Landak Semut (Echidna) adalah mamalia yang bertelur, menjadikannya anggota ordo Monotremata yang langka.
Landak Semut, yang secara ilmiah dikenal sebagai Echidna, mewakili salah satu kelompok mamalia yang paling menarik dan misterius di dunia. Bersama dengan Platipus (Ornithorhynchus anatinus), mereka adalah satu-satunya anggota ordo Monotremata yang masih hidup. Ordo Monotremata adalah kelompok mamalia primitif yang mempertahankan karakteristik reptil purba, terutama dalam hal reproduksi: mereka adalah mamalia yang bertelur. Keunikan evolusioner ini menempatkan Landak Semut pada posisi penting dalam studi biologi vertebrata, menawarkan jendela ke masa transisi evolusi mamalia.
Nama 'Monotremata' berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'satu lubang', merujuk pada kloaka—satu bukaan tunggal yang berfungsi untuk saluran urinasi, defekasi, dan reproduksi. Ciri ini adalah warisan dari leluhur reptil mereka dan merupakan pembeda utama dari mamalia plasenta (Eutheria) dan marsupialia (Metatheria). Landak Semut (famili Tachyglossidae) dan Platipus (famili Ornithorhynchidae) berpisah dari garis keturunan mamalia lain sekitar 166 juta tahun yang lalu selama Periode Jurasik, menjadikan mereka fosil hidup dalam artian tertentu. Mereka telah melalui proses koevolusi dan adaptasi yang luar biasa selama jutaan tahun di daratan Australia dan Papua Nugini yang terisolasi.
Analisis filogenetik dan studi genomik menunjukkan bahwa Landak Semut memiliki laju evolusi yang relatif lambat dibandingkan dengan mamalia Eutheria, memungkinkan pelestarian fitur-fitur kuno. Meskipun mereka bertelur, Landak Semut tetap memiliki kelenjar susu untuk menyusui anaknya. Namun, berbeda dengan mamalia lain, mereka tidak memiliki puting; susu dikeluarkan melalui pori-pori kulit di area yang disebut 'areola' di dalam kantung (marsupium) betina. Mekanisme pemberian makan ini adalah contoh sempurna dari adaptasi unik yang menjembatani sifat primitif dan sifat mamalia sejati.
Famili Tachyglossidae saat ini diakui mencakup dua genus utama, yang terdiri dari empat spesies Landak Semut yang masih ada. Genus Tachyglossus hanya memiliki satu spesies, Landak Semut Moncong Pendek, yang tersebar luas. Sementara itu, genus Zaglossus (Landak Semut Moncong Panjang) adalah kelompok yang lebih terancam dan endemik di Papua Nugini, yang mencakup tiga spesies yang sangat sulit dipelajari. Perbedaan morfologis utama antara kedua genus ini terletak pada panjang moncong, jumlah cakar, dan diet spesifik yang mereka kejar.
Spesies-spesies tersebut meliputi: 1) Tachyglossus aculeatus (Landak Semut Moncong Pendek), yang tersebar di seluruh Australia dan Papua bagian selatan. 2) Zaglossus bruijnii (Landak Semut Moncong Panjang Barat). 3) Zaglossus attenboroughi (Landak Semut Moncong Panjang Attenborough/Cyclops), yang sangat langka dan sempat diduga punah. 4) Zaglossus bartoni (Landak Semut Moncong Panjang Timur). Penelitian mendalam tentang Zaglossus di Papua sering kali terhambat oleh medan yang sulit dan sifat mereka yang sangat pemalu dan nokturnal, menjadikannya salah satu mamalia yang paling minim dipahami di planet ini.
Tubuh Landak Semut adalah mahakarya adaptasi. Meskipun mereka berbagi fitur dasar mamalia, modifikasi ekstrem pada sistem integumen (kulit) dan sistem muskuloskeletal memungkinkan mereka bertahan hidup dalam lingkungan yang keras, memanfaatkan sumber makanan spesifik, yaitu serangga sosial.
Fitur Landak Semut yang paling menonjol adalah duri tebal yang menutupi punggung dan sisi tubuh mereka. Duri-duri ini adalah modifikasi dari rambut, terbuat dari keratin yang sangat padat dan kaku. Duri pada Landak Semut Moncong Pendek biasanya berwarna krem hingga hitam, berongga di bagian tengah, dan ujungnya sangat tajam. Ketika merasa terancam, Landak Semut memiliki kemampuan luar biasa untuk menggulung menjadi bola padat atau, jika tanahnya lunak, menggali sangat cepat hingga hanya duri-duri yang terlihat di permukaan.
Penggunaan otot kulit (otot panniqulus) adalah kunci dari mekanisme pertahanan ini. Otot-otot ini terhubung ke pangkal setiap duri, memungkinkan Landak Semut untuk secara aktif mengangkat, memiringkan, atau meratakan duri-durinya. Kemampuan menggali mereka juga didukung oleh otot punggung dan kaki yang luar biasa kuat, memungkinkan mereka tenggelam ke dalam tanah hanya dalam hitungan detik. Kecepatan menggali ini, dikombinasikan dengan perlindungan duri, membuat Landak Semut hampir kebal terhadap sebagian besar predator alami seperti Dingo atau rubah yang diperkenalkan.
Landak Semut tidak memiliki gigi (edentulous). Sebagai gantinya, mereka memiliki moncong panjang yang berfungsi sebagai organ sensorik multifungsi. Moncong ini, yang dilapisi kulit lembap dan kaya akan reseptor sentuhan, adalah salah satu organ yang paling sensitif di antara mamalia darat. Bagian yang paling revolusioner dari moncong Landak Semut adalah keberadaan elektroreseptor.
Sistem elektroresepsi pada Landak Semut, meskipun tidak sekuat pada Platipus, memungkinkan mereka untuk mendeteksi medan listrik lemah yang dihasilkan oleh kontraksi otot mangsa mereka—semut dan rayap—bahkan ketika serangga tersebut tersembunyi di dalam tanah atau kayu. Landak Semut Moncong Panjang, dengan moncong yang lebih panjang dan melengkung, menggunakan adaptasi ini secara lebih intensif, menggali lapisan tanah humus untuk mencari cacing tanah, yang juga menghasilkan sinyal bioelektrik.
Di ujung moncong tersebut terdapat lubang hidung dan mulut yang kecil. Moncong genus Zaglossus jauh lebih panjang, menyumbang hampir dua pertiga panjang kepala, dan memiliki tiga kali lebih banyak reseptor sentuhan dibandingkan Tachyglossus. Perbedaan morfologi moncong ini secara langsung mencerminkan perbedaan preferensi diet: Tachyglossus fokus pada mangsa kecil dan keras (semut/rayap), sementara Zaglossus mencari mangsa yang lebih besar dan lunak (cacing tanah).
Lidah Landak Semut adalah alat makan yang paling efisien di dunia vertebrata. Lidah mereka sangat panjang dan ramping, pada Landak Semut Moncong Pendek bisa menjulur hingga 18 cm. Tidak seperti lidah pada mamalia lainnya, lidah Landak Semut bergerak dengan kecepatan luar biasa tinggi, didorong oleh otot lidah (termasuk genioglossus dan hyoglossus) yang berjangkar jauh di bawah rongga dada, melekat pada tulang hyoid.
Permukaan lidah dilapisi dengan air liur yang lengket, dihasilkan oleh kelenjar sublingual yang besar. Air liur ini bersifat kental dan mengandung enzim khusus yang membantu melumpuhkan serangga kecil. Mereka tidak 'menangkap' semut satu per satu; sebaliknya, mereka memasukkan lidah ke dalam sarang rayap atau semut dan menarik kembali ribuan serangga kecil yang menempel padanya. Landak Semut Moncong Pendek dapat menjulurkan dan menarik lidahnya hingga 100 kali per menit saat sedang makan. Karena mereka tidak punya gigi, mangsa dihancurkan di antara lidah dan langit-langit mulut yang bertanduk (ridge keratinous) sebelum ditelan.
Fisiologi Landak Semut jauh lebih primitif dibandingkan mamalia plasenta. Aspek-aspek seperti termoregulasi, sistem peredaran darah, dan metabolisme mereka sangat unik dan sangat adaptif terhadap lingkungan ekstrem di habitat mereka.
Landak Semut memiliki suhu tubuh inti yang sangat rendah dibandingkan mamalia plasenta, sekitar 32 °C. Yang lebih menarik, mereka adalah endoterm 'berfluktuasi'. Mereka tidak efisien dalam mempertahankan suhu tubuh konstan, sebuah sifat yang disebut heterotermi temporal. Dalam kondisi dingin ekstrem atau kelangkaan makanan, Landak Semut dapat memasuki keadaan torpor (tidur sementara) atau hibernasi penuh.
Selama hibernasi, suhu tubuh mereka bisa turun hingga serendah 5 °C. Periode torpor ini memungkinkan mereka untuk menghemat energi secara drastis, mengurangi laju metabolisme basal hingga 80%. Strategi ini sangat penting di gurun atau wilayah pegunungan yang mengalami fluktuasi suhu harian dan musiman yang ekstrem. Meskipun memiliki rambut dan duri, Landak Semut kekurangan kelenjar keringat dan cenderung mudah kepanasan (hipertermia) di atas 35 °C, sehingga mereka harus mencari perlindungan di liang atau di bawah vegetasi pada siang hari terpanas.
Sistem darah Landak Semut menunjukkan adaptasi terhadap kadar oksigen rendah. Hemoglobin mereka memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap oksigen, membantu mereka memaksimalkan penyerapan oksigen saat mereka menggali di bawah tanah atau memasuki kondisi metabolisme rendah saat torpor. Selain itu, mereka memiliki resistensi yang luar biasa terhadap akumulasi asam laktat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan periode aktivitas fisik yang intensif (seperti menggali) tanpa mengalami kelelahan otot yang cepat.
Otak Landak Semut juga patut diperhatikan. Mereka memiliki rasio volume otak terhadap tubuh yang cukup besar, dan korteks serebral mereka sangat berliku-liku (gyrencephalic). Tingkat lilitan ini menunjukkan kompleksitas pemrosesan saraf yang tidak terduga untuk mamalia yang dianggap 'primitif'. Struktur otak ini diperkirakan berhubungan dengan kebutuhan untuk memproses informasi sensorik yang kompleks dari moncong mereka, termasuk elektroresepsi dan penciuman, serta kemampuan belajar spasial yang diperlukan untuk navigasi dan menemukan sumber makanan yang tersembunyi.
Reproduksi Landak Semut sangat berbeda dari mamalia Eutheria dan Marsupialia. Sebagai ovipar, Landak Semut memberikan bukti kuat tentang jalur evolusi mamalia yang berbeda, dengan tahap perkembangan pasca-kelahiran yang melibatkan kantung dan menyusui.
Musim kawin Landak Semut terjadi sekali setahun, biasanya antara bulan Juli dan Agustus. Selama periode ini, betina dewasa mengeluarkan feromon yang menarik pejantan. Yang paling menakjubkan adalah fenomena yang dikenal sebagai 'kereta echidna' (echidna train). Seekor betina akan diikuti oleh barisan pejantan, kadang-kadang mencapai sepuluh individu, yang mengikutinya dalam jarak dekat selama berminggu-minggu, atau bahkan lebih dari sebulan. Pejantan bersaing secara pasif untuk mendekati betina, dengan pejantan yang dominan mempertahankan posisi terdepan.
Ketika betina siap kawin, ia akan berbaring dan memungkinkan pejantan untuk menggali parit di sekitarnya. Pertarungan sering terjadi, di mana pejantan menggunakan kekuatan menggali dan dorongan duri untuk menyingkirkan pesaing. Setelah kawin, pejantan Landak Semut memiliki penis berujung empat yang hanya digunakan untuk reproduksi (urinasi dilakukan melalui kloaka), suatu fitur yang unik di antara mamalia.
Landak Semut betina biasanya hanya menghasilkan satu telur per musim kawin. Telur ini memiliki cangkang kulit yang lunak dan fleksibel, mirip dengan telur reptil. Sekitar 22 hari setelah kawin, telur diletakkan langsung ke dalam kantung lipatan perut sementara (marsupium) yang berkembang pada betina selama kehamilan.
Inkumbasi berlangsung sekitar 10 hari. Anak Landak Semut yang baru menetas, disebut 'puggle', sangat kecil (beratnya kurang dari 1 gram dan panjang sekitar 1.5 cm) dan masih dalam tahap embrio, mirip dengan marsupial. Puggle menggunakan cakar depannya yang berkembang untuk merangkak di dalam kantung menuju area susu (areola). Mereka akan tinggal dan menyusu di dalam kantung selama sekitar 45 hingga 55 hari, sampai duri mulai tumbuh dan menjadi terlalu tajam bagi ibu.
Setelah duri tumbuh, induk Landak Semut mengeluarkan puggle dari kantung dan menyembunyikannya di dalam liang yang dangkal atau di tempat perlindungan yang tersembunyi. Induk akan kembali secara berkala, kadang-kadang hanya sekali setiap 5 hingga 10 hari, untuk menyusui puggle. Jangka waktu menyusui yang jarang ini sangat tidak biasa untuk mamalia, menunjukkan laju pertumbuhan dan metabolisme puggle yang sangat lambat. Puggle akan sepenuhnya disapih dan mandiri pada usia sekitar tujuh bulan. Landak Semut memiliki rentang hidup yang panjang di alam liar, seringkali mencapai 16 hingga 20 tahun, dan dalam penangkaran dapat hidup hingga 50 tahun, menunjukkan strategi hidup yang fokus pada kelangsungan hidup jangka panjang dan reproduksi yang lambat.
Landak Semut menunjukkan kemampuan adaptasi ekologis yang luar biasa, mendiami berbagai habitat mulai dari gurun kering di pedalaman Australia hingga hutan hujan dataran tinggi di Papua Nugini. Perbedaan habitat ini memunculkan spesialisasi diet dan morfologi antarspesies.
T. aculeatus adalah spesies yang paling umum dan paling tersebar luas. Mereka dapat ditemukan di hampir semua ekosistem Australia, termasuk hutan eukaliptus, padang rumput, hingga semak belukar pegunungan salju. Fleksibilitas habitat ini didukung oleh dietnya yang luas tetapi sangat spesifik: Myrmekofagi (pemakan semut dan rayap).
Pola makan mereka hampir eksklusif terdiri dari serangga sosial. Landak Semut Moncong Pendek sangat pandai dalam mendeteksi kolom semut atau sarang rayap yang tersembunyi. Dengan menggunakan cakar depannya yang kuat, mereka merobek lapisan tanah atau kayu busuk untuk mengakses sarang. Spesies ini cenderung memakan seluruh koloni rayap dalam satu sesi makan, mengandalkan lidah cepat mereka untuk mengumpulkan ribuan mangsa. Mereka memiliki preferensi khusus, sering kali menghindari semut yang menghasilkan asam format terlalu kuat, dan berfokus pada rayap (Isoptera) atau semut yang lebih kecil.
Genus Zaglossus, yang mencakup tiga spesies di Papua Nugini, jauh lebih besar daripada Landak Semut Moncong Pendek (beratnya bisa mencapai 16 kg). Morfologi mereka disesuaikan dengan lingkungan hutan hujan pegunungan yang lembab dan kaya akan humus. Diet utama mereka adalah Invertivori; fokus mereka beralih dari rayap ke Cacing Tanah (Oligochaeta) dan larva serangga.
Moncong panjang dan melengkung pada Zaglossus berfungsi seperti cangkul atau probe, didorong ke dalam tanah subur untuk mencari cacing. Mereka menggunakan kaki depan yang kokoh dan cakar yang besar untuk membalik serasah daun dan menggali liang cacing. Cacing tanah ditarik keluar dengan lidah yang juga lengket dan berduri, meskipun tidak secepat Tachyglossus. Spesies Zaglossus menghadapi tantangan konservasi yang jauh lebih besar karena habitatnya yang terbatas dan tekanan perburuan.
Landak Semut pada dasarnya adalah hewan krepuskular (aktif saat fajar dan senja) atau nokturnal (aktif malam hari) di daerah panas, tetapi dapat menjadi diurnal (aktif siang hari) di daerah yang lebih dingin atau selama musim dingin. Kegiatan mereka sangat ditentukan oleh suhu lingkungan, mengingat ketidakmampuan mereka untuk berkeringat secara efektif.
Pola pergerakan mereka cenderung soliter, kecuali selama musim kawin. Wilayah jelajah (home range) Landak Semut Moncong Pendek bervariasi tergantung ketersediaan makanan; di daerah yang kaya, mereka mungkin hanya bergerak dalam radius beberapa ratus meter, tetapi di daerah gurun, mereka dapat menempuh jarak yang jauh lebih besar dalam upaya mencari sarang serangga yang baru. Mereka adalah navigator yang sangat baik, mampu mengingat lokasi sarang serangga yang sukses dan kembali ke sana di masa depan.
Kesuksesan Landak Semut dalam ekosistemnya sangat bergantung pada sistem sensorik yang canggih dan kemampuan fisik yang luar biasa untuk memanipulasi lingkungannya.
Moncong Landak Semut mengandung elektroreseptor yang sangat sensitif untuk mendeteksi mangsa di bawah tanah.
Meskipun Landak Semut tidak bergantung pada elektroresepsi sebanyak Platipus (yang mencari makan di air), peran elektroreseptor pada moncongnya adalah vital. Reseptor ini adalah ampula yang peka terhadap perubahan potensi listrik yang sangat kecil. Ketika seekor Landak Semut menyentuh tanah yang mengandung sarang rayap, gerakan halus rayap di bawah tanah menghasilkan medan listrik, yang dideteksi oleh ujung moncong. Ini memungkinkan Landak Semut untuk secara akurat menentukan lokasi sarang tanpa perlu melihat atau mengandalkan pendengaran.
Namun, penciuman (olfaksi) tetap menjadi indra utama. Mereka memiliki sistem penciuman yang luar biasa, menggunakan moncong seperti 'sniffer'. Mereka dapat melacak bau feromon semut dan rayap hingga kedalaman yang signifikan. Kombinasi antara penciuman yang tajam dan elektroresepsi memberikan keunggulan berburu yang luar biasa di lingkungan gelap dan tersembunyi.
Kaki Landak Semut adalah adaptasi terbaik mereka untuk hidup di bawah tanah. Kaki depan mereka sangat kuat, pendek, dan dilengkapi dengan cakar yang panjang, tebal, dan berbentuk sekop. Khususnya pada Landak Semut Moncong Pendek, lima cakar pada setiap kaki depan berfungsi untuk merobek dan memindahkan puing-puing dengan cepat.
Kaki belakang Landak Semut memiliki cakar yang unik: cakar kedua atau ketiga pada kaki belakang sangat panjang dan berfungsi sebagai 'sisir perawatan' (grooming claw). Karena Landak Semut tidak dapat menjangkau punggungnya yang berduri dengan mulut atau kaki depan, mereka menggunakan cakar sisir ini untuk membersihkan kotoran dan parasit di antara duri. Mekanisme perawatan diri ini sangat penting untuk menjaga integritas perlindungan duri mereka.
Gaya berjalan mereka juga khas. Landak Semut Moncong Pendek berjalan dengan gaya "toe-in" yang khas, menyeret tubuh mereka sedikit. Sementara Zaglossus, karena ukurannya yang lebih besar dan habitat pegunungan, bergerak lebih seperti beruang kecil, menggunakan kaki mereka untuk mencengkeram medan yang curam dan berbatu. Kekuatan menggali mereka tidak hanya digunakan untuk mencari makan tetapi juga sebagai cara cepat melarikan diri dari bahaya, memungkinkan mereka "tenggelam" ke dalam tanah dalam hitungan detik untuk berlindung di bawah lapisan permukaan.
Meskipun Landak Semut Moncong Pendek masih relatif umum, semua spesies Landak Semut Moncong Panjang (Zaglossus) menghadapi ancaman kepunahan yang signifikan, menempatkan Monotremata kuno ini dalam risiko yang serius.
Tachyglossus aculeatus diklasifikasikan sebagai spesies 'Paling Tidak Mengkhawatirkan' (Least Concern) secara global. Namun, mereka tetap menghadapi ancaman lokal yang signifikan. Yang terbesar adalah kendaraan bermotor (road mortality). Sifat mereka yang lambat dan kebiasaan menggulung diri di tengah jalan sebagai mekanisme pertahanan membuat mereka rentan terhadap tabrakan.
Predasi oleh predator introduksi, terutama rubah merah dan kucing liar, juga merupakan masalah, meskipun duri mereka memberikan perlindungan yang baik bagi Landak Semut dewasa. Ancaman terbesar lainnya adalah fragmentasi habitat dan perubahan iklim. Karena Landak Semut sangat sensitif terhadap panas, peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas dapat memaksa mereka ke dalam torpor yang lebih lama, mengurangi waktu mencari makan dan berpotensi menyebabkan kematian akibat dehidrasi atau hipertermia.
Ketiga spesies Zaglossus yang ditemukan di Papua Nugini dan Indonesia (Papua Barat) diklasifikasikan sebagai 'Rentan' atau 'Kritis' (Critically Endangered). Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan populasi meliputi:
Status konservasi Zaglossus attenboroughi adalah yang paling kritis. Spesies ini hanya diketahui dari satu spesimen yang dikumpulkan pada tahun 1961 di Pegunungan Cyclops, Papua. Meskipun ada upaya pencarian intensif, spesies ini sempat dianggap punah. Namun, rekaman kamera jebak pada tahun-tahun terbaru memberikan harapan bahwa spesies ini masih bertahan di daerah terpencil, memicu upaya konservasi yang mendesak untuk melindungi sisa populasi yang sangat kecil tersebut.
Konservasi Landak Semut membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang biologi dan ekologi mereka. Studi tentang metabolisme, termoregulasi, dan persyaratan habitat sangat penting, terutama di habitat Moncong Panjang yang masih minim data. Di Australia, program pemantauan satwa liar melalui kamera jebak dan pelacak GPS membantu para ilmuwan memahami wilayah jelajah dan pola aktivitas Tachyglossus untuk memitigasi risiko di daerah perkotaan.
Di Papua Nugini, upaya konservasi berfokus pada kolaborasi dengan masyarakat adat untuk mempromosikan praktik perburuan berkelanjutan dan mendirikan area konservasi berbasis komunitas yang membatasi akses ke habitat kunci Zaglossus. Pendidikan konservasi adalah inti dari strategi ini, menekankan peran unik Landak Semut sebagai warisan biologis Monotremata yang tak ternilai harganya.
Untuk memahami sepenuhnya Landak Semut, kita harus menggali lebih dalam ke sistem internal mereka yang menunjukkan campuran luar biasa antara sifat reptil dan mamalia.
Salah satu penemuan genetik Landak Semut yang paling mencengangkan adalah sistem kromosom seks mereka. Mamalia plasenta umumnya memiliki sistem XY tunggal (XX betina, XY jantan). Landak Semut memiliki sistem kromosom seks yang sangat kompleks, terdiri dari lima pasangan kromosom seks yang berbeda (X1Y1X2Y2X3Y3X4Y4X5Y5). Ini berarti mereka memiliki sepuluh kromosom seks secara total. Kromosom ini membentuk cincin selama meiosis pada jantan. Sistem yang kompleks ini menunjukkan jalur evolusi yang berbeda untuk penentuan jenis kelamin pada mamalia dan berbagi beberapa kesamaan dengan sistem ZW pada burung.
Analisis genom Landak Semut juga mengungkapkan adanya gen vitelogenin, gen yang berfungsi dalam produksi kuning telur pada reptil dan burung. Meskipun gen ini tidak berfungsi penuh seperti pada reptil (Landak Semut tidak menghasilkan kuning telur sebesar burung), keberadaannya dalam genom Landak Semut, dan bukan pada mamalia plasenta, adalah bukti kuat dari garis keturunan Monotremata yang sangat kuno.
Meskipun kurang berkembang dibandingkan Platipus jantan (yang memiliki taji beracun fungsional), Landak Semut jantan memiliki sisa-sisa taji pada kaki belakang mereka. Pada Landak Semut dewasa, taji ini tidak berlubang dan tampaknya tidak menghasilkan racun yang fungsional. Ini adalah contoh organ vestigial (sisa) yang menunjukkan hubungan evolusioner mereka dengan Platipus dan leluhur mamalia awal yang mungkin memiliki taji beracun yang lebih fungsional.
Kemampuan menggali Landak Semut sangat bergantung pada struktur bahu dan panggul mereka. Mereka mempertahankan korset bahu (pectoral girdle) yang sangat kuat, termasuk tulang prokorakoid dan interklavikula, yang merupakan fitur umum pada reptil dan mamalia purba, tetapi hilang pada mamalia plasenta. Struktur tulang tambahan ini memberikan titik jangkar yang luar biasa kuat bagi otot-otot penggali yang masif, memungkinkan Landak Semut untuk menghasilkan torsi dan daya gali yang diperlukan untuk menembus tanah padat.
Otot deltoid, trisep, dan otot-otot di sekitar skapula pada Landak Semut hipertrofi (mengalami pertumbuhan berlebihan) dibandingkan dengan mamalia darat lain yang seukuran. Proporsi kekuatan otot ini terhadap berat tubuh adalah salah satu yang tertinggi di kerajaan mamalia, menegaskan Landak Semut sebagai mesin penggali alami yang sempurna.
Landak Semut, melalui gaya hidupnya yang unik, memainkan peran ekologis yang signifikan dalam ekosistem Australia dan Papua Nugini.
Peran Landak Semut sebagai 'insinyur ekosistem' melalui bioperturbasi sangat penting. Ketika mereka mencari makan, Landak Semut secara konstan mengaduk lapisan tanah atas (substrat), menciptakan lubang kecil dan parit saat mereka mencari semut dan rayap. Aktivitas menggali ini memiliki beberapa manfaat ekologis: 1) Meningkatkan aerasi tanah, memungkinkan penetrasi oksigen yang lebih baik untuk akar tanaman dan mikroorganisme. 2) Meningkatkan infiltrasi air, mengurangi limpasan air permukaan dan membantu penyerapan nutrisi. 3) Membantu pencampuran bahan organik, mempercepat dekomposisi dan siklus nutrisi. Studi telah menunjukkan bahwa mamalia penggali seperti Landak Semut secara kolektif memainkan peran yang sama pentingnya dalam kesehatan tanah seperti hujan cacing tanah.
Sebagai spesialis myrmekofagi, Landak Semut adalah predator penting bagi populasi semut dan rayap. Mereka membantu mengendalikan populasi serangga sosial ini, mencegah mereka mencapai tingkat ledakan yang dapat merusak struktur vegetasi atau infrastruktur. Meskipun dampak predator tunggal mungkin kecil, populasi Landak Semut yang stabil memberikan tekanan predator yang berkelanjutan, membantu menjaga keseimbangan ekosistem.
Landak Semut dikenal sebagai inang bagi kutu dan caplak, termasuk beberapa spesies caplak unik yang beradaptasi untuk hidup di antara duri. Caplak Aponomma concolor, misalnya, adalah caplak khusus yang hampir secara eksklusif ditemukan pada Landak Semut. Namun, Landak Semut juga rentan terhadap penyakit, terutama yang disebabkan oleh infeksi jamur dan parasit internal. Kondisi stres atau suhu tinggi dapat melemahkan sistem imun mereka, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi parasit yang dibawa oleh mangsa mereka atau dari lingkungan yang terkontaminasi.
Mereka juga berinteraksi secara tidak langsung dengan flora. Di hutan, dengan membalik serasah daun, mereka terkadang membantu menyebarkan biji atau spora jamur yang melekat pada tubuh mereka, meskipun penyebaran ini umumnya terbatas pada area lokal di dalam wilayah jelajah mereka.
Sebagai hewan endemik dan unik, Landak Semut memiliki tempat khusus dalam mitologi dan cerita rakyat masyarakat adat di Australia dan Papua Nugini.
Dalam mitologi Dreamtime Aborigin Australia, Landak Semut (terkadang disebut Tjukurrpa atau Burranbang) seringkali dikaitkan dengan kisah penciptaan yang menjelaskan bagaimana durinya berasal. Salah satu kisah umum menceritakan Landak Semut sebagai makhluk yang dulunya lembut dan mudah diserang. Setelah mengalami kesulitan besar atau setelah melakukan kesalahan yang fatal, roh-roh memberinya perlindungan duri untuk memastikan kelangsungan hidupnya.
Kisah-kisah ini sering menekankan tema pertahanan, kesendirian, dan adaptasi. Di beberapa kelompok, Landak Semut juga berfungsi sebagai totem klan, dengan aturan ketat mengenai perburuan dan penghormatan terhadap hewan tersebut, mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang ekologi dan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Bagi banyak suku di dataran tinggi Papua, terutama yang berinteraksi dengan genus Zaglossus, Landak Semut Moncong Panjang adalah hewan yang sangat dihargai, baik sebagai sumber makanan yang langka maupun sebagai simbol. Landak Semut sering diperlakukan dengan rasa hormat, dan perburuan mereka diatur oleh tradisi dan larangan tertentu (tabu) untuk mencegah penangkapan berlebihan. Di beberapa desa, penangkapan Zaglossus hanya diizinkan selama upacara atau festival khusus, memastikan bahwa populasi memiliki waktu untuk pulih.
Penemuan kembali Zaglossus attenboroughi di Pegunungan Cyclops beberapa tahun lalu memicu kegembiraan besar, bukan hanya di komunitas ilmiah global, tetapi juga di antara penduduk lokal yang selalu percaya bahwa hewan tersebut masih hidup. Bagi mereka, kelangsungan hidup Landak Semut yang sangat langka ini adalah simbol kesehatan hutan dan kekuatan alam.
Pengkajian mendalam terhadap Landak Semut tidak akan lengkap tanpa meninjau perilaku spesifik mereka terkait dengan lingkungan dan metabolisme mereka yang unik.
Perawatan diri pada Landak Semut adalah proses yang memakan waktu dan sangat penting. Seperti yang disebutkan, cakar sisir pada kaki belakang digunakan untuk membersihkan area duri. Ketika berhadapan dengan ektoparasit (seperti caplak), Landak Semut akan menggunakan cakar ini dengan gerakan menyisir yang teratur dan kuat, mengikis atau menghancurkan parasit yang mencoba menembus kulit. Selain itu, mereka sering melakukan 'mandi debu' di tanah kering, yang membantu menghilangkan kelembapan berlebih dan parasit dari kulit mereka. Frekuensi kegiatan perawatan diri ini meningkat secara signifikan setelah periode makan yang intensif atau setelah mereka berada di lingkungan yang sangat lembab.
Sebagai penghuni daerah kering dan semi-kering di Australia, Tachyglossus aculeatus memiliki adaptasi yang luar biasa untuk menghemat air. Mereka menghasilkan urin yang sangat terkonsentrasi, menunjukkan efisiensi ginjal yang tinggi. Selain itu, hilangnya air melalui penguapan kulit sangat minim karena kulit yang tebal dan kurangnya kelenjar keringat. Perilaku mereka untuk menghindari panas ekstrem (dengan mencari liang atau berada di torpor) adalah strategi konservasi air yang sangat efektif. Ketika air tersedia, mereka akan meminumnya, tetapi mereka dapat bertahan dalam periode dehidrasi yang panjang, mendapatkan sebagian besar kebutuhan cairan mereka dari air metabolik yang dihasilkan dari makanan serangga mereka.
Meskipun kedua genus Landak Semut dapat memasuki torpor, pola hibernasi mereka bervariasi. Tachyglossus di daerah yang lebih dingin (seperti Tasmania atau Pegunungan Salju Australia) menunjukkan hibernasi musiman yang jelas, di mana mereka dapat bertahan di bawah tanah selama berminggu-minggu, didorong oleh penurunan suhu lingkungan di bawah 10 °C dan kelangkaan makanan. Sebaliknya, Zaglossus di lingkungan hutan hujan Papua cenderung menunjukkan torpor sporadis atau jangka pendek, terutama sebagai respons terhadap periode hujan berkepanjangan yang membatasi akses ke cacing tanah, atau selama musim dingin di ketinggian tinggi. Durasi hibernasi sangat berkorelasi dengan cadangan lemak tubuh yang mereka kumpulkan di akhir musim panas atau awal musim gugur. Lemak disimpan dalam kantung lemak internal, bukan sebagai lapisan lemak subkutan, yang penting untuk isolasi suhu rendah.
Landak Semut terus menjadi subjek penelitian intensif, terutama dengan kemajuan dalam teknologi pelacakan dan genetika.
Penelitian terbaru telah fokus pada pemetaan neurologis yang lebih detail dari moncong Landak Semut. Ditemukan bahwa area korteks somatosensori yang didedikasikan untuk memproses informasi dari moncong jauh lebih besar daripada yang diperkirakan, mencerminkan betapa pentingnya alat sensorik ini. Selain itu, studi telah mengkonfirmasi bahwa Landak Semut dapat belajar dan mengingat tugas-tugas spasial, yang menantang pandangan lama bahwa monotremata memiliki kemampuan kognitif yang sederhana. Kemampuan kognitif ini sangat penting untuk pelacakan sarang serangga yang kompleks dan rute penggalian yang efisien.
Mekanisme lidah Landak Semut telah menjadi inspirasi dalam bidang robotika dan biomimikri. Kecepatan dan efisiensi pengumpulan makanan menggunakan lidah lengket telah menginspirasi desain sistem pengambilan sampel kecil di lingkungan yang padat atau berantakan. Para insinyur mencoba mereplikasi kombinasi viskositas lendir dan kecepatan otot yang memungkinkan Landak Semut untuk mengumpulkan volume material kecil dengan sangat cepat.
Studi genomik terbaru memberikan wawasan lebih lanjut tentang asal-usul sistem kromosom seks sepuluh Landak Semut. Hipotesis yang berlaku adalah bahwa cincin sepuluh kromosom ini berevolusi melalui serangkaian translokasi (pertukaran) antara kromosom seks purba dan autosom (kromosom non-seks). Memahami bagaimana sistem ini stabil selama jutaan tahun dapat memberikan pemahaman fundamental tentang evolusi sistem penentuan jenis kelamin pada vertebrata dan bagaimana Landak Semut berhasil mempertahankan identitas mamalia mereka sambil mempertahankan karakteristik reptil purba.
Secara keseluruhan, Landak Semut bukan hanya anomali biologis; mereka adalah saksi hidup dari sejarah panjang evolusi mamalia di Gondwana. Dengan duri sebagai benteng pertahanan, lidah lengket sebagai alat berburu, dan biologi yang menentang kategori mamalia modern, Landak Semut mewakili keajaiban adaptasi yang terus mempesona para ilmuwan dan pecinta alam di seluruh dunia. Keberlangsungan hidup Monotremata berduri ini membutuhkan komitmen global untuk mengatasi ancaman modern, memastikan bahwa rahasia evolusioner yang mereka pegang dapat terus diceritakan untuk generasi mendatang.