Di tengah modernisasi alat tangkap perikanan yang semakin canggih dan masif, keberadaan Lasang tetap menjadi saksi bisu akan kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat pesisir dan rawa Nusantara. Lasang, yang secara umum merujuk pada jenis perangkap atau bubu statis sederhana, bukanlah sekadar alat tangkap biasa. Ia merupakan manifestasi dari interaksi harmonis antara manusia dan lingkungannya, sebuah sistem ekologis yang telah teruji keberlanjutannya selama berabad-abad. Perangkap ini, yang bentuk dan materialnya bervariasi luas dari satu daerah ke daerah lain—mulai dari Pesisir Kalimantan, Rawa Sumatera, hingga kepulauan kecil di Timur—memegang peranan vital dalam mata pencaharian harian, sekaligus cerminan nyata dari kearifan lokal yang menjaga keseimbangan alam.
Penelusuran mendalam terhadap Lasang membawa kita melintasi batas-batas geografis dan memasuki dimensi kultural yang kaya. Lasang menuntut pemahaman mendalam tentang pola pasang surut, perilaku migrasi biota air (khususnya udang, kepiting, dan ikan-ikan kecil), serta karakteristik vegetasi setempat. Seorang pemasang Lasang sejati tidak hanya sekadar meletakkan perangkap; ia harus mampu "membaca" air dan tanah, sebuah kemampuan intuitif yang diturunkan dari generasi ke generasi. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Lasang, mulai dari anatomi konstruksinya yang sederhana namun efektif, ekologi habitatnya yang kompleks, hingga peranannya dalam ekonomi subsisten dan tantangan pelestariannya di era kontemporer.
Meskipun istilah Lasang dapat diterapkan pada berbagai jenis perangkap, ciri khas utamanya adalah desain yang memungkinkan biota air masuk dengan mudah namun mempersulit keluarnya. Struktur ini memanfaatkan prinsip pintu masuk satu arah atau mekanisme jerat yang tersembunyi. Lasang idealnya terbuat dari bahan-bahan yang mudah didapatkan dari lingkungan sekitarnya, menjadikannya ramah lingkungan dan terbarukan.
Konstruksi Lasang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan material lokal. Di daerah rawa, Lasang seringkali dibuat dari bahan-bahan yang ringan namun kuat dan tahan air asin, memastikan daya tahannya terhadap kondisi lingkungan yang keras dan perubahan suhu yang ekstrem. Pemilihan bahan baku bukan hanya soal kepraktisan, melainkan juga bagian dari ritual dan penghormatan terhadap alam.
1. Rangka Utama: Rangka Lasang biasanya menggunakan bilah bambu (khususnya jenis yang kuat dan lentur seperti bambu betung atau tali) atau rotan tipis. Penggunaan bambu memerlukan proses pengeringan dan pengasapan tertentu untuk mencegah pelapukan cepat dan serangan serangga. Dalam beberapa tradisi, hanya bambu yang dipotong pada fase bulan tertentu yang dianggap ideal, karena dipercaya memiliki ketahanan struktural yang paling optimal.
2. Jaring Penutup/Badan: Bagian penutup atau badan perangkap seringkali terbuat dari anyaman rotan, serat ijuk kelapa, atau tali nilon modern (sebagai adaptasi). Dahulu kala, serat kulit kayu tertentu yang dipintal juga digunakan, menghasilkan jaring yang sangat halus namun kuat. Kerapatan anyaman menentukan jenis biota yang menjadi target. Anyaman yang rapat (disebut belat atau kerat) biasanya ditujukan untuk udang kecil atau benih ikan, sedangkan anyaman yang lebih longgar ditujukan untuk kepiting atau ikan yang lebih besar.
3. Pintu Masuk (Mulut Lasang): Ini adalah bagian paling vital. Desain pintu masuk Lasang menggunakan mekanisme corong terbalik (semacam funnel) atau disebut anjir. Corong ini mengarah ke dalam ruang tangkap. Setelah biota masuk, perbedaan diameter lubang dan tekanan air serta orientasi anyaman membuat mereka kesulitan menemukan jalan keluar. Desain corong ini membutuhkan perhitungan geometris yang presisi, yang seringkali dilakukan secara insting oleh pembuat Lasang.
Istilah Lasang mungkin spesifik di wilayah Melayu tertentu, tetapi prinsip kerjanya serupa dengan banyak perangkap tradisional di Nusantara. Variasi ini menunjukkan adaptasi terhadap target buruan dan tipe perairan:
a. Lasang Bubu: Versi silindris atau kotak, seringkali digunakan di sungai dangkal atau area tambak untuk menangkap ikan seperti betok atau sepat. Pintu masuknya kecil dan ditempatkan di salah satu ujung.
b. Lasang Rajungan (Kepiting): Didesain lebih datar atau berbentuk kubah rendah. Menggunakan pemberat yang lebih substansial agar stabil di dasar lumpur atau pasir. Umpan yang digunakan biasanya adalah bangkai ikan kecil yang telah difermentasi.
c. Lasang Udang (Lukah): Paling sering ditemukan di area payau dan hutan mangrove. Bentuknya memanjang dan ramping, didesain untuk ditempatkan sejajar dengan arus pasang surut. Kerapatan anyaman sangat halus untuk memaksimalkan tangkapan udang. Penempatan Lukah Lasang seringkali harus berpasangan, mengikuti jalur air utama.
d. Lasang Pasang Surut (Jermal Mini): Ini adalah Lasang yang lebih besar, semi-permanen, yang memanfaatkan perbedaan ketinggian air. Lasang jenis ini dibangun di sepanjang garis pantai yang landai, berfungsi sebagai pagar penuntun yang mengarahkan ikan ke kantong penangkapan saat air surut.
Sketsa perangkap tradisional Lasang yang mengilustrasikan prinsip corong penangkap satu arah.
Efektivitas Lasang tidak terletak pada kecanggihan teknologi, melainkan pada penempatan yang strategis. Penempatan ini menuntut pemahaman mendalam tentang ekosistem lokal. Habitat utama Lasang adalah perairan payau, muara sungai, dan area hutan mangrove. Zona-zona ini dikenal sebagai tempat pemijahan (nursery grounds) dan mencari makan (feeding grounds) bagi mayoritas biota laut dan air tawar.
Hutan mangrove adalah jantung dari operasional Lasang. Akar-akar napas (pneumatophores) mangrove berfungsi sebagai perlindungan alami bagi biota kecil dan juga menciptakan lorong-lorong air spesifik saat pasang surut. Pemasang Lasang akan mencari 'jalan tikus' air, yaitu jalur sempit di antara akar mangrove yang menjadi koridor migrasi udang dan kepiting.
Penempatan Lasang harus mempertimbangkan faktor-faktor meteorologis dan hidrologis yang sangat dinamis. Misalnya, pada saat bulan purnama (pasang besar), biota cenderung bergerak lebih aktif dan Lasang harus ditempatkan lebih tinggi di zona intertidal. Sebaliknya, saat bulan mati (pasang kecil), Lasang ditempatkan lebih dekat ke jalur air utama (alur sungai atau parit). Keahlian ini melibatkan prediksi yang akurat tanpa bantuan instrumen modern, murni berdasarkan pengalaman dan pengamatan siklus bulan, angin, dan suhu air.
Selain itu, jenis lumpur juga menentukan. Lasang yang diletakkan di dasar lumpur yang terlalu lunak akan tenggelam dan tidak efektif. Oleh karena itu, Lasang harus dijangkarkan ke tiang yang ditancapkan pada dasar yang lebih padat, memastikan mulut corong tetap terbuka dan berada pada ketinggian air yang ideal untuk tangkapan.
Lasang memiliki sifat yang sangat selektif karena ukurannya yang statis dan materialnya yang terbatas. Alat ini tidak dirancang untuk tangkapan massal (bycatch), sehingga secara inheren lebih berkelanjutan dibandingkan jaring tarik atau pukat harimau. Biota yang menjadi target utama adalah spesies yang bergerak pasif atau mengikuti arus untuk mencari makan:
Nilai Lasang melampaui fungsi ekonominya. Lasang adalah inti dari kearifan ekologis yang menjaga tradisi dan kelestarian sumber daya. Sistem Lasang mengajarkan masyarakat untuk mengambil secukupnya, bukan semaksimal mungkin, dan selalu menjaga 'rumah' bagi sumber daya tersebut.
Dalam praktik pemasangan Lasang, terdapat beberapa prinsip konservasi yang diterapkan secara turun-temurun:
1. Selektivitas Ukuran (Mesh Size): Secara tradisional, anyaman Lasang dibuat dengan ukuran lubang tertentu. Ukuran ini secara alami telah disesuaikan agar biota yang masih kecil (belum matang gonad) dapat lolos. Praktik ini memastikan bahwa populasi utama memiliki kesempatan untuk bereproduksi sebelum ditangkap. Meskipun penggunaan nilon modern seringkali menghasilkan jaring yang lebih halus, masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisi akan mempertahankan kerapatan anyaman yang sesuai dengan hukum alam.
2. Larangan Musiman (Sasi): Di beberapa komunitas, pemasangan Lasang dilarang pada periode pemijahan (misalnya saat musim hujan lebat). Periode sasi (larangan adat) ini diberlakukan untuk memberikan waktu pemulihan bagi stok perikanan, menjamin ketersediaan hasil tangkapan di masa depan. Pelanggaran terhadap sasi seringkali dikenakan sanksi adat yang berat, menunjukkan betapa pentingnya keberlanjutan bagi komunitas tersebut.
3. Penghormatan terhadap Habitat: Pemasangan Lasang yang ideal adalah yang tidak merusak akar mangrove. Tidak seperti pukat yang bisa menghancurkan dasar laut, Lasang hanya memerlukan penancapan tiang statis minimal. Kesadaran ini menciptakan hubungan resiprokal: Lasang bergantung pada mangrove, dan oleh karena itu, mangrove harus dilindungi.
Habitat Lasang yang terintegrasi dengan ekosistem hutan bakau (mangrove), menunjukkan pentingnya akar sebagai koridor biota air.
Dalam komunitas Lasang, proses pembuatan dan penggunaan alat tangkap diatur oleh etika yang ketat. Prosesi penancapan Lasang pertama kali seringkali melibatkan ritual kecil untuk 'meminta izin' kepada penjaga air atau leluhur. Ritual ini bukan hanya takhayul, melainkan cara untuk menginternalisasi rasa tanggung jawab terhadap sumber daya alam. Lasang harus dirawat secara rutin, dibersihkan dari lumut dan kotoran, dan diperbaiki ketika ada kerusakan.
Tradisi juga mengatur pembagian hasil tangkapan. Dalam banyak kasus, hasil dari Lasang tidak semata-mata untuk dijual. Porsi signifikan diberikan kepada keluarga, tetangga, atau orang yang membutuhkan (sistem barter atau bagi hasil). Sistem sosial-ekonomi ini menjamin bahwa Lasang tidak pernah menjadi alat eksploitasi kapitalis murni, melainkan pilar subsisten dan solidaritas komunal.
Bagi ribuan keluarga di wilayah perairan dangkal, Lasang adalah jaminan pangan harian dan sumber pendapatan utama. Meskipun hasil tangkapan Lasang tidak sebesar hasil pukat, ia menawarkan kestabilan dan biaya operasional yang sangat rendah.
Penggunaan Lasang umumnya bersifat harian. Pemasang Lasang akan berangkat menjelang sore atau senja untuk menyiapkan umpan dan menempatkan perangkap. Mereka kembali saat subuh untuk mengambil hasil tangkapan. Siklus ini sangat terintegrasi dengan siklus harian masyarakat desa, memungkinkan nelayan tradisional untuk juga melakukan pekerjaan lain (seperti bertani atau berkebun) selama siang hari.
Hasil tangkapan Lasang seringkali memiliki kualitas yang sangat tinggi karena biota yang tertangkap masih hidup dan segar. Udang atau kepiting dari Lasang dihargai lebih mahal di pasar lokal dibandingkan tangkapan dari jaring yang besar, karena dianggap lebih alami dan bebas dari kerusakan fisik yang sering terjadi pada tangkapan massal.
Namun, ekonomi Lasang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Pencemaran sungai, konversi mangrove menjadi lahan sawit atau tambak intensif, secara langsung memotong jalur migrasi dan mengurangi populasi biota target. Ketika habitat Lasang rusak, bukan hanya mata pencaharian yang hilang, tetapi juga seluruh sistem pengetahuan ekologis yang melingkupinya.
Beberapa komunitas Lasang mengembangkan spesialisasi dalam pembuatan dan penjualan perangkap itu sendiri. Ada pengrajin khusus Lasang yang sangat dihormati. Keahlian mereka dalam memilih bambu yang tepat, menganyam corong dengan presisi, dan menjamin daya tahan alat merupakan profesi tersendiri. Lasang berkualitas tinggi dapat dijual kepada nelayan lain atau bahkan dijadikan komoditas perdagangan antar desa, menunjukkan adanya sub-ekonomi yang berputar di sekitar alat tangkap tradisional ini.
Meskipun Lasang adalah alat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kelangsungan praktik ini menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan tekanan ekonomi global.
Salah satu tantangan terbesar adalah penggantian material alami dengan material sintetik. Tali nilon dan jaring plastik lebih murah dan tahan lama dibandingkan rotan atau ijuk. Namun, penggunaan material sintetik ini memiliki dampak lingkungan jangka panjang. Ketika Lasang ditinggalkan atau hilang di air, material plastik tersebut menjadi sampah laut (ghost fishing gear) yang terus menjebak biota secara tidak sengaja selama puluhan bahkan ratusan tahun. Meskipun penggunaan nilon memudahkan nelayan, ini merusak siklus keberlanjutan material yang sebelumnya dipegang teguh.
Ancaman struktural terbesar adalah konversi kawasan mangrove. Pembukaan hutan mangrove untuk pertambakan udang intensif, perluasan perkebunan sawit hingga ke tepi sungai, atau pembangunan infrastruktur pesisir menghancurkan fungsi ekologis Lasang.
Ketika mangrove hilang, jalur air alami yang menjadi koridor biota juga hilang. Biota seperti udang dan kepiting tidak lagi memiliki tempat berlindung saat air pasang atau tempat mencari makan saat air surut. Nelayan Lasang dipaksa berpindah ke area yang lebih jauh atau beralih ke alat tangkap yang lebih merusak, mempercepat lingkaran kehancuran ekosistem.
Konversi habitat Lasang tidak hanya menghilangkan sumber daya fisik, tetapi juga memutus rantai transmisi pengetahuan tradisional. Anak cucu tidak lagi dapat "membaca" air dan hutan jika air dan hutan itu sendiri telah berubah menjadi monokultur yang tandus.
Siluet seorang pemasang Lasang, yang harus memahami kedalaman air dan topografi dasar perairan.
Untuk memahami mengapa Lasang begitu efektif, kita harus melihat lebih dekat pada presisi yang tersembunyi dalam kesederhanaannya. Proses pembuatan Lasang adalah seni yang menggabungkan keterampilan tangan, pengetahuan material, dan pemahaman fisika air. Pembuat Lasang tradisional adalah insinyur alam yang merancang struktur hidrodinamis minimalis.
Lasang membutuhkan ketegangan yang sempurna. Jika terlalu kencang, corong pintu masuk bisa tertutup, menghalangi biota. Jika terlalu longgar, anyaman akan berantakan dan mengurangi efisiensi penangkapan. Penggunaan simpul khusus yang tahan air dan tidak mudah kendor (seperti simpul nelayan atau simpul anyaman ekor kura-kura) adalah hal mendasar. Jenis tali atau benang yang digunakan untuk mengikat bilah bambu juga dipilih berdasarkan daya regang dan ketahanan terhadap mikroorganisme air.
Corong atau anjir, yang menjadi pintu masuk Lasang, bukanlah anyaman biasa. Ia dibuat dari bilah-bilah yang meruncing ke dalam. Jarak antara ujung corong dan dinding penutup utama Lasang (ruang tangkap) harus optimal. Jarak yang terlalu dekat akan memungkinkan biota mudah keluar kembali; jarak yang terlalu jauh akan mengurangi area tangkap. Kesenjangan ini harus cukup besar untuk menampung biota, tetapi cukup kecil sehingga biota kehilangan orientasi untuk menemukan jalan keluar.
Di beberapa daerah, corong dibuat dari bahan yang lebih fleksibel daripada badan utama, memungkinkan corong bergerak sedikit di bawah tekanan air, memberikan efek ‘menggoda’ bagi biota yang penasaran untuk masuk mencari umpan. Desain ini menunjukkan adaptasi perilaku fauna: biota yang masuk akan merasa aman di dalam corong yang fleksibel sebelum akhirnya menyadari mereka terperangkap di ruang yang lebih statis.
Berbeda dengan alat tangkap yang destruktif, Lasang berkontribusi pada pengayaan keanekaragaman hayati (biodiversitas) di wilayah operasionalnya. Karakteristik Lasang yang statis dan selektif menciptakan lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup spesies non-target.
Keberhasilan panen Lasang sering dijadikan indikator kesehatan ekosistem perairan. Jika hasil tangkapan Lasang tiba-tiba menurun drastis, ini memberikan sinyal awal adanya masalah ekologis—misalnya, peningkatan salinitas akibat intrusi air laut yang berlebihan, penurunan kualitas air akibat limbah, atau hilangnya area pemijahan. Nelayan Lasang, karena ketergantungan mereka yang intensif dan harian terhadap alam, adalah yang pertama menyadari adanya ketidakseimbangan, jauh sebelum ilmuwan resmi mencatat data penurunan populasi.
Fokus Lasang pada selektivitas juga berarti ia memainkan peran penting dalam menghindari penangkapan biota di bawah umur (juvenile catch). Dalam konteks kepiting, Lasang tradisional seringkali memiliki batasan ukuran fisik yang membuat kepiting betina yang sedang bertelur (yang biasanya berukuran lebih besar) tidak tertangkap, atau jika tertangkap, nelayan secara sadar akan melepaskannya—sebuah praktik yang dikenal sebagai ‘tanggung jawab pemanenan’.
Konsistensi ukuran lubang jaring dan corong yang telah diwariskan ini merupakan salah satu bentuk regulasi sumber daya yang paling efektif yang pernah dirancang oleh manusia, beroperasi tanpa birokrasi, namun didukung oleh norma sosial dan tradisi.
Untuk memastikan Lasang tetap relevan dan lestari, diperlukan upaya kolaboratif yang menggabungkan modernisasi yang bijaksana dengan penguatan kembali kearifan tradisional.
Salah satu jalur inovasi adalah mengembangkan material Lasang yang tahan lama namun tetap terurai secara alami (biodegradable). Penemuan bioplastik yang berasal dari pati atau serat alami lainnya dapat menggantikan nilon, memberikan daya tahan yang dibutuhkan nelayan sekaligus menghilangkan ancaman sampah laut. Investasi dalam penelitian material berkelanjutan ini sangat penting untuk masa depan praktik penangkapan tradisional.
Pemerintah daerah atau organisasi nirlaba dapat memulai program sertifikasi bagi produk perikanan yang dihasilkan melalui Lasang tradisional. Sertifikasi ini memberikan nilai tambah di pasar (premium pricing), mengakui upaya konservasi yang dilakukan oleh nelayan Lasang. Konsumen yang sadar lingkungan akan bersedia membayar lebih untuk produk yang dijamin penangkapannya ramah lingkungan dan mendukung ekonomi subsisten, bukan eksploitasi besar-besaran.
Pendidikan dan dokumentasi pengetahuan Lasang harus diintensifkan. Ini mencakup pembuatan museum mini di desa-desa pesisir, lokakarya yang menghubungkan generasi tua dengan generasi muda, serta integrasi kurikulum lokal yang mengajarkan tentang siklus air, ekologi mangrove, dan teknik pembuatan Lasang yang benar. Pengetahuan ini adalah aset budaya yang tidak ternilai harganya, dan kehilangan satu generasi pembuat Lasang berarti kehilangan warisan ekologis yang tak tergantikan.
Secara keseluruhan, Lasang mewakili lebih dari sekadar perangkap ikan. Ia adalah paradigma kehidupan yang berkelanjutan, sebuah model di mana intervensi manusia terhadap alam dilakukan dengan perhitungan yang cermat dan rasa hormat yang mendalam. Dalam menghadapi tantangan ekologis abad ke-21, kita memiliki banyak hal untuk dipelajari dari kesederhanaan dan kebijaksanaan yang terkandung dalam setiap anyaman Lasang.
Pemahaman mendalam tentang Lasang mendorong kita untuk mengapresiasi cara hidup yang didasarkan pada prinsip resiprositas: alam memberi sumber daya, dan manusia wajib menjaganya. Ini adalah pesan abadi yang disampaikan oleh jaring bambu sederhana di perairan Nusantara yang kaya.
Keberhasilan Lasang sangat bergantung pada pemahaman yang akut mengenai dinamika pergerakan air. Dinamika pasang surut bukanlah fenomena dua kali sehari yang seragam; ia melibatkan variasi kompleks yang dipengaruhi oleh gravitasi bulan, matahari, topografi dasar laut, dan bahkan tekanan atmosfer. Nelayan Lasang sejati adalah ahli hidrologi intuitif yang mampu memprediksi titik kritis pergerakan biota.
Siklus bulan memengaruhi kekuatan pasang surut. Saat bulan purnama dan bulan mati (bulan baru), terjadi Pasang Perbani (Spring Tide) di mana pasang sangat tinggi dan surut sangat rendah. Pada periode ini, Lasang ditempatkan di jalur migrasi yang lebih luas dan volume air yang dipindahkan sangat besar. Udang dan ikan terbawa arus kuat, sehingga Lasang harus dipasang dengan jangkar yang lebih kuat dan ditempatkan di titik-titik penyempitan aliran.
Sebaliknya, saat Bulan Separuh, terjadi Pasang Perik (Neap Tide) di mana perbedaan pasang surut minimal. Pada periode ini, pergerakan biota lebih lambat dan terfokus pada alur air yang dalam. Lasang harus diposisikan lebih dekat ke dasar sungai atau parit utama, seringkali menggunakan umpan yang lebih menarik karena biota tidak didorong oleh arus yang kuat.
Pengetahuan ini menunjukkan sistem penangkapan yang adaptif. Lasang tidak statis dalam penempatannya; ia adalah alat yang bergerak sesuai dengan ritme kosmik, sebuah interaksi halus antara manusia, bulan, dan lautan. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan penempatan Lasang sesuai siklus bulan seringkali menjadi pembeda antara nelayan yang berhasil dan yang gagal.
Kekeruhan air (turbiditas) juga memengaruhi efektivitas Lasang. Saat air keruh, terutama setelah hujan lebat atau saat pasang surut tinggi, biota air cenderung mengandalkan indra penciuman daripada penglihatan untuk mencari makan. Dalam kondisi ini, umpan untuk Lasang (biasanya berupa remah-remah ikan busuk, kelapa yang difermentasi, atau produk sampingan udang) harus lebih kuat aromanya. Penggunaan umpan alami ini juga harus diatur agar tidak berlebihan sehingga mencemari air, mencerminkan etika bahwa Lasang harus mengambil tanpa merusak lingkungan sekitarnya.
Praktek Lasang membentuk struktur sosial dan pembagian kerja yang khas dalam masyarakat pesisir. Tidak seperti perikanan skala besar yang menuntut modal besar, Lasang bersifat komunal dan melibatkan seluruh anggota keluarga.
Pembagian kerja dalam sistem Lasang seringkali melibatkan pembagian peran berdasarkan gender. Pria (Nelayan) biasanya bertanggung jawab atas pembuatan rangka Lasang (bambu/rotan), penancapan di perairan yang lebih dalam, dan pengangkatan hasil. Sementara itu, wanita (Pemasang Umpan/Pengolah) memiliki peran vital dalam menyiapkan umpan, menganyam jaring halus (terutama untuk Lasang Udang), dan yang paling penting, memproses dan menjual hasil tangkapan. Keterampilan menganyam jaring halus adalah keahlian yang sangat dihargai, karena menentukan selektivitas dan daya tahan Lasang.
Dalam banyak komunitas, lokasi pemasangan Lasang (disebut Lahan Lasang) diwariskan secara turun-temurun. Meskipun tidak ada sertifikat tanah formal, komunitas mengakui hak tradisional keluarga atas area penangkapan tertentu. Sistem hak kepemilikan informal ini menciptakan rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan wilayah tersebut. Keluarga pemilik Lahan Lasang akan memastikan bahwa mangrove di sekitar areanya terjaga dan tidak ada praktik penangkapan merusak yang dilakukan di sana, karena keberlanjutan Lasang mereka bergantung pada kesehatan habitat. Sistem ini merupakan bentuk manajemen sumber daya yang efektif dan berbasis komunitas.
Pada skala ketahanan pangan lokal, Lasang memainkan peran yang sering terabaikan oleh kebijakan perikanan makro. Hasil tangkapan Lasang, meskipun kecil, menyediakan protein hewani yang konsisten sepanjang tahun, menjadikannya pilar utama nutrisi bagi keluarga subsisten.
Lasang memungkinkan diversifikasi makanan. Ketika tangkapan ikan utama menurun (misalnya saat musim angin kencang), Lasang yang ditempatkan di perairan terlindungi (seperti parit mangrove) masih bisa menghasilkan udang atau kepiting. Ketersediaan sumber daya yang stabil ini mengurangi kerentanan masyarakat terhadap fluktuasi harga pasar dan kegagalan panen dari sumber perikanan laut terbuka.
Hasil tangkapan Lasang sering diolah menjadi produk turunan yang meningkatkan nilai jual dan memperpanjang masa simpan. Udang dari Lasang diolah menjadi terasi atau ebi berkualitas tinggi, sedangkan ikan kecil dikeringkan atau diasinkan. Proses pengolahan ini merupakan keterampilan tradisional yang diturunkan, menambah lapisan ketahanan ekonomi bagi komunitas Lasang.
Pengolahan tradisional ini juga mencerminkan nol-limbah (zero-waste) dalam ekosistem Lasang. Hampir tidak ada bagian dari hasil tangkapan yang dibuang. Semua dimanfaatkan, sebuah etika yang kontras dengan sistem perikanan industri modern yang seringkali membuang sejumlah besar hasil tangkapan sampingan.
Membandingkan Lasang dengan alat tangkap modern (seperti pukat pantai atau jaring insang multi-layer) membantu menyoroti keunggulan Lasang dari sudut pandang konservasi.
1. Dampak terhadap Dasar Perairan: Pukat dan jaring tarik merusak habitat dasar perairan (benthos) dan mengikis lumpur, melepaskan sedimen yang mencekik biota. Lasang bersifat statis dan non-destruktif, hanya berinteraksi minimal dengan dasar laut melalui tiang penancap.
2. Efek Hantu (Ghost Fishing): Seperti yang telah disinggung, Lasang alami (dari bambu/rotan) tidak menyebabkan efek hantu; ia akan lapuk dan terurai dalam waktu singkat. Alat modern yang hilang di laut, terutama yang berbahan nilon, akan terus menjebak dan membunuh biota tanpa henti.
3. Efisiensi Energi: Lasang beroperasi sepenuhnya tanpa bahan bakar fosil. Ini adalah sistem penangkapan energi nol, sangat berbeda dengan kapal modern yang membutuhkan konsumsi minyak bumi yang besar, berkontribusi pada jejak karbon yang minimal.
Kesimpulan dari perbandingan ini adalah bahwa Lasang bukan hanya sekadar alternatif, melainkan sebuah model yang harus dijadikan patokan etika perikanan: penangkapan yang efisien, selektif, dan berkelanjutan, selaras dengan daya dukung lingkungan. Warisan Lasang harus dijaga sebagai bukti bahwa manusia dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa harus mengeksploitasinya secara berlebihan.
Pengetahuan tentang Lasang adalah jendela menuju peradaban maritim yang memahami bahwa kekayaan bukanlah tentang jumlah tangkapan hari ini, melainkan tentang janji hasil panen di masa depan. Kelangsungan Lasang adalah kelangsungan identitas dan ketahanan pangan komunitas pesisir.