan label 'Kopi Robusta Sekala Bekhak' atau 'Kopi Lampung Barat', memiliki reputasi global karena rasa yang kuat, body yang tebal, dan aroma cokelat pekat yang khas.
Mayoritas perkebunan kopi di Lambar terletak pada ketinggian antara 800 hingga 1200 meter di atas permukaan laut. Ketinggian ini, meskipun masih dalam zona ideal Robusta, memberikan tekanan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan Robusta dataran rendah, menghasilkan biji yang lebih padat dan kompleksitas rasa yang lebih dalam. Suhu yang sejuk memperlambat proses pematangan buah ceri kopi, memungkinkan gula dan asam berkembang lebih sempurna.
Pengelolaan kebun di Lambar juga seringkali masih bersifat tradisional, banyak petani menerapkan sistem agroforestri. Pohon kopi ditanam di bawah naungan pohon hutan atau tanaman buah-buahan seperti lada, alpukat, atau durian. Sistem naungan ini tidak hanya melindungi tanaman kopi dari paparan sinar matahari langsung yang berlebihan, tetapi juga meningkatkan kesehatan tanah, mengurangi erosi, dan yang terpentinya, menambah kompleksitas nutrisi pada biji kopi.
Perubahan besar dalam industri kopi Lambar terjadi pada fokus kualitas. Meskipun dahulu kopi diolah secara asalan (natural atau dry process), kini semakin banyak petani muda dan kelompok tani yang beralih ke praktik paska panen yang lebih terkontrol, seperti proses *Full Washed*, *Honey Process*, atau *Wine Process*.
Peningkatan kualitas ini memungkinkan kopi Lambar menembus pasar specialty, dihargai lebih tinggi, dan memberikan dampak ekonomi langsung yang lebih besar bagi para petani di Pekon-pekon terpencil. Kopi bukan hanya komoditas, melainkan identitas kultural dan pendorong utama ekonomi lokal.
Meskipun infrastruktur pariwisata Lambar masih dalam tahap pengembangan, potensi alamnya luar biasa dan menawarkan pengalaman ekowisata autentik yang sulit dicari di tempat lain.
Di sudut tenggara Lambar, berbatasan dengan Sumatera Selatan, terbentang Danau Ranau, danau vulkanik terbesar kedua di Sumatera. Keindahan Danau Ranau yang tenang dan dikelilingi perbukitan hijau menjadikannya magnet wisata. Di Lambar, sisi Danau Ranau yang lebih sepi menawarkan ketenangan. Aktivitas seperti memancing, berperahu, atau sekadar menikmati matahari terbit di balik perbukitan adalah pengalaman wajib.
Masyarakat di sekitar Ranau hidup dengan tradisi yang erat kaitannya dengan danau. Legenda dan cerita rakyat Ranau menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi budaya Lambar. Penginapan sederhana (homestay) yang dikelola masyarakat lokal memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk merasakan keramahan dan makanan khas setempat.
Karena Lambar adalah wilayah pegunungan dengan curah hujan tinggi, ia kaya akan sumber mata air dan air terjun. Beberapa air terjun yang populer, meskipun menantang untuk dicapai, menawarkan pemandangan yang menyegarkan:
Ibu kota Liwa berfungsi sebagai pusat administratif dan budaya. Di sini, pengunjung dapat menemukan beberapa situs bersejarah dan mempelajari lebih lanjut tentang Adat Lampung. Meskipun banyak bangunan adat telah mengalami modernisasi, beberapa rumah tradisional (sesat) dan balai adat masih dipertahankan, berfungsi sebagai tempat musyawarah dan pelaksanaan upacara adat besar.
Pasar tradisional di Liwa, yang menjadi pusat transaksi hasil bumi seperti kopi, sayuran, dan hasil hutan, adalah tempat terbaik untuk merasakan denyut nadi kehidupan Lambar. Interaksi dengan pedagang lokal dan petani memberikan gambaran nyata tentang ketekunan masyarakat pegunungan ini.
Biji kopi Robusta, primadona yang menjadi tulang punggung ekonomi dan identitas Lambar.Masyarakat Lambar didominasi oleh suku Lampung, khususnya kelompok Paminggir dan sebagian kecil Pepadun, dengan pengaruh yang kuat dari sistem adat Saibatin (Raja atau pemimpin yang memimpin secara turun temurun). Adat istiadat di Lambar sangat kental dan menjadi panduan hidup sosial, politik, dan bahkan pertanian.
