Simbolisasi keseimbangan jiwa, raga, dan spiritualitas sejati.
Kata Lanang, yang berakar kuat dalam bahasa Jawa, jauh melampaui sekadar terjemahan biologis 'laki-laki' atau 'male'. Dalam konteks budaya dan filosofi Jawa, Lanang adalah sebuah arketipe; sebuah cetak biru ideal yang menggambarkan kualitas batin, tanggung jawab spiritual, dan peran sosial seorang pria dewasa. Menjadi seorang Lanang sejati bukan hanya tentang kekuatan fisik, melainkan tentang penguasaan diri, kebijaksanaan (kawicaksanan), dan kemampuan untuk menjadi tiang bagi keluarga dan masyarakatnya. Konsep ini adalah produk dari ribuan tahun perenungan filosofis yang terangkum dalam ajaran Kejawen, suluk, dan wejangan para leluhur.
Pada era modern yang serba cepat dan penuh perubahan identitas, makna Lanang seringkali tereduksi menjadi stereotip dangkal atau bahkan hilang ditelan arus globalisasi. Padahal, inti dari filosofi ini—keseimbangan antara Jagat Cilik (dunia mikro, diri sendiri) dan Jagat Gedhe (dunia makro, alam semesta)—menawarkan panduan etis yang sangat relevan untuk menghadapi kompleksitas kehidupan saat ini. Artikel ini akan membedah secara mendalam struktur filosofis Lanang, menelusuri pilar-pilar utamanya, serta melihat bagaimana nilai-nilai luhur tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan kontemporer, memastikan bahwa warisan kebijaksanaan ini tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang. Pemahaman mendalam mengenai Lanang memerlukan kesediaan untuk melepaskan definisi modern dan merangkul perspektif kosmologis Jawa yang holistik.
Eksplorasi ini dimulai dari pemahaman bahwa maskulinitas sejati, atau Kasatrian, adalah perjalanan spiritual yang tiada henti, sebuah usaha abadi untuk mencapai kesempurnaan batin. Inilah mengapa konsep ini selalu dihubungkan dengan Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), sebab puncak dari ke-Lanang-an adalah pengakuan penuh atas peran diri sebagai bagian integral dari semesta dan pelaksana kehendak Ilahi di dunia. Tanpa fondasi spiritual ini, seorang pria mungkin memiliki kekuatan dan kekayaan, tetapi ia tidak akan pernah mencapai predikat sejati sebagai seorang Lanang. Ini adalah penekanan utama yang membedakan filosofi Jawa dari konsep maskulinitas di banyak budaya lain.
Filosofi Jawa menyusun identitas seorang Lanang di atas kerangka lima elemen mendasar yang dikenal sebagai ‘lima pusaka’ atau lima tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pria. Elemen-elemen ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan saling mempengaruhi, membentuk karakter yang utuh. Kegagalan dalam menguasai salah satu aspek akan menyebabkan ketidakseimbangan menyeluruh dalam diri.
Watak ksatria adalah pondasi etis dari seorang Lanang. Ini bukan sekadar tentang kemampuan bertarung fisik, melainkan keberanian moral untuk membela kebenaran (dharma) meskipun berhadapan dengan risiko pribadi. Integritas (kemantapan janji) menjadi mata uang tertinggi seorang ksatria. Seorang Lanang harus berani mengakui kesalahan, berdiri teguh di atas prinsip, dan memastikan bahwa perkataan dan perbuatannya selalu selaras. Keberanian sejati muncul dari pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri, yang memungkinkan dia untuk menghadapi musuh terbesar—keraguan dan ketakutan dalam dirinya sendiri—dengan ketenangan. Ksatria sejati tidak mencari pertarungan; ia mencari kedamaian dan keadilan, tetapi siap berkorban demi tegaknya prinsip-prinsip tersebut. Konsep Satya Wacana (kesetiaan pada ucapan) menjadi barometer utama dalam menilai derajat ksatria seseorang.
Penerapan watak ksatria meluas hingga ke dalam ranah profesional dan sosial. Ini menuntut kejujuran absolut dalam berbisnis, keadilan dalam memimpin, dan ketegasan dalam mengambil keputusan yang sulit, terutama ketika keputusan tersebut tidak populer namun benar secara etika. Ksatria modern adalah individu yang berani memegang tanggung jawab, tidak lari dari konsekuensi tindakannya, dan siap menjadi pelindung bagi yang lemah dan tertindas. Watak ini juga mencakup kontrol emosi yang luar biasa. Seorang Lanang ksatria mampu mengubah kemarahan menjadi energi positif untuk perubahan, bukan menjadi destruksi.