Inti dari budaya Lampung adalah Piil Pesenggiri, sebuah konsep filosofis yang terdiri dari empat nilai utama yang harus dijunjung tinggi:
Nilai-nilai ini sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Pekon-pekon Lambar, terutama dalam praktik sakai sambayan yang vital untuk kegiatan pertanian, pembangunan rumah adat, atau penyelenggaraan upacara pernikahan dan kematian.
Upacara adat besar di Lambar seringkali merupakan perpaduan harmonis antara tradisi Islam dan adat Lampung. Salah satu upacara penting adalah pemberian gelar adat, di mana seseorang (terutama pria) diakui statusnya sebagai pemimpin keluarga atau komunitas. Upacara ini melibatkan prosesi panjang, jamuan besar, dan penggunaan pakaian adat lengkap dengan kain tapis yang rumit.
Kesenian tradisional Lambar mencakup Tari Sembah (tari penyambutan), musik yang diiringi alat musik seperti Gambus dan Kulintang Lampung, serta seni menenun Kain Tapis. Kain Tapis Lambar dikenal dengan motifnya yang kaya, seringkali terinspirasi dari flora dan fauna TNBBS, dan menggunakan sulaman benang emas yang intensif, melambangkan kekayaan dan kemuliaan.
Dalam konteks sosial, peran *Pekon* (desa) di Lambar sangat sentral. Pekon bukan hanya unit administratif, tetapi juga unit adat yang dipimpin oleh perangkat adat (seperti Pangeran atau Raja) bersama dengan Kepala Desa modern. Koordinasi antara sistem pemerintahan resmi dan sistem adat memastikan bahwa pembangunan berjalan selaras dengan pelestarian tradisi dan nilai-nilai luhur Sekala Bekhak.
Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam namun berlokasi di daerah pegunungan yang sulit diakses, Lambar menghadapi serangkaian tantangan kompleks yang harus diatasi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Meskipun upaya perbaikan jalan terus dilakukan, konektivitas dari Liwa ke daerah terpencil, serta akses ke pelabuhan atau pasar besar, masih menjadi hambatan utama. Jalan yang berkelok-kelok dan sering terganggu oleh longsor selama musim hujan meningkatkan biaya logistik, yang berdampak langsung pada harga jual komoditas unggulan seperti kopi dan sayuran.
Pengembangan jaringan listrik dan internet yang stabil juga menjadi tantangan. Dalam era digital, akses informasi yang terbatas menghambat petani dan pelaku usaha lokal untuk memasarkan produk mereka secara efektif ke pasar global.
Tantangan terbesar Lambar adalah menyeimbangkan konservasi TNBBS dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Tekanan terhadap lahan hutan untuk dijadikan perkebunan kopi atau komoditas lain tetap tinggi. Solusinya terletak pada penguatan program perhutanan sosial dan ekowisata berbasis masyarakat. Dengan memberikan insentif yang jelas bagi masyarakat untuk menjaga hutan (misalnya, melalui sertifikasi kopi ramah lingkungan), masyarakat menjadi garda terdepan perlindungan alam.
Konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya harimau dan gajah, juga membutuhkan solusi inovatif dan kolaboratif, melibatkan edukasi masyarakat dan pembangunan pagar pembatas alami yang efektif di zona penyangga.
Masa depan Lambar sangat cerah dalam bidang ekowisata. Bukan wisata massal, melainkan wisata minat khusus yang berfokus pada konservasi, petualangan alam, dan budaya. Paket wisata yang fokus pada:
Pemanfaatan produk pertanian lokal, seperti pengolahan hasil hutan non-kayu (madu, buah-buahan langka), juga akan meningkatkan nilai ekonomi tanpa merusak ekosistem hutan primer.
Struktur geologi Lambar didominasi oleh formasi vulkanik tua dan muda yang berpusat di sepanjang sesar Semangko. Aktivitas tektonik masa lampau menghasilkan tanah andosol yang subur, ideal untuk pertanian. Tanah vulkanik ini kaya akan mineral dan memiliki kemampuan menahan air yang baik, menjelaskan mengapa kopi Lambar dapat berkembang dengan sangat baik. Kehadiran aktivitas geotermal di beberapa wilayah, seperti Sekincau dan Suoh, adalah bukti nyata dari kondisi geologi yang masih aktif.
Sumber daya air di Lambar sangat melimpah. Ratusan sungai kecil dan anak sungai mengalir deras, semuanya berhulu di Bukit Barisan. Sungai-sungai ini membentuk DAS (Daerah Aliran Sungai) penting yang tidak hanya mengairi sawah lokal tetapi juga menyuplai air bagi wilayah dataran rendah Lampung lainnya. Pengelolaan DAS ini sangat krusial; kerusakan hutan di hulu Lambar akan memiliki dampak bencana pada seluruh provinsi.
Salah satu kekayaan air yang unik adalah Danau Ranau. Danau ini terbentuk dari letusan gunung api purba yang menghasilkan kaldera besar. Kedalamannya yang luar biasa dan airnya yang jernih menjadikan Ranau bukan hanya objek wisata tetapi juga sumber perikanan tawar yang penting bagi masyarakat sekitarnya.
Petani kopi Lambar telah lama menerapkan praktik agroforestri yang luar biasa adaptif. Konsep tumpang sari (intercropping) adalah tulang punggung pertanian mereka. Mereka tidak hanya menanam kopi; mereka menciptakan ekosistem mini di kebun mereka. Selain pohon naungan besar (seperti Lamtoro atau Kersen), mereka juga menanam lada, vanili, dan tanaman musiman lainnya.
Sistem ini memberikan keuntungan ganda:
Petani Lambar, melalui kearifan yang diwariskan, mengajarkan pelajaran penting tentang pertanian berkelanjutan, di mana produktivitas harus berjalan seiring dengan kesehatan lingkungan. Praktik ini seharusnya menjadi model bagi wilayah pegunungan lain di Indonesia.
Generasi muda Lambar memainkan peran vital dalam menjembatani tradisi dan modernitas. Mereka adalah katalisator utama dalam peningkatan kualitas kopi dan promosi pariwisata.
Banyak pemuda yang kembali dari pendidikan di kota besar kini mendirikan kedai kopi (roastery) skala kecil di Liwa atau Pekon mereka, memperkenalkan proses pengolahan kopi specialty kepada petani tradisional. Mereka menjadi agen yang membawa teknologi pengeringan yang lebih baik, mesin sangrai yang presisi, dan pemasaran digital.
Selain itu, pemuda Lambar juga aktif dalam gerakan pelestarian budaya. Mereka mendokumentasikan upacara adat yang terancam punah, merevitalisasi seni tari dan musik tradisional, dan mempromosikan destinasi wisata melalui media sosial. Inisiatif ini memastikan bahwa warisan Sekala Bekhak tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga bagian hidup yang dinamis dari masa kini.
Meskipun arsitektur Lampung tidak sepopuler arsitektur Batak atau Minang, rumah adat Lambar, yang dikenal sebagai Sesat (Balai Adat) atau rumah tinggal tradisional, memiliki ciri khas unik yang menyesuaikan dengan iklim pegunungan.
Ciri-ciri utama arsitektur Lambar meliputi:
Sesat Agung di Liwa berfungsi sebagai pusat musyawarah dan tempat penyimpanan benda-benda pusaka adat. Keberadaannya adalah pengingat fisik akan struktur sosial Saibatin yang masih dijunjung tinggi.
Selain kopi, Lambar juga memiliki potensi agrikultur yang beragam. Di daerah dataran Ranau, perikanan air tawar menjadi sumber utama protein. Ikan Mujair, Nila, dan jenis ikan air tawar lainnya dibudidayakan secara intensif. Danau Ranau sendiri menjadi sumber tangkapan alam yang penting.
Di sektor sayuran, ketinggian Lambar memungkinkan budidaya sayuran dataran tinggi seperti kubis, wortel, dan kentang. Hasil bumi ini tidak hanya dikonsumsi lokal tetapi juga dipasok ke pasar-pasar di Lampung dan bahkan Jakarta, memberikan keragaman ekonomi yang penting, terutama di musim non-panen kopi. Program pertanian organik mulai dikembangkan, sejalan dengan tren pasar yang mencari produk sehat dan bebas pestisida.
Jalur Lintas Barat (Jalinbar) Sumatera adalah arteri utama yang melintasi sebagian Lambar, menghubungkannya dengan Pesisir Barat dan Bengkulu. Meskipun jalan ini vital untuk transportasi komoditas, ia juga membawa tantangan. Peningkatan lalu lintas di Jalinbar membutuhkan perhatian ekstra terhadap pencegahan kecelakaan dan potensi dampak lingkungan, terutama ketika jalur tersebut membelah zona penyangga hutan.
Pengembangan infrastruktur di sekitar Jalinbar harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengorbankan integritas TNBBS. Pembangunan harus didorong ke arah pembangunan pusat-pusat ekonomi yang terpusat dan bukan permukiman liar yang merambah hutan.
Masyarakat Lambar umumnya menggunakan Bahasa Lampung dialek A (Api), yang merupakan dialek yang juga dominan di wilayah Saibatin. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga wadah untuk menyampaikan filosofi dan etika hidup. Banyak pepatah dan pantun (segata) Lampung yang mengandung ajaran Piil Pesenggiri.
Misalnya, pepatah yang menekankan pentingnya menjaga nama baik, atau pantun yang mengingatkan generasi muda tentang keagungan Gunung Pesagi sebagai tempat asal usul. Pelestarian bahasa ini menjadi agenda penting, terutama di tengah masuknya budaya luar. Sekolah-sekolah di Lambar seringkali memasukkan mata pelajaran Muatan Lokal yang mengajarkan bahasa dan aksara Kaganga (aksara kuno Lampung) untuk memastikan kesinambungan warisan ini.
Kekuatan Lambar terletak pada keteguhan masyarakatnya dalam mempertahankan identitas di tengah himpitan modernisasi dan tantangan alam. Mereka adalah penjaga konservasi sekaligus petani unggul, pewaris budaya kuno Sekala Bekhak yang terus berjuang untuk masa depan yang hijau dan sejahtera. Lambar, dengan segala keindahan pegunungannya, adalah cerminan dari ketahanan abadi masyarakat Sumatera.
Setiap cangkir kopi yang dinikmati, setiap langkah yang diambil di jalur hutan TNBBS, dan setiap upacara adat yang dilaksanakan, adalah perayaan atas eksotisme Lambar yang tak terjamah. Wilayah ini mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah materi, melainkan keharmonisan dengan sejarah, adat, dan alam yang menjadi naungan hidup. Komitmen kolektif terhadap pelestarian ini akan menjamin bahwa pesona abadi Lambar akan terus bersinar bagi generasi mendatang.
Selain komoditas utama, ekonomi Lambar juga mulai digerakkan oleh sub-sektor kreatif. Seni menenun Kain Tapis telah bertransformasi dari sekadar pakaian adat menjadi produk fesyen bernilai tinggi. Pengrajin di beberapa Pekon mengembangkan motif-motif baru sambil tetap menjaga teknik tradisional. Kain Tapis dari Lambar seringkali menampilkan motif yang lebih tebal dan cenderung menggunakan warna-warna alam yang bersumber dari pewarna alami, sesuai dengan semangat konservasi.
Industri kerajinan berbasis kopi juga berkembang pesat. Bukan hanya biji kopi, tetapi produk sampingan seperti kulit kopi (cascara) diolah menjadi minuman teh, dan ampas kopi digunakan untuk sabun atau lulur kecantikan. Inovasi ini menciptakan nilai tambah yang signifikan dan membuka lapangan kerja baru, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga dan pemuda desa.
Di Lambar, lembaga adat memiliki suara kuat dalam tata kelola sumber daya alam. Keputusan mengenai pembukaan lahan baru, pengelolaan hutan adat, atau bahkan penyelesaian sengketa batas kebun seringkali harus melalui musyawarah adat. Misalnya, jika terjadi perambahan hutan, sanksi adat yang diterapkan, seperti denda berupa kerbau atau kewajiban melakukan ritual pembersihan, seringkali lebih efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan dibandingkan sanksi hukum formal.
Pengakuan terhadap Hutan Adat menjadi langkah krusial. Beberapa pekon di Lambar telah berhasil mendaftarkan dan mengelola hutan mereka di bawah payung hukum, memastikan bahwa kawasan hutan tersebut sepenuhnya dilindungi oleh norma-norma adat, yang secara inheren mendorong keberlanjutan.
Lambar telah menerima berbagai pengakuan atas upayanya dalam konservasi. Keterlibatannya sebagai bagian integral dari TNBBS, yang merupakan Situs Warisan Dunia, menempatkannya di peta global sebagai wilayah penting untuk keanekaragaman hayati. Selain itu, banyak kelompok tani kopi di Lambar yang telah menerima sertifikasi internasional untuk praktik pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Penghargaan ini memotivasi masyarakat untuk terus meningkatkan standar praktik mereka, baik dalam bertani maupun dalam menjaga hutan. Ini juga menjadi alat promosi yang efektif, menarik perhatian investor yang mencari sumber daya yang diproduksi secara etis dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, Lambar adalah narasi kompleks tentang ketahanan manusia dan alam di lereng pegunungan Sumatera. Ia adalah pelajaran hidup tentang bagaimana tradisi kuno dapat menjadi pondasi bagi masa depan yang lestari. Wilayah ini mengundang kita untuk menghargai setiap tetes air, setiap biji kopi, dan setiap jejak harimau yang masih berkeliaran bebas di hutan rimba yang dilindungi oleh hati masyarakat Sekala Bekhak.