Jika ksatria adalah wujud luar, pandita (pertapa/cendekiawan spiritual) adalah wujud batin. Seorang Lanang wajib memiliki kedalaman spiritual yang memadai. Hal ini dicapai melalui laku prihatin (tapa, puasa, meditasi) dan introspeksi terus-menerus. Watak pandita mengajarkan bahwa kekuatan sejati berasal dari keselarasan batin. Kebijaksanaan bukanlah hasil dari informasi yang banyak, melainkan hasil dari pemahaman yang mendalam (ngelmu) tentang hakikat hidup dan mati. Seorang Lanang harus mampu menjadi penasihat yang bijak, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Aspek Pandita menekankan pentingnya ‘olah rasa’, kemampuan untuk merasakan dan memahami perspektif orang lain (empati). Ini adalah kemampuan untuk melihat masalah tidak hanya dari sudut pandang materi, tetapi juga dari dimensi spiritual dan moral. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya menguntungkan secara pragmatis, tetapi juga adil secara etis. Dalam tradisi Jawa, banyak pemimpin besar (raja-raja) yang juga menjalani laku spiritual layaknya seorang pertapa. Ini menunjukkan bahwa kekuatan memimpin harus selalu diimbangi dengan keheningan dan kedalaman spiritual. Kegagalan mencapai watak pandita akan menghasilkan ksatria yang sombong dan kejam, buta terhadap penderitaan sesama.
Kedalaman spiritual ini juga mencakup penguasaan atas hawa nafsu (hawa sanga). Lanang sejati adalah dia yang menaklukkan dirinya sendiri, bukan menaklukkan orang lain. Proses penaklukan diri ini merupakan perjalanan seumur hidup, di mana kesabaran (sabar) dan ketulusan (ikhlas) menjadi senjata utamanya. Tanpa spiritualitas yang mendalam, hasrat duniawi (harta, takhta, wanita) akan dengan mudah merusak integritasnya.
Watak tani (petani) mewakili tanggung jawab material dan produktivitas. Seorang Lanang harus mandiri secara ekonomi dan mampu menyediakan kesejahteraan bagi keluarganya. Tani melambangkan etos kerja keras, ketekunan, kesabaran dalam menunggu hasil, dan kemampuan untuk mengolah sumber daya alam (atau sumber daya ekonomi modern) menjadi sesuatu yang bermanfaat. Konsep ini mengajarkan bahwa rezeki harus dicari melalui keringat yang halal (sandang pangan) dan bukan dengan cara-cara yang merugikan orang lain.
Lebih dari sekadar mencari nafkah, watak tani juga menuntut pria untuk menjadi produktif dan berkontribusi pada kemakmuran komunitas. Dia harus menjadi ‘pencipta’ nilai, bukan sekadar konsumen. Nilai ini sangat relevan di era modern, di mana seorang Lanang dituntut untuk memiliki keterampilan (skill) dan etika profesional yang tinggi. Etos petani mengajarkan pentingnya menanam benih (investasi), merawatnya dengan sabar, dan menuai hasilnya pada waktunya, sambil selalu mengingat bahwa hasil tersebut juga harus dibagi dengan sesama (sedekah atau gotong royong). Kegagalan dalam watak tani seringkali berujung pada kemalasan, ketergantungan, atau pengejaran kekayaan yang tidak etis.
Watak seniman (pengrajin atau budayawan) memastikan bahwa Lanang tidak hanya keras dan logis, tetapi juga peka terhadap keindahan, harmoni, dan kehalusan budi pekerti (unggah-ungguh). Seniman mengajarkan bahwa kehidupan harus dijalani dengan estetika; setiap tindakan harus memiliki keindahan moral. Ini mencakup tata krama yang baik, kemampuan berbahasa yang santun, dan penghormatan terhadap adat istiadat. Kehalusan budi adalah cermin dari kedamaian batin. Pria yang kasar dalam perkataan atau tindakannya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya menguasai dirinya.
Aspek seniman juga berhubungan dengan kreativitas dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang elegan. Dia harus mampu menghargai seni dan budaya sebagai sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kemanusiaan. Dalam pernikahan, watak seniman mewujudkan dirinya dalam kemampuan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga, memperlakukan istri dan anak-anak dengan kasih sayang, dan menjaga romantisme yang dilandasi oleh rasa hormat. Tanpa kehalusan budi, semua kekuatan yang dimiliki seorang Lanang akan terasa hampa dan menakutkan, bukan mengayomi. Inilah yang sering disebut sebagai Alus Budi, hati yang halus dan peka.
Watak pengayom adalah sintesis dari keempat watak di atas, menjadikannya sebagai fungsi utama Lanang dalam masyarakat. Pengayom berarti pelindung, pemimpin, dan penjamin keamanan. Tanggung jawabnya mencakup keluarga, lingkungan, dan bahkan alam. Seorang Lanang tidak mencari kekuasaan demi kepentingan pribadi, melainkan menggunakan otoritasnya untuk melayani (servant leadership). Kepemimpinan yang diemban adalah kepemimpinan yang merangkul dan menenangkan, bukan mendominasi.
Sifat pengayom menuntut kemampuan untuk menahan diri dari godaan kekuasaan. Filosofi Jawa mengajarkan bahwa kekuasaan adalah ujian terberat. Jika gagal dalam ujian ini, seorang Lanang akan berubah menjadi tiran. Oleh karena itu, pengayoman selalu didasarkan pada prinsip adil paramarta (keadilan yang merata) dan tepo sliro (toleransi dan empati). Pengayom harus mampu mendengarkan, menengahi konflik, dan memastikan bahwa semua anggota komunitas merasa aman dan dihormati. Ini adalah tanggung jawab seumur hidup, memastikan bahwa jejak yang ditinggalkannya adalah warisan kebaikan dan kebermanfaatan.
Konsep Lanang tidak bisa dilepaskan dari kosmologi Jawa yang memandang alam semesta sebagai kesatuan yang utuh dan saling terkait. Pria sejati harus memahami posisinya dalam tatanan besar ini. Pemahaman ini diwujudkan melalui empat konsep kunci:
Seorang Lanang sejati harus memahami dari mana ia berasal dan ke mana ia akan kembali. Pemahaman ini menghilangkan kesombongan dan kelekatan terhadap materi duniawi. Ia menyadari bahwa tubuhnya (wadah) hanyalah titipan, sedangkan rohnya (isi) adalah bagian dari Roh Semesta. Pemahaman ini memberikan kedamaian batin yang luar biasa, sehingga ia mampu menghadapi kematian tanpa rasa takut, dan hidup tanpa rasa cemas yang berlebihan terhadap hal-hal yang tidak abadi. Ini adalah landasan bagi kemantapan hati (teteg ing ati) yang diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan. Kekuatan mental seorang Lanang bersumber dari keyakinan ini, menjadikannya tabah menghadapi musibah.
Prinsip ini secara praktis mendorong seorang Lanang untuk hidup secara otentik. Dia tidak hidup berdasarkan harapan atau tuntutan orang lain, melainkan berdasarkan panggilan jiwa dan dharma yang ia yakini. Hal ini membebaskannya dari tekanan sosial untuk selalu tampil sempurna atau kaya, karena ia tahu nilai dirinya tidak terletak pada atribut luar, melainkan pada kualitas batinnya.
Dalam pandangan Jawa, kehidupan seorang Lanang melalui empat fase atau warna, yang harus dijalani dengan penuh kesadaran.
Filosofi Jawa mengajarkan bahwa kepemimpinan (yang merupakan esensi dari ke-Lanang-an) haruslah dilandasi oleh prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan). Ini adalah esensi dari Pamomong (pembimbing yang mengasuh) dan Pamong (pelayan). Seorang Lanang adalah guru yang melayani. Ia tidak memerintah dari atas, tetapi memimpin dengan memberikan contoh nyata tentang bagaimana menjalani kehidupan yang lurus dan bermartabat.
Peran ini sangat vital dalam keluarga. Ia harus menjadi cermin bagi anak-anaknya. Jika seorang ayah (lanang) menunjukkan kejujuran dan kerja keras, maka nilai-nilai tersebut akan tertanam kuat dalam diri keturunannya. Jika ia berlaku sewenang-wenang atau malas, maka ia telah gagal dalam peran pamomong-nya, meskipun ia kaya raya. Pamomong juga menuntut kesabaran yang tak terbatas dalam mendidik dan membimbing, menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi dan prosesnya sendiri.
Keberhasilan seorang Lanang diukur bukan dari seberapa banyak ia dikagumi, melainkan seberapa banyak ia telah memberdayakan orang lain di sekitarnya untuk mencapai potensi terbaik mereka. Inilah wujud nyata dari tanggung jawab sosial yang melampaui kepentingan pribadi atau kelompok sempit.
Dalam tradisi Kejawen, ada tiga tanda utama yang menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai tingkat kesempurnaan seorang Lanang sejati, yaitu: Adil, Sabar, dan Ikhlas.
Peran seorang Lanang paling jelas terlihat dalam konteks hubungannya dengan pasangan, keluarga, dan lingkungannya. Dalam pandangan Jawa, hubungan adalah medan uji coba spiritual yang paling intensif.
Kata ‘Garwa’ (istri) sering diinterpretasikan secara filosofis sebagai Sigaraning Nyawa, yang berarti 'belahan jiwa'. Ini menunjukkan bahwa hubungan suami-istri adalah kesatuan spiritual, bukan sekadar kontrak sosial. Tanggung jawab Lanang dalam pernikahan adalah menjadi Imam (pemimpin spiritual) dan Pengayom (pelindung fisik dan emosional).
Seorang Lanang tidak mendominasi, melainkan memimpin dengan konsultasi dan kasih sayang. Ia harus menciptakan atmosfer di mana pasangannya dapat tumbuh dan berkembang secara penuh, baik secara spiritual maupun profesional. Kegagalan dalam mengayomi pasangannya menunjukkan kegagalan dalam menguasai dirinya sendiri. Keharmonisan rumah tangga (sakine, mawadah, warahmah) adalah cermin kesuksesan spiritual seorang pria. Jika ia tidak bisa membawa damai dalam rumahnya, bagaimana ia bisa membawa damai di masyarakat?
Tanggung jawab ini juga menuntut kepekaan emosional (watak Seniman) untuk memahami dan merespons kebutuhan pasangannya. Kedekatan fisik dan emosional harus dibangun di atas dasar rasa hormat yang mendalam, mengakui bahwa pasangan adalah partner sejati dalam perjalanan hidup, bukan bawahan yang harus tunduk. Pria Jawa haruslah romantis dalam artian yang halus dan substansial, bukan sekadar basa-basi, melainkan melalui tindakan nyata yang menunjukkan penghargaan.
Peran Lanang terhadap keturunannya adalah menanamkan budi luhur. Ini jauh lebih penting daripada warisan materi. Pendidikan yang diberikan harus mencakup ngelmu (ilmu batin) dan kepandaian (keterampilan duniawi). Ayah harus menjadi guru pertama yang mengajarkan tentang etika, tata krama, dan pentingnya menjaga nama baik keluarga (wibawa).
Ia harus menjadi panutan yang konsisten (watak Ksatria) sehingga anak-anak dapat melihat langsung bagaimana prinsip-prinsip hidup yang baik diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesalahan terbesar seorang Lanang adalah memisahkan antara ajaran moral yang ia berikan dan perilaku sehari-harinya. Anak-anak akan selalu meniru apa yang dilakukan, bukan hanya apa yang diucapkan. Oleh karena itu, integritas ayah adalah warisan yang paling berharga.
Seorang Lanang sejati memiliki kesadaran historis dan ekologis yang kuat. Ia menghormati leluhurnya (leluhur) sebagai sumber kebijaksanaan dan tidak memutuskan rantai tradisi. Penghormatan ini tidak berarti pemujaan buta, melainkan usaha untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah teruji oleh waktu, sambil tetap terbuka terhadap perubahan.
Kesadaran ekologisnya muncul dari pandangan bahwa manusia adalah bagian kecil dari alam semesta. Ia tidak eksploitatif, tetapi bersikap sebagai penjaga (penghulu alam) yang memastikan bahwa sumber daya alam digunakan secara bijak dan lestari. Ini sejalan dengan watak Tani yang memahami ritme alam. Kerusakan lingkungan adalah cerminan dari kegagalan spiritual, karena menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk hidup selaras dengan Jagat Gedhe. Seorang Lanang selalu berusaha menciptakan keseimbangan, baik di lingkungan mikro (keluarga) maupun makro (alam).
Konsep Lanang menghadapi tantangan signifikan dalam masyarakat modern yang didominasi oleh nilai-nilai individualisme, materialisme, dan persaingan yang kejam.
Di masa lalu, kekuatan Lanang diukur dari kemampuannya untuk mengendalikan diri dan memberikan pengayoman. Kini, kekuatan seringkali disamakan dengan kekuasaan politik, kekayaan materi, atau dominasi fisik. Pria modern sering terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk ‘memiliki lebih’, melupakan bahwa kekuatan sejati (watak Pandita) terletak pada ‘menguasai diri’. Tuntutan untuk selalu tampil sukses di mata publik (media sosial, gaya hidup mewah) menciptakan kepalsuan dan menjauhkan pria dari otentisitas spiritualnya.
Pergeseran ini menghasilkan krisis identitas. Banyak pria merasa tertekan untuk menjadi ‘pencari nafkah’ yang tak pernah lelah, yang pada akhirnya mengorbankan waktu untuk keluarga dan refleksi spiritual. Seorang Lanang modern harus berani mendefinisikan kembali kesuksesan, meletakkan nilai batin dan kebermanfaatan di atas akumulasi materi. Ia harus menggunakan kekayaan (jika ada) sebagai alat untuk pengayoman, bukan sebagai simbol kesombongan.
Kehidupan modern yang bising dan serba terhubung menyulitkan seorang Lanang untuk menemukan ‘ruang hening’ (sepi ing pamrih) yang penting bagi pengembangan watak Pandita. Refleksi dan meditasi (tapa) sering dianggap sebagai kemewahan waktu yang tidak praktis. Akibatnya, banyak pria modern yang kuat secara finansial tetapi rapuh secara emosional dan spiritual. Mereka kehilangan jangkar kebijaksanaan (kawicaksanan) yang seharusnya membimbing mereka dalam menghadapi badai kehidupan.
Untuk mengatasi hal ini, reinterpretasi laku prihatin diperlukan. Lanang kontemporer harus mencari bentuk ‘tapa’ baru—mungkin dengan mematikan koneksi digital secara berkala, mendedikasikan waktu untuk pelayanan sosial, atau menetapkan ritual introspeksi harian—untuk memastikan bahwa jiwa batinnya tetap terawat di tengah hiruk pikuk duniawi.
Dalam masyarakat yang semakin individualis, etika dan tata krama (watak Seniman) sering dianggap kuno atau tidak penting. Kemampuan untuk berbicara dengan santun, menghormati orang tua, atau menunjukkan empati menjadi langka. Ironisnya, tanpa etika yang kuat, kemampuan berkomunikasi dan negosiasi seorang Lanang menjadi tumpul. Kekuatan tidak akan pernah dihormati jika tidak disertai kehalusan budi.
Tantangan ini menuntut revitalisasi pendidikan karakter yang dimulai dari rumah. Seorang Lanang harus aktif mengajarkan unggah-ungguh dan tepo sliro kepada generasi muda, tidak hanya melalui ceramah, tetapi melalui praktik nyata dalam interaksi sosial sehari-hari. Ini adalah upaya untuk melawan arus kasar komunikasi digital dan mengembalikan martabat interaksi manusia.
Revitalisasi filosofi Lanang bukan berarti kembali ke masa lalu secara harfiah, melainkan mengadaptasi prinsip-prinsip abadi ini ke dalam kerangka kehidupan modern.
Di tengah meningkatnya kesetaraan gender, peran Lanang sebagai pemimpin harus bertransformasi menjadi kepemimpinan yang inklusif dan kolaboratif. Ia tetap menjadi tiang penopang (pengayom), tetapi juga menjadi mitra yang setara. Ia menggunakan watak Ksatria-nya untuk membela hak-hak pasangannya dan anak-anaknya, dan watak Pandita-nya untuk menciptakan lingkungan keluarga yang damai dan berbasis nilai.
Kepemimpinan ini mengharuskan pembagian beban tanggung jawab (termasuk tugas domestik dan pengasuhan) secara adil, menyadari bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah ‘tugas wanita’ melainkan tanggung jawab bersama. Lanang sejati adalah dia yang tidak malu menunjukkan kerentanan dan emosi, karena ia memahami bahwa kekuatan batin mencakup kejujuran terhadap diri sendiri. Ia adalah pemimpin yang berani meminta maaf dan memperbaiki kesalahan.
Pola pikir ini juga meluas ke dunia kerja. Seorang Lanang yang menjabat posisi manajerial menggunakan filosofi Pamomong: memberdayakan bawahan, mengutamakan keadilan (adil paramarta), dan memastikan lingkungan kerja yang etis, bebas dari intimidasi atau eksploitasi. Ia memandang kesuksesan tim sebagai cerminan dari kemampuannya mengayomi.
Etos kerja Tani—ketekunan, kesabaran, dan perencanaan jangka panjang—sangat penting dalam ekonomi yang didominasi oleh hasil instan. Seorang Lanang tidak mudah tergoda oleh skema cepat kaya (aji mumpung), melainkan membangun kekayaan melalui fondasi yang kokoh dan etis.
Dalam dunia investasi, watak Tani mengajarkan pentingnya menanam benih (riset dan edukasi) sebelum memanen hasil. Dalam karier, ia mengajarkan dedikasi jangka panjang dan pengembangan keahlian yang mendalam. Ia adalah pekerja keras yang tidak mengeluh, karena ia memahami bahwa proses adalah bagian tak terpisahkan dari hasil. Kesuksesan baginya adalah buah dari proses yang jujur, bukan kebetulan atau jalan pintas.
Puncak dari perjalanan Lanang adalah mencapai loro lopo (keseimbangan sempurna antara lahiriah dan batiniah). Ini berarti seorang pria tidak boleh menjadi terlalu spiritual sehingga mengabaikan tanggung jawab duniawi, maupun terlalu duniawi sehingga mengabaikan kebutuhan spiritualnya.
Keseimbangan ini tercermin dalam rutinitas harian: ia bekerja keras mencari nafkah (lahiriah), tetapi ia juga menyisihkan waktu untuk refleksi spiritual, beramal, dan melayani sesama (batiniah). Kekuatan batinnya (Pandita) menopang tindakannya di dunia nyata (Ksatria dan Tani). Kegagalan menjaga keseimbangan ini akan menghasilkan pria yang hanya ‘setengah jadi’, baik itu pertapa yang mengabaikan keluarganya, atau pengusaha sukses yang jiwanya kosong.
Filosofi ini mengajarkan bahwa dunia adalah panggung untuk mempraktikkan kebajikan. Oleh karena itu, seorang Lanang haruslah terlibat aktif dalam masyarakat, menggunakan talenta dan sumber dayanya untuk kebaikan bersama, sambil tetap menjaga kejernihan batinnya dari korupsi moral dan godaan duniawi. Keterlibatan sosialnya adalah perwujudan dari watak Pengayom yang otentik.
Di tengah tekanan modern, resiliensi emosional menjadi ciri khas Lanang sejati. Ia harus mampu menghadapi kegagalan tanpa hancur, menghadapi kritik tanpa defensif, dan menghadapi pujian tanpa menjadi sombong. Ini adalah hasil dari disiplin diri dan penguasaan atas ego.
Disiplin Lanang modern diwujudkan melalui komitmen pada kesehatan fisik (raga) sebagai wadah spiritual yang baik, dan kesehatan mental yang kuat. Ia mencari pengetahuan, bukan untuk pamer, tetapi untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Ia melihat setiap kesulitan sebagai kesempatan untuk menguji dan memperkuat watak Ksatria dan Pandita di dalam dirinya. Ini adalah etos perjuangan yang tiada henti demi menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, selalu berpegang teguh pada prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe (sedikit berharap balasan, banyak bekerja).
Konsep Lanang sejati adalah sebuah panggilan—bukan sekadar identitas yang didapatkan saat lahir, melainkan status spiritual dan moral yang harus diperjuangkan seumur hidup. Filosofi Jawa menawarkan kerangka kerja yang komprehensif, mulai dari watak Ksatria yang berani, Pandita yang bijaksana, Tani yang produktif, Seniman yang halus, hingga Pengayom yang melayani. Semua elemen ini terjalin erat untuk membentuk pribadi yang utuh, seimbang, dan bertanggung jawab.
Dalam pusaran perubahan zaman, nilai-nilai Lanang justru menjadi semakin vital. Diperlukan seorang pria yang memiliki integritas ksatria untuk melawan korupsi, memiliki kedalaman pandita untuk menemukan makna, dan memiliki kehalusan seniman untuk membangun harmoni. Mereka adalah tiang yang dapat diandalkan, tidak hanya oleh keluarga, tetapi oleh seluruh bangsa.
Perjalanan menuju ke-Lanang-an adalah perjalanan pulang ke diri sejati, sebuah proses yang menuntut ketulusan (Ikhlas), kesabaran (Sabar), dan keadilan (Adil). Dengan menghidupkan kembali dan mempraktikkan filosofi ini, seorang pria tidak hanya menemukan kedamaian dan martabat pribadinya, tetapi juga memastikan bahwa warisan kebijaksanaan leluhur tetap menjadi mercusuar moral yang menerangi jalan bagi peradaban masa depan. Lanang adalah masa kini, dan Lanang adalah masa depan.
Lebih jauh lagi, pemahaman tentang Lanang menuntut penguasaan atas konsep Wirya, Arta, Wanita (Kekuatan, Harta, Wanita) yang sering disebut sebagai godaan utama pria. Lanang sejati tidak lari dari godaan ini, tetapi menguasainya. Kekuatan digunakan untuk melindungi, bukan menindas. Harta digunakan untuk menyejahterakan, bukan menimbun. Wanita (pasangan) dicintai dan dihormati sebagai mitra spiritual, bukan objek kepemilikan. Kegagalan dalam menguasai salah satu dari tri-godaan ini secara otomatis menggugurkan predikat Lanang sejati, karena ia menunjukkan ketidakmampuan untuk mengendalikan hawa nafsu dasarnya. Inilah mengapa disiplin batin, yang merupakan inti dari watak Pandita, menjadi begitu krusial dan harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, dari hal terkecil hingga keputusan terbesar.
Filosofi ini juga mengajarkan pentingnya rasa pangrasa—kemampuan untuk merasakan dan menanggapi lingkungan secara intuitif dan etis. Seorang Lanang yang memiliki rasa pangrasa yang tajam akan tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, kapan harus bertindak tegas dan kapan harus mengalah demi kebaikan yang lebih besar. Kecerdasan emosional yang tinggi ini adalah hasil dari olah batin yang konsisten. Tanpa rasa pangrasa, seorang pria bisa menjadi cerdas secara intelektual, tetapi buta secara sosial, dan tindakannya cenderung melukai atau merugikan orang lain meskipun ia tidak berniat demikian. Oleh karena itu, latihan kepekaan ini harus terus dipertahankan melalui interaksi yang jujur dan reflektif dengan masyarakat dan alam.
Dalam tradisi spiritual Jawa, konsep ‘tumbuh’ sangat erat kaitannya dengan ‘menghadapi’. Lanang yang tumbuh adalah dia yang tidak menghindari kesulitan, melainkan melihat tantangan sebagai medium untuk mengasah batin. Jika ia seorang pengusaha, kesulitan ekonomi dilihat sebagai ujian kesabaran dan kreativitas (Tani). Jika ia seorang pemimpin, konflik politik dilihat sebagai ujian keadilan dan integritas moral (Ksatria dan Pengayom). Proses ini disebut Urip Iku Urup (hidup itu menyala), yang berarti keberadaan kita harus mampu memberikan penerangan dan manfaat bagi lingkungan sekitar. Pria yang hanya hidup untuk dirinya sendiri, meskipun secara biologis adalah laki-laki, secara filosofis belum memenuhi syarat sebagai seorang Lanang, karena cahayanya tidak menerangi siapapun. Kontribusi tanpa pamrih adalah tolok ukur tertinggi.
Penguasaan atas lima watak dan pemahaman atas kosmologi Jawa menciptakan sosok yang disebut Waskita—pandai melihat jauh ke depan dan memiliki pandangan yang jernih. Waskita tidak mudah terombang-ambing oleh tren sesaat atau kepanikan massal. Dia menjadi pusat ketenangan dalam badai, karena keputusannya didasarkan pada prinsip abadi, bukan pada keuntungan jangka pendek. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Waskita memberikan arah yang dibutuhkan oleh keluarga dan komunitasnya. Kejelasan visi ini adalah manifestasi puncak dari watak Pandita yang telah berhasil mengintegrasikan ilmu pengetahuan duniawi dengan kebijaksanaan spiritual. Inilah tujuan akhir dari perjalanan ke-Lanang-an: menjadi pribadi yang utuh, berakar kuat pada nilai luhur, namun tetap fleksibel menghadapi perubahan.
Setiap pria Jawa, baik yang tinggal di desa maupun yang sukses di metropolitan, memiliki kewajiban moral untuk merefleksikan nilai-nilai ini dalam hidupnya. Lanang bukan gelar warisan, melainkan pencapaian yang harus diperjuangkan setiap hari melalui setiap pilihan etis yang dibuat, setiap kata yang diucapkan, dan setiap tindakan yang dilakukan. Ia harus menjadi penyangga tradisi yang positif, penyemai keadilan, dan pelayan sejati bagi kemanusiaan. Kegagalan kolektif pria modern untuk menjalankan peran ini akan menciptakan kekosongan moral yang serius dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, menghidupkan kembali filosofi Lanang adalah sebuah urgensi budaya dan spiritual yang tidak bisa ditunda. Kekuatan sejati terletak pada kelembutan budi, ketegasan prinsip, dan kedalaman spiritual yang tak terbatas.
Pengembangan watak Lanang juga memerlukan pemahaman mendalam tentang konsep Sedulur Papat Lima Pancer (Empat Saudara dan Pusat Kelima). Empat saudara ini adalah representasi dari energi primal dan nafsu (amarah, lawwamah, sufiyah, mutmainnah) yang menyertai kelahiran manusia. Seorang Lanang sejati harus mampu menguasai empat ‘saudara’ ini, menjadikan mereka sebagai pelayan, bukan majikan. Pusat Kelima (Pancer) adalah diri sejati (roh) yang menjadi poros kendali. Jika Pancer lemah, maka nafsu akan menguasai. Oleh karena itu, perjuangan sejati seorang Lanang adalah perjuangan internal untuk memperkuat Pancer ini, sehingga semua kekuatannya diarahkan pada kebajikan dan dharma. Ini memerlukan latihan disiplin diri, termasuk pengendalian lidah dan mata, memastikan bahwa pancaindera berfungsi untuk mendukung pertumbuhan spiritual, bukan kejatuhan moral.
Kontribusi seorang Lanang di era globalisasi haruslah menjadi jembatan antara kearifan lokal dan tuntutan universal. Ia tidak boleh anti-kemajuan, tetapi ia harus menyaring setiap inovasi dan ide baru melalui saringan etika Jawa. Apakah kemajuan ini selaras dengan tepo sliro? Apakah teknologi ini mendukung watak Pengayom? Dengan demikian, Lanang menjadi agen perubahan yang bertanggung jawab, membawa manfaat modernitas tanpa kehilangan akarnya. Filosofi ini mengajarkan fleksibilitas tanpa kompromi terhadap nilai dasar. Ia harus mampu berinteraksi dengan dunia internasional, tetapi tetap mempertahankan identitasnya yang kaya akan budi pekerti dan spiritualitas lokal. Ini adalah tantangan terbesar bagi Lanang di abad ke-21.
Perlu ditekankan kembali bahwa implementasi watak Seniman sangat penting dalam dunia yang didominasi oleh kekerasan dan konflik. Watak seniman ini memancarkan keindahan dalam penyelesaian masalah (solusi elegan) dan kehalusan dalam komunikasi (tidak memprovokasi). Seorang Lanang adalah diplomat alami dalam rumah tangga dan komunitas. Ia meredam konflik dengan mendengarkan secara aktif dan mencari titik temu, bukan dengan memaksakan kehendak. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati seringkali ditemukan dalam keheningan dan kelembutan, bukan dalam suara keras atau ancaman. Kelembutan ini adalah refleksi dari kepercayaan diri yang mendalam, karena ia tidak perlu membuktikan kekuatannya melalui agresi.
Akhirnya, warisan Lanang adalah tentang penciptaan Wibawa (kharisma dan otoritas moral). Wibawa bukanlah sesuatu yang bisa dibeli atau dituntut; ia adalah aura yang muncul secara organik dari integritas batin dan perilaku yang konsisten. Wibawa seorang Lanang sejati membuat orang lain menghormati dan mendengarkannya tanpa perlu ia meninggikan suara. Wibawa ini adalah hasil akumulasi dari penguasaan kelima watak sejati sepanjang hidupnya, menjadikannya sumber inspirasi dan teladan. Inilah tujuan tertinggi dari filosofi maskulinitas Jawa: menjadi sumber wibawa dan kebajikan yang abadi